Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Ari Mukhlason
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011
364.132 3 ARI g (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Meskipun penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi terus digencarkan, bahkan melalui upaya luar biasa sekalipun—pembentukan KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, namun sepertinya kerja pemberantasan korupsi masih harus melalui jalan panjang, mengingat begitu sistemik dan meluasnya praktik korupsi di negeri ini. Satu hal yang ditengarai menjadi sumber betapa sistemik dan berjejaringnya praktik korupsi di Indonesia, ialah warisan birokrasi masa lalu, yang lebih mengedepankan pada pendekatan relasi patrimonialistik. Melalui relasi ini, para birokrat—pejabat negara, pegawai pemerintah, kaum pengusaha, dan aparat penegak hukum, bertemu membentuk jejaring korupsI, yang memberi untung bagi mereka, dalam sebuah hubungan patron dan klien. Untuk itu, selain pembentukan sejumlah peraturan perundang-undangan yang memberikan legitimasi hukum bagi gerak pemberantasan korupsi, dan tentunya disertai dengan langkah nyata penegakan hukum, juga harus dibarengi dengan perubahan paradigma para penyelenggara dan aparat negara. Selain di level teknis reformasi birokrasi, model sistem birokrasi patrimonialistik yang selama ini mengakar, mesti diubah menjadi suatu konsep birokrasi rasional, yang memberikan dukungan sepenuhnya bagi penyelenggaraan sebuah pemerintahan modern. Harus diciptakan demarkasi, yang memberikan batasan tegas antara birokrasi patrimonialistik masa lalu yang korup, dengan birokrasi rasional yang bebas korupsi."
JLI 8:2 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aprianus Salam
Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2014
363.3 APR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elstonsius Banjo
"Sudah banyak orang diputus besalah dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Namun, apakah pengadilan Tipikor telah mempertimbangan unsur kesalahan secara komprehensif pada pertanggungjawaban pidana. Penelitian ini mengkaji tiga permasalahan hukum, yaitu (1) Bagaimana pengadilan Tindak Pidana Korupsi mempertimbangkan unsur kesalahan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK dalam putusan-putusannya; (2) Bagaimana perkembangan penafsiran unsur kesalahan dalam rumusan tindak pidana korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK; dan (3) Bagaimana parameter untuk menilai unsur kesalahan sebagai dasar pertanggung-jawaban pidana pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Metode yang digunakan adalah “Yuridis Normatif” untuk menggali norma hukum dan keputusan pengadilan berdasar ‘library based-study”, dan dilakukan melalui “analytical and critical approach”. Penilaian dan pengujian berdasarkan asas dan teori kesalahan, dan dilakukan melalui model penalaran moralitas “Natural Law”. Hasil penelitian menunjukan, bahwa pengadilan Tipikor cenderung memidana terdakwa tanpa pertimbangan secara komprehensif unsur kesalahan. Lebih kepada keadaan objektif daripada keadaan objektif dan subjektif, yaitu suatu perbuatan yang tidak mengikuti standar dan prosedur administrasi yang dipersyaratkan, dan belum menyentuh pada suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum (wederrecchtelijkheid) dan “dengan sengaja” untuk menguntungkan atau memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, sehingga negara dirugikan. Meskipun ada hakim menyebutkannya secara aksplisit atau pun implisit dalam pertimbangan hukumnya, akan tetapi belum digali hubungan antara unsur “sengaja” dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara. Dengan demikian, asas dan teori Kesalahan yang dikolaborasi dengan model penalaran moralitas “Natural Law” dapat menjadi model ideal (parameter) untuk menilai unsur kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Sebab keadaan objektif dan subjektif menjadi syarat pertanggungjawaban pidana, dan pada model penalaran moralitas “Natural Law” tidak melepas pengujian validitas normatif Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK guna memperoleh kebenaran dan keadilan.

Many people have been convicted and sentenced for criminal acts of corruption in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. However, the Corruption Court has not been able to comprehensively consider the elements of guilt for the crimes committed. This study examines three legal issues, namely (1) How the Corruption Court considers the elements of guilt in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law in its decisions; (2) How is the development of the interpretation of the element of guilt in the formulation of the criminal act of corruption of Article 2 and Article 3 of the PTPK Law; and (3) What are the parameters for examining and evaluation of the element of guilt as a basis for criminal responsibility in Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. The method used is Doctrinal legal research methodology, also called "black letter" methodology, which focuses on the letter of the law to compose a descriptive and detailed analysis of legal rules found in primary sources (cases and regulations). The purpose of this method is to gather, organize, and describe the law; provide commentary on the sources used; then, identify and describe the underlying theme or system and how each source of law is connected or explore legal norms and court decisions based on library-based studies. The analysis is based on the principles and theory of Criminal Responsibility through the analytical and critical approach to avoid liability without fault and to ensure that "committed intentionally" is the main element used in decision-making regarding corruptor sentencing. Examining and evaluating are based on the "Natural Law" morality reasoning model. This study shows that the judge's decision is more about proving objective facts than subjective facts - or "intentions" of the perpetrators. The corruption court tends to punish defendants without comprehensively considering the elements of guilt or more to an act that does not follow the required administrative procedures and standards and has not yet touched on the concept of an unlawful act and "intentionally" that contributes to losses of the state finances. Even though some judges mentioned it explicitly or implicitly in their legal considerations, however comprehensively consider the elements of guilty yet. Therefore, the principle and criminal responsibility, and collaboration with the models of moral "Natural Law" can become an ideal model of legal reasoning for examining and evaluating the element of guilt as a basis for criminal responsibility under Article 2 and Article 3 of the PTPK Law. In this case, objective and subjective conditions are to examine the validity of Articles 2 and 3 of the PTPK Law to obtain truth and justice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlanda Juliansyah Putra
"Didalam penelitian ini peniliti memberikan gagasan mengenai pembubaran partai politik korup melalui celah hukum pembubaran partai politik di indonesia dengan memberikan tafsir terhadap makna hukum positif yang mengatur tentang pembubaran partai politik, salah satunya yaitu adanya nomenklatur yang disebutkan didalam Pasal 2 huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Pembubaran Partai Politik yang menyebutkan bahwa partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila kegiatan/akibat yang dilakukan oleh partai politik tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Klausul "akibat" yang ditimbulkan tersebut dapat disamakan dengan kegiatan korupsi yang melibatkan pengurus/anggota partai politik yang melaksanakan kegiatan aktifitas kepartaian untuk dapat dibubarkan. Adanya persamaan pengertian yang ditujukan antara korporasi selaku badan hukum yang disamakan dengan pengertian partai politik selaku badan hukum dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menarik keterlibatan partai politik melalui pengurusnya dalam melakukan tindak pidana korupsi dengan mempergunakan doktrin strict liability dan doktrin vicarious liability yang memungkinkan partai politik tersebut bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pengurus/anggota partai politik yang menjalankan aktivitas kepartaian.

Researcher in this study provides an idea of the dissolution of the corrupt political parties through legal loopholes dissolution of political parties in Indonesia to provide interpretation of the meaning of positive law governing the dissolution of political parties, one of which is the existence of the nomenclature referred to in Article 2 paragraph b of the Constitutional Court Regulation No. 12 year 2008 on Guidelines for the Proceedings In the Dissolution of Political Parties which states that a political party can be dissolved by the Constitutional Court if the activities/result conducted by the political parties in conflict with the Constitution of 1945. Clause " due " posed is what can be equated with corruption involving officials/members of a political party conducting the activities of the party to be dissolved. The existence of the common understanding between the corporation intended as a legal entity which is equated with the notion of a political party as a legal entity can be used as a reference for the involvement of political parties through its officials in committing corruption by using the doctrine of strict liability and vicarious liability doctrine that allows the political party responsible for acts committed by officials/members of political parties that run the activities of the party.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43076
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library