Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Miranti Rizkita Utami
Abstrak :
[Salah satu tugas dan fungsi Bank umum adalah menyalurkan kredit kepada masyarakat. Selain usaha yang dibiayai oleh Bank (first way out), pihak Bank pun meminta jaminan dari debitur (second way out) sebagai dasar pertimbangan dalam memberikan kredit kepada debitur. Dalam hal debitur wanprestasi dengan tidak dapat membayar kewajibannya kepada Bank, maka pihak Bank memiliki hak untuk mengeksekusi agunan kredit milik debitur tersebut. Berdasarkan pasal 12A Undang-undang no. 10 tentang Perbankan yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang no. 7 tahun 1992, Bank umum dapat membeli sebagian ataupun seluruh agunan milik debitur macet dengan ketentuan harus menjual kembali agunan tersebut paling lambat 1 (satu) tahun setelah pembelian. Ketentuan tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan penulis, apakah penyelesaian kredit macet melalui pembelian agunan oleh pihak Bank sudah sesuai dengan tujuan penyelesaian kredit?, Mengapa penyelesaian kredit harus menguntungkan pihak debitur dan pihak Bank? Dan Apakah keuntungan yang di terima debitur dan Bank dengan penyelesaian kredit macet melalui pembelian agunan oleh Bank? Hasil analisa dari penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam melakukan penyelesaian kredit harus dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak yaitu debitur dan pihak Bank karena dengan Debitur merasa diuntungkan dengan proses recovery yang cepat, maka memperkecil kemungkinan bertambahnya outstanding kredit debitur pada Bank, dan juga memperkecil kemungkinan terjadinya permasalahan yang diselesaikan secara jalur hukum. Pihak Bank, merasa di untungkan dengan cepat nya proses recovery maka mengurangi kemungkinan resiko kredit yang terjadi dan juga akan semakin cepatnya pengembalian pencadangan (CKPN). Pembelian agunan kredit macet oleh Bank tidak dapat diaplikasikan dalam penyelesaian kredit macet di Bank X dan dianggap tidak sesuai dengan tujuan penyelesaian kredit macet yang harus menguntungkan kedua belah pihak, baik Debitur maupun pihak Bank. Pembelian agunan kredit macet oleh pihak Bank dinilai lebih rumit prosesnya dan mengeluarkan banyak biaya, serta dianggap hanya menguntungkan bagi pihak debitur saja, sehingga tidak sejalan dengan tujuan penyelesaian kredit yang harus menguntungkan kedua belah pihak debitur dan Bank. Dengan dilakukannya penyelesaian kredit macet melalui pembelian agunan oleh pihak Bank, manfaat yang diterima oleh debitur adalah kewajibannya kepada Bank sudah diselesaikan sehingga tidak perlu lagi direpotkan mencari pembeli agunan untuk menyelesaikan kewajibannya kepada Bank. Bagi pihak Bank, penyelesaian kredit macet melalui pembelian agunan oleh pihak Bank tidak ada manfaatnya karena dirasa lebih banyak kerugiannya antara lain kewajiban menjual kembali agunan tersebut paling lambat 1 (satu) tahun setelah pembelian sementara agunan tersebut dari debitur.;One of the duties and functions of commercial banks are lending to the public. In addition to efforts financed by the Bank (first way out), the Bank also asked for a guarantee from the debtor (second way out) as a basis for consideration in giving credit to the debtor. In case of default by the debtor is unable to pay its obligations to the Bank, then the Bank has the right to execute collateral belonging to the debtor. Based on article 12A Law no. 10 of the Banking which is a renewal of the Law no. 7 In 1992, commercial banks may buy some or all of the collateral belonging to the debtor jammed with provision must sell back the collateral no later than 1 (one) year after purchase. Such a provision raises some questions the author, whether the settlement of bad debts through the purchase of collateral by the Bank are in accordance with the purpose of settlement of credit ?, Why should credit settlement in favor of the debtor and the Bank? And Do the benefits received by the debtor and Bank settlement of bad debts through the purchase of collateral by the bank? Results of analysis of this study concluded that in the resolution of the credit should be profitable for both parties that the debtor and the Bank due to the Debtor feel disadvantaged by the process of rapid recovery, then minimize the possibility of credit outstanding increased debtors at the Bank, and also minimize the possibility of problems which resolved legal channels. The Bank, was in profitable with its fast recovery process that reduces the possibility of credit risk that occurs and will also be more rapid return on reserves (CKPN). Bad credit mortgage purchases by the Bank can not be applied in the resolution of bad loans at Bank X and deemed incompatible with the purpose of settlement of bad debts which should benefit both parties, both the Borrower and the Bank. Bad credit mortgage purchases by the Bank is considered more complicated process and a lot of money, and are considered only benefit to the debtor only, so it is not in line with the purpose of settlement of credit that should benefit both borrowers and the Bank. By doing settlement of bad debts through the purchase of collateral by the bank, the benefits received by the debtor's obligations to the Bank is already completed and thus no longer be bothered looking for buyers of collateral to settle obligations to the Bank. For the Bank, the settlement of bad debts through the purchase of collateral by the bank is useless because it feels more disadvantages include the obligation to sell back the collateral no later than one (1) year after the purchase while the collateral of the debtor, One of the duties and functions of commercial banks are lending to the public. In addition to efforts financed by the Bank (first way out), the Bank also asked for a guarantee from the debtor (second way out) as a basis for consideration in giving credit to the debtor. In case of default by the debtor is unable to pay its obligations to the Bank, then the Bank has the right to execute collateral belonging to the debtor. Based on article 12A Law no. 10 of the Banking which is a renewal of the Law no. 7 In 1992, commercial banks may buy some or all of the collateral belonging to the debtor jammed with provision must sell back the collateral no later than 1 (one) year after purchase. Such a provision raises some questions the author, whether the settlement of bad debts through the purchase of collateral by the Bank are in accordance with the purpose of settlement of credit ?, Why should credit settlement in favor of the debtor and the Bank? And Do the benefits received by the debtor and Bank settlement of bad debts through the purchase of collateral by the bank? Results of analysis of this study concluded that in the resolution of the credit should be profitable for both parties that the debtor and the Bank due to the Debtor feel disadvantaged by the process of rapid recovery, then minimize the possibility of credit outstanding increased debtors at the Bank, and also minimize the possibility of problems which resolved legal channels. The Bank, was in profitable with its fast recovery process that reduces the possibility of credit risk that occurs and will also be more rapid return on reserves (CKPN). Bad credit mortgage purchases by the Bank can not be applied in the resolution of bad loans at Bank X and deemed incompatible with the purpose of settlement of bad debts which should benefit both parties, both the Borrower and the Bank. Bad credit mortgage purchases by the Bank is considered more complicated process and a lot of money, and are considered only benefit to the debtor only, so it is not in line with the purpose of settlement of credit that should benefit both borrowers and the Bank. By doing settlement of bad debts through the purchase of collateral by the bank, the benefits received by the debtor's obligations to the Bank is already completed and thus no longer be bothered looking for buyers of collateral to settle obligations to the Bank. For the Bank, the settlement of bad debts through the purchase of collateral by the bank is useless because it feels more disadvantages include the obligation to sell back the collateral no later than one (1) year after the purchase while the collateral of the debtor]
Universitas Indonesia, 2015
T43877
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yossy Indah Pertiwi
Abstrak :
[Dalam hal debitor wanprestasi, maka sudah selayaknya kreditor dapat langsung mengeksekusi objek jaminan tersebut melalui lelang. Saat pelaksanaan lelang, siapa saja dapat menjadi peserta lelang, kecuali yang bersangkutan termasuk dalam pihak-pihak yang dilarang sebagai peserta lelang, seperti yang tercantum dalam Pasal 49 ayat (1) PMK No. 40/PMK.07/2006 jo Pasal 69 PMK No. 93/PMK.06/2010. Penulis menganalisis bagaimana keabsahan lelang yang dimenangkan oleh karyawan kreditor beserta pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor 1368K/Pdt/2011. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu menelaah norma-norma hukum tertulis yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini tidak ditemukan peraturan yang secara khusus mengatur mengenai boleh atau tidaknya karyawan kreditor menjadi peserta lelang, yang berakibat munculnya dua putusan yang berbeda mengenai hal tersebut, yaitu putusan dalam tingkat pertama dengan putusan dalam tingkat banding dan kasasi. Namun, setelah Penulis menelaah lebih dalam mengenai hal tersebut, tidak ada satu ketentuan yang melarang karyawan kreditor menjadi peserta bahkan Pembeli dalam lelang. Karyawan tersebut dapat menjadi peserta bahkan menjadi pembeli dalam lelang selama yang bersangkutan telah memenuhi seluruh kewajibannya. Dengan demikian, lelang yang telah dilaksanakan pada tanggal 18 September 2007 yang memenangkan Tergugat IV selaku karyawan kreditor adalah sah dan tidak melanggar hukum
In case when the debtor defaults, the creditor can directly execute the object of mortgage right. Currently the auction, anyone can become and join as a participant in the auction, except the concerned parties including the banned as a participant of the auction, as stated in Article 49 paragraph (1) PMK No. 40/ PMK.07/2006 in conjunction with Article 69 PMK No. 93/PMK.06/2010. The author analyzes how the validity of the auction, which was won by the creditor’s employees and how about the Judge’s consideration when made a decision No. 1368K/Pdt/2011. The method used is a normative juridical norms which examines the written law relating to the issues raised in this study. In this research, there’s no regulations specifically regarding whether or not the creditor’s employee become a participant in the auction, which resulted two different decisions from two different courts, there are Jakarta Timur’s district court with DKI Jakarta’s high court and the supreme court. However, after the author examines more deeply about that problem, there is no spesific regulation about the creditor’s employee banned as a participant in auction. As long as that employee can fulfilling all of their obligations they can become a participant or the winner of the auction. Therefore, the auction that was held on September 18, 2007 who won by the fourth defendant as a creditor’s employee is still valid because he doesn’t violates the law., In case when the debtor defaults, the creditor can directly execute the object of mortgage right. Currently the auction, anyone can become and join as a participant in the auction, except the concerned parties including the banned as a participant of the auction, as stated in Article 49 paragraph (1) PMK No. 40/ PMK.07/2006 in conjunction with Article 69 PMK No. 93/PMK.06/2010. The author analyzes how the validity of the auction, which was won by the creditor’s employees and how about the Judge’s consideration when made a decision No. 1368K/Pdt/2011. The method used is a normative juridical norms which examines the written law relating to the issues raised in this study. In this research, there’s no regulations specifically regarding whether or not the creditor’s employee become a participant in the auction, which resulted two different decisions from two different courts, there are Jakarta Timur’s district court with DKI Jakarta’s high court and the supreme court. However, after the author examines more deeply about that problem, there is no spesific regulation about the creditor’s employee banned as a participant in auction. As long as that employee can fulfilling all of their obligations they can become a participant or the winner of the auction. Therefore, the auction that was held on September 18, 2007 who won by the fourth defendant as a creditor’s employee is still valid because he doesn’t violates the law.]
Universitas Indonesia, 2015
T44375
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Valentina Hartini Lestiani Dewi
Abstrak :
[Tesis ini membahas tentang perlindungan kepada kreditur terhadap perjanjian kredit antara debitur dan kreditur dengan jaminan hak tanggungan untuk mengamankan kreditur apabila debitur cidera janji. Tetapi pada kenyataannya meskipun telah mendapat dan memegang hak tanggungan belum tentu posisi kreditur sepenuhnya aman, sebab tidak selalu hak tanggungan tersebut dapat dieksekusi sehingga mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Penelitian ini adalah yuridis normatif dengan desain preskriptif. Analisis kasus dilakukan terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 396 K/Pdt/2009 yang menyatakan bahwa kreditur tidak dapat mengeksekusi hak tanggungan yang diberikan sebagai jaminan kepadanya. Hasil penelitian menyatakan bahwa kurangnya komitmen kreditur dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian dapat mengakibatkan kerugian bagi kreditur, maka dari itu disarankan agar kreditur menjalankan semua tahapan dalam proses penilaian calon debitur sehingga kreditur mendapat perlindungan menyeluruh, dan notaris hanya bertanggung jawab sebatas kebenaran formal.;This thesis deals with protection for creditor over a credit agreement between a creditor and a debtor with security taking the form of mortgage right to protect the creditor if debtor is in default. However in practice in spite of having obtained and having held the mortgage right the position of creditor is not necessarily safe (secure), because the mortgage right is not always executable as to cause loss to creditor. This research (study) is judicially normative in prescriptive design. Case analysis is done on the Verdict of the Supreme Court Number: 396 K/Pdt/2009 stating that creditor cannot execute the mortgage right granted for him/her/its security. The research result shows that because creditor looking commitment in prudence principle may cause a loss to creditor, and therefore it is recommended that creditor should take all phases (action) in the assessment process of prospective debtor so that creditor get an overall protection and notary public is only responsible to the extent of formal authenticity., This thesis deals with protection for creditor over a credit agreement between a creditor and a debtor with security taking the form of mortgage right to protect the creditor if debtor is in default. However in practice in spite of having obtained and having held the mortgage right the position of creditor is not necessarily safe (secure), because the mortgage right is not always executable as to cause loss to creditor. This research (study) is judicially normative in prescriptive design. Case analysis is done on the Verdict of the Supreme Court Number: 396 K/Pdt/2009 stating that creditor cannot execute the mortgage right granted for him/her/its security. The research result shows that because creditor looking commitment in prudence principle may cause a loss to creditor, and therefore it is recommended that creditor should take all phases (action) in the assessment process of prospective debtor so that creditor get an overall protection and notary public is only responsible to the extent of formal authenticity.]
Universitas Indonesia, 2015
T44000
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamill Hasyim
Abstrak :
Dengan makin pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah saat ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif solusi terhadap krisis perekonomian di Indonesia Indikasi ini terlihat pada saat awal terjadi krisis perekonomian, hampir seluruh perbankan konvensional mengalami gulung tikar yang diakibatkan pada tingginya tingkat suku bunga yang berdampak pada kekurangan likuiditas, sedangkan perbankan syariah yang diawali dengan adanya Bank Muamalat Indonesia ternyata mampu bertahan terhadap krisis perekonomian dan bahkan mendapat rating A Berangkat dari kasus tersebut, saat ini banyak perbankan konvensional yang membuka Divisi Biro Syariah seperti Bank Negara Indonesia '46 (BNI Syariah), Bank Bukopin Syariah, Bank IFI syariah, BII Syariah, BRI Syariah, Bank Syariah Hardin. Dampak positif dari hadirnya perbankan syariah adalah efektifnya fungsi intermediasi perbankan yaitu dana yang dilempar pada sektor UKM (Usaha Kecil Menengah) atau dikenal dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) yang dimiliki hampir mencapai 100 %, yang berdampak langsung pada makro ekonomi yaitu meningkatnya perekonomian masyarakat dan dapat menekan tingkat pengangguran. Tingginya Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan syariah secara teoritis berkorelasi positif dengan risiko kredit yang dihadapi. Untuk menghindari terjadinya risiko kredit yang dihadapi perbankan syariah, maka perlu dilakukan penelitian atau kajian mengenai perilaku nasabah debitur dan faktor-faktor yang mempengaruhi seorang debitur dalam menentukan pembiayaan syariah sehingga risiko terjadinya kredit macet dapat diminimalisir.
Syariah banking as one of the increasing financial institution is hoped to be one of the alternative solutions to overcome the economic crisis in Indonesia. It is due to the fact of the bank's capability to survive dining the crisis where most of the conventional banks experienced bankruptcy which was caused by the high rate of interest resulting in the liquidity weaken. Bank Muamalat. Indonesia as the pioneer of syariah banking has proved it It even gains an A rating. Deriving from the above case, many of the conventional banks, nowadays, open the syariah division such as Bank Negara Indonesia '46 (BNI Syariah), Bank Bukopin Syariah, Bank IFI Syariah, BII Syariah, BRI Syariah and Bank Syariah Mandiri. The positive impact of the syariah banking existence is the effective of the intermediary function of a bank, that is the financing allocation at real sector resulting in 100% of Loan to Deposit Ratio (LDR) amount This has a direct influence in developing the community's economy and in reducing the unemployment number. Theoretically, the high amount of LDR has a positive correlation to credit risk. To avoid this a -edit risk a research on the debtor behavior and factors influencing them in determining the syariah financing is conducted so that the default risk can be minimize.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11891
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bertina Sjabadhyni
Abstrak :
Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak saja memiliki makna fungsional, tetapi juga sudah menyentuh makna sosiologis dan psikologis. Setiap orang sudah tentu mendambakan rumah yang layak huni. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan perumahan maka Pemerintah telah mencanangkan program pembangunan perumahan dengan menyediakan sebanyak mungkin rumah dalam berbagai tipe dan standard harga yang terjangkau. Bisnis pembangunan perumahan secara massal ini telah melahirkan pengusaha real estat yang mengelola proyek perumahan dengan berbagai skala di banyak kota di Indonesia. Selain itu, agar masyarakat mampu membeli rumah maka juga disediakan Kredit Pemilikan Rumah atau KPR, mengingat pada umumnya masyarakat masih belum mampu membeli rumah secara tunai. Namun disisi lain, KPR yang disediakan oleh bank-bank pemerintah maupun swasta ini ini menjadikan kredit di sektor properti rentan pada perubahan ekonomi makro yang pada gilirannya berefek lanjut terjadinya kredit macet. Banyak faktor penyebabnya. Selain karena kurangnya profesionalitas pihak bank menilai kemampuan debitur, juga disebabkan kaena kurangnya kesadaran dan itikad debitur untuk mencicil KPR-nya. Artinya, ketidaklancaran pembayaran kredit yang menyebabkan kredit macet dapat disebabkan oleh faktor-faktor psikologis, seperti faktor belajar, ketaatan akan normalaturan, konsep diri, pertimbangan sosial dan sebagainya - dan bukannya semata-mata karena faktor ekonomik dalam arti ketidakmampuan debitur membayar KPR. Kenyataan menunjukkan bahwa Cara mengevaluasi permohonan KPR yang dilakukan bank penyalur selama ini terpaku pada keampuhan pendekatan ekonomik dan sosio-demografis. Meski demikian, tingkat penunggakan dan kemacetan angsuran KPR tetap saja meningkat dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, penelitian ini hendak melihat gejala ini dari tinjauan psikologi ekonomik, yang memandang keputusan membayar angsuran atau menunggak KPR sebagai keputusan ekonomi yang dipengaruhi oleh faktor personal, kultural, situasional, dan persepsi mengenai perekonomian umumnya. Menurut pendekatan psikologi ekonomi, perilaku ekonomik merupakan fungsi dari motif-motif individu, persepsi, sikap, dan harapan yang dibatasi oleh kondisi ekonomis. Kajian ini bertujuan pertama, untuk mengetahui variabel-variabel apa saja pada dimensi personal, kultural, situasional, dan persepsi mengenai kondisi perekonomian umumnya, yang membedakan tingkat kelancaran debitur mengangsur KPR sehingga dapat dibedakan antara debitur yang pemah menunggak dan tidak pernah menunggak. Kedua, untuk melihat sejauh mina variabel-variabel pada dimensi personal, kultural, situasional, dan persepsi mengenai kondisi perekonomian umumnya secara bersamasama dapat memprediksi pengelompokan debitur ke dalam kelompok debitur yang pemah menunggak dan tidak pernah menunggak angsuran KPR. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan acuan pihak bank mengantisipasi kemacetan KPR, selain menambah khasanah pengetahuan di bidang perilaku ekonomi, khususnya di Indonesia. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara, dengan teknik pengambilan sampel purposive accidental sampling. Dari 317 responden yang datanya diolah, 188 responden merupakan debitur yang tidak pemah menunggak, dan 129 sisanya termasuk debitur yang menunggak. Data dianalisis dengan menggunakan analisis diskriminan dan analisis faktor. Hasil penelitian menemukan variabel-variabel pembeda yang diajukan mampu secara bersama-sama memprediksi pengelompokkan perilaku debitur KPR yang menunggak dan tidak menunggak. Dimensi ekonomik, sosio-demografis, sosiokultural, individual psikologis dan dimensi perkreditan yang terdiri dari 19 variabel secara bersama-sama terbukti mampu membedakan secara tepat 70.66% kelompok debitur KPR yang menunggak dan tidak menunggak. Selain itu juga ditemukan bahwa tidak semua variabel peniheda pada setiap dimensi mampu membedakan pengelompokkan debitur. Variabel-variabel yang gagal sebagai prediktor antara lain besarnya angsuran KPR, tabungan yang dimiliki (dimensi ekonomik); usia, pekerjaan (dimensi sosio-demografik), nilai-nilai tertentu, perbandingan sosial mengenai kemampuan membayar (dimensi sosio-kultural); konsep diri, keyakinan did (self-efficacy), sentimen konsumen, sikap terhadap berkredit, intensi menunggak (dimensi individual psikologis); masa pembayaran angsuran, lama mengangsur dan pengetahuan tentang kredit (dimensi perkreditan). Sebaliknya, variabel-variabel yang berhasil memprediksikan pengelompokkan debitur antara lain adalah penghasilan rumah tangga dan perubahan penghasilan (dimensi ekonomik); jumlah tanggungan (dimensi sosio-demografik); ketaatan (dimensi sosiokultural); norma subyektif, persepsi pengendalian perilaku, intensi untuk membayar angsuran, sentimen konsumen mengenai penilaian dan perkiraan kemampuan menabung, kondisi keuangan rumah tangga saat ini, pengelolaan uang, mengambil/tidaknya tabungan untuk membayar angsuran dan pembelajaran dari orang tua (dimensi individual psikologis); serta penilaian sejauh mana bank mencari tahu kesanggupan debitur dan meminta surat keterangan tentang pendidikan anak debitur (dimensi perkreditan). Hasil analisis faktor terhadap 19 prediktor yang berhasil adalah terjadinya pengelompokkan variabel menjadi 8 faktor, yaitu: kemampuan ekonomi, pembelajaran, sentimen konsumen, ketaatan, keketatan normalaturan, uang sebagai nilai, pertimbangan sosial dan kemantapan penghasilan - yang mampu memprediksikan 60.57% pengelompokkan debitur, atau tidak lebih baik dibanding dengan penggunaan 19 prediktor. Hasil lain menunjukkan bahwa, dari ke-19 prediktor yang berhasil itu ternyata variabel-variabel pembeda yang bersifat psikologis terbukti mampu memprediksikan secara lebih tepat (65.93%) pengelompokkan debitur dibandingkan variabel-variabel pembeda yang non-psikologis (60.57%). Berdasarkan hasil temuan di atas, maka pengelompokkan debitur sudah selayaknya menggunakan pendekatan psikologi ekonomik, selain pendekatan yang sudah diterapkan selama ini. Penelitian lanjutan perlu dilakukan terhadap variabelvariabel yang berhasil dan yang gagal pada kelompok sampel dan jenis kredit yang berbeda, serta perbaikan dan pengembangan item-item alat ukur untuk lebih memantapkan prediksi pengelompokkan variabel, dan standardisasi alat ukur.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rora Roikhani Endah Retnowati
Abstrak :
Kepailitan mempunyai akibat bagi seluruh Kreditor, tidak terkecuali bagi Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia. Pengembalian utang Debitor kepada Kreditor dalam hal Debitor dinyatakan pailit akan sangat tergantung pada kedudukan dari Kreditor tersebut. Kedudukan Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia adalah sebagai Kreditor Preferen. Hak ini tidak hapus karena adanya kepailitan atau likuidasi Debitor Pemberi Jaminan Fidusia. Kreditor Preferen (secured creditors) dalam kepailitan biasanya disebut Kreditor Separatis. Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia sebagai Kreditor Separatis sangat berkepentingan agar tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kepailitan maupun Undang-undang Fidusia yang berlaku saat ini, ternyata kurang memberikan perlindungan hukum terhadap Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia sebagai Kreditor Separatis dalam proses kepailitan. Dalam penyusunan penelitian ini, Penulis mempergunakan tipe penelitian-hukum normatif dan bersifat deskriptif analitis, dengan dilengkapi melakukan wawancara kepada 2 (dua) orang Kurator dan 3 (tiga) orang Legal Officer Bank terkemuka di Jakarta. Dalam proses kepailitan di Pengadilan Niaga, dalam hal obyek jaminan fidusia sudah tidak ada lagi maka Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia sebagai Kreditor Separatis tidak memiliki hak untuk didahulukan dari kreditor lainnya, sehingga untuk mengajukan tagihannya dalam kedudukannya sebagai Kreditor Konkuren. Dengan demikian perlu diberikan perlindungan hukum bagi Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia dalam proses kepailitan agar tetap dapat melaksanakan haknya sebagai Kreditur Separatis.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fennieka Kristianto
Abstrak :
Perjanjian Kredit Sindikasi (PKS) adalah perjanjian mengenai suatu pinjaman yang diberikan oleh dua atau lebih lembaga keuangan kepada satu debitor, berdasarkan syaratsyarat dan ketentuan-ketentuan yang sama, dengan menggunakan satu dokumentasi kredit yang sama bagi semua kreditor peserta sindikasi serta diadministrasikan oleh satu agen yang bertindak sebagai kuasa para kreditor untuk pengurusan fasilitas dan jaminan sindikasi. Kreditor seringkali menjalankan hak tagihnya sendiri terhadap debitor. Adanya ketidakjelasan mengenai kewenangan bertindak melaksanakan hak tagihnya dalam gugat pailit terhadap debitor baik oleh agen sindikasi maupun oleh kreditor sendiri, perlu dipahami melalui ketentuan umum dalam Buku III KUHPer yang mengatur mengenai perjanjian dan kuasa, serta ketentuan khusus dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (OUK). Penelitian deskriptif kualitatif ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan. Tujuan penelitian adalah memperoleh data dan kejelasan atas kewenangan agen jaminan dan kreditor, khususnya dalam kasus kepailitan. Berdasarkan analisa isi diperoleh kesimpulan berikut. Kewenangan agen sindikasi terbatas pada fungsi administratif dan koordinatif pelaksanaan sindikasi, kecuali diatur secara lain dalam PKS. Dalam PKS, agen jaminan bertindak berdasarkan kuasa anggota sindikasi. Tergantung dari ketentuan dan persyaratan dalam PKS, maka anggota sindikasi bisa atau tidak bisa mengajukan hak tagih, meskipun sudah ada penunjukan agen jaminan. Dilakukan penelitian atas dua perkara yang berkaitan dengan PKS dan pelaksanaan hak tagih dalam kasus kepailitan. Dari penelitian tersebut terlihat belum adanya keseragaman pemahaman mengenai hak anggota sindikasi dalam upaya pelaksanaan hak tagih khususnya dalam kasus kepailitan. Baik anggota sindikasi maupun agen sindikasi maupun pihak ketiga termasuk instansi peradilan harus melihat kesepakatan para pihak dalam PKS yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak. ...... A syndicated credit agreement (PKS) is an agreement whereby two or more financial institutions grant a credit facility to .a debtor upon the same terms and conditions provided for in a credit documentation applicable to all syndicated creditors, where the facility and the syndicated security are administered by an agent acting as representative of the creditors. A creditor often collects payment directly from the debtor. The ambiguity of the power of the syndication agent and of the creditors to exercise the collection right in a bankruptcy claim against the debtor would need to be understood through the general provisions of Book III of the Civil Code concerning agreements and agency and the specific provisions in the Law Number 4 Year 1998 concerning Bankruptcy (UUK). This descriptive-qualitative research uses the bibliographical research method. The research is aimed at obtaining data and clarification regarding the power of the security agent and the creditors, particularly in bankruptcy cases. The analysis leads to the following conclusion. Unless otherwise provided in the PKS, the syndication agent's power is limited to his administrative and coordinating function in the syndication arrangement. Under the PKS, the security agent shall act as a representative of the syndication members. Depending upon the terms and conditions of the PKS, the syndication members may or may not exercise the right to collect payment notwithstanding the appointment of the security agent. The research involves two bankruptcy cases concerning PKS and the exercise of collection right. The research shows that there is no uniform understanding of the syndication members' right in attempting to exercise the collection right, particularly in bankruptcy cases. The syndication members and the syndication agent as well as any third party, including the courts, must observe the agreement reached by the parties as embodied in the PKS, entered into on the basis of the freedom of contract.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19587
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sartika
Abstrak :
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, cessie sebagai jaminan mulai ditinggalkan dalam praktek pemberian jaminan, kreditor mulai beralih ke lembaga jaminan fidusia walaupun begitu tidak ada larangan untuk tetap menggunakan cessie sebagai jaminan. Berdasarkan hal tersebut, muncul permasalahan apakah ada perbedaan antara fidusia piutang atas nama dengan cessie sebagai jaminan? Apa kelemahan dan kelebihan fidusia piutang atas nama dibandingkan dengan cessie sebagai jaminan? Permasalahan apa yang dihadapi kreditor saat melakukan eksekusi fidusia piutang atas nama dan cessie sebagai jaminan. Penelitian yang digunakan adalah normatif dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan didukung dengan data yang diperoleh dengan wawancara dari berbagai kalangan yang terkait. Fidusia piutang atas nama dan cessie sebagai jaminan menampakkan kesamaan sebagai jaminan tambahan dimana kreditor harus proaktif melakukan up date terhadap tagihan yang dijaminkan sedangkan perbedaannya adalah dalam cessie sebagai jaminan tidak dikenal penyerahan secara constitutum possesorium sebagaimana halnya dalam fidusia sementara kelebihan fidusia piutang atas nama adalah adanya hak preferen dan adanya asas droit de suite. Kelemahan fidusia piutang atas nama adalah biaya penjaminan yang tinggi dan tidak perlu adanya pemberitahuan kepada kreditor sehingga sulit dilakukan penagihan langsung serta bukti kepemilikan hanya berupa list tagihan dan tidak ada kepastian keberadaan dan keadaan obyek jaminan saat eksekusi walaupun begitu fidusia tetap menjadi pilihan para kreditor. Melihat kebutuhan dalam praktek, disarankan untuk membuat suatu peraturan pelaksana tersendiri untuk penjaminan dan eksekusi terhadap barang-barang bergerak tidak berwujud seperti piutang atas nama, melakukan pengawasan terhadap pegawai dalam kantor pendaftaran fidusia karena biaya tidak resmi menyebabkan pendaftaran fidusia menjadi mahal, data mengenai benda yang dijaminkan lebih balk terbuka untuk umum untuk memudahkan pihak ketiga mengetahui mengenai penjaminan fidusia tersebut. ......With the adoption of Law Number 42/1999 regarding Fiduciary Security, cessie as collateral started to be abandoned in the practice of awarding collateral, the creditor has shifted to fiduciary security institution nevertheless there is no prohibition to remain using cessie as collateral. Based on the said matter, there is a problem whether any difference between registered receivable fiduciary and cessie as collateral? What is the weakness and advantage of registered receivable fiduciary compared to cessie as collateral? what problem is encountered by the creditors when they executed registered receivable fiduciary and cessie as collateral? The research applied is normative with data collection tool is in the form of document study and supported by data obtained through interviews with various relevant parties. Registered receivable fiduciary and cessie as a collateral show the equality as additional collateral in which creditors must be proactive to conduct update the claim being collateralized while its difference is in cessie a collateral shall not be recognized delivery in constitutum possesorium manner as in fiduciary while the advantage of registered receivable fiduciary is there is a preference right and droit de suite principle. The weakness of registered receivable fiduciary is higher guaranteeing cost and unnecessary notification to creditors so that it is difficult to make direct collection and certificate of ownership is only in the form of list claim and there is no certainty on the existence and condition of object of collateral at the time of execution when fiduciary keeps becoming a choice of the creditors. Observing the requirement in practice, it is recommended to draft a separate implementing regulation for guaranteeing and execution against intangible movable goods such as registered receivable, control the employees in Fiduciary Registration Office since unofficial cost resulting in fiduciary registration becoming expensive, data concerning object being collateralized is better open for public to facilitate the third party know about the said fiduciary guaranteeing.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Kinanti Pangesti Putri
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan syarat kepailitan yang wajib dipenuhi dan dibuktikan di persidangan. Berdasarkan pasal tersebut maka terhadap debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dapat dipailitkan apabila dapat dibuktikan secara sederhana dalam persidangan. Oleh karena itu penulis ingin meneliti apakah Permohonan Pailit yang diajukan oleh para pekerja PT Indah Pontjan telah memenuhi syarat pailit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan apakah putusan pengadilan dan Mahkamah Agung telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bentuk penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara studi kepustakaan. Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan yaitu mantan pekerja yang dilakukan pemutusan hubungan kerja merupakan kreditur preferen dalam kepailitan dan utang berupa upah pekerja beserta hak-hak lainya yang timbul akibat pemutusan hubungan kerja merupakan utang dalam kepailitan. Oleh karena itu permohonan pailit yang diajukan para mantan pekerja PT Indah Pontjan terhadap PT Indah Pontjan telah sesuai dengan syarat pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan syarat pailit tersebut telah dapat dibuktikan secara sederhana dengan adanya Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 04/G/2008/PHI. Mdn tanggal 8 Januari 2008 jo Putusan Nomor 905 K/Pdt. Sus/2008 tanggal 24 Maret 2009 jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 03 PK/Pdt. Sus/2010 tanggal 16 Februari 2010. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang meskipun terhadap harta debitur telah terdapat penetapan eksekusi putusan pengadilan sebelumnya, debitur tetap dapat dimohonkan pailit selama syarat pailit terpenuhi dan dapat dibuktikan secara sederhana.
ABSTRACT
Article 2 paragraph (1) of Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of obligation for Payment of Debts stipulates the conditions of bankruptcy which must be fulfilled and proven before the court. In accordance with the mentioned article, debtor having two or more creditors and not paying at least one debt which has been matured and payable can be declared bankrupt provided that the provisions of bankruptcy can be simply proven before the court. Therefore, author wants to examine whether the petition for declaration of bankruptcy filed by workers of PT Indah Pontjan has met the provision of bankruptcy stipulated in Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts and to examine whether court decision and Supreme Court decision are complied with Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debt. This research is a form of normative legal research with typology research is explanatory research. Data used is secondary data, the data collection techniques used is study literature. From the research, author obtains conclusions that former workers who are performed the termination of employment constitute preferred creditors in bankruptcy and debts in the form of wages of workers and other rights arising from employment termination constitute debts in bankruptcy. Therefore, petition for declaration of bankruptcy filed by former workers of PT Indah Pontjan against PT Indah Pontjan has met the conditions of bankruptcy stipulated in article 2 paragraph 1 Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts. Further, the conditions of bankruptcy can be simply proven before the court by the existence of Court Decision of Industrial Relations Court Number 04/G/2008/PHI. Mdn dated 8 January 2008 jo Court Decision Number 905 K/Pdt. Sus/2008 dated 24 March 2009 jo Supreme Court Decision Number 03 PK/Pdt. Sus/2010 dated 16 February 2010. In accordance with Article 31 paragraph 1 Act of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts, although there is already execution related to the debtor's assets, debtor still can be declared bankrupt provided that all conditions of bankruptcy are met and proven simply before the court.
2016
T45592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Nien Rafles
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas hak kreditor dalam mengajukan permohonan pailit terhadap Persero. Hukum kepailitan mengatur bahwa Persero dapat dimohonkan pailit oleh kreditor, namun terdapat beberapa putusan pengadilian yang bertolak belakang. Sebagian putusan mengabulkan permohonan pailit dan sebagian putusan menolak dengan menyatakan bahwa Persero hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri keuangan. Penelitian ini bersifat deskriptif normatif dengan metode penelitian kepustakaan yang bermaksud untuk mencermati bagaimana hak kreditor dalam mengajukan permohonan pailit terhadap Persero dan dualisme putusan pengadilan mengenai hak kreditor mengajukan permohonan pailit. Dalam tesis ini terlihat bahwa pemahaman hakim yang berbeda-beda atas hukum kepailitan mengenai hak kreditor mengajukan pailit.
ABSTRACT
Tesis ini membahas hak kreditor dalam mengajukan permohonan pailit terhadap Persero. Hukum kepailitan mengatur bahwa Persero dapat dimohonkan pailit oleh kreditor, namun terdapat beberapa putusan pengadilian yang bertolak belakang. Sebagian putusan mengabulkan permohonan pailit dan sebagian putusan menolak dengan menyatakan bahwa Persero hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri keuangan. Penelitian ini bersifat deskriptif normatif dengan metode penelitian kepustakaan yang bermaksud untuk mencermati bagaimana hak kreditor dalam mengajukan permohonan pailit terhadap Persero dan dualisme putusan pengadilan mengenai hak kreditor mengajukan permohonan pailit. Dalam tesis ini terlihat bahwa pemahaman hakim yang berbeda-beda atas hukum kepailitan mengenai hak kreditor mengajukan pailit.
2013
T32167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>