Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 421 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Uigwe are royal protocols created for important royal ceremonies from the Josen dynasty,which adopted confucianism as the official state philosophy. During the Joseon era,uigwe helped to presere and pass down the traditions and practices foe such ceremonies.....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Zakaria
Abstrak :
Masyarakat melihat ada kejahatan di dalam kejahatan di mana aparat penegak hukum bekerja tidak profesional dan lebih banyak mencari keuntungan dari permasalahan hukum orang lain. Jual beli perkara sudah menjadi kebiasaan dan sulit dihindari apalagi bisa diberantas. Maka penulis melihat ketidak pastian hukum dan ketidakadilan ingin berbuat sesuatu baik secara tindakan nyata maupun dari segi ilmiah. Penulis menggambarkan secara umum apa peranan dan fungsi pengacara lain menjelaskan tentang Mafia Peradilan yang terjadi di PN Jakarta Selatan. Pertanyaan penelitian apakah mungkin pengacara dalam menjalankan tugasnya membela kepentingan klien pada proses pemeriksaan peradilan harus selalu melakukan Mafia Peradilan. Dalam penelitian dipakai studi kasus empati dengan metode pertanyaan tidak berstruktur dengan klien, para terdakwa/tersangka berserta keluarganya, rekan-rekan sesama pengacara, rekan-rekan sesama aparat penegak hukum baik para hakim, para jaksa, para polisi maupun petugas pengawalan tahanan kejaksaan, staff/karyawan pengadilan dan petugas lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan, rekan para wartawan serta para kalangan akademisi, pengamat hukum dan masyarakat awam yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tapi karena Kode Etik pengacara maupun sebagai peneliti informasi narasumber dan informan yang diberikan tidak bisa diungkapkan, tapi kebenaran info dapat dipertanggung jawabkan. Penemuan penelitian yang dimaksud Mafia Peradilan pada intinya adalah persekongkolan antara sesama aparat penegak hukum yang menguntungkan pihak-pihak pencari keadilan (penggugat/terdakwa kontra tergugat/korban) yang putusan hukumnya sangat merugikan masyarakat dan menusuk rasa keadilan. Ternyata Mafia Peradilan tidak hanya dilakukan dengan uang semata, tapi mengancam, mengintimidasi, melanggar hukum acara pidana/perdata secara sengaja, negoisasi/perundingan maupun memberi fasilitas tertentu, koneksi, memo, intervensi, pendekatan hubungan baik individual serta pengerahan massa pendukung Sehingga jawaban permasalahan Mafia Peradilan tidak bisa diberantas karena kendala utamanya sulitnya mencari alat bukti, tidak adanya pengakuan korban maupun pelaku, budaya birokrasi, adat ketimuran, perilaku bekerja asalkan mendapatkan bayaran (bukan gaji yang telah ditetapkan Pemerintah), masih adanya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta ketidakadaan sanksi yang keras bagi pelaku yaitu sanksi pidana hukuman penjara yang lama (mengenal atas minimalisasi hukuman), sanksi perdata mengganti kerugian beserta bunga dan dendanya, sanksi administrasi penurunan jenjang karir maupun pemecatan, sanksi sosial seperti pemberian labbeling atau kerja paksa sosial, sanksi adat pengusiran maupun penyelenggaraan upacara adat, dan sanksi agama seperti dilakukan acara taubat maupun memberikan Zakat Infak Shadagah (ZIS). Studi kasus ini juga memberikan gambaran sepak terjang pengacara yang ingin cepat terkenal dan kaya sehingga tidak ragu lagi melakukan praktek Mafia Peradilan dan juga memakai pola peniruan kinerja pengacara/advokat yang sudah senior. Kinerja para pengacara dalam membela kepentingan klien secara sengaja telah melanggar hukum maupun menafsirkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan demi kepentingan opini publik dan menjadi baik. Dianjurkan peranan Dewan Kehormatan Organisasi Profesi Pengacara ditingkatkan da diberdayakan sehingga malpraktek hukum pengacara dapat dikurangi. Harapan selanjutnya hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan ikut penciptakan peradilan yang bersih.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T10502
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Ratu Sari
Abstrak :
Kita mengenal apa yang dinamakan kebebasan pers. Kebebasan pers itu sendiri tidak bersifat mutlak. Salah satu pembatasnya adalah kode etik jurnalistik. Pasal-pasal dalam kode etik jurnalistik merupakan saringan bagi kebebasan pers. Dengan begitu, pers tidak dapat menyajikan berita sebebas-bebasnya. Ada suatu pedoman yang harus dijadikan pegangan, yang harus dihormati agar beritanya tidak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan dalam kode etik jurnalistik. Dengan mematuhi kode etik jurnalistik misalnya, pemberitaan di media massa diharapkan tidak menghukum seseorang bersalah atau tidak. Di Indonesia belum terdapat peraturan yang mengatur tentang trial by the press. Padahal, pemberitaan yang sudah "memvonis" seseorang tersangka dilihat dari sudut tata negara sudah merupakan trial by the press, karena sudah merupakan perusakan sistem ketatanegaraan (Loqman, 1994:10). Dalam suatu negara hukum, dilarang main hakim sendiri (Eigenrichting). Karena itu, tindakan pers yang "memvonis" tersangka padahal hakim belum menjatuhkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, merupakan pelanggaran terhadap fungsi kekuasaan kehakiman. Seharusnya kekuasaan kehakiman yang menentukan kesalahan seseorang tersangka, tidak boleh dipengaruhi kekuasaan apapun termasuk media massa. Kekuasaan kehakiman harus bebas. Menurut Padmo Wahyono (dalam Logman, 1994:10), trial by the press dapat dilihat dari dua sisi, yakni pers yang bebas menghakimi seseorang. Jadi ada suatu pertentangan dengan kebebasan seseorang dan pers yang bebas ikut campur atau mempengaruhi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam hal sisi yang pertama bila dikaitkan dengan Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945, maka kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Karena itu, tidak ada pemberian kekuasaan di luar kehakiman dalam menghakimi seseorang. Jadi, penghakiman oleh pers merupakan perbuatan yang melanggar konstitusi. Sedangkan sisi yang kedua, hakim yang profesional dalam kariernya tidak akan terpengaruh oleh tanggapan pers yang bebas. Bila pemberitaan pers sampai mempengaruhi jalannya suatu proses peradilan, maka hal itu merupakan masalah yang sifatnya konstitusional. Karena di satu pihak kebebasan pers harus dihormati, di lain pihak kebebasan pers jangan sampai menghakimi tersangka (jangan sampai terjadi trial by the press). Di beberapa negara, bila sampai terjadi penghakiman oleh pers, maka media massa tersebut diberi sanksi dengan dasar telah melakukan contempt of court (kejahatan terhadap proses peradilan). Ini berarti, media massa tersebut dianggap telah melakukan trial by the press dan harus mempertanggungjawabkannya melalui peradilan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinuhaji, Rony Agustinus
Abstrak :
Upaya paksa dan tidak ditahannya terdakwa atau penangguhan penahanan banyak menimbulkan banyak perdebatan di masyarakat, yang dalam batas-batas apakah upaya paksa penahanan diperlukan dalam proses pemeriksaan terdakwa di peradilan. Suatu hal yang menarik perhatian apabila penangguhan penahanan tidak diperlukan lagi ditingkat peradilan, mengingat pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa dan penuntut umum diwajibkan menghadirkan terdakwa di persidangan. Di dalam upaya penangguhan penahanan paling tidak terkait oleh dua kepentingan yaitu apabila dilihat dari hak terdakwa adalah memperjuangkan asas praduga tidak bersalah sedangkan disisi aparat penegak hukum upaya paksa penahanan adalah guna kepentingan proses pemeriksaannya yang patutnya dalam rangka perlindungan masyarakat dimana sifat dari pelaksanaan upaya paksa di satu sisi adalah upaya untuk menciptakan ketentraman dalam masyarakat. Dalam hal kaburnya terdakwa di perlukan perhatian dalam hal perlunya dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa baik ditingkat penyidikan atau penuntutan. Pemahaman mengenai tujuan sistem peradilan pidana ini sangatlah penting. Menjadi keharusan dalam sebuah sistem berorientasi pada tujuan yang lama, untuk mencapainya dibutuhkan mekanisme yang terarah, kitidakpaduan antara sub system administrasi peradilan pidana akan menyebabkan terhambatnya proses peradilan pidana.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16403
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Loekman
Abstrak :
Pada tahun 2004 Mahkamah Konstitusi meluncurkan dokumen bersejarahnya: "Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Moderen dan Terpercaya" (Cetak Biru). Cetak Biru ini merupakan dokumen utama kebijakan strategi manajemen perubahan Mahkamah Konstitusi yang unik, yaitu dibuat bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) sebagai wujud penghargaannya terhadap proses pengambilan kebijakan publik yang partisipatif. Permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini adalah: (i) Bagaimanakah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melakukan manajemen perubahannya? dan (ii) Bagaimana hubungan kegiatan manajemen perubahan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terhadap upaya mewujudkan organisasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai lembaga peradilan yang moderen dan terpercaya? Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan studi kasus di Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan. Sebagai unit unit pendukung utama dibidang administrasi umum dan justisial, peranan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan sangatlah penting bagi kelancaran beroperasinya Mahkamah Konstitusi dan terutama memiliki posisi yang strategis untuk mewujudkan pelbagai program dalam Cetak Biru. Kedua unit tersebutlah yang akan melanggengkan cita-cita Cetak Biru, melampaui terbatasnya masa jabatan para hakim konstitusi. Penelitian ini mendasarkan pada pendapat Burke (2002: 43) bahwa untuk memahami perubahan organisasi maka pendekatan yang diambil adalah dengan memandang organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka, yang tergantung pula dari faktor lingkungan dimana organisasi itu berada. Sedangkan kesuksesan upaya untuk menghadapi perubahan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi, maka menurut Nickols (2004:1), Potts dan La Marsh (dalam Wibowo, 2006: 175), Asian Institute of Journalism and Communication (2003:1), maupun National School of Government (2006: 4) suatu organisasi perlu melakukan serangkaian tindakan untuk mengelolaperubahan itu dengan memperkenalkannya secara terencana, sistematis dan berkelanjutan (sengaja mengalokasikan sumber dayanya) melalui pelbagai program baru yang relevan pula bagi organisasi itu agar seluruh elemen dalam organisasi itu bisa menyesuaikan diri dengan lancar tiap perubahan yang dihadapi. Dalam menjaga kesuksesan mengelola tahapan program perubahan itu pula suatu organisasi harus senantiasa memberi perhatian pada pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi, strategi perubahan yang terintegrasi serta komunikasi dua arah dengan para stakeholders organisasi itu. Berdasarkan hasil kuesioner, telah ditemukan bahwa kriteria ?Organisasi? berpengaruh cukup besar dalam manajemen perubahan di organisasi Mahkamah Konstitusi, sehingga dengan memperhatikan sub kriteria - sub kriteria di dalam kriteria Organisasi maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan perubahan di organisasi Mahkamah Konstitusi. Sedangkan untuk kriteria ?Perubahan Organisasi? maka masih perlu dilakukan pengembangan dan pelatihan untuk menerapkan kriteria ini di organisasi Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya berdasarkan serangkaian wawancara mendalam terhadap beberapa narasumber di lingkungan kerja Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga publik yang baru sehingga masih perlu penyempurnaan sistem kerjanya. Sekalipun hal itu akan menambah beban kerja tetapi semua narasumber tetap bersemangat guna mendukung lancarnya pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, kecuali untuk program pengembangan website Mahkamah Konstitusi, otomatisasi sistem manajemen perkara secara elektronik dan pembangunan gedung perkantoran baru, hingga saat ini belum terbentuk kepanitiaan dan alokasi anggaran khusus untuk mendukung program perubahan sebagaimana direkomendasikan oleh Cetak Biru. Berdasarkan hal-hal diatas, manajemen perubahan yang dilakukan di lingkungan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan perlu dilakukan secara konsisten dan perlu dicermati secara serius mengingat bila tidak ditangani lebih lanjut secara profesional, dapat menjadi potensi pada gagalnya upaya perubahan organisasi yang saat ini sedang dikerjakan dan mencederai kepercayaan para stakeholders terhadap kegiatan perubahan organisasi Mahkamah Konstitusi di masa mendatang. Oleh karena itu disarankan agar pertama, pimpinan Sekretariat Jenderal, Kepaniteraan dan para hakim konstitusi bersama-sama menyelenggarakan rangkaian diskusi internal terbatas untuk merancang dan menyelenggarakan evaluasi secara menyeluruh tentang sejauhmana keberhasilan program perubahan sejak diterbitkannya Cetak Biru di tahun 2004. Kredibilitas evaluasi tersebut akan lebih dihargai oleh publik bilamana dilakukan oleh sebuah tim independen yang berisi para tenaga ahli lokal dibidang organizational development (terutama yang berpengalaman menanagani organisasi publik), ahli hukum administrasi negara/tata negara dan perwakilan stakeholders yang berkompeten. Kedua, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan secara periodik menyelenggarakan survei secara internal dan eksternal organisasi, untuk memudahkan pengamatan terstruktur tentang sejauhmana pengaruh manajemen perubahan yang dilakukan telah mewujudkan Mahkamah Konstitusi yang moderen dan terpercaya. Berdasarkan kedua survei tersebut, setidaknya para pimpinan akan mendapatkan suatu bentuk awal analisa kebutuhan (needs assessment) guna ditindaklanjuti dengan keputusan strategis berikutnya
In the year 2004, the Constitutional Court launched its historical document: Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Moderen dan Terpercaya (The Blue Print to Develop the Constitutional Court as a Modern and Trusted Judicial Institution) (hereinafter referred to as the ?Blue Print?). The Blue Print is the principal document for the Court?s strategy in managing organizational change. The document was also unique because it was jointly drafted with a local civil society organization Konsorsium Reformasi Hukum Nasional/KRHN, as a testament to the court?s support to public participation in policy making. The focus of the research are twofold: First, on how the Secretariat General and the Court Registrar manage the organizational change. Second, to better understand the the relationship between the Secretariat General?s and the Court Registrar?s efforts in managing the organizational change and how such activity influenced the efforts to develop the Constitutional Court to become a modern and trusted judicial institution. The research is descriptive and focuses on the court?s Secretariat General and Registrar as objects for the case study. Although each unit provides support in managing the court?s general and judicial administration respectively, they are all very important in making sure that the Constitutional Court is managed properly and posses the strategic role in implementing the various development programs contained in the Blueprint. Those units would eventually be the main actors in implementing the Blueprint, beyond the tenure of the justices of the Constitutional Court. This research is based on Burke (2002: 43) who opined that in order to understand organizational change, one should observe such organization as an open system, which is dependant to its environment. Meanwhile, in order to successfully respond to change, Nickols (2004:1), Potts and La Marsh (in Wibowo, 2006: 175), the Asian Institute of Journalism and Communication (2003:1), and National School of Government (2006:4) opined that such organization needs to conduct a series of actions in managing change and introduce the changes in a planned, systematic and sustainable way, i.e. allocating the relevant resources, so that all elements of the organization can better adjust to such changes. In maintaining the success of managing change, such organization should focus on the influences of leadership, organizational culture, integrated strategies for change and a ?two-way? communication process with the stakeholders. Based on the results from the questionaires, the research found that the ?Organization? criteria has a profound influence on how change is managed in the Constitutional Court. In this regard, consideration should be focused on better understanding the various subcriterias in order to conduct organzational change at the court. Meanwhile, under the ?Organizational Change? criteria, the results from the questionaires indicate that further development in and training on organizational change are required for the Constitutional Court. Subsequently, based on the series of in-depth interviews with officials of the Secretariat General and the Court Registrar, all opined that the Constitutional Court is a developing public organization and therefore still needs to enhance its system of operational procedures. Eventhough such enhancement would increase the workload, all of the interviewees are generally enthutiastic in supporting and making sure that the mandates of the court are successfuly implemented. However, except for the development of the court?s website, an automated electronic based case management system and the construction of a new court building, the interviewees confirmed that until this day no special commitees or budget allocations are made to support the various change programs as recommended by the Blueprint. In this regard, change management efforts at the Secretariat General and the Court Registrar should be conducted in a consistent way and to be seriously monitored considering that unprofessional handling of the change program would potentially lead to the failure of such programs and jeopardize the credibility of future change programs of the court before its stakeholders. Therefore, it is proposed that firstly, the leadership of the Secretariat General, the Court Registrar and the court?s justices should jointly organize a series of internal focused group discussions to craft and determine a comprehensive evaluation to measure the successes of implementation since the launching of the Blueprint in 2004. The credibillty of the evaluation may be better appreciated by the public if conducted by a team of independent evaluators, consisting of local experts in the field of organizational development (particularly those experienced in handling public organizations), administrative law/constitutional law specialists, and competent representatives of the stakeholders. Secondly, the Secretariat General and the Court Registrar jointly conduct periodic surveys (internal and external) to enhance structured observations on how change management efforts have influenced the efforts to develop the Constitutional Court to become a modern and trusted judicial institution. Based on those surveys, at the minimum the leadership of the court can obtain an initial form of a needs assessment analysis, which is required to be followed up via strategic decisions.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T 19245
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nizam Zakka Arrizal
Abstrak :

ABSTRAK

Tesis ini mengkaji tentang Pemberian Kuasa yang penunjukan penerima kuasanya dilakukan oleh hakim berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bandung nomor 204/Pdt.G/2015/PN. Bdg, sehingga diperlukan kajian terhadap masalah tersebut dengan isu hukum yang dibahas adalah keabsahan pemberian kuasa menjual oleh hakim berdasarkan peraturan perundang-undangan dan akibat hukum terhadap pelaksanaan peralihan hak atas tanah karena perintah pengadilan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dengan menggunakan data sekunder. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif dan alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Hasil penelitian ini adalah Pemberian kuasa menjual oleh hakim didalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung nomor 204/Pdt.G/2015./PN. Bdg adalah tidak sah karena bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta Akibat hukum dari Putusan Pengadilan Negeri Bandung nomor 204/Pdt.G/2015./PN. Bdg terhadap pelaksanaan peralihan hak atas tanah karena perintah pengadilan adalah Putusan tersebut dapat dilaksanakan oleh Penggugat yang dimenangkan oleh Pengadilan. Sehingga penggugat dapat melanjutkan prosedur transaksi jual beli yang langkah berikutnya adalah pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT dengan keadaan penggugat selaku kuasa dari Tergugat 1 sebagai Pihak Penjual dan selaku kuasa dari Tergugat 2 selaku Pihak Pembeli dan selaku kuasa dari Tergugat 2 sebagai Pihak Penjual dan berkedudukan sebagai penggugat sendiri selaku pembeli. Saran dalam penelitian ini adalah Hakim seharusnya menolak Petitum Penggugat untuk memberikan Kuasa Menjual. Untuk memberikan perlindungan hukum, hakim memerintahkan Penggugat untuk mendaftarkan langsung Peralihan Hak Atas Tanah ke Kantor Pertanahan berdasarkan Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 125 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah  dengan melampirkan salinan resmi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, salinan Berita Acara Eksekusi, sertipikat hak atas tanah, dan identitas penggugat.

 

Kata kunci: Pemberian Kuasa, Kuasa Menjual, Putusan Pengadilan.


ABSTRACT

This thesis examines the Provision of power of attorney which the appointment of the recipient is appointed by judge based on the Decision of the Bandung District Court number 204 / Pdt.G / 2015 / PN. Bdg, so that a study of the problem with legal issues is the validity of selling power by the judge based on laws and the legal consequences of the implementation of the transfer of land rights due to a court order. The method used is a normative juridical research method, namely research on legal principles using secondary data. While the data analysis method used is a qualitative method and the data collection tool used is the study of documents. The results of this study are the granting of selling power by judges in the Decision of the Bandung District Court number 204 / Pdt.G / 2015. / PN. Bdg is invalid because it contravenes the prevailing laws and regulations as well as the legal consequences of the decision of the Bandung District Court number 204 / Pdt.G / 2015. / PN. Bdg on the implementation of the transfer of land rights because the court order is that the Decision can be carried out by the Plaintiff who is won by the Court. So that the plaintiff can proceed with the sell and purchase transaction procedure, the next step is making a sale and purchase deed in front of the PPAT with the plaintiff as attorney for defendant 1 as the Seller and as attorney for Defendant 2 as the buyer and as the attorney for Defendant 2 as the Seller and domiciled as the plaintiff himself as the buyer. The suggestion in this study is that the Judge should reject the Plaintiff's Petitum to give a selling power. To provide legal protection, the judge ordered the Plaintiff to register directly the Transfer of Right to the Land Office based on Article 55 paragraph (1) Government Regulation Number 24 of 1997 on Land Registration jo. Article 125 Regulation of the Minister of Agrarian Affairs / Head of the National Land Agency Number 3 of 1997 on Implementation Provisions of Government Regulation Number 24 of 1997 on Land Registration by attaching an official copy of the Court's decision which has obtained permanent legal force, a copy of the Official Report of Execution, certificate of land rights, and the identity of the plaintiff.

 

Keywords: Power of Attorney, Selling Power, Court Decision.

2019
T52716
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ririen Aryani
Abstrak :
ABSTRAK
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan bank syariah di Indonesia, potensi yang muncul untuk terjadinya sengketa dalam perbankan syariah juga semakin tinggi, sehingga menjadi penting bagi perbankan syariah maupun masyarakat pengguna jasa perbankan syariah untuk memahami secara benar bagaimana pengaturan kewenangan lembaga penyelesaian sengketa pada perbankan syariah. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1989, Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan mempunyai kewenangan absolut sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah. Namun 2 (dua) tahun setelah diundangkannya UU Peradilan Agama tersebut, muncullah Undang-Undang (UU) Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 memberikan choice of law, bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat juga dilakukan melalui Peradilan Umum, apabila para pihak menghendaki dalam akad. Dengan adanya ketidakpastian hukum tersebut, keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 93/PUU-X/2012 yang menghapus Penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 tersebut. Berdasarkan hal tersebut terdapat beberapa permasalahan hukum yaitu bagaimana pengaturan kewenangan lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia diatur dan bagaimanakah implementasi dari putusan MK No. 93/PUUX/ 2012 serta tantangan dan potensinya. Permasalahan-permasalahan tersebut diteliti dengan menggunakan metode penelitian sosio legal, yang merupakan penelitian hukum yang menggunakan pendekatan metodologi ilmu sosial dalam arti yang luas. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama, putusan MK No. 93/PUU-X/2012 telah mengembalikan Kompetensi Absolut sebagai lembaga penyelesaian sengketa Perbankan syariah beserta derivasinya. Kedua, implementasi putusan MK No. 93/PUUX/ 2012 belum sempurna, terlihat dari masih adanya perkara eksekusi jaminan Hak tanggungan dan hipotek yang diselesaikan di Pengadilan Negeri. Ketiga, masih adanya tantangan dalam penerapan putusan MK No. 93/PUU-X/2012 tersebut, yang terlihat dari masih adanya ketidakpahaman masyarakat akan kompetensi absolut peradilan agama sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia.
ABSTRACT
Along with the rapid growth of Islamic banks in Indonesia, the potential that arises for disputes in Islamic banks are also getting higher, so that it becomes important for Islamic banking and the community users of Islamic banking services to understand correctly how the rules of the institution competence for dispute settlement in Islamic banking. Based on Law No. 3 of 2006 on amendments to Law No 7 of 1989, Religious Courts as judicial institutions have absolute competence as a dispute settlement institution on Islamic banks. However, 2 (two) years after the promulgation of the Law on Religious Court, legalized of Law on Sharia Banking No. 21 of 2008, for giving the choice of law, that Islamic banking dispute resolution can be solved through the General Courts if the parties want in the contract. With the legal uncertainty, the Constitutional Court Decree issued No. 93/PUU-X/2012 which removes the explanation of article 55 paragraph (2) Sharia Banking Law No. 21 of 2008. Based on these, there are legal issues, that are how the regulation of authority for sharia banking dispute settlement institutions in Indonesia and how the implementation of the Constitutional Court decree No. 93 / PUU-X / 2012 and its challenges and potential. These problems are examined using the socio-legal research method, which is legal research that uses a methodology approach of social science in a broad sense. From the research, it can be concluded that first, the Constitutional Court decree No. 93 / PUU-X / 2012 has returned Absolute Competence as an Islamic Banking dispute settlement institution and its derivatives. Second, the implementation of the Constitutional Court Decree No. 93/PUU-X/2012 has not been perfect, it can be seen from the cases of execution of guarantees Mortgage and mortgage rights that are settled in the District Court. Third, there are still challenges in the implementation of the Constitutional Court Decree No. 93/PUU-X/2012, which can be seen from the incomprehension of the community about the absolute competence of the religious court as an institution for dispute settlement on Islamic banking in Indonesia.
2019
T52958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardili Nuryadi
Abstrak :
Bureaucracy, business sector, and people are three main pillars in carrying out good governance system. The implementation of governmental functions, such as public services, basically have already been supported by bureaucracy. Bureaucracy, which is reliable and able to perform well, has been a wish/an expectation of all Indonesian people. The expectation, which was also one of things demanded in a bureaucratic reformation movement in 1998, in order to make bureaucracy more responsive inexpensive, indiscriminative, and more transparent in its service. Besides bureaucracy, law enforcement and justice are also the reformation movement mandates that people expect to come to pass. Reformation in judiciary institutions with notorious reputation and considered fail in fulfilling people`s sense of justice has been the central demand / the main point in the reformation era. However, until more than a decade after the reformation movement begun in 1998, that/such expectation have not yet come to reality. Bureaucracy and judiciary institutions in Indonesia are still considered lacking of the betterment spirit and considered not standing up for people. Until recently, not many bureaucratic institutions have been considered to provide optimum services for the people and, at the same time, implement the good governance principles successfully. One of the few institutions manages to implement both service excellence and good governance, is The Constitutional Court of Republic of Indonesia. This research is aimed at examining a clear picture of the organization of The Constitutional Court in its effort to become a modern and credible judiciary institution as well as to provide fast, simple, and inexpensive services to justice seekers. The analysis of Constitutional Court`s organization in this research is conducted by using McKinsey`s 7-S model framework in organization, which are System, Strategy, Structure, Style, Staff, Skill, and Shared Values. This research also using positivist approach (Neuman, 1991) with mix method in gathering the research data, they are in depth interview and survey. The interview was made with several officer who are responsible in organizational policies, while survey`s respondents are employees those already work in the Constitutional Court for two years or more. The type of this research is applied-descriptive. The result of this research showed that the organization of Constitutional Court is indeed designed to become an open organization by setting out its slogan: Filing a petition at Constitutional Court is free of charge. The Constitutional Court was also a pioneer by developing an information and communication technology (ICT) network system for bringing up fast, inexpensive, simple, and transparent judiciary system. Judiciary services were conducted in one-stop-service system through The Constitutional Court`s official website in the internet. Meanwhile, The Constitutional Court`s fundamental strategy in developing its organization is by being consistent with its vision and mission and by positioning the organization as a clean, modern, and credible judiciary institution. The Court is also designed its bureaucracy organization with slim-but-abounds-with-functions structure; consequently, the span of control could be much shorter. In human resources development area, every staff is demanded to possess multi-tasking ability. For this intention, the organization has facilitated the staff to continually increase their capabilities through many training programs, as well as providing opportunity to study in local or overseas universities. Meanwhile, the organization shared values that could increase the level of productivity and services are togetherness and kinship among the staff. Nevertheless, contrary to the perception of those outside the organization, the leadership in The Constitutional Court has not been successful in assuring all its employees about the idea of creating a bureaucratic institution which fully adopts and implements the good governance principles.
Birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat merupakan tiga pilar utama dalam upaya mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang baik (good Governance). Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan publik, pada dasarnya telah ditopang oleh birokrasi. Birokrasi yang handal dan mampu bekerja dengan baik, merupakan harapan bagi seluruh bangsa Indonesia. Harapan tersebut, merupakan salah satu tuntunan gerakan reformasi birokrasi 1998, agar birokrasi menjadi tempat layanan masyarakat yang cepat, murah, tidak diskriminatif dan transparan. Selain birokrasi, penegakan hukum dan keadilan juga merupakan amanat reformasi yang menjadi harapan setiap masyarakat agar dapat terlaksana. Reformasi terhadap lembaga peradilan yang dianggap belum mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat telah menjadi satu tuntutan sentral dalam era reformasi. Namun, hingga lebih dari satu dekade reformasi berlalu, harapan tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Birokrasi dan lembaga peradilan di Indonesia masih dianggap belum memiliki semangat perbaikan dan keberpihakan kepada masyarakat. Belum banyak instansi birokrasi dan lembaga penegakan hukum yang dianggap mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakt sekaligus juga berhasil dalam pelaksanaan nilai-nilai good governance. Salah satu organisasi birokrasi sekaligus lemabag penegak hukum dan peradilan yang dianggap mampu mewujudkaan kedua hal tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini berusaha mengkaji upaya Mahkamah Konstitusi dalam membangun organisasinya menjadi lembaga peradilan yang kredibel, modern, terpercaya, sekaligus mampu memberikan pelayanan yang cepat, mudah, dan murah kepada masyarakat. Analisis organisasi Mahkamah Konstitusi pada penelitian ini menggunakan teori model 7-S McKinsey yang terdiri atas System, Strategy, Structure, Style, Staff, Skill, dan Shared Values. Pendekatan penelitian yang digunakan dengan menggunakan pendekatan positivist (Neuman, 1991) dengan metode campuran (mix method) untuk pengumpulan datanya, yakni wawancara dan survey. Wawancara dilakukan terhadap para pejabat pengambil kebijakan di Mahkamah Konstitusi sedangkan survey dilakukan terhadap para pegawai yang telah bekerja di Mahkamah Konstitusi selama 2 (dua) tahun atau lebih. Tipe penelitian ini adalah deskriptif terapan. Temuan penelitian menunjukkan, sistem organisasi Mahkamah Konstitusi didesain menjadi sebuah organsiasi yang terbuka dengan mengedepankan slogan `Berperkara di Mahkamah Konstitusi Tidak Dipungut Biaya`. Mahkamah Konstitusi juga membangun sistem jaringan teknologi informasi dan komunikasi untuk memelopori sistem peradilan yang cepat, murah, sederhana atau mudah, dan transparan. Pelayanan peradilan dilakukan dengan sistem one stop services melalui laman atau website Mahkamah Konstitusi. Sementara, strategi utama Mahkamah Konstitusi dalam mengembangkan organisasi adalah konsisten dengan visi dan misi serta positioning institusi sebagai lembaga peradilan yang bersih, modern dan terpercaya. Mahkamah Konstitusi juga mendesain organisasi birokrasinya menjadi organisasi yang ramping namun kaya akan fungsi kerja sehingga rentang kendali (span of control) organisasi menjadi lebih pendek. Pada bidang pengembangan SDM, setiap pegawai juga dituntut memiliki kemampuan kerja dengan ragam kecakapan (multi tasking). Organisasi juga memfasilitasi setiap pegawai dalam peningkatan kemampuan (capability) melalui berbagai program diklat serta magang dan tugas belajar di luar negeri. Sementara nilai bersama (shared values) organisasi yang mampu meningkatkan kinerja dan pelayanan adalah kebersamaan dan kekeluargaan di antara sesama pegawai. Namun berbeda dengan persepsi ekstrenal organisasi, kepemimpinan di Mahkamah Konstitusi belum mampu memberi keyakinan kepada seluruh pegawai dalam mewujudkan institusi birokrasi yang secara penuh melaksanakan prinsip-prinsip good governance.
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T26360
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meyrin
Abstrak :
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU/VII/2010 tentang anak yang lahir di luar perkawinan merupakan putusan yang bersejarah bagi hukum perkawinan Indonesia. Putusan ini membuka peluang kepada anak yang lahir di luar perkawinan untuk mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Tesis ini membahas mengenai apakah latar belakang terbitnya putusan tersebut juga bagaimanakah dampak berlakunya putusan terhadap akta pengakuan anak dan surat keterangan hak waris. Sebagai perbandingan, tesis ini juga memaparkan gambaran umum mengenai anak luar kawin di negeri Belanda. Penyusunan tesis ini dilakukan dengan metode penelitian normatif.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T30371
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Diaz Arda Kusuma
Abstrak :
Sesuai dengan panduan Tata Kelola Pemerintahan yang baik menurut Bappenas 2007 setiap badan publik harus berusaha menerapkan semua asas dan indikator GPG untuk dapat memberikan layanan yang terbaik kepada semua pemangku kepentingan dan mencapai visi misi dan tujuannya Selain itu setiap Badan Publik sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pasal 7 ayat 3 wajib membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga layanan informasi dapat memberikan akses dengan mudah Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan publik juga memiliki kewajiban untuk melaksanakan kedua amanat tersebut Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana penerapan Tata Kelola Pemerintahan dan keterbukaan informasi publik dalam rangka mendukung asas transparansi di Pengadilan Pajak Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan memanfaatkan data primer wawancara dan data sekunder Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Pengadilan Pajak sudah melaksanakan semua asas dan indikator Tata Kelola Pemerintahan yang baik Ada beberapa kelemahan yang penulis temukan di antaranya kurangnya sosialisasi dan publikasi luas tentang Pengadilan Pajak serta kurang optimalnya sarana pengaduan
Each public institution has to implement good public governance Bappenas 2007 and be transparent and disclose all of it rsquo s activities and results outcomes of its activities as mandated by Law Number 14 of 2008 concerning public disclosure It shall establish and develop information and documentation systems for managing public information properly and efficiently Tax Court as a public institution has the same obligation The study was conducted in order to analize how the implementation of Good Public Governance in Tax Court institution The study uses the qualitative method by analyzing primari data results of inteview and secondary data from various resources The research concluded that The Tax Court institution has implemented all the GPG priciple indicator established by Bappenas 2007 well We found some weaknessed such as the socialization activity that have to be improved and increased in order for the society to know well The Tax Court its functions its procedures and its activity;
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S57977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>