Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pangemanan, Novie P.L.
Abstrak :
Seiring dengan berjalannya iklim demokrasi di Indonesia, masalah pengelolaan lingkungan hidup, khususnya ekosistem terumbu karang yang berada di wilayah pesisir menjadi perhatian yang sangat besar mengingat fungsi dan manfaat dari adanya ekosistem tersebut. Untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam agar dapat berjalan dengan baik dan berdayaguna diperlukan dukungan kuat dari masyarakat yang bermukim di sekitar serta pihak-pihak pengguna sumberdaya lainnya (stakeholders). Taman Nasional Bunaken merupakan salah satu kawasan pesisir yang berada di Sulawesi Utara, yang ditetapkan sebagai taman nasional (TN) berdasarkan SK Menhut No. 730/Kpts-II/1991 tgl. 19 Oktober 1991; dengan luas 79.056 Ha (BAPPENAS/DEPHUT/NRMP-Buku I, 1994). Pulau Bunaken, salah satu pulau yang termasuk dalam TN Bunaken, merupakan salah satu objek andalan kegiatan pariwisata dalam kawasan TN Bunaken, yang terdiri dari dua desa, yaitu Bunaken dan Alungbanua. Pulau ini dikelilingi oleh gugusan terumbu karang yang unik karena memiliki tebing karang vertikal, menghujam di bawah permukaan air hingga 25-50 meter, terdapat 45 jenis keluarga (genus) karang yang sudah teridentifikasi. Tebing bawah air memiliki banyak ceruk, celah dan rekahan, tempat persembunyian berbagai jenis vertebrata dan invertebrata laut. Jenis-jenis ikan yang umum dijumpai antara lain Napoleon wrasse, damsel, trigger, dan lain-lain yang jumlahnya lebih dari 2000 jenis (Lalamentik dkk., 1995). Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah mengkaji penerapan konsep pengelolaan co-management ekosistem terumbu karang di Pulau Bunaken melalui : (1) kajian potensi dan kendala dalam pengelolaan terumbu karang, (2) mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembangkan peranserta masyarakat lokal, (3) usulan-usulan program yang dapat dithwarkan kepada masyarakat lokal yang sesuai dengan keinginan mereka, serta (4) kemitraan dengan stakeholders terkait dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Bunaken. Kegunaan studi ini adalah sebagai bahan masukan guna memperbaiki model, pengelolaan TN Bunaken dalam rangka menjamin kelestarian ekosistem terumbu karang serta menjamin penghidupan masyarakat yang bermukim di dalam kawasan tersebut, khususnya di Pulau Bunaken. Pendekatan penelitian dalam studi ini adalah penelitian partisipatif (Participatory Rural Appraisal/Participatory Action Reasearh). Populasi penelitian adalah masyarakat yang berdomisili di Pulau Bunaken. Teknik penentuan sampel responden yang digunakan adalah gabungan antara purposive sampling dan stratified sampling. Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan panduan (semi-struktur) terhadap responden terpilih. Data dan informasi yang terkumpul, termasuk hasil wawancara semi-struktur, diolah dengan menggunakan "Analisis SWOT" sebagai dasar rekomendasi intervensi yang diusulkan untuk pengembangan peranserta masyarakat dalam rangka pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Bunaken dengan pendekatan co-management. Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan partisipatif yang dilakukan di Pulau Bunaken, disimpulkan bahwa : 1. Potensi yang dimiliki Pulau Bunaken masih mendukung untuk dilakukan pengembangan pengelolaan co-management ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut, yang termasuk dalam kawasan TN Bunaken, dengan tidak mengabaikan berbagai permasalahan yang menjadi kendala dalam pengelolaan yang berkelanjutan. 2. Berbagai kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang, terutama upaya konservasi dan rehabilitasi, dapat dipadukan dengan pengembangan wisata bahari di Pulau Bunaken yang berdimensi kerakyatan dan konservasi sumberdaya alam. Selain itu, harus didukung dengan intervensi program pengembangan peranserta masyarakat melalui kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya sebagai mats pencaharian altematif maupun sampingan bagi masyarakat lokal, seperti perikanan, bertani/berkebun, dan peternakan yang sifatnya terbatas agar tidak merusak terumbu karang. 3. Untuk keberhasilan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Bunaken sebagai kawasan taman nasional perlu dibangun konsep pengelolaan co-management, dimana masyarakat lokal sebagai subyek pengelolaan, serta didukung oleh langkah-langkah pengelolaan, seperti : (1) pengembangan kelembagaan yang dibutuhkan untuk memudahkan dalam pengelolaan selain Balai TN Bunaken yang sudah ada; (2) intervensi secara langsung terhadap perubahan tingkah laku yang terjadi pada anggota masyarakat, termasuk instrumen kebijaksanaan, seperti peraturan perundangan; dan (3) keikutsertaan pemerintah dan stakeholders pendukung lainnya. Sebagai saran yang dapat dikemukakan dari hasil penelitian ini, yaitu : (1) diperlukan upaya pengembangan peranserta dan pemberdayaan terhadap masyarakat lokal agar tidak melakukan kegiatan yang dapat mengganggu upaya pelestarian ekosistem terumbu karang; (2) diperlukan upaya sosialisasi dan penataan batas tiap zonasi serta aturan dan sanksi yang diberlakukan di tiap zonasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Bunaken agar pengelolaan dapat berjalan dengan efektif.
With the present democratization era in Indonesia, environmental management problems, especially those affecting the ecosystem of coral reefs in the coastal area, have caught popular attention because of their function and utility. In order to provide good and beneficial management of natural resources, strong support is needed froth the communities and other resource users (stakeholders) that live in and around the ecosystem. Bunaken National Park is one of the coastal areas located in North Sulawesi. It is a national park (NP) based on a Decree issued by the Minister of Forestry (Menteri Kehutanan) No. 730/Kpts/II/1991, dated October 19, 1991, with an area of 79,056 Ha (BAPPENAS / DEPHUT/ NRMP-Book I, 1994). Bunaken Island, one of the islands located in Bunaken NP, is one of the most popular tourist destinations in the park. Bunaken Island is divided into two villages, Bunaken and Alungbanua. This island is surrounded by coral reefs considered unique because they have a vertical coral wall that goes underwater down to 25 - 50 m and include 45 genera so far identified. The underwater wail has many rifts, cracks and holes, where all kinds of sea vertebrates and invertebrates hide. Kinds of fish commonly found or seen include Napoleon wrasse, damsel, trigger and others, with more than 2,000 species (Lalamentik et al, 1995). The purpose of this investigation is to assess the applicability of a co-management approach to coral reef ecosystems on Bunaken Island through (1) an assessment of potentials and constraints; (2) an identification of efforts that have been made to develop local community participation, (3) formulation of program recommendations for local communities in line with their wishes, and (4) development of partnership with coral reef ecosystem management stakeholders on Bunaken Island. This research proposes to provide some inputs to the revision of the Bunaken NP management model to ensure coral reef ecosystem sustainability and to ensure community livelihoods in the region, especially on Bunaken Island. The approach used for this research is Participatory Rural Appraisal/Participatory Action Research. The research population is the communities who live on Bunaken Island. Sample gathering techniques are a combination of purposive sampling and stratified sampling. Primary data gathering was done by semi-structured interviews with selected samples. Data and information collected was analyzed by a SWOT analysis regarding community participation development for co-management on coral reefs at Bunaken Island. Based on the implementation of participatory activities that have been performed on Bunaken Island, the researcher has come to the conclusion that: 1. Assessment of Bunaken Island's potential supports coral reef management development in the region, without ignoring the challenges associated with sustainable management. 2. Any coral reef ecosystem management activities, especially conservation and rehabilitation efforts, can be integrated with marine ecotourism development on Bunaken Island, based on community and natural resources conservation. This be must supported by a community participation development program with economic activities for alternative or additional income sources for the local community, such as fisheries, farming and animal husbandry, within limits that prevent coral reef destruction. 3. Successful coral reef ecosystem management at Bunaken Island as a part of a national park region requires a co-management concept where local communities play a key management role. This would include: (1) institutional development for easier management; (2) direct intervention to change behaviors, including policy instruments such as acts and regulations; and (3) the involvement of government and other supporting stakeholders. Recommendations from this research are: (1) develop community participation in coral reef ecosystem management with increased knowledge and understanding of the importance of coral reef ecosystem conservation; (2) carry out information and campaigns zonation boundary revision and enforce laws and regulations in each zone for effective management.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T5750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.A. Ayu Ariani
Abstrak :
Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem khas pesisir tropis yang memiliki berbagai fungsi penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Fungsi ekologis tersebut adalah penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemilahan biota perairan, tempat bermain, dan asuhan bagi berbagai biota. Di samping fungsi ekologis, terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Pada tahun 1996 diperkirakan luas terumbu karang di perairan Bintan adalah 16.860,5 hektar. Pengamatan di lapangan atas terumbu karang yang dilakukan di sekitar perairan Pantai Trikora, di pesisir timur Pulau Bintan, memperlihatkan bahwa kondisi terumbu karang pada lokasi tersebut telah mengalami kerusakan. Hal ini dilihat dari tutupan karang hidup yang rendah serta banyaknya ditemukan karang mati. Banyaknya karang mati yang ditemukan diduga disebabkan oleh berbagai kegiatan pembangunan yang berlangsung di wilayah pesisir timur Pulau Bintan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dampak kegiatan pembangunan pada terumbu karang di wilayah pesisir timur Pulau Bintan, membuat suatu model dinamika sistem (system dinamics) yang komprehensif untuk menggambarkan terkaitnya kegiatan pembangunan dengan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir timur Pulau Bintan, mengidentifikasi akar permasalahan yang mendasari penurunan kualitas terumbu karang di wilayah pesisir timur Pulau Bintan, dan menentukan skenario pembangunan yang tepat untuk mengurangi tekanan kegiatan pembangunan pada ekosistein temmbu karang di wilayah pesisir timur Pulau Bintan. Lokasi penelitian meliputi 4 desa yang terletak di sepanjang pesisir timur Pulau Bintan, yaitu Desa Berakit, Malang Rapat, Teluk Bakau, dan Gunung Kijang. Setiap kegiatan pembangunan di setiap desa penelitian diidentifikasi, kemudian dibuat suatu model dinamika sistem untuk melihat keterkaitan antara kegiatan pembangunan dengan ekosistem terumbu karang di pesisir timur Bintan. Kemudian dilakukan identifikasi akar permasalahan dari kerusakan terumbu karang. Tahap terakhir adalah membuat 4 skenario pembangunan yang disimulasi untuk mendapatkan skenario yang paling tepat untuk diterapkan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pengaruh kegiatan pembangunan pada ekosistem terumbu karang cukup besar, meliputi perusakan karang secara langsung melalui ledakan bom maupun penambangan karang, pencemaran dari berbagai kegiatan di sepanjang pesisir, dan sedimentasi yang dapat meningkatkan kekeruhan perairan dan menghambat pertumbuhan karang, bahkan mematikan terumbu karang. Namun berdasarkan pengamatan dalam kurun waktu tahun 2000-2006, kegiatan pembangunan yang pengaruhnya paling besar pads ekosistem terumbu karang adalah kegiatan pembukaan lahan. Pengaruh kegiatan pembangunan dengan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir timur Pulau Bintan dapat digambarkan melalui suatu model dinamika sistem. Hasil simulasi memperlihatkan bahwa peningkatan pembukaan lahan menyebabkan penurunan persentase tutupan karang hidup. Berdasarkan 4 altematif skenario pembangunan yang dibuat, didapat bahwa hanya 1 skenario yang dapat mengurangi tekanan pembangunan pads terumbu karang dan memulihkan kembali kondisi terumbu karang, yaitu Skenario 4. Dibalik setiap kegiatan pembangunan, sebenarnya ada akar permasalahan yang lebih mendasar sebagai penyebab kerusakan terumbu karang di wilayah pesisir timur Pulau Bintan, yaitu (1) kemiskinan masyarakat dan kesulitan adaptasi pada matapencaharian altematif, (2) keserakahan dari pemilik modal, (3) lemahnya penegakan hukum (law enforcement), dan (4) kebijakan pemerintah yang belum memberikan perhuran pada pengelolaan kualitas lingkungan di wilayah pesisir dan lautan, khususnya terumbu karang. Dalam rangka melestarikan ekosistem terumbu karang, disarankan beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu (1) menetapkan sedikitnya 30% dari luas wilayah pesisir timur Pulau Bintan untuk dijadikan hutan lindung, (2) melakukan rehabilitasi lahan sekurang-kurangnya 20% dari lugs lahan terbuka yang ada, (3) mengharuskan berbagai kegiatan usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan untuk melakukan rehabilitasi lahan sebagai syarat perijinan dan pemyataan tersebut disertakan dalam kontrak kerja, (4) memberikan bantuan ekonomi untuk modal kerja dan bantuan teknologi budidaya perikanan bagi nelayan, (5) memberikan penyuluhan tentang manfaat terumbu karang kepada masyarakat di pesisir timur Pulau Bintan, (6) memberikan muatan lokal tentang pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan dalam pendidikan di lingkungan sekolah, (7) penegakan hukum bagi pelaku perusakan terumbu karang hendaknya tidak sekedar dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan saja, tetapi juga tegas dalam pelaksanaan di lapangan sesuai undang-undang yang berlaku.
Coral reef ecosystem is one of the unique coast ecosystems that have many important functions, ecologically or economically. Its ecological functions include nutrient supplier for water organism, physical shield, hatching ground, and nursing for many marine organisms. Coral reef ecosystem creates variety of products which has a lot of important economic value, such as various coral fish, algae, and sea water pearls. In 1996, it was predicted that the size of coral reef in Bintan 16.860,5 ha. Field observation among coral reef around Trikora beach in the east side of Bintati Island showed the damage of the coral reef. This is shown by the low percentage of life coral and a lot of died coral. The high dead coral was caused by development activities in the east coast of Bintan area. The aims of the research are to identify the effect of development on coral reef ecosystem in the east coast of Bintan Island, to design a system dynamics model which can describe the correlation between development and coral reef ecosystem in the east coast of Bintan Island, to identify the fundamental problems caused the decreasing quality of the coral reef, and to develop an appropriate development scenario that able to lessen the pressure of development on coral reef ecosystem. The research was held in 4 villages, which located along the east coast of Bintan Island. They are Berakit, Malang Rapat, Teluk Bakau and Gunung Kijang village. Development activities in every village are identified and modelled to see the correlation between the development and the coral reef ecosystem. The next step is to identify the fundamental problem of the coral reef damaged. And then, four development scenarios were made and simulated to find the most appropriate and suitable scenario for local development that take _environmental protection into account. The result shows that coral reef damage is caused by development activities significantly, that are bombing and coral removal, pollution from various daily activities along the coast, and upland sedimentation. The sedimentation will increase turbidity and slowing coral reef growth and even killed the coral reef. But based on observation from the year of 2000 to 2006, the biggest impact to the coral reef comes from land clearing activities_ A system dynamic model is developed to show the correlation between development and coral reef ecosystem at the east coast of Bintan Island. The simulation shows that the increasing of open area causes the decreasing of life coral. From the 4 development scenarios developed, the best development scenario is Scenario 4, which required 30% protected forest of study area and annual land rehabilitation (20% of the open area). This scenario shows the increasing number of life coral reef over time. There are 4 fundamental problems that lead to the decreasing of coral reef qualities. They are (1) poverty and the limited alternative income of the people, (2) greediness of the capital owner, (3) low law enforcement which are not yet giving special attention to the environment quality of the coast, especially coral reef, (4) the absence of government policy that focus on the maintenance of marine and coastal environment quality, especially coral reef. In order to preserve coral reef ecosystem, some points are suggested as follow, (I) to determine protected forest at least 30% of study area, (2) to conduct annual land rehabilitation at least 20% of open area, (3) to force every landlord to rehabilitate their land, (4) to give economic and technology support for fisherman, (5) information extension of coral reef functions, not only the economical benefit but also the ecological benefit to people living in the east coast of Bintan Island, (6) integrated the subject on marine and coastal resource management in primary and secondary school curriculum, (7) law enforcement on coral reef protection.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evy Mariani
Abstrak :
Terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks dengan keragaman biologi tinggi yang mendukung produktivitas perikanan. Belum banyak penelitian mengenai informasi data bio-bisik, sosio-ekonomi, dan tata kelola dalam pengelolaan kawasan konservasi di Pangandaran Kabupaten Ciamis. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kondisi terumbu karang dari aspek bio-fisik, sosio-ekonomi, dan tata kelola sejak penetapan pencadangan sebagai kawasan konservasi laut serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Pengumpulan data kondisi biofisik terumbu karang dilakukan dengan metode transek garis (line intercept transect/LIT) pada lokasi Pasir Putih, Batu Mandi, Batu Layar, dan Batu Nunggal di 8 titik kedalaman (3 m dan 5 m). Kondisi lingkungan terumbu karang dilakukan dengan pengukuran parameter-parameter kualitas perairan (suhu, kecerahan, salinitas, arus, dan pH). Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tata kelola dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan wawancara dengan 57 orang responden. Data sekunder kondisi terumbu karang sebelum dan sesudah penetapan kawasan konservasi laut di Pangandaran dikumpulkan dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Indikator biofisik menunjukkan hasil trend tutupan karang hidup di kedalaman 3 m mempunyai kecenderungan menurun, dan kedalaman 5 m mempunyai kecenderungan tutupan karang hidup yang stabil. Kondisi terumbu karang di lokasi penelitian berada pada status buruk sampai dengan baik. Kondisi terumbu karang di Pangandaran dipengaruhi oleh aktivitas pariwisata dan aktivitas penangkapan ikan, serta peran aktif masyarakat dalam pengelolaannya. Pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi terumbu karang di Pangandaran Kabupaten Ciamis merupakan faktor penentu kelestarian terumbu karang.
Coral reefs are complex ecosystems with high biodiversity that supports the productivity of fisheries. Not much information on the research of bio-physical, socio-economic, and governance in the management of conservation areas in Pangandaran Ciamis. The research was carried out to analyze the condition of coral reefs in the aspects of bio-physical, socio-economic, and governance since the establishment of marine reserves as a conservation area and the factors that influence. Biophysical condition of coral reefs conducted by the line intercept transect (LIT) at the location of Pasir Putih, Batu Mandi, Batu Layar, and Batu Nunggal in 8 point depths (3 m and 5 m). The environmental conditions of coral reefs conducted by measuring the water quality parameters (temperature, brightness, salinity, currents, and pH). To find out the socio-economic conditions of society and governance is done by using a questionnaire and interviews with 57 respondents. Secondary data coral reefs before and after the establishment of marine protected areas in Pangandaran collected from the results of previous studies. Biophysical indicator shows trend results live coral cover in depth of 3 m have a tendency to decline, and a depth of 5 m has a tendency to live coral cover was stable. The condition of coral reefs in the study sites are in poor to good status. The condition of coral reefs in Pangandaran is influenced by the activity of tourism and fishing activities, as well as the active role in its management. Collaborative management of coral reef conservation in Pangandaran Ciamis is an important determinant of coral reef conservation.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T32944
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firli Rahman Hakim Fauzi
Abstrak :
Terumbu karang merupakan ekosistem penting bagi manusia dan mahluk hidup laut. Ekosistem terumbu karang di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu memiliki tutupan terumbu karang yang rendah dan masyarakat tidak memanfaatkan terumbu karang sebagai sumber mata pencaharian. Padahal tutupan terumbu karang yang tinggi dapat memberikan berbagai jasa ekosistem lingkungan bagi kesejahteraan masyarakat. Masalah dalam penelitian ini adalah perlu adanya peningkatan persentase tutupan dan nilai ekonomi terumbu karang. Tujuan penelitian ini adalah menyusun konsep peningkatan persentase tutupan dan nilai ekonomi terumbu karang di Pulau Kelapa Dua. Metode yang digunakan adalah_underwater photo transect, total economic value, analisis deskriptif, dan cost and benefit analysis. Hasil penelitian yaitu terumbu karang di Perairan Pulau Kelapa Dua rendah, dengan persentase 12,45%. Nilai ekonomi terumbu karang di Pulau Kelapa Dua senilai Rp.19.514.463.531/US$ 1.243.906. Jasa ekosistem dengan nilai guna langsung terumbu karang paling tinggi di Pulau Kelapa Dua adalah pariwisata. Peningkatan persentase tutupan dan nilai ekonomi terumbu karang dapat memanfaatkan potensi pariwisata dan menerapkan konsep collective action. Kesimpulan penelitian ini adalah konsep peningkatan persentase tutupan dan nilai ekonomi terumbu karang di Pulau Kelapa Dua, DKI Jakarta. Saran untuk penelitian selanjutnya pelaksanaan pelestarian segera dilakukan di lokasi yang mudah dijangkau, sehinga monitoring dan evaluasi dapat dilakukan dengan mudah, secara berkala setiap satu tahun sekali ......Coral reefs are important ecosystems for humans and marine creatures. The coral reef ecosystem on Kelapa Dua Island, Thousand Islands has low coral reef cover and the community does not use coral reefs as a source of livelihood. In fact, high coral reef cover can provide various environmental ecosystem services for people’s welfare. The problem in this research is the need to increase the percent cover and the economic value of coral reefs. The purpose of this research is to develop a concept in increasing the percent cover and the economic value of coral reefs on Kelapa Dua Island. The methods used are underwater photo transect, total economic value, descriptive analysis, and cost and benefit analysis. The result of the research is that the coral reef cover on Kelapa Dua Island waters are low, with a percentage of 12.45%. The economic value of coral reefs on Kelapa Dua Island is worth IDR 19,514,463,531/US$ 1,243,906. Ecosystem services with the highest direct use value of coral reefs on Kelapa Dua Island is tourism. Increasing the percent cover and the economic value of coral reefs can take advantage of tourism potential and apply the concept of collective action. The conclusion of this research is the concept of increasing the percent cover and the economic value of coral reefs on Kelapa Dua Island, DKI Jakarta. Suggestions for further research are that conservation efforts should be carried out immediately in easily accessible locations, so that monitoring and evaluation can be easily done on a regular basis every one year.
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaya Katwang Mabuchi
Abstrak :
Terumbu karang sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan yang terjadi di sekitarnya, khususnya aktivitas manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aktivitas manusia terhadap terumbu karang di Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan Gili Matra, Lombok. Untuk mencapai tujuan penelitian, variabel yang digunakan adalah jarak dari berbagai faktor aktivitas manusia, yaitu: lokasi penangkapan ikan berizin, wilayah penangkapan ikan ilegal, wilayah snorkeling, wilayah penanaman biorock, wilayah permukiman dan lokasi dermaga, serta lokasi tempat pembuangan sementara (TPS). Jarak dari setiap variabel terhadap terumbu karang kemudian dihitung dan dilihat berapa besar pengaruhnya. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis citra Landsat dan ASTER yang telah diperoleh pada tahun 2002, 2008, dan 2015 untuk melihat perubahan kondisi terumbu karang dengan menggunakan metode Lyzenga. Selain itu, survei lapang yang terdiri dari wawancara, mental map dan observasi juga dilakukan untuk melihat konektivitas dari setiap variabel terhadap perubahan kondisi terumbu karang. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis keruangan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan terumbu karang hidup tersebar di setiap sekeliling pulau, dengan bagian terluas terdapat pada bagian utara Gili Air dan barat laut Gili Trawangan; sedangkan terumbu karang mati tersebar luas di sekeliling setiap pulau dengan luas yang lebih besar. Dari semua variabel, lokasi TPS merupakan satu-satunya faktor yang tidak mempengaruhi kondisi terumbu karang di kawasan ini.
Coral reef is highly susceptible to the environmental condition change of its surroundings, especially to human activities. This research aims to find the impact of human activities on the coral reef in Gili Matra Aquatic Tourism Park Conservation Region, Lombok. In order to achieve the research objectives, the variabels used are the distances from a variety of human activities factors, which are: licensed fishing locations, illegal fishing areas, snorkeling areas, biorock planting areas, residential areas and dock locations, as well as the temporary disposal sites. The distances from each variabels to the coral reef are then calculated and observed how big the influence is. This research is conducted by analyzing Landsat and ASTER images that are obtained in 2002, 2008 and 2015 to see the coral reef?s condition change by using the Lyzenga method. Furthermore, field survey that is consisting of interviews, mental maps and observations are also conducted to see the connectivity from each variabels towards the coral reef's condition change. The analysis method used in this research is spatial analysis that is conducted descriptively. The results show the live coral reefs are spread around each island, with the widest parts are located on northern part of Gili Air and northwestern part of Gili Trawangan; while the dead coral reefs are spread evenly around each island in a larger area. From all variabels, temporary disposal sites is the only factor that doesn't give an impact on coral reef's condition in this region.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S65729
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Coral reefs are the 'rain forests' of the ocean, containing the highest diversity of marine organisms and facing the greatest threats from humans. As shallow-water coastal habitats, they support a wide range of economically and culturally important activities, from fishing to tourism. Their accessibility makes reefs vulnerable to local threats that include over-fishing, pollution and physical damage. Reefs also face global problems, such as climate change, which may be responsible for recent widespread coral mortality and increased frequency of hurricane damage. This book, first published in 2006, summarises the state of knowledge about the status of reefs, the problems they face, and potential solutions. The topics considered range from concerns about extinction of coral reef species to economic and social issues affecting the well-being of people who depend on reefs. The result is a multi-disciplinary perspective on problems and solutions to the coral reef crisis.
New York: Cambridge University Press, 2006
e20528045
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Isac Newton
Abstrak :
Terumbu karang adalah suatu ekosistem yang dibangun oleh komponen utama komunitas hewan karang dari jenis karang hermatipik yang termasuk dalam filum Coelenterata (Cnidaria), kelas Anthozoa, ordo Madreporaria-Scleractinia. Hewan karang hermatipik beserta alga berkapur dan organismeorganisme Iainnya menghasilkan endapan-endapan masif berupa kalsium karbonat (CaCO3) sehingga dapat membentuk terumbu. Kemampuan hewan karang membentuk terumbu ini karena adanya hubungan simbiosis dengan tumbuhan bersel satu di dalam jaringan polip individu hewan karang hermatifik yaitu zooxhantellae. Terumbu karang memiliki manfaat ekologi, yaitu berfungsi sebagai habitat berbagai biota laut, pelindung ekosistem padang lamun dan mangrove, pelindung pantai dan penyedia pasir taut. Manfaat ekonomi, yaitu untuk perikanan, bahan baku akuarium, hiasan, bangunan, serta wisata bahari. Manfaat sosial budaya, antara lain untuk pendidikan dan penelitian. Sumberdaya terumbu karang di Indonesia menghadapi berbagai ancaman kerusakan akibat pengaruh antropogenik di berbagai lokasi, yang telah berlangsung lama. Saat ini, kondisi terumbu karang yang baik hingga sangat baik sekitar 33,3%, sisanya dalam kondisi sedang hingga rusak. Kerusakan dapat disebabkan oleh pengaruh antropogenik, baik secara langsung maupun tak langsung. Kerusakan terumbu karang berakibat pada kerugian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Upaya merehabilitasi terumbu karang dapat ditempuh baik secara alami dan buatan, yang diikuti dengan upaya mengurangi pengaruh antropogenik. Upaya ini dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat. Pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang dilakukan masyarakat disebut pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat, disingkat dengan PBM.
Coral reef is an ecosystem mainly developed by the components of hermatiphic coral community of phylum Coelenterata (Cnidaria), class Anthozoa, order Madreporaria-Scleractinia. Hermatiphic coral and symbiotic calcite algae and other organisms produce massive sediments of Calcium Carbonate (CaCO3) and build their reefs. The ability of corals to build a reef is due to the mutual symbiotic of hermatiphic coral individual with unicellular algae called zooxhantellae. Coral reefs have ecological functions to be the habitats for marine organisms, protect sea grass and mangrove ecosystems, protect beach, and produce sand. Economic benefits of coral are fishery, source of aquarium materials, ornaments, building materials, and marine tourism. Social benefits of coral reefs are, among others, research and educational objects. Coral reef resources in Indonesia are still facing many kinds of anthropogenic threats in many locations. Currently, coral reef with good up to very good conditions is around 33.3%, the rest being poor to moderate conditions. Coral reefs degradation can be affected by anthropogenic effects, directly or indirectly. The coral reefs degradation in fact causes ecological, economical, socio and cultural losses. Rehabilitation of degraded coral reef can be conducted naturally and human intervention followed by the elimination of anthropogenic effects. These efforts could be conduct by the government, local government, and/or communities. The management of coral reefs conducted by communities is called community-based coral reefs management, shortened to CBM.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanty Selviany
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S25874
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library