Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 301 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1985
S21588
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Abstrak :
Materi yang dimuat dalam penerbitan ini meliputi pembentukan perundang-undangan mengenai kekuasaan kehakiman, khususnya Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Djakarta: Departemen Kehakiman, 1970
K 347.01 IND u
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Isran Idris
Abstrak :
Sistem gilir ganti sawah adalah pola penguasaan tanah sawah menurut hukum adat bagi ahli waris perempuan secara bergilir ganti dalam menggunakan atau pemakaiannya untuk mendapatkan hasilnya. Adanya sistem ini adalah pengaruh sistem kewarisan yang membedakan antara harta berat dan ringan. Banyaknya peserta dan persilangan gilir ganti sawah mempengaruhi pergerakan sistem dan masa tunggu setiap peserta mendapatkan gilirannya. Pada saat ini Sistem gilir ganti sawah sudah tidak efektif dan fleksibel lagi karena bekerja diatas lapisan ke 3 dan persilangan melebihi dari 3 generasi. Keadaan ini diperburuk dengan luas sawah yang sangat kecil, sehingga produktivitasnya tidak layak untuk mencukupi kebutuhan sebuah keluarga petani. Penguasaan dan pemilikan sawah gilir ganti tidak sepenuhnya pada anak perempuan, walaupun ahli waris adalah anak perempuan tapi mereka harus memenuhi beberapa persyaratan, sehingga menimbulkan pemilikan barsyarat. Dalam prakteknya pengaturan, peruntukan dan kebijakan berada pada anak laki-laki. Walaupun ahli waris adalah anak perempuan, tapi bila dijual anak laki-laki mendapat bagian. Sehingga pola penguasaan dan pemilikannya tidak tegas. Sistem perwarisannya tidak sesuai dengan Pasal 9 UUP, dimasa dalam perwarisan kedudukan anak laki-laki dan perempuan adalah sederajat, sedangkan di Kerinci anak laki laki sebagai ahli waris tidak mendapat bagian atas tanah sawah gilir ganti. Ketidak tegasan kepemilikan menyebabkan tidak terdapatnya kepastian hakum, dan sampai sekarang tidak ada bukti kepemilikan baik secara Hukum Adat maupun UUPA (sertifikat), satu - satunya tanda yang dijadikan bukti kepemilikan adalah ranji. Walaupun tidak efektif, produktif, dan tidak adanya kepastian hukum, masyarakat Kerinci tetap mempertahankannya, karena mereka melihat dari sudut sosiologis den antropologis, bukan dari sudut ekonomis dan yuridis. Kondidisi ini dimasa mendatang akan menjadi lebih komkpleks lagi dan perlu adanya pertimbangan yang mendasar untuk mempertahankan eksistensinya. Untuk mengatasinya agar sesuai dengan cita-cita UUPA, yai_tu adanya kepastian hukum, maka setiap pemilikan tanah harus didaftarkan, dan setiap tanah harus dikerjakan secara aktif sehingga bisa menjadi sumber kehidupan yang layak, maka perlu melaksanakan beberapa kebijakan antara lain: penyuluhan, penyerderhanaan sistem, dan membuat sertifikat khusus. Dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan pejabat formal, dan informal, serta instansi terkait.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nunuk Sulisrudatin
Abstrak :
Latar belakang masalah dalam penelitian ini adalah adanya fenomena yang terjadi dalam proses peradilan anak, dimana Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) menunjukkan kurang efektif dalam menjalankan tugasnya, seperti PK sering tidak hadir dalam persidangan anak untuk menyampaikan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) ataupun mendampingi tersangka anak. Selain itu, banyak pula masyarakat, bahkan para aparat penegak hukum, yang tidak mengetahui dan mengerti peran serta tugas dari PK dalam membantu anak selama proses peradilan anak. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana PK dalam menjalankan tugas dan perannya selama proses peradilan anak, dimana tujuan utama dari PK adalah mengupayakan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Penelitian dilakukan pada BAPAS Jakarta Timur-Utara, dimana BAPAS tersebut merupakan sute-satunya kantor BAPAS yang memiliki dua wilayah kerja sekaligus. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui wawancara dengan informan utama, yaitu petugas PK dari BAPAS Jakarta Timur-Utara itu sendiri. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan informan pendukung, yaitu pihak-pihak yang berkaitan dengan proses peradilan anak, seperti pihak Kepolisian, Kejaksaan (Penuntut Umum), dan Pengadilan Negeri (Hakim). Sedangkan observasi dilakukan di BAPAS Jakarta Timur-Utara untuk mengetahui jalannya pelaksanaan kegiatan PK dalam menjalankan perannya selama proses peradilan anak. Serta studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data berupa dokumen, buku ataupun arsip yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Dari hasil penelitian ditemukan adanya kendala-kendala yang terjadi atau dialami oleh PK dalam menjalankan tugasnya pada selama proses peradilan anak, sehingga tidak dapat maksimal dalam mengupayakan perlindungan terhadap tersangka anak. Kendala tersebut berupa kendala eksternal, seperti tidak maksimalnya koordinasi atau kerjasama antara PK dengan aparat penegak hukum lainnya yang berkaitan dengan proses peradilan anak. Selain itu jugs terdapat kendala internal, seperti kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang PK dalam melaksanakan tugasnya selama proses peradilan anak. Maka dengan adanya kedua kendala tersebut, mengakibatkan PK kurang maksimal atau optimal dalam menjalankan tunas dan perannya untuk mengupayakan perlindungan anak yang berhadapan dengan proses peradilan anak.
Background of this research is the existence of phenomenon that happened in juvenile court, where probation officer (PK) of the probation office (BAPAS) show less effective in running its duty, like absent PK often in conference of child to submit a social inquiry report (LITMAS) and or consort suspect child. Besides, there are also many societies, even law enforcement officer, what do not know and understand role and also duty of PK in assisting child during process juvenile court. Therefore, this research aim to see how PK in running duty and its role during process juvenile court, where especial target of PK is to strive child protection which deal with law. As for research conducted at BAPAS East-North Jakarta, where the BAPAS represent the single office of BAPAS owning two regional work at the same time. This research use descriptive method with approach qualitative. Data collecting of research through interview with especial informant, that's officer of PK of BAPAS East-North Jakarta itself. Besides, interview is also done with supporter informant, that's sides related to process juvenile court, like Police, Public Prosecutor, and District Court (Judge). While observation conducted in BAPAS East-North Jakarta to know the way execution of activity of PK in running its role during process juvenile court. And also bibliography study conducted to get data in the form of document, book and or archives related to problems of research. From result of research found of the existence of constraints that happened or experienced of by PK in running its duty at during process juvenile court, so that cannot be maximal in striving child protection. The constraint in the form of constraint of external, like is not maximal him co-ordinate or cooperation between PK with other law enforcement officer that's related to process juvenile court, Besides also there are internal constraints, like lack of facilities and basic facilities which supporting PK in executing its duty during process juvenile court. Hence with existence of both constraints, resulting PK less maximal or optimal in running duty and its role to strive child protection which deals with process juvenile court.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21963
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gesang Yulianto
Abstrak :
Salah satu hak Wajib Pajak adalah hak untuk mengajukan keberatan dan banding. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku Direktorat Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk menangani keberatan sedangkan Pengadilan Pajak diberi kewenangan untuk menangani banding. Efisiensi dan efektifitas merupakan saiah satu tolok ukur kesuksesan organisasi termasuk bagi Direktorat Jendera! Pajak dan Pengadilan Pajak. Dari penelitian terhadap 123 putusan banding Pengadilan Pajak diketahui bahwa keberatan Wajib Pajak Kebanyakan diselesaikan dalam jangka waktu 11 dan 12 bulan. dan 92% keputusan keberatan yang diajukan banding memenangkan Wajib Pajak. Dengan demikian alokasi sumberdaya fiskus untuk menyelesaikan keberatan tidak imbang dengan hasil akhir yang dicapai, artinya tindakan fiskus menyelelesaikan keberatan dalam jangka waktu optimum tidak efisien. Bila telusuri lebih jauh alasan institusi peradilan memenangkan Wajib Pajak sebagian besar disebabkan Iemahnya daser koreksi pemeriksa dalam tahap pemeriksaan sehingga ketidakefisienan yang terjadi sebenarnya dimulai dari tahap ini. Sedangkan penyelesaian banding sebagian besar diselesaikan dalam jangka waklu 12 bulan jangka waktu ini lermasuk 3 bulan untuk permintaan Surai Uraian Banding dan 30 hari untuk kelengkapan Surat Bantahan. Walaupun Majelis Pengadilan tidak selalu menyidangkan semua kasus menunggu diterimanya dua dokumen tersebut dari segi pencapaian tujuan yakni memberikan perlindungan Kepada rakyat, kepuasan konstituen yakni Wajib Pajak yang mengajukan banding dapat dikatakan lembaga ini tergolong memenuhi unsur Efisiensi dan efektifitas, karena 92% perkara yang diajukan banding memenangkan Wajib Pajak akibat koreksi pemeriksa yang tidak berdasar.
One of the taxpayer rights is the right to apply an objection and an appeal. According to the tax regulation. Directorate General of Taxes has an authority to proceed taxpayer objection while Tax Court has and authority to proceed tax appeal. Efficiency and effectiveness are the criteria on measuring successfulness of organization including both Directorate General of Taxes and Tax Court. From research to 123 Tax Courts appeal decisions, it's known that Taxpayer objections mostly finished within 11 of 12 months and 92 percent of the appeal decision on tax objection was won by the taxpayer. Thereby allocation of the tax office's human resources to proceed taxpayer objection do not balance with the final decision, it means that tax official works inefficiently on tax objection within the optimum period. if it's traced to the reason on tax court institution to win Taxpayer. it's mostly caused by the weakness of tax auditor's corrective bases during audit phase so that inefficiency was started from this phase. While tax appeal completion mostly finished within 12 months. this period is including both 3 months for the request of Surat Uraian Banding, and 30 days to fulfill Surat Bantahan. Although Tax Court do not always hold meeting on all cases, await receiving both document, from the planed goal that is give protection to people, satisfaction of constituent taxpayer who submit tax appeal. this institute's pertained to fulfill both efficiency and effectiveness element, because 92% of cases won by Taxpayer on the effect of inappropriate tax audit.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaya Ahmad Nurjaman
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai Badan Banding WTO (WTO's Appellate Body/AB) yang hingga saat ini sedang tidak beroprasi seperti biasanya. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Dispute Settlement Understanding (DSU) menyatakan bahwa jumlah anggota Badan Banding terdiri dari 7 orang anggota. Namun, sejak Juli 2018, anggota Badan Banding hanya tersisa 4 orang anggota, dimana 3 dari 4 anggota tersisa telah habis masa jabatannya di tahun 2019. Hal ini menyebabkan pemenuhan jumlah quorum dalam Badan Banding yang memerlukan 3 orang anggota dari 7 orang anggota Badan Banding tidak terisi, dikarenakan Badan Banding hanya menyisakan 1 orang anggota. Keadaan Badan Banding yang hanya tinggal 1 anggota mengakibatkan Badan Banding tidak berkapasitas untuk mendengarkan, memeriksa dan membuat Laporan Banding. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat Deskriftif-Analisis, dengan metode pendekatan Yuridis-Normatif. Hasil penelitian yang di dapat adalah Negara-negara anggota yang bersengketa dapat membawa Laporan Panel ke Badan Banding terlebih dahulu sebelum Badan Penyelesaian Sengketa WTO (WTO's Dispute Settlement Body/DSB) mengeluarkan keputusan dan rekomendasi. Situasi yang tidak kondusif pada Badan Banding sebagai lembaga pengadilan tingkat banding di WTO saat ini bisa saja dihindari oleh Negara-negara anggota yang sedang bersengketa dengan cara tidak dipergunakannya Badan Banding. Namun keadaan ini menimbulkan rasa khawatir dari Negara-negara anggota, baik terhadap penyelesaian sengketa-sengketa dagang yang saat ini sedang berproses, maupun terhadap perkembangan sistem penyelesaian sengketa perdagangan WTO kedepan. Kekhawatiran tersebut dikarenakan tanpa berfungsinya Badan Banding, Negara-negara anggota yang sedang bersengketa kesulitan untuk dapat memperoleh hasil yang adil sesuai aturan WTO. Maka, beberapa Negara anggota WTO sepakat untuk membentuk Badan Banding Sementara yang didasarkan pada sistem Arbitrase WTO sesuai ketentuan Pasal 25 DSU. Pereplikasian aturan Pasal 25 DSU dalam pengadilan tingkat banding di WTO ini merupakan solusi yang dipergunakan sementara waktu sampai situasi Badan Banding kembali normal. ......This study discusses the WTO's Appellate Body (AB) which is not operating as usual until today. The provisions of Article 7 paragraph (1) on Dispute Settlement Understanding (DSU) states that the number of members of the Appellate Body should consist of 7 members. However, since July 2018, there is only 4 the Appellate Body members left, where 3 out of the 4 remaining members have finished their term in 2019. This caused the fulfillment of the quorum in the Appellate Body who requires 3 more members out of 7 members was not filled since there is only 1 the Appellate Body left. The situation caused the Appellate Body did not have the capacity to listen, examine, and make an Appeals Report. This study used a normative legal research method, a Descriptive-Analysis with a juridical-normative approach. The result of the study is the disputed member states can bring the Panel Report to the Appellate Body before the WTO's dispute Settlement Body (DSB) issues a decision and recommendation. The unconducive situation of the Appellate Body as an appellate court in the WTO can currently be avoided by the disputed member states by not using the Appellate Body. However, this situation emerged concerns from the member states, both over the settlement of trade disputes that are currently in process and its development of the WTO trade disputes settlement system that is going forward. These concerns were due to the less functioning of the Appellate Body, the member states that were in dispute found it difficult to obtain fair results according to WTO's rules. Therefore, several WTO's member states agreed to form a Provisional Appellate Body based on the WTO Arbitration system in accordance with Article 25 of the DSU. The replication of Article 25 of the DSU rules in the appellate court at the WTO is a solution and used temporarily until the situation of the Appeals Board returns to normal.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renius Albert Marvin
Abstrak :
UU Administrasi Pemerintahan telah melahirkan fiktif-positif sebagai suatu konsep tentang relasi dan komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah, berdasarkan mana sikap diam pemerintah yang tidak menanggapi permohonan dari masyarakatnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dianggap mengabulkan permohonan masyarakat tersebut. Namun demikian, keputusan yang dianggap dikabulkan berdasarkan fiktif-positif tersebut tidaklah lahir secara serta-merta, melainkan harus dimohonkan ke PTUN. Sebagai penelitian hukum normatif dengan tipologi penelitian preskriptif, penelitian ini mencoba menggali bagaimana hakim memeriksa permohonan fiktif-positif yang dapat terlihat dalam pertimbangan putusannya, dan bagaimana hakim seharusnya memberikan putusan terhadap permohonan fiktif-positif. Menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menganalisis 57 (lima puluh tujuh) putusan permohonan fiktif-positif dari PTUN Jakarta selama periode tahun 2016 sampai dengan 2018, penelitian ini mendapatkan simpulan adanya 8 (delapan) unsur yang akan dipertimbangkan oleh hakim di PERATUN dalam memeriksa permohonan fiktif-positif. Hakim di PERATUN sebagai ujung tombak perwujudan tujuan hukum, harus diberikan kebebasan untuk mewujudkan keadilan dalam putusannya sebagaimana diamanatkan oleh SEMA 1/2017 dengan menerapkan pemikiran Gustav Radbruch untuk memprioritaskan keadilan sebagai tujuan hukum dalam memutus permohonan fiktif-positif yang diperiksanya (spannungverhaltnis). Namun demikian, kebebasan hakim untuk mewujudkan keadilan dalam memeriksa permohonan fiktif-positif dibatasi hanya untuk tindakan atau keputusan tata usaha negara yang memberikan hak kepada pemohonnya. ......Law on Government Administration has enacted fictious-approval as relation and communication concept between the citizens and the government, by not doing anything to a request submited by the citizen within determined period of time, will be considered as government`s approval to such request. However, governments approval by fictious-approval will not automaticly be held, it shall be requested to the Administrative Court. As a normative legal research with prescriptive research typologies, this reseach tries to explore how the judge in administrative court examine petition for fictious-approval which can be observed in their legal consideration of the verdict, and how should the judge give verdict on petition for fictious-approval. Using qualitative research methods by observing into 57 (fifty seven) verdicts on petition for fictious-approval issued by Jakarta Administrative Court from 2016 to 2018, this research concludes that there are 8 (eight) elements which be considered by judges in the Administrative Court in examining petition for fictious-approval. The judge in the Administrative Court as the center of investigation shall be given a freedom to persue justice in their decision as mandated by SEMA 1/2017 to apply Gustav Radbruchs principle in order to prioritize justice as a legal objective in every case which examined (spannungverhaltnis). However, the freedom of judges to ensure justice in examining petition of fictitious-positive shall also be limited to actions or state administrative decisions that give rights to the citizen.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55009
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>