Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Torringa, R.A.
Arnhem: Gouda Quint BV, 1984
BLD 346.015 TOR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Torringa, R.A.
Arnhem: Gouda Quint BV, 1988
BLD 346.015 TOR r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Stacia Faustine
Abstrak :
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat independen sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Independensi hakim juga termasuk kebebasan untuk membuat hukum dalam putusannya (juga dikenal sebagai hukum yang dibuat hakim atau pembuatan hukum yudisial) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran dari hakim dalam pembuatan hukum yudisial semakin penting ketika hukum tidak jelas atau tidak lengkap. Peraturan pertanggungjawaban pidana perusahaan memiliki hubungan yang erat ketika itu sampai pada pembuatan hukum yudisial karena belum diatur dalam Pidana Indonesia Kode (KUHP). Penerimaan perusahaan sebagai subjek kriminal dan karenanya dapat pertanggungjawaban pidana yang terjadi secara bertahap dan simultan dalam tiga tahap dalam berbagai hukum di luar KUHP. Sehubungan dengan tindak pidana korporasi, para hakim di Pengadilan Tinggi Kasus Suwir Laut (2012) dan Indar Atmanto (2014) menjatuhkan sanksi pidana terhadap pihak yang tidak dikenakan biaya, yaitu Asian Agri Group dan PT. IM2, masing-masing. Itu keputusan dua kasus kriminal perusahaan telah mencapai tingkat kasasi dan memiliki kekuatan hukum permanen. Pada tahun 2017 dan 2018, Mahkamah Agung Indonesia mengeluarkan a pernyataan bahwa dua putusan, di mana perusahaan tidak dituntut tetapi dihukum, sebagai a bentuk pembuatan hukum yudisial. Penelitian ini berfokus pada dua perusahaan sebelumnya kasus pidana ketika dikaitkan dengan wewenang hakim untuk pembuatan hukum peradilan, peraturan mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan di Indonesia jika dibandingkan dengan Belanda dan Indonesia Inggris Raya, dan menganalisis pembuatan hukum peradilan oleh hakim dalam setiap kasus. Ini Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif, disertai dengan a pendekatan komparatif. Hasil penelitian pada kedua kasus menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidaklengkapan undang-undang di Indonesia telah mendorong hakim untuk membuat hukum dalam keputusan mereka ketika dihadapkan dengan kasus-kasus kejahatan perusahaan. Namun, hakim yang dibuat hukum dalam kasus pidana memiliki batasan dalam bentuk prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan pembatasan mayor-minor. Pengenaan keputusan pidana terhadap perusahaan yang bahkan tidak didakwa adalah hasil tidak hanya dari ketidakjelasan dan kekosongan hukum terkait dengan tindakan kriminal perusahaan, tetapi juga dari hakim kurangnya pemahaman dalam tanggung jawab pidana perusahaan dan adanya batasan pada pembuatan hukum yudisial itu sendiri. Hal ini menyebabkan para hakim akhirnya melampaui batas peradilan pembuatan hukum. Pada akhirnya, vonis terhadap korporasi yang tidak dituntut bukan merupakan bagian pembuatan hukum yudisial.
Judges as executors of judicial power are independent as regulated in Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Independence of judges also includes freedom to make laws in their decisions (also known as laws made by judges or judicial making) as referred to in Article 4 paragraph (1), Article 5 paragraph (1), and Article 10 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The role of judges in judicial lawmaking is increasingly important when the law is unclear or incomplete. The company's criminal liability regulations have a close relationship when it comes to making judicial law because it has not been regulated in the Indonesian Criminal Code (KUHP). The company acceptance as a criminal subject and therefore criminal liability that occur gradually and simultaneously in three stages in various laws outside the Criminal Code. In connection with corporate criminal acts, the judges in the High Court of the Suwir Laut Case (2012) and Indar Atmanto (2014) imposed criminal sanctions on parties who were not charged, namely the Asian Agri Group and PT. IM2, respectively. That decision of two criminal cases the company has reached the level of cassation and has permanent legal force. In 2017 and 2018, the Indonesian Supreme Court issued a statement that two decisions, in which the company was not prosecuted but were convicted, were a form of judicial law making. This research focuses on the two previous company criminal cases when linked to the judges authority to make judicial laws, regulations regarding criminal liability of companies in Indonesia when compared to the Netherlands and Indonesia Great Britain, and analyze judicial law making by judges in each case. This research is a qualitative research using normative juridical methods, accompanied by a comparative approach. The results of the research in both cases show that the unclear and incomplete laws in Indonesia have encouraged judges to make law in their decisions when faced with corporate crime cases. However, the judge made the law in a criminal case has limitations in the form of the principle of legality as regulated in Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code and major-minor restrictions. The imposition of a criminal decision against a company which is not even charged is the result not only of obscurity and legal vacuum related to corporate criminal acts, but also from judges' lack of understanding of corporate criminal liability and limitations on the making of judicial law itself. This caused the judges to finally go beyond the judicial limits of lawmaking. In the end, a verdict against a corporation that is not prosecuted is not part of judicial law making.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Moh. Helmi Syarif
Abstrak :
ABSTRAK
Terjadinya kecelakaan atas transportasi massal yang menimbulkan banyaknya korban meninggal dunia, adakalanya ditengarai karena ulah manajemen, seperti misalnya perusahaan otobus, yang tidak secara teratur melakukan pemeriksaan kelaikan alat transportasinya, atau tidak memenuhi kelayakan teknis dengan tujuan menghemat biaya investasi yang mana perbuatan itu pada akhirnya dapat mengabaikan faktor keselamatan penumpang bus dan pengguna jalan yang lain, sehingga mengakibatkan kecelakaan yang fatal yang banyak orang meninggal atau luka-luka. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diundangkan tanggal 22 Juni 2009 memunculkan perspektif baru dalam hukum pidana menyangkut pertanggungjawaban pidana bagi perusahaan angkutan umum sebagaimana ketentuan di pasal 315 ayat (1) yang menyatakan dalam hal tindak pidana dilakukan oleh perusahaan angkutan umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap perusahaan angkutan umum dan/atau pengurusnya. Namun demikian, walaupun pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan umum sudah diatur dalam ketentuan pidana, dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum, para penegak hukum masih saja menempatkan pengemudi kendaraan sebagai subyek tindak pidana yang harus bertanggungjawab secara pidana. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi dalam ketentuan pidana yang mengatur Perusahaan Angkutan Umum di Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009, dapatkah ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dipergunakan untuk menjerat perusahaan angkutan umum dalam kasus kecelakaan lalu lintas, apakah yang menjadi hambatan dalam penegakan hukum terhadap perusahaan angkutan umum dalam kasus tindak pidana lalu lintas. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Perusahaan Angkutan Umum sebagai subjek tindak pidana hanya diatur di 3 (tiga) pasal saja yaitu pasal 308 yang mengatur tentang pelanggaran izin trayek, pasal 309 tentang pelanggaran karena tidak mengikuti asuransi ganti kerugian kepada penumpang dan pasal 313 karena pelanggaran karena tidak mengasuransikan penumpang dan awak kendaraannya. Secara teoritis, ajaran/doktrin Identifikasi dapat diterapkan di Pasal 308 dalam ketentuan pelanggaran izin trayek, yang mana ketentuan ini mensyaratkan adanya directing mind walaupun pelaku fisiknya adalah pengemudi angkutan umum. Doktrin Strict Liability dapat digunakan dalam pasal 309 serta pasal 313. Namun demikian pasal-pasal tersebut tumpang tindih atau berbenturan dengan pasal 199, yang mana pasal ini mengatur ketentuan yang sama hanya sanksinya berupa sanksi administratif. Berdasarkan analisa contoh kasus, secara teoritis perusahaan angkutan umum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam hal kecelakaan yang diakibatkan ketidaklaikan kendaraan. Namun dalam dalam pelaksanaannya belum dapat dilakukan karena undang-undang tidak mengatur secara jelas dalam hal apa dan kapan perusahaan angkutan umum dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana dan hambatan yuridis belum diakuinya korporasi dalam hukum acara pidana. Perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan umum dalam undang-undang nomor 22 tahun 2009, khususnya berkaitan dengan kejahatan lalu lintas.
ABSTRACT
The occurence of the accident on mass transportation which caused many victims died sometimes suspected because of the manner of transportation transportation instrument, or not meet technical feasibility for the purpose to save the cost that where the dees ultimately don?t care about passenger safety and other road users resulting in a fatal accident that many people killed or injured. Republic Indonesia Act number 22/2009 on traffic and road transportaion which was enacted on 22 June 2009, led to a new perspective in the criminal law regarding criminal responsibility for transportation companies as stipulated in article 315 paragraph (1) expressed in terms of the offenses are committed by public transport companies, the criminal charges aganist the public trasport company and/or managers. Despite, the criminal liability of transportation companies is subjected to the provisions of criminal, in case of traffic accidents involving trasportation companies, the law enforcer is still only puts the driver?s vehicle as the subject of criminal act should be criminally liable. This research was conducted to answer the question of wether the doctrine of corporate criminal responsibility of criminal provisions in act no.22/2009 that regulate transportation company, can the criminal provisions in the Act No.22/2009 on road traffic and transport used to trap transportation companies in case of a traffic accident, what are the bottlenecks in the law enforcement against transportation companies in case of traffic offences. This is a normative research. The result showed that the transportation company as a criminal offense subject set at 3 articles only, namely article 308 which regulates the route permit violations, Article 309 of violations for not follow the insurance compensation to passangers, and Article 313 for violation not insuring his passanger and crew. Theoritically, doctrine of identification can be applied in violation of the provision of article 308 in the route permit, which requires a directing mind despite his physical perpetrator is transportation company drivers. Doctrine strict liablility can be used in article 309 and article 313. However, these provisions overlap or conflict with article 199, which sets out the provisions just the same which is their different in sanctions, article 199 have an administrative sanctions nor article 308 have a criminal responsibility. Based on the analysis of case, theoritically transportation company can be held accountable in a traffic accidents because of incapable and unsafe company's vehicle. But in its implementation, it is not success because the regulation does not set clearly in terms of what and when the transportation company can be said to commit a criminal act and there is legal barriers the corporation have not admitted in the act of criminal trial procedure. It is necessary to improve criminal liability of transportation company in act number 22/2009, particularly with regard to traffic crimes.
2013
T32590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwidja Priyatno
Abstrak :
Legislative policy on corporate criminal liability system in Indonesia.
Bandung: UTOMO, 2004
345 DWI k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fisse, Brent
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1993
346 FIS c (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muladi, 1943-
Jakarta: Kencana, 2010
346.066 MUL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sutan Remy Sjahdeini
Abstrak :
On corporate crimes in Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2017
345.02 SUT a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library