Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Silalahi, Andy Famela
"Perbedaan interpretasi mengenai aspek perpajakan Bentuk Usaha Tetap (BUT) perusahaan pelayaran, yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor 417/KMK.04/1996 dan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia dengan negara mitra, sering terjadi bahkan terdapat sengketa yang telah memiliki putusan pengadilan pajak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interpretasi Branch Profit Tax (BPT) dan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan P3B Indonesia dan Singapura menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan BUT perusahaan pelayaran, serta memberikan masukan untuk menyelesaikan perbedaan interpretasi tersebut dengan membuat surat penegasan atau mengubah aturan (rule determination). Penelitian ini menggunakan The Theory of Legal Interpretation dan konsep penafsiran hukum. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis menggunakan teknik descriptive, content, dan thematic analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BUT perusahaan pelayaran menggunakan interpretasi sistematis atau logis dan menginterpretasikan tarif PPh sebesar 2,64% dalam KMK nomor 417/KMK.04/1996 sudah termasuk BPT, sedangkan DJP menggunakan interpretasi gramatikal dan menginterpretasikan tarif PPh sebesar 2,64% dalam KMK tersebut tidak termasuk BPT. Sedangkan terkait penurunan tarif PPh, baik BUT maupun DJP menggunakan interpretasi gramatikal. DJP menginterpretasikan bahwa BUT tidak mendapat penurunan tarif, sedangkan BUT menginterpretasikan sebaliknya. Masukan yang diberikan adalah mengubah KMK nomor 417/KMK.04/1996 dan membuat surat penegasan agar tidak terjadi perbedaan interpretasi pada masa yang akan datang dan KMK tersebut dapat dipergunakan untuk BUT perusahaan pelayaran asal seluruh negara mitra.

Differences in interpretation regarding the taxation aspects of permanent establishment (PE) of shipping company, which are regulated in Minister of Finance Degree (KMK) number 417.KMK.04/1996 and Agreement for The Avoidance of Double Taxation (P3B) between Indonesia and partner countries, often occur. There were even disputes that already have a tax court ruling. This study aims to analyze the interpretation of Branch Profit Tax (BPT) and the reduction in the rate of income tax (PPh) based on P3B Indonesia and Singapore according to Directorate General of Taxes (DJP) and PE of shipping company, as well as to provide input to settle this differences in interpretation by making confirmation letter or changing the regulation (rule determination). This study uses The Theory of Legal Interpretation and the concept of legal interpretation. The research approach used is qualitative with case study. Data collection techniques used are interviews and documentation. The analysis technique uses descriptive techniques, content, and thematic analysis. The results show that the PE of shipping company used a systematic or logical interpretation and interpreted the income tax rate of 2.64% in KMK number 417/KMK.04/1996 includes BPT, while DGP used grammatical interpretation and interpreted the income tax rate of 2.64 percent in the KMK does not include BPT. Meanwhile, regarding the reduction of income tax rates, both PE and DGT used grammatical interpretation. DGT interpreted that the PE does not get a tax reduction, while the BUT interpreted the opposite. The input given is to change the KMK number 417/KMK.04/1996 and make confirmation letter so that there are no differences in interpretation in the future and the KMK can be used for the PE of shipping companies from all partner countries."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Hapsari Prabanto
"Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis apakah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 10/PJ/2017 merupakan bentuk dari tax treaty override atau tidak dan kendala apa saja yang timbul dalam penerapan P3B berdasarkan peraturan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik analisis data kualitatif. Secara legislatif, PER-10/2017 adalah tax treaty override karena ketentuan yang mewajibkan WP untuk menyampaikan Surat Keterangan Domisili SKD bertentangan dengan ketentuan pada P3B, sedangkan secara yudisial tax treaty override tidak terjadi. Terdapat tiga kelompok kendala dalam penerapan P3B berdasarkan PER-10/2017, yaitu kendala dalam penerbitan SKD, kendala dalam pengembalian pajak lebih bayar kepada WP, dan kendala berupa ketidakpatuhan WP. Untuk mengatasi tax treaty override secara legislatif, pemerintah disarankan untuk meninjau kembali ketentuan yang mewajibkan penyampaian SKD, melakukan sosialisasi secara berkala kepada pihak KPP, dan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan terkait penerapan P3B untuk mengisi kekosongan peraturan penerapan P3B. Untuk mengatasi kendala penerapan P3B berdasarkan PER-10/2017, yang disarankan untuk dilakukan antara lain adalah untuk meninjau kembali ketentuan yang mewajibkan penyampaian SKD, meningkatkan sosialisasi kepada withholder terkait kewajiban menyampaikan SKD, peningkatan koordinasi dengan negara lain mengenai informasi status residen WPLN oleh pemerintah, melengkapi PMK 187/2015 dengan ketentuan batasan waktu, dan peningkatan kuantitas dan kualitas pemeriksa.

This thesis aims to analyse whether Directorat General of Tax Rule Number 10 PJ 2017 is a form of tax treaty override and what problems arise from tax treaty application based of PER 10 2017. The research method used in this study is descriptive qualitative. Legislatively, PER 10 2017 is a tax treaty override because the provision in it that requires tax payers to submit Certificate of Domicile COD contradicts with provisions in tax treaty, yet judicially there are not tax treaty override. There are three groups of obstacles in treaty application based on PER 10 2017, which are obstacles in COD Publishing, tax refund, and noncompliance by tax payers. To resolve legislative tax treaty override, it is advised that the government review the provision about submitting COD, socialize periodically to tax offices, and to publish a Regulation of Ministry of Finance to fill in the policy about tax treaty application. To resolve obstacles in tax treaty application based on PER 10 2017, what is suggested to be done is for the government to improve socialization to withholders about the obligation to submit COD, improve coordination with other countries about residency of tax payers, add a provision about time limits in PMK 187 2015, improve the quantity and quality of auditors, and make tax treaty application more strict in order to make sure that tax payers apply the provisions in tax treaty as is. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmanto Surahmat
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
336.1 RAC p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jaja Zakaria
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
336.206 JAJ p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rochmat Soemitro
Bandung: Eresco, 1977
343.04 ROC h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ratyan Noer Hartiko
"Perekonomian global dan arus investasi lintas batas negara semakin berkembang dengan sangat pesat. Pesatnya arus investasi lintas batas negara membawa keuntungan sekaligus ancaman. Dalam hal perpajakan, investasi lintas batas negara bisa menyebabkan pemungutan pajak berganda oleh dua negara terhadap objek pajak yang sama. Hal ini dikarenakan yuridiksi negara dalam memungut pajak atas warga negara yang berada di negara asing untuk berinvestasi dan warga negara asing yang berinvestasi di negara tersebut. Keadaan ini menyebabkan satu objek pajak dikenakan pajak yang sama oleh kedua negara. sehingga pelaku bisnis mencoba untuk melakukan penghindaran pajak berganda. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak sebuah negara. Salah satu solusi menghadapi permasalahan ini adalah dengan membuat perjanjian penghindaran pajak berganda antar dua negara.
Dalam perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya mengikuti model yang telah ada dan dipakai luas di dunia seperti OECD model (model yang dikembangkan Organization for Economic Cooperation and Development) dan UN model (model yang dikembangkan United Nations). Masing-masing model memiliki perbedaan terutama dalam hak menarik pajak oleh negara. Namun semua kembali kepada negosiasi antara kedua negara dalam menentukan isi pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda mereka. Indonesia sendiri telah melakukan negosiasi pertama mengenai perjanjian penghindaran pajak berganda dengan Belanda dimulai tahun 1970-an dan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda ini selain sebagai perjanjian untuk menghindarkan pajak berganda, juga sebagai upaya Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain. Semakin berkembangnya perekenomian global, perjanjian penghindaran pajak berganda ini diamandemen beberapa kali hingga tahun 2002. Namun renegosiasi ini belum selesai dan akan terus terjadi, selama perekonomian global terus berkembang dan undang-undang pajak penghasilan terus berubah menyesuaikan kondisi masing-masing negara.

Global economic and transnational of investment flows growing very fast. The rapid grow of transnational of investment flows bring both benefits and. In term of taxation, transnational investment could lead to double tax collection by both of the countries to same tax object. This is due to jurisdiction of the country in collecting taxes on citizens residing in foreign countries to invest and foreign citizens who invest in the country. This situation led to an same tax object of is taxed by both countries. So business people trying to do the avoidance of double taxation. This can lead to loss of potential tax revenues of a country. One of the solutions to this problem is to make a tax treaty between two countries.
In the tax treaties typically follow a model that already exist and are used widely known in the world such as the OECD model (model developed by the Organization for Economic Cooperation and Development) and UN model (model developed by the United Nations). Each of model has its differences, especially in the right to tax by the country. But all returned to the negotiation between the two countries in determining the content of articles in their tax treaty. Indonesia itself has been negotiated the first tax treaty with the Netherlands began in the 1970s and within tax treaty is in addition to a treaty to avoid double taxation, as well as Indonesia's efforts to gain recognition from other countries. The continued development of global economies, this double taxation avoidance agreement was amended several times until 2002. However, renegotiation is not completed and will continue to occur, as long as the global economic continues to grow and the income tax law continue to change adjusting the conditions of each countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1330
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Choirul Wicaksono
"Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Perusahaan swasta asing hanya boleh melakukan usaha di industri hulu yang meliputi eksplorasi dan eksploitasi melalui Contract Production Sharing (KPS).
Dengan usaha yang dijalankan Kontraktor KPS asing di Indonesia akan menimbulkan Pajak Berganda akibat adanya benturan yurisdiksi pemajakan. Dalam rangka mengeliminasi Pajak Berganda biasanya dirumuskan Perjanjian atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) termasuk P3B antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Perancis.
Dari uraian permasalahan di atas, maka research questions dari tesis ini adalah bagaimanakah implementasi P3B antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Perancis terhadap pengenaan P Ph kepada Kontraktor KPS Perancis dan permasalahan apa sajakah yang timbul dalam implementasi P3B dalam pengenaan PPh kepada Kontraktor KPS Perancis?"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fauzi
"Direktorat Jenderal Pajak sebagai unsur dari Administrasi Perpajakan dituntut untuk dapat menyelenggarakan suatu sistem perpajakan yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 yakni Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi "Segala Pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang." Sistem perpajakan terdiri dari tiga unsur pokok yang meliputi (i) kebijakan perpajakan (tax policy); (ii) undang-undang perpajakan (tax laws); dan (iii) administrasi perpajakan (tax administration). Ketiga unsur tersebut saling berkait dan menunjang satu sama lain bagi terselenggaranya pemungutan pajak.
Administrasi perpajakan mempunyai peran penting dalam rangka menunjang keberhasilan suatu kebijakan perpajakan yang telah diambil. Kebijakan perpajakan yang secara formal dirumuskan dalam undang-undang dan peraturan perpajakan harus didukung oleh administrasi perpajakan yang baik. Administrasi perpajakan menentukan berhasil tidaknya sistem dan kebijakan perpajakan yang diambil oleh suatu negara.
Suatu pemungutan pajak yang baik harus menjamin adanya suatu kepastian hukum bagi wajib pajak. Untuk dapat memberikan sualu kepastian hukum, peraturan perpajakan harus mengatur secara jelas, tegas, dan tidak multi tafsir sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan oleh wajib pajak. Dengan demikian sarana dan prosedur bagi suatu pemungutan pajak harus diatur dan dituangkan dalam peraturan perpajakan sehingga dapat mendorong upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Tesis ini bertujuan unluk menganalisis tentang persyaratan bagi wajib pajak dalam negeri dari suatu negara mitra perjanjian untuk dapat menikmati treaty benefits sehubungan dengan penghasilan berupa bunga, dividen dan royalti dari sumber-sumber penghasilan di Indonesia. Untuk dapal diterapkannya ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara-negara mitra perjanjian, terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh wajib pajak daiam negeri dari negara mitra perjanjian untuk dapat menikmati treaty benefits (fasilitas PBB).
Dalam pelaksanaannya, ketentuan P3B disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak untuk mendapatkan treaty benefits tersebut dengan cara melakukan treaty shopping, yakni mendirikan Suatu conduit company di negara treaty partner. Ketentuan perpajakan Indonesia belum mengatur secara lengkap dan jelas persyaratan-persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh pihak yang meminta treaty benefits tersebut, sehingga menimbulkan persengketaan antara wajib pajak dengan pihak fiskus. Untuk memberikan kepastian hukum, Direktorat Jenderal Pajak perlu membuat suatu peraturan perpajakan dan sistem administrasi perpajakan yang jelas dan mudah dipahami sehingga dapat dilaksanakan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Dalam menganalisis pelaksanaan pemberian treaty benfits sehubungan dengan penghasilan bcmpa bunga, dividen dan royalti dari sumber-sumber penghasilan di Indonesia, penulis melakukan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Data dan temuan berupa informasi dan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan Iapangan, yakni wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait dengan masalah tersebut, dianalisis untuk memecahkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan.
Berdasarkan teori dan pendapat para ahli perpajakan intemasional dapat disimpulkan bahwa pemberian treaty benefits dimaksud harus memenuhi persyaratan materiil berupa residency requirements dan beneficial ownership requirements. Sedangkan prosedur untuk mendapatkan treaty benefits dimaksud yang merupakan persyaratan formal atau administratif adalah dengan menyampaikan sertifikat yang diterbilkan oleh Competent Authority di negara mitra perjanjian yang menyatakan bahwa wajib pajak dimaksud berdomisili di negara mitra perjanjian dan merupakan beneficial owner dari penghasilan dimaksud.
Sebagai upaya menciptakan sistem perpajakan yang baik dan memberikan kepastian hukum, disarankan agar Direktorat Jenderal Pajak memberikan pengaturan tentang persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang meminta treaty benefits berupa sertifikat yang diterbitkan oleh tax authority di negara domisilinya Sertifikat tersebut harus memberikan informasi mengenai dasar penetapan Status resident Wajib Pajak Dalam Negeri di negara mitra perjanjian dan merupakan beneficial owner dari penghasilan yang bersumber di Indonesia beserta informasi yang mendasarinya.

The Directorate General of Taxation as one of the element in tax administration are emphasized to run a taxes system based on Undang-Undang Dasar 1945 (highest regulation in Indonesia) article 23 point 2, that says "all taxes for country revenue are based on Undang-Undang (supreme regulation after the Undang-Undang Dasar 1945 in Indonesia)." The tax system in Indonesia consist of three main elements, which is (i) taxes policies; (ii) tax laws; and (iii) tax administration. All of this three elements are connected and working with synergy in collecting revenues for the country.
Tax administration play a significant roles in sustaining a succesfull tax policy. Tax policy that formally planned in Undang-Undang dan tax regulation need to be supported by excellent tax administration. Tax administration will defined whether the implementation of taxes system and tax policy in a country will be succed or not.
A good tax collection must ensure a certainty of law for the taxpayer. To do such thing, the tax regulation must be clear enough to reduce ambiguity in interpretation. This way, the procedure and tools for tax collection must be formally written in tax regulation so it can improve overall compliance level of the taxpayer and increase the revenues for the country.
The goals of this thesis is to analyze the requirements for resident taxpayer from a treaty partner to enjoy the treaty benelits from interests, dividends, and royalies revenue received from Indonesia. To implement the Double Taxation Agreement (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) between Indonesia and treaty partners, there are some requirements that must be met by the resident taxpayer.
In practice, the agreement are misused by parties with no rights to do so, they done it by conducting a treaty shopping, creating a conduit company in treaty partners.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22193
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library