Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nainggolan, Hunter Design
Abstrak :
Latar belakang. Pasien sakit kritis berada dalam kondisi katabolik yang menyebabkan ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan protein sehingga dibutuhkan asupan protein yang adekuat untuk mempertahankan massa otot, meningkatkan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen. Ophiocephalus striatus (OS) mempunyai potensi sebagai sumber protein karena mengandung asam amino, asam lemak, mineral, dan vitamin. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari pemberian suplementasi ekstrak OS terhadap luas penampang otot rektus femoris, bisep brakii, kadar prealbumin, dan imbang nitrogen pasien sakit kritis dengan ventilator. Metodologi. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain uji acak terkontrol yang dilakukan terhadap pasien usia 18-65 tahun yang menggunakan ventilator di intensive care unit (ICU) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak bulan Juli sampai dengan Oktober 2019 ICU. Sebanyak 42 subjek dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok ekstrak (n=19) mendapatkan suplementasi ekstrak OS 15 g/hari, yang diberikan sejak hari kedua sampai dengan hari keenam. Kelompok kontrol (n=23) tidak mendapatkan suplementasi tersebut. Pengukuran luas penampang otot, pemeriksaan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen dilakukan pada hari pertama dan hari ketujuh. Hasil. Terjadi peningkatan luas penampang otot rektus femoris pada kelompok ekstrak (p=0,038) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,006) disertai perbedaan bermakna antara dua kelompok (p=0,001). Terjadi peningkatan luas penampang otot bisep brakii pada kelompok ekstrak (p=0,033) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar prealbumin pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,023) disertai perbedaan peningkatan yang bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar imbang nitrogen pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan peningkatan yang tidak bermakna antara kedua kelompok (p=0,685). Kesimpulan. Pemberian suplementasi ekstrak Ophiocephalus striatus secara signifikan dapat meningkatkan luas penampang otot rektus femoris, otot bisep brakii, dan kadar prealbumin pada pasien sakit kritis. ......Background. Critically ill patients are in catabolic conditions that have imbalances in protein synthesis and breakdown. Thus, they require adequate protein intake to maintain the muscle mass and to increase the prealbumin levels and nitrogen balance. Ophiocephalus striatus (OS) is a potential source of proteins since it contains high amount of amino acids, fatty acids, minerals, and vitamins. This study was aimed to measure the effect of OS extract supplementation on cross-sectional area (CSA) of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance in critically ill patients with ventilator. Methods. This was a randomized controlled clinical trial study involving patients aged 18-65 years old with ventilator in intensive care unit (ICU) Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between July until October 2019. In total, 42 subjects were randomized into two groups. Extract group (n=19) recieved 15 g of OS extract supplementation daily, administered from the second day to the sixth day. Control group (n=23) did not receive the extract. Measurement of CSA of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance were done in the first and the seventh day. Results. There was an increase of cross sectional area of rectus femoris in extract group (p=0.038) and a decrease in control group (p=0.006) with significant difference between the two groups (p=0.001). There was an increase of cross sectional area of biceps brachii in extract group (p=0.033) and a decrase in control group (p=0.001) with significant difference between the two groups (p<0.001). There was an increase of prealbumin levels in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p=0.023), with a significant difference of increase between the two groups (p<0.001). There was an increase of nitrogen balance in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p<0.001), with an insignificant difference of increase between the two groups (p<0.685) Conclusion. Administration of Ophiocephalus striatus extract supplementation can significantly increase the cross-sectional area of rectus femoris and biceps brachii, and the prealbumin levels in critically ill patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robertson, John A.
Toronto: Bantam Books, 1983
323.4 ROB r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimatuzzuhroh
Abstrak :
Latar belakang : Skor PELOD-2 digunakan untuk mengetahui prognosis disfungsi organ pada anak sakit kritis. Hasil skor PELOD-2 terkadang tidak berbanding lurus dengan luaran perawatan sehingga tidak selalu dapat digunakan sebagai prediktor luaran pasien yang dirawat di PICU. Tujuan : Mengetahui profil dan luaran pasien sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM berdasar skor PELOD-2. Metode : Penelitian retrospektif dengan mengambil data rekam medis pasien rawat di PICU RSCM, periode Januari-Desember 2018 secara total sampling. Penilaian skor PELOD-2 pada 24 jam pertama perawatan, komorbid dan luaran subjek dicatat dalam rekam medis. Hasil : Diperoleh 477 subjek yang memenuhi kriteria. Pasien sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM sebagian besar berjenis kelamin laki (56,4%) dan berusia <1 tahun (27,9%), dengan bedah sebagai diagnosis terbanyak (65%). Sebagian besar pasien memiliki penyakit kronik (70,4%). Nilai median skor PELOD-2 2 untuk pasien hidup dan median skor 8 untuk pasien meninggal. Angka mortalitas adalah 10,7%. Sebagian besar subjek memiliki lama rawat <7 hari (75,5%). Subjek dengan lama rawat >14 hari memiliki median skor PELOD-2 tiga kali lipat dari subjek dengan lama rawat <7 hari. Subjek meninggal memiliki median skor PELOD-2 empat kali lipat lebih tinggi dari subjek hidup. Adanya luaran mortalitas dan lama rawat subjek yang tidak sesuai dengan skor PELOD-2 kemungkinan dipengaruhi oleh status nutrisi dan status imun. Titik potong mortalitas skor PELOD-2 pada penelitian ini adalah >5, dan titik potong mortalitas skor PELOD-2 pasien sepsis >7. Simpulan : Skor PELOD-2 dapat digunakan untuk memprediksi prognosis disfungsi organ yang mengancam kehidupan pada anak tanpa imunosupresi, semakin tinggi skor PELOD-2 akan diikuti peningkatan lama rawat dan mortalitas. ......Background: PELOD-2 score is stated can be used to discover prognosis of organ dysfunction in critically ill child. Sometimes PELOD-2 score does not always directly proportional to critically ill child s outcome, therefore sometimes can not be used as outcome and mortality predictor. Objective: To describe critically ill patient s profile and outcome of based on PELOD-2 score. Methods: This descriptive study was retrospective, conducted from January to December 2018 in PICU RSCM by total sampling. Evaluation of PELOD-2 score were performed in the first 24 hours. Subjects comorbid and outcome were stated in medical record. Results: There were 477 subjects that fulfilled the criteria. Most of the subjects were boys (56,4%) and under 1 year of age (27,9%) with surgical were the most common diagnosis (65%). Most of the subject have chronic illness as comorbid (70,4%). Median of PELOD-2 score were 2 for subjects that lived and 8 for subjects that died. Mortality rate is 10,7%. Most of the subjects were stayed in PICU for < 7 days (75,5%). Subjects with length of stay >14 days had median PELOD-2 score 3 times higher than the subjects with length of stay <7 days. Died subjects had median PELOD-2 score 4 times higher than the subjects that lived. The subjects mortality and length of stay that not in accordance with the PELOD-2 score may be influenced by subjects nutritional and immunity status. Mortality cut off point for PELOD-2 score in this study is >5. Mortality cut off point for PELOD-2 for subjects with sepsis is >7 Conclusion: PELOD-2 score is feasible to be used to predict life threatening organ dysfunction in critically ill children without immunosuppression, the higher the PELOD-2 score is equal to higher mortality and longer length of stay.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57773
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rahmania Yulman
Abstrak :
Malnutrisi pada anak sakit kritis dalam perawatan intensif menjadi masalah dalam beberapa dekade terakhir dan berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas. Hingga kini, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) belum memiliki panduan baku mengenai dukungan nutrisi anak sakit kritis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui profil pemberian nutrisi enteral (NE) dan waktu pencapaian resting energy expenditure (REE) di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RSCM dan faktor-faktor yang memengaruhi. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan data rekam medis anak sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM pada tahun 2017-2018. Waktu inisiasi pemberian NE dan pencapaian REE serta faktor-faktor yang memengaruhi pemberian tersebut dicatat dan dilakukan analisis multivariat untuk mencari faktor risiko yang bermakna. Terdapat 203 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 120 subyek berjenis kelamin lelaki (59,1%), dengan median usia adalah 35 bulan (rentang usia 1-209 bulan). Kasus bedah terdapat pada 125 subyek (61,6%) dan status gizi normal terdapat pada 87 subyek (42,9%). Prevalensi pemberian NE dini adalah 63,1%, dan pencapaian kalori REE ≤72 jam adalah 67,5%, dengan median 48 jam. Faktor risiko yang menghambat pemberian NE dini adalah pasca-bedah abdomen, penggunaan inotropik, penggunaan ventilator, gejala gastrointestinal sebelum inisiasi, dan status gizi tidak normal dengan odds ratio (OR) 10,89 (IK 95% 4,31-27,50; p=0,009), 4,60 (IK 95% 1,78-11,90; p=0,002), 4,18 (IK 95% 1,56-11,17; p=0,004), 3,40 (IK 95% 1,59-7,29; p=0,002), 2,49 (IK 95% 1,09-5,72; p=0,031). Faktor risiko yang menghambat pencapaian kalori REE ≤72 jam adalah pemberian NE lambat, intoleransi pemberian enteral berupa gejala gastrointestinal dan skor PELOD-2 ≥7 dengan OR 20,62 (IK 95% 6,48-65,65; p=0,000), 14,77 (IK 95% 4,40-49,60; p=0,000), 3,98 (IK 95% 1,01-15,66; p=0,048). Prevalensi pemberian NE dini pada anak sakit kritis di PICU RSCM cukup baik dengan waktu pencapaian REE sesuai dengan target. Faktor terbanyak penghambat pemberian NE dini adalah kondisi pasca-bedah abdomen, sedangkan faktor penghambat pencapaian REE ≤ 72 jam terbanyak adalah pemberian NE lambat. ......Malnutrition of critically ill children remains a major problem that is closely related to high morbidity and mortality in pediatric intensive care unit (PICU) during the last decades. The protocol of nutritional support for critically ill children in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) has not yet been developed. The study is aimed to evaluate the enteral nutrition (EN) profile, the duration to achieve resting energy expenditure (REE) and number of influencing factors associated with the late EN administration and late REE achievement. The data were collected retrospectively from medical records during the year 2017 to 2018 in PICU CMH. We assessed the timing of EN given and the duration of REE achieved from EN. We performed multivariate analysis to determined significant factors associated with late EN and late REE achievement. Two hundred three subjects were included. One hundred twenty subjects (59%) were boys, with median age of 35 (1-209) months old. One hundred twenty five subjects (61.6%) were post-surgical period and 87 subjects (42.9%) were in good nutritional status. The prevalence of early EN was 63.1%, and REE ≤72 hours was achieved in 67.5% subjects, with the median time was 48 hours. Significant factors inhibit early EN administration were post-abdominal surgery, ventilator use, inotropic use, gastrointestinal symptoms before initiation, and abnormal nutritional status; with OR 10.89 (95% CI 4.31 to 27.50; p=0.009), 4.60 (95% CI 1.78 to 11.90; p=0.002), 4.18 (95% CI 1.56 to 11.17; p=0.004), 3.40 (95% CI 1.59 to 7.29; p=0.002), 2.49, 95% CI 1.09 to 5.72; p=0.031), respectively. While factors inhibit the achievement of REE ≤72 hours were the late EN initiation, enteral intolerance, and PELOD-2 score ≥7 with OR 20.62 (95% CI 6.48 to 65.65; p=0.000), 14.77 (95% CI 4.40 to 49.60; p=0.000), 3.98 (95% CI 1.01 to 15.66; p=0.048), respectively. The prevalence of early EN administration with the duration to achieve REE among critically ill children in the PICU CMH was quite satisfying. The most influencing factor inhibit early EN administration was post-abdominal surgery, while the most significant factor inhibit the achievement of REE ≤72 hours was the late NE administration.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pustika Efar
Abstrak :
Latar belakang: Penentuan kebutuhan nutrisi secara tepat pada anak sakit kritis perlu dilakukan untuk menghindari underfeeding dan overfeeding. Rumus estimasi menjadi dasar perkiraan kebutuhan energi jika kalorimetri indirek sebagai baku emas tidak tersedia. Akurasi rumus pada studi terdahulu sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh karakteristik populasi setempat, sehingga akurasinya perlu diuji pada populasi Indonesia. Tujuan: Mengevaluasi akurasi rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO dibandingkan kalorimetri indirek, serta mengevaluasi dampak penambahan faktor stres terhadap akurasi. Metode: Penelitian deskriptif analitik potong lintang ini mengikutsertakan pasien anak yang menggunakan ventilasi mekanik Mei sampai Juli 2019. Analisis kesesuaian dilakukan dengan membandingkan perhitungan rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO, dengan dan tanpa faktor stres terhadap pengukuran kalorimetri indirek. Hasil: Penelitian mengikutsertakan 52 subjek pada hari perawatan 1-5 di PICU dengan median usia 5 tahun (1 bulan 10 hari hingga 17 tahun 9 bulan). Kebutuhan energi yang diukur kalorimetri indirek adalah 60,7 ± 23,5 Kkal/kg/hari. Estimasi rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO lebih rendah dari hasil pengukuran tersebut dengan %bias berturut-turut -13 ± 19, -15 ± 20, dan -16 ± 21. Nilai estimasi dan hasil pengukuran kalorimetri indirek berkorelasi kuat (intraclass correlation coefficient r > 0,9) namun interval kesesuaian (limit of agreement) dari %bias sangat lebar. Hanya 12 (23%) subjek yang memiliki nilai estimasi akurat sesuai dengan kalorimetri indirek. Pada populasi penelitian ini faktor stres meningkatkan akurasi rumus estimasi. Simpulan: Rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO tidak akurat sebagai estimasi kebutuhan energi anak sakit kritis. Hasil prediksi rumus tersebut lebih rendah dari kebutuhan aktual jika faktor stres tidak digunakan.
Background: Accurate estimation of energy expenditure in critically ill children is important to avoid underfeeding and overfeeding. Prediction formula helps to estimate energy expenditure when the gold standard indirect calorimetry is not available. Previous study on estimation accuracy yielded variable result in different population characteristics, therefore the accuracy of prediction formula in Indonesian population needs to be evaluated. Objective: To assess the accuracy of Schofield WH, Schofield W, and WHO formula compared to indirect calorimetry. To evaluate the impact of additional stress factor on the accuracy of prediction formula. Methods: This is a descriptive analytic cross-sectional study on mechanically ventilated critically ill children held in May-July 2019. We analyze the agreement of measured energy expenditure using indirect calorimetry and estimated energy expenditure calculated by Schofield WH, Schofield W, and WHO formula, with and without additional stress factor. Results: This study included 52 subjects with median age 5 years old (1 month 10 days -17 years 9 months) on day 0-5 after they were admitted to PICU. Mean measured energy expenditure was 60,7 ± 23,5 Kcal/kg/day. All estimated energy expenditure by Schofield WH, Schofield W, and WHO were lower than measured energy expenditure with % bias of -13 ± 19, -15 ± 20, and -16 ± 21, respectively. Estimated and measured value have strong correlation (intraclass correlation coefficient r > 0.9) but the limit of agreement interval is too wide. Only 12 (23%) subjects have accurate estimation of energy expenditure. In this population stress factor improves the accuracy of prediction formulas. Conclusion: Schofield WH, Schofield W, and WHO formula have poor accuracy in estimating energy expenditure in critically ill children. Without additional stress factor, the estimated value were lower than actual/measured energy expenditure
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Darma Putra
Abstrak :
Penggunaan ventilasi mekanis pada pasien kritis tidak dapat dihindarkan namun dapat menyebabkan ventilator-induced lung injury (VILI) dan ventilator-induced diaphragm dysfunction (VIDD). Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara volume tidal rendah (6 ml/kgBB) dan tinggi (10 ml/kgBB) terhadap disfungsi diafragma. Penelitian ini merupakan sebuah randomized controlled trial yang dilakukan di ruang perawatan intensif, RS Cipto Mangunkusumo. Pasien secara random masuk ke kelompok volume tidal 6 ml/kgBB dan 10 ml/kgBB, dan diikuti selama 72 jam (3 hari) untuk dinilai adanya disfungsi diafragma. Disfungsi diafragma dinilai menggunakan alat ultrasonografi, menggunakan kriteria ekskursi dan fraksi ketebalan diafragma. Variabel lain yang dinilai dalam penelitian ini ialah kadar interleukin-6.Sebanyak 52 pasien dilakukan randomisasi. Sebanyak total 45 pasien menyelesaikan studi. Tidak terdapat perbedaan karakteristik dasar sampel pasien pada kedua kelompok volume tidal. Sebanyak 37.8% pasien mengalami disfungsi diafragma pada hari ketiga. Tidak terdapat perbedaan proporsi disfungsi diafragma pada kedua kelompok volume tidal baik menggunakan kriteria ekskursi, fraksi ketebalan, maupun salah satunya. Terdapat perbedaan rerata interleukin-6 hari nol antara kelompok dengan dan tanpa disfungsi diafragma hari ketiga sebesar 332.29 pg/mL (p=0.024). Sebagai kesimpulan, volume tidal 6 ml/kgbb dan 10 ml/kgbb tidak berbeda dalam mencegah disfungsi diafragma pada pasien kritis. Interleukin-6 memiliki pengaruh terhadap disfungsi diafragma. ......The use of mechanical ventilation is inevitable for critically ill patients yet it causes tremendous side effect of ventilator-induced lung injury (VILI) and ventilator-induced diaphragm dysfunction (VIDD). This study is aimed to examine the effect of low tidal volume (6 ml/kgBW) and high tidal volume (10 ml/kgBW) to diaphragm dysfunction. This is a randomized controlled trial conducted at intensive care unit (ICU) of Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients were randomly allocated to tidal volume of 6 ml/kgBW or 10 ml/kgBW and were followed for 72 hours (3 days). At the end of the 72 hours, patients were assessed for diaphragm dysfunction. Diaphragm dysfunction is assessed by ultrasonography with excursion and thickness fraction criteria. Interleukin-6 was also examined. Of 52 patients who were randomized, 25 were on 6 ml/kgBW group and 27 were on the other. There were 45 patients finishing the study. The baseline characteristics of the sample was not different among the two groups. We found 37.8% patients with diaphragm dysfunction on day-3 but no significant proportion difference among the two groups. Diaphragm dysfunction was assessed with excursion, fraction of thickness criteria. We found 332.29 pg/mL mean difference between interleukin-6 on patients with and without diaphragm dysfunction on day-3 (p=0.024). In conclusion, tidal volume of 6 ml/kgBW and 10 ml/kgBW is not different in preventing diaphragm dysfunction on critically ill.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismi Kusumawati
Abstrak :
Latar Belakang: Penyebab tertinggi kedua kematian di ICU adalah penyakit infeksi, yang ditandai dengan keseimbangan nitrogen negatif. Asupan nutrisi meningkatkan sintesis protein dan meningkatkan keseimbangan nitrogen negatif tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan imbang nitrogen dan perbaikan infeksi pada pasien sakit kritis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan kohort prospektif. Pengambilan subjek dilaksanakan di ruang ICU, high care unit, dan ruang rawat non sakit kritis di RSCM dan RSUI. Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, diagnosis penyakit utama, penyakit komorbid, penggunaan antibiotik, asupan energi dan protein. Analisis beda rerata dilakukan untuk menilai selisih imbang nitrogen dengan perbaikan infeksi pada pasien sakit kritis dengan uji Mann-Whitney. Hasil: Sebanyak 42 subjek merupakan pasien dewasa sakit kritis di ICU, sebagian besar adalah laki-laki sebanyak 27 orang (64,3%). Median usia subjek penelitian ini adalah 47 (19-60) tahun dengan berat badan (BB) kurang berjumlah 14 orang (33,3%). Rerata BB dan tinggi badan secara berturut-turut adalah sebesar 57,29±17,73 dan 162,6±7,93. Subjek penelitian terbanyak tidak memiliki komorbid dengan jumlah 20 orang (47,6%). Seluruh subjek penelitian mendapatkan terapi antibiotik 42 orang (100%). Asupan protein awal adalah 0,39 (0,0-1,1) kkal/kgBB dan asupan protein akhir adalah 0,72±0,34 kkal/kgBB. Imbang nitrogen 48 jam pertama di ICU adalah -6,84 (-25,4; 1,6), rerata imbang nitrogen hari ke-7 adalah -5±4,09 dengan selisih imbang nitrogen adalah 2,4 (-11,8; 27,8). Selisih imbang nitrogen pasien yang mengalami perbaikan infeksi adalah 3,97 (-11,8; 14,5) (p <0,05), dengan pasien yang mengalami perbaikan infeksi adalah 30 orang (71,4%). Kesimpulan: Perbaikan imbang nitrogen secara bermakna memperbaiki infeksi pada pasien sakit kritis. ......Background: The second highest cause of death in the ICU is infectious diseases, which are characterized by negative nitrogen balance. Nutrient intake increases protein synthesis and improves the negative nitrogen balance. This study aims to determine the difference between nitrogen balance and improvement of infections in critically ill patients. Method: This research is a study with a prospective cohort design. Subject retrieval was carried out in the ICU and post-ICU wards at RSCM and RSUI. Characteristics of research subjects include age, gender, nutritional status, diagnosis of main disease, comorbid diseases, use of antibiotics, energy and protein intake. Mean difference analysis was carried out to assess the difference between nitrogen balance and improvement in infection in critically ill patients using the Mann-Whitney test. Results: A total of 42 subjects were critically ill adult patients in the ICU, most of them were men, 27 people (64.3%). The median age of the research subjects was 47 (19-60) years with 14 people (33.3%) underweight (BW). The mean weight and height respectively were 57.29 ± 17.73 and 162.6 ± 7.93. Most research subjects did not have comorbidities with 20 people (47.6%). All research subjects received antibiotic therapy, 42 people (100%). Initial protein intake was 0.39 (0.0-1.1) kcal/kgBW and final protein intake was 0.72±0.34 kcal/kgBW. The first 48 hour nitrogen balance in the ICU was -6.84 (-25.4; 1.6), the average nitrogen balance on day 7 was -5 ± 4.09 with the difference in nitrogen balance being 2.4 (-11.8 ; 27.8). The difference in nitrogen balance between patients who experienced improvement in infection was 3.97 (-11.8; 14.5) (p <0.05), with patients experiencing improvement in infection being 30 people (71.4%). Conclusion: Improvement of nitrogen balance significantly improves infections in critically ill patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
Abstrak :
Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia. ......Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraini Permata Sari
Abstrak :
Latar Belakang: Jumlah pasien penyakit kritis semakin meningkat dengan mortalitas yang cukup tinggi, sehingga diperlukan model prediksi yang memiliki performa yang baik untuk memprediksi mortalitas. MSOFA adalah salah satu sistem skor yang dapat memprediksi mortalitas 28 hari. Walaupun validasi MSOFA menunjukkan hasil yang baik di berbagai negara, masih diperlukan untuk melakukan validasi di Indonesia dan mencari parameter lain untuk meningkatkan ketepatan prediksi mortalitas. Kadar magnesium darah perlu diperhitungkan penggunaannya dalam memprediksi mortalitas terutama jika ditambahkan pada skor MSOFA. Tujuan: Menilai performa kalibrasi dan diskriminasi MSOFA serta nilai tambah kadar magnesium total dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis medis di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo (UPI RSUPNCM). Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif dengan subjek penelitian pasien penyakit kritis medis yang dirawat di UPI RSUPNCM pada periode April-Juli 2013. Hasil pemeriksaan fisik, Glasgow Coma Scale, saturasi oksigen perifer, serum kreatinin dan magnesium dinilai saat pasien masuk ke UPI. Outcome dinilai saat pasien mencapai hari ke 28 setelah hari perawatan pertama. Performa kalibrasi dinilai dengan plot kalibrasi dan uji Hosmer-Lemeshow. Performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve (AUC). Kemampuan prediksi skor MSOFA bersama magnesium ditentukan dengan ROC dari nilai predicted probability terhadap mortalitas. Hasil: Sebanyak 150 pasien diikutsertakan dalam penelitian dengan angka mortalitas 33,3%. Plot kalibrasi MSOFA menunjukkan koefisien korelasi r = 0,7 dan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p = 0,08. Performa diskriminasi ditunjukkan dengan nilai AUC 0,83 (IK 95% 0,76-0,90). Kadar magnesium darah tidak memiliki nilai tambah terhadap MSOFA dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis. Simpulan: MSOFA memiliki performa kalibrasi dan diskriminasi yang baik dan kadar magnesium darah tidak memiliki nilai tambah terhadap MSOFA dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis. ......Background: Critically ill patients are increasing in number with high mortality rate and good performance of prediction model is needed to predict mortality. MSOFA is one of the scoring systems which can predict 28 days mortality. MSOFA has showed a good validation in many patients abroad, yet still need to be tested in Indonesia and improving its performance. Total magnesium serum can be used as an added value to improve MSOFA performance. Objective: To evaluate calibration and discrimination of MSOFA and magnesium as an added value to predict mortality in critically ill patients. Methods: This is a prospective cohort study of medical critically ill patient who admitted to Intensive Care Cipto Mangunkusumo Hospital. Physical examination, Glasgow Coma Scale, peripheral oxygen saturation, creatinine and magnesium serum were obtained when the patient was admitted at ICU. Outcome was assessed when patients have reached 28 days after the first day of admission. Calibration was evaluated calibration plot and Hosmer-Lemeshow test. Discrimination was evaluated with area under the curve (AUC). Prediction performance of MSOFA and magnesium were evaluated with ROC curve. Results: 150 patients was submitted to this study with mortality rate 33,3%. Calibration plot of MSOFA showed r = 0,7 and Hosmer-Lemeshow test showed p = 0,08. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0,83 (CI 95% 0,76-0,90). Magnesium total serum has no added value to MSOFA as a mortality predictor in critically ill patients. Conclusion: MSOFA has good callibration and discrimination performance, and magnesium blood level has no added value to MSOFA for predicting mortality in critically ill patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Defitra Nanda Sasmita
Abstrak :
Latar belakang. Prediktor mortalitas dapat digunakan untuk menganalisis perjalanan suatu penyakit dan memandu strategi penanggulangan penyakit, termasuk alokasi sumber daya. Skor SOFA merupakan salah satu prediktor yang menganalisis disfungsi organ, namun telah sering digunakan untuk pasien kritis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan skor SOFA dengan mortalitas 28 hari akibat COVID-19 yang dirawat di ICU. Metode. Studi ini dilakukan terhadap pasien probable dan confirmed case COVID-19 yang dirawat di ICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUI dari Maret hingga Juni 2020. Data demografis, karakteristik klinis, dan temuan laboratorium dalam 24 jam pertama di ICU digunakan untuk menghitung skor SOFA, dibandingkan dengan luaran 28 hari (hidup atau meninggal). Data diambil dari rekam medis. Kesahihan dinilai menggunakan Area Under Curve, Hosmer Lemeshow goodness of fit dan regresi logistik bivariat. Titik potong optimal ditentukan secara statistik. Hasil. Didapatkan 100 subjek yang dianalisis dengan angka mortalitas 28 hari akibat COVID-19 pada periode Maret hingga Juni 2020 sebesar 40%. Skor SOFA menunjukkan diskriminasi kuat terhadap mortalitas dengan AUC 0,839 (IK95% 0,76 - 0,92). Kemampuan kalibrasi menggunakan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan nilai p = 0,592, sehingga skor SOFA dianggap sesuai untuk memprediksi mortalitas 28 hari akibat COVID-19. Titik potong optimal dari skor SOFA adalah 6 dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 73%. Parameter kardiovaskular dan respirasi menjadi yang paling dominan dalam memprediksi mortalitas akibat COVID-19 di ICU. Simpulan. Sistem skor SOFA memiliki hubungan dengan mortalitas 28 hari akibat COVID-19 yang dirawat di ICU dan terbukti sahih sebagai prediktor mortalitas. ......Background. Mortality predictor can be used to analyze the natural history of a disease and guide the strategy of disease management, including health resources allocation. SOFA score is one of the predictors used to analyze organ dysfunction. However, SOFA score is often used for critically ill patients. This research aims to analyze the correlation between SOFA score and 28 days mortality caused by COVID-19 in the ICU. Methods. Subject of this study is critically ill COVID-19 patients with the categories of ‘probable’ and ‘confirmed’ cases in the ICU. Demographic data, clinical characteristics, and laboratorium findings in the first 24 hours in ICU are used to count the SOFA score, which is then compared to the outcome in 28 days (alive or deceased). The data is taken from medical records. Validity is measured using Area Under Curve, Hosmer Lemeshow goodness of fit, and bivariate regression logistic. Optimal cut-off point is determined statistically. Results. The mortality rate of COVID-19 in our study between March until June 2020 is 40%. SOFA score demonstrates strong discrimination towards mortality with AUC 0,78 (CI95% 0,67 - 0,89) and good calibration by using Hosmer- Lemeshow with p = 0,592. Optimal cut-off point of SOFA score is 6 with sensitivity 80% and specificity 73%. Conclusion. SOFA score has correlation with 28 days mortality due to COVID-19 in ICU, and it was valid to be used as a predictor of mortality.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>