Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elisabeth Bethesda
Abstrak :
Mempidana terdakwa tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan hanya didasarkan atas perbuatan yang menimbulkan akibat yakni kerugian negara, akan tetapi cukup dengan apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Namun dalam prakteknya bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara membutuhkan adanya kerugian negara yang nyata atau riil. Di samping itu bahwa rumusan ancaman pemidanaan dalam kedua pasal a quo memberikan kontribusi akan terjadinya disparitas pemidanaan karena selain memuat alternatif mengenai jenis-jenis pidana juga memuat ancaman pidana minimum dan maksimum. Keadaan rumusan demikian merupakan ancaman pemidanaan dalam bentuk ruang hampa yang harus dikonkretisasi dalam penjatuhan pemidanaan. Dengan begitu pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menilai efektivitas implementasi pemidanaan dalam kaitannya dengan jumlah kerugian keuangan negara. Kajian yang dilakukan juga merupakan bentuk kajian yuridis normatif melalui pendekatan undang-undang (statute approach)dan analisa putusan (decision analysis). 
Convicting the defendants of corruption in Article 2 and Article 3 of Law Number 20 of 2001 on Amendment to Law Number 20 of 2001 on Corruption Eradication is not only based on acts affecting the state financial or economic losses, but it is rather considered as despicable because it is not corresponding to the sense of justice or the norms of social life in the society. However, state financial or economic losses require real state losses. In addition, the formulation of criminal punishment in the two a quo articles contributes to the disparity of punishment as those do not only contain alternatives regarding types of crime, but also minimum and maximum criminal punishment. This situation is a criminal punishment in the form of vacuum which must be concretized in the criminal conviction. Therefore, the approach used in this research was to assess the effectiveness of implementation of criminalization in relation to the amount of state financial losses. The study conducted was also a form of normative juridical study through a statute approach and decision analysis.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Telaumbanua, Yamofozu
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang delik suap seringkali dilakukan dalam bentuk mata rantai yang panjang dengan menggunakan penghubung atau perantara sebagai penghubung dalam mewujudkan terjadinya suap yang mengakibatkan sulitnya mengkualifikasikan kedudukan perantara itu sebagai pemberi atau penerima suap. UNCAC telah mengatur tentang penyertaan dalam delik suap. Namun, konsep tersebut belum jelas untuk dapat diberlakukan dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sehingga menimbulkan permasalahan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap perantara delik suap, khususnya mengenai pembuktian dan pemidanaan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach) untuk mengetahui konsep penyertaan delik suap pada tindak pidana korupsi di Indonesia, pengaturan penyertaan delik suap yang diatur dalam UNCAC, dan pertanggungjawaban pidana perantara delik suap dalam putusan pengadilan di Indonesia. Hasil penelitian ini menyimpulkan perantara suap yang tidak memiliki kualitas yang dirumuskan dalam rumusan delik tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, sehingga dengan konsep penyertaan yang digunakan bersama pasal suap, perantara dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. This thesis discusses bribery offense is often done in the form of a long chain by using a liaison or intermediary as a liaison in creating the occurrence of bribery which makes it difficult to qualify the position of the intermediary as the bribe giver or receiver. UNCAC has regulated the complicity in bribery offenses. However, the concept is not yet clear to be applied in corruption cases in Indonesia. Giving rise to problems in criminal liability for intermediaries in bribery offenses, especially regarding proof and conviction. This study uses a descriptive normative juridical research method using the statue approach and conceptual approach to determine the concept of complicity of bribery offense on corruption in Indonesia, the regulation of complicity of bribery offense regulated in UNCAC, and criminal liability intermediary offense bribery in a court decision in Indonesia. The results of this study conclude that bribe intermediaries who do not have the quality formulated in the offense formula cannot be held liable for criminal liability, so that with the concept of inclusion used with the bribery article, intermediaries can be called for liability.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Juang Nirboyo
Abstrak :
Tesis ini membahas pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 melalui perbandingan dengan lembaga sejenis KPK di negara lain, yaitu CPIB Singapura dan ICAC Hongkong dengan mengambil best practices dari pengelolaan SDM KPK negara lain tersebut. Permasalahan yang diangkat adalah a) kondisi kepegawaian Penyidik KPK sebelum dan sesudah Undang-Undang tersebut, dan b) pengalihan status Penyidik KPK menjadi Pegawai Negeri Sipil yang mampu merepresentasikan independensi dan profesionalitas kerja serta menunjang penegakan hukum pemberantasan korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan bahan utama data sekunder melalui penelusuran literatur. Adapun pendekatan analisis dengan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: a) kondisi kepegawaian sebelum Undang-Undang tersebut Penyidik KPK terdiri atas Pegawai Tetap dan Pegawai Negeri yang Dipekerjakan sedangkan setelah Undang-Undang tersebut terdiri atas Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Polri; b) Transplantasi model penyidik pada CPIB Singapura dan ICAC Hongkong dapat dimasukkan dalam rumusan Jabatan Fungsional Penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sedang dalam proses penyusunan dan pembahasan oleh KPK dengan instansi terkait. Bersamaan dengan pembentukan Jabatan Fungsional Penyidik Tipikor, dalam rangka mewujudkan independensi Penyidik KPK, maka kemandirian KPK dapat diimplementasikan melalui komposisi Penyidik KPK antara Penyidik yang bersumber dari Pegawai Tetap yang telah beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Polri dengan perbandingan sebesar 80% : 20%. ......This thesis discusses the transfer of employee status to the Corruption Eradication Commission (KPK) after the enactment of Law Number 19 of 2019 through comparisons with institutions similar to KPK in other countries, namely CPIB Singapore and ICAC Hong Kong by taking best practices from the HR management of the KPK in other countries. The issues raised are a) the staffing conditions of KPK investigators before and after the law, and b) the status transfer of KPK investigators to civil servants who are able to represent work independency and professionalism and support law enforcement to eradicate corruption. The research method used is normative juridical, with the main material being secondary data through literature searches. The analysis approach is qualitative. The results of the study show that: a) the conditions of employment before the Act KPK investigators consisted of Permanent Employees and Employed Civil Servants while after the Act consisted of Civil Servants and Members of the Police; b) Transplantation of the investigator model at the Singapore CPIB and Hong Kong ICAC can be included in the formulation of the Functional Position of Corruption Crime Investigator (Tipikor) which is in the process of being drafted and discussed by the KPK with relevant institutions. Along with the establishment of the Functional Position of Corruption Investigator, in order to realize the independency of KPK Investigators, the independency of the KPK can be implemented through the composition of KPK Investigators between Investigators originating from Permanent Employees who have turned into Civil Servants and Police Officer with a ratio of 80%: 20%.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murpraptono Adhi Sulantoro
Abstrak :
Tindak pidana korupsi saat ini telah bertransformasi dari delik formil menjadi delik materiil setelah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan putusan nomor 25/PUU-XIV/2016. Beberapa ahli menilai putusan ini lebih memberikan kepastian hukum karena kerugian negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi harus dibuktikan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai pengaturan, pelaksanaan, dan permasalahan dalam penentuan adanya kerugian negara dan pelaksanaan penyelesaian kerugian keuangan negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statue Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Penelitian yang telah dilakukan menjelaskan, terdapat persinggungan dalam proses penghitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi antara hukum administratif dan hukum acara pidana. hal tersebut memunculkan perbedaan pendapat perihal institusi yang berwenang untuk menentukan kerugian negara. Tata cara penghitungan kerugian negara dilakukan dengan pendekatan audit investigatif. Namun demikian, apakah standar dan teori yang mendasari penghitungan kerugian negara telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Selain untuk memenuhi unsur dari delik materiil, penghitungan kerugian negara juga memiliki arti penting untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan vonis bagi terdakwa, baik itu pidana penjara maupun pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebagai upaya pemulihan keuangan negara. ......At present, corruption has been transformed from a formal criminal to a material criminal after the Constitutional Court of the Republic of Indonesia issued sentence Number 25/PUU-XIV/2016. Some experts consider this decision to provide more legal certainty because state losses as a result of corruption must be proven. This research generally aims to provide an overview of the regulation, implementation, and problems in determining the existence of state losses and implementing the settlement of state financial losses. The method used in this research is a form of normative research with a Statue Approach and a Conceptual Approach. The research that has been carried out explains that there are intersections in the process of calculating state losses in corruption cases between administrative law and criminal procedural law. This raises differences of opinion regarding the institution authorized to determine state losses. The procedure for calculating state losses is carried out using an investigative audit approach. However, whether the standards and theories underlying the calculation of state losses are following the applicable procedural law. In addition to fulfilling the elements of material offenses, the calculation of state losses also has an important meaning to guide judges in imposing sentences on defendants, both imprisonment and an additional payment of compensation as an effort to recover state finances.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Faisol Soleh
Abstrak :
Keterlibatan BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik pada beberapa perkara korupsi mengindikasikan bahwa bukan hanya individu pengurusnya saja yang dapat melakukan korupsi, namun juga badan itu sendiri. Dengan demikian maka seharusnya pemberantasan korupsi juga dapat menjerat badan hukum publik tersebut sebagai korporasi. Penelitian ini akan menjawab beberapa permasalahan seputar; pertama, landasan penerapan pertanggungjawaban pidana BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik pada perkara korupsi; kedua, problematika pengaturan dalam penerapan pertanggungjawaban pidana BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik; dan ketiga, pengaturan ideal pertanggungjawaban pidana BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik pada perkara korupsi. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian hukum normatif dengan data sekunder yang didukung dengan data primer serta dianlisis secara deskriptif-kualitatif. Pendekatan dalam penelitian ini ialah pendekatan konseptual, perundang-undangan dan perbandingan. Hasil dari penelitian ini ialah; pertama, penerapan pertanggungjawaban pidana BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik memiliki landasan yang kuat baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis; kedua, problematika pengaturan pertanggungjawaban pidana BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik yang masih abstrak dan tidak implementatif; dan ketiga, pengaturan ideal dilakukan dengan merumuskan dan menegaskan BUMN dan BUMD sebagai badan hukum publik dalam konteks korporasi dengan sistem pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidaan yang khusus. Melakukan perbaikan terhadap pengaturan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi pada perkara korupsi, pengetahuan yang baik aparat penegak hukum pertanggungjawaban pidana korporasi, serta kehendak politik kuat dari segenap elemen bangsa agar terhindar dari perbuatan korupsi merupakan saran dari penelitian ini ......The involvement of BUMN and BUMD as public legal entities in several corruption cases indicates that not only individuals can commit corruption, but the body itself. Thus, corruption eradication should also be able to ensnare these public legal entities like corporations. This research will answer several problems around; first, the basis for implementing the criminal liability of BUMN and BUMD as public legal entities in corruption cases; second, regulatory issues in the application of criminal liability for BUMN and BUMD as public legal entities; and third, the ideal arrangement of criminal liability for BUMN and BUMD as public legal entities in corruption cases. This research is normative legal research with secondary data supported by primary data and is analyzed descriptively-qualitatively. The approach in this research is a conceptual, statutory, and comparative approach. The results of this study are; first, the application of criminal responsibility for BUMN and BUMD as public legal entities has a strong basis both philosophically, juridically, and sociologically; second, the problem of regulating criminal liability for BUMN and BUMD as public legal entities which are still abstract and unimplementable; and third, the ideal arrangement is executed by formulating and affirming BUMN and BUMD as public legal entities in the context of a corporation with a particular system of criminal liability, punishments, and sentencing. Making improvements to the regulation of corporate criminal liability concept in corruption cases, good knowledge of corporate criminal liability by law enforcement officials, and strong political will from all elements of the nation to avoid acts of corruption are the suggestions of this study
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahri Hasan
Abstrak :
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi melibatkan banyak lembaga penegak hukum dengan berbagai kewenangan yang dimiliki, namun dalam prosesnya masih juga timbul persoalan-persoalan serius. Persoalan tersebut banyak berkaitan dengan kewenangan mengadili yang melekat pada hakim, seringkali hakim menjatuhkan putusan pemidanaan dengan pertimbangan yang tidak relevan dengan fakta-fakta yang muncul di persidangan, terutama ketika hakim memasukan dasar atau alasan peringan pidana terhadap terdakwa sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan. Dikeluarkannya peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2020 tentang pedoman pemidanaan terutama berkaitan dengan Pasal 2 dan 3 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pedoman pemidanaan tersebut memiliki peran penting dalam hal untuk meminimalisir kesalahan para hakim sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan dalam perkara tindak pidana korupsi khsususnya Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi. ......Law enforcement against corruption involves many law enforcement agencies with various authorities, but in the process serious problems still arise. These problems relate to the judicial authority inherent in judges, the judge often imposes sentencing decisions with considerations that are irrelevant to the facts that appear in court, especially when they include the basis or reason for mitigating the punishment of the defendant before passing a sentencing decision. The issuance of Supreme Court regulation number 1 of 2020 concerning sentencing guidelines is mainly related to Articles 2 and 3 of law Number 31 of 1999 as amended by law Number 20 of 2001 concerning the eradication of criminal acts of corruption. These sentencing guidelines have an important role in terms of minimizing the mistakes of judges before handing down sentencing decisions in corruption cases, especially Article 2 and Article 3 of the corruption law.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Jaya P.
Abstrak :
Penelitian ini didasarkan pada metode penelitian hukum normatif (pure legal) dengan penggunaan Ajaran Positivisme Hukum Analitis atau analytical legal positivism melalui Teori ?The pure theory of law? dan ?Stufenbau Theorie? dari Hans Kelsen serta Teori Kebenaran Pragmatis untuk menganalisa praktik penerapan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Hakim di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta maupun Mahkamah Agung RI.

Melalui kajian terhadap studi kasus diperoleh hasil penelitian bahwa belum terdapat kesatuan pemahaman oleh Hakim pada judex facti maupun judex juris dalam memahami dan menerapkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terhadap pelaku yang berstatus kepala daerah dalam perkara tindak pidana korupsi yang terkait penggunaan anggaran kas daerah untuk kepentingan pribadi atau yang tidak sesuai peruntukannya. Dalam konteks ini, masih terdapat kekeliruan cara pandang normatif dalam menentukan siapa subyek hukum yang menjadi sasaran norma (addressat norm) yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001; serta dalam mengkualifikasikan suatu perbuatan sebagai ?perbuatan melawan hukum? dan ?perbuatan penyalahgunaan wewenang? dalam konteks tindak pidana korupsi.
The study was based on normative legal research methods (pure legal) with the use of analytical legal positivism through ?The pure theory of law? and "Stufenbau Theorie" of Hans Kelsen and The Pragmatic Theory of Truth to analyze the practice of application of Article 2 Paragraph (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 as amended by Act No. 20 of 2001 on Corruption Eradication Corruption Court Judge at the Central Jakarta District Court and High Court of Jakarta and the Supreme Court.

Through a review of case studies obtained results that do not have the unity of the understanding by the Judge on judex facti and juris judex in understanding and applying the provisions of Article 2 Paragraph (1) and Article 3 of Law Number 31 Year 1999 jo. Law Number 20 Year 2001 on the status of actors in the regional heads of corruption crimes related to the use of the cash budget for personal or not its designation. In this context, there is still a normative perspective error in determining who the legal subject to whom the norm (norm addressat) contained in the provisions of Article 2 Paragraph (1) and Article 3 of Law Number 31 Year 1999 jo. Act No. 20 of 2001; and in an act qualifies as an "unlawful act" and "works of abuse of authority" in the context of corruption.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31041
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rumi Danang Sufianto
Abstrak :
Penulisan Skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan mengenai pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, yang kerap kali dinilai masih tidak maksimal dalam pelaksanaannya, terlebih apabila terhadap harta benda tersebut dilakukan pencucian uang ke luar negeri sehingga menimbulkan permasalahan antar jurisdiksi. Pemulihan aset tidak hanya dapat dilakukan melalui mekanisme hukum pidana saja, namun juga hukum perdata, termasuk pula kepailitan, hal mana telah diterapkan dalam beberapa kasus yang pernah terjadi di beberapa yurisdiksi, namun belum pernah diterapkan di Indonesia. Metode penelitian pada skripsi ini adalah penelitian hukum dalam bentuk yuridis normative. Berdasarkan analisis penulis, forum kepailitan, termasuk pula kepailitan lintas batas (cross-border insolvency) dapat menjadi salah satu pilihan untuk memaksimalkan permasalahan pemulihan aset, disamping melalui penuntutan secara pidana dan gugatan perdata. Namun untuk memaksimalkan hal tersebut, Pemerintah perlu mengatur lebih lanjut mengenai kepailitan lintas batas (cross-border insolvency) serta joint bankruptcy dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia. ......The writings of this thesis is motivated by issues regarding the recovery of assets resulting from and related to corruptions, which are often considered to be not optimal in its implementation, especially when the particular assets are being laundered overseas, and therefore arising an extra-jurisdiction problems. Asset Recovery is not only be done by criminal forfeiture, but also civil forfeiture, including bankruptcy or insolvency proceedings as well, in which insolvency proceedings has been applied in several cases in several jurisdictions, but have never been applied in Indonesia. The research method in this thesis is normative judicial legal research. Based on the writer’s analysis, bankruptcy and/or insolvency proceedings, including the legal instrument of cross-border insolvency, can be an option to aid and maximize to succeeds asset recovery. However, in order to maximize its success, the Government should regulate about cross border insolvency and joint bankruptcy and/or insolvency further , in the Indonesian Bankruptcy Law.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prabowo Hario Tri Cahyo
Abstrak :
Penulisan dari tugas karya akhir ini membahas mengenai Program perlindungan yang diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK terhadap Justice Collaborator tindak pidana korupsi. Program tersebut dijalankan oleh LPSK sebagai upaya pemberantasan korupsi dengan melindungi Justice Collaborator agar ia dapat bersaksi di pengadilan. Melalui tahapan-tahapan perlindungan seperti pra-perlindungan, perlindungan, dan post-perlindungan, penulis menganalis menggunakan kebijakan kriminal, Sistem Peradilan Pidana, dan konsep program sebagai dasar analisa terhadap perlindungan kepada Justice Collaborator tindak pidana korupsi. Hasil yang diberikan kemudian adalah keberhasilan program perlindungan kepada Justice Collaborator tindak pidana korupsi. ...... This final paper writing about the Program given by Witness and Victim Protection Agency LPSK to Justice Collaborator of corruption crime. The program conducted by LPSK as an effort to eradicate corruption by protecting Justice Collaborator so that he can testify in court. Through these protection steps, pre protection, protection, and post protection, the authors analyze with criminal policy, criminal justice system, and program concept as the basis for the analysis of the protection of the Justice Collaborator of corruption. The result given later is the success of the protection program to the Justice Collaborator of corruption.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Julianto Salomo Parluhutan
Abstrak :
ABSTRAK
Di era reformasi, pemilihan umum (pemilu) adalah wujud nyata demokrasi yang memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih dan terkhusus untuk dipilih sebagai hak konstitusional warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Akan tetapi, dalam setiap pemilu hak seseorang untuk dipilih tersebut harus memenuhi persyaratan aturan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukumnya. Hal yang  menjadi perhatian adalah syarat yang ditetapkan tersebut seringkali dipersoalkan konstitusionalitasnya maupun kekuatan mengikatnya akibat bertolak belakang substansi peraturannya secara hierarki perundang-undangan. Permasalahan yang menjadi kajian penulis adalah bagaimana konstitusionalitas hak politik mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon legislatif atau pejabat publik yang dipilih pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan bagaimanakah akibat hukum peraturan yang melanggar hak-hak sipil dan politik warga negara serta melarang mantan narapidana korupsi untuk dapat dipilih dalam pemilihan umum sebagai calon legislatif oleh Komisi Pemilihan Umum terkait dengan hak asasi manusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstitusionalitas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara hierarki melanggar ketentuan yang diatur Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai peraturan yang lebih tinggi. PKPU sebagai aturan pelaksana tidak dapat mengatur ketentuan yang bertentangan daripada yang telah diatur oleh undang-undang. Kekuatan mengikat pasal yang mengatur pembatasan mantan narapidana untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum tetap berlaku, namun harus dimaknai sesuai syarat yang diberikan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Penelitian menunjukkan bahwa alasan mengapa persyaratan mengenai hak mantan narapidana untuk dipilih dalam pemilu senantiasa berulang dilakukan judicial review ialah karena pembentuk undang-undang tidak tegas memasukkan 4 (empat) alasan inkonstitusional bersyarat yang diberikan Mahkamah Konstitusi untuk diatur dalam norma undang-undang, dan pembentuk undang-undang hanya mencantumkan sebagian dari yang dipersyaratkan Mahkamah Konstitusi ke dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sehingga pengujian undang-undang terhadap syarat mantan narapidana untuk ikut serta dalam pemilihan umum akan selalu terulang setiap hendak ada pemilihan umum. Penulis merekomendasikan agar pembentuk undang-undang tegas memasukkan seluruh ketentuan inkonstitusional bersyarat yang dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan menitikberatkan kepada penelitian kepustakaan.
ABSTRACT
In the era of electoral reform is a sign of democracy that is realized with the right of a person to choose and specifically to be chosen as a constitutional right of citizens to participate in government. However, in each election, the right of a person to be elected must fulfill the rule requirements based on legislation as their legal basis. However, the stipulated conditions are often questioned in terms of their constitutionality and binding power due to the contrary of the hierarchical substance of the rules of legislation. The problem that the author studies is What are the legal consequences of PKPU No. 20 of 2018 after the Decision of the Constitutional Court Number 42/PUU-XIII/2015 and how is the constitutionality of the right of former corruption inmates to participate in general elections. The results showed that PKPU No. 20 of 2018 in a hierarchy violates the provisions regulated by law no. 7 of 2017 as a higher regulation. PKPU as an implementing rule cannot regulate contradictory provisions rather than those regulated by law. The constitutionality of the rights of ex-prisoners of corruption, none of the laws and regulations can prevent it considering that the decision of the Constitutional Court Number 42/PUU-XIII/2015 has permitted it. Research shows that the reason why the requirements regarding the rights of ex-prisoners to be elected in elections are repeated in a judicial review because the legislators do not explicitly include 4 conditional unconstitutional reasons given by the Constitutional Court to regulate the law and the legislators only list part of the norm based on the rules given by the Constitutional Court so that when the requirements of the Constitutional Court are only partially included in the norm or in the explanatory section of the law, testing of the law against the conditions of ex-prisoners to participate in general elections will always repeat every period of a large election democracy. This study uses a normative juridical method with a statutory approach and focuses on library research.
2020
T55038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>