Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Maya Damayanti
Abstrak :
Menjadi pegawai sebuah perusahaan multinational di bidang MIGAS memang merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Namun bila pekerjaan tersebut harus dilakukan di daerah yang sedang mengalami konflik, merupakan masalah tersendiri. Menjadi pekerja di daerah konflik memang sering menimbulkan dilema. Di lain pihak, pekerjaan tersebut sangat kita butulikan, namun di pihak lain kita berhadapan dengan situasi atau kondisi yang sedang konflik, seliingga hal tersebut menimbulkan stres. Daerah konflik memang menimbulkan stres, karena kondisi-kondisi atau kejadian yang ada di lingkungan merupakan kondisi yang mengancam, merusak atau membahayakan dirinya. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik ingin mengetahui gambaran sumber stres yang dialami oleh para pekerja di daerah konflik tersebut. Setelah kita mengetahui apa sumber stresnya, penulis juga tertarik untuk mengetahui tentang kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para pekerja untuk menanggulangi stres tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian ini juga dibahas tentang coping stres para pekerja tersebut. Sebagai dasar dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan teoriteori yang berkaitan dengan sumber stres dan coping stres. Untuk sumber stres, penulis menggunakan teori dari Safarino (1994) tentang sumber-sumber stres. Menurut Safarino ada 3 jenis stresor, yakni yang berasal dari diri sendiri, keluarga serta komunitas dan masyarakat. Sedangkan untuk strategi coping stres, teori yang digunakan adalah dari Lazarus (1976) dan Steptoe (dalam Cooper dan Payne, 1988) terbagi atas dua orientasi, yaitu: problem-focused coping (coping berorientasi masalah) dan emotion-focused coping (coping berorientasi emosi). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan kondisikondisi yang dinilai paling potensial menimbulkan stres adalah yang berasal dari komunitas dan masyarakat, karena merupakan tempat yang dapat mengancam, merusak atau membahayakan dirinya, keluarganya serta masyarakat sekitarnya. Jadi situasi lingkungan yang mengalami konflik inilah yang menimbulkan stres bagi para pekerja. Kemudian stresor yang dianggap dapat menimbulkan stres yang berasal dari keluarga berada pada urutan kedua, sedangkan stresor yang berasal dari diri sendiri berada pada urutan yang yang terakhir. Untuk coping stres, hasilnya adalah ternyata kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada emosi lebih efektif dalam menanggulangi stres daripada yang berorientasi pada masalah. Hal ini dilakukan karena mereka menganggap tidak ada solusi yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi konflik di daerahnya. Hal ini menyangkut isu politik yang berkepanjangan seliingga mereka lebih memilih cara mengatasi stres yang berorientasi pada emosi untuk mengatur emosi yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh stressor.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3342
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Novasari
Abstrak :
ABSTRAK
Kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga adalah realita yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Berdasarkan data statistik, wanita dan anak-anak adalah dua kelompok yang paling sering menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga: Namun, penelitian mengenai hal tersebut lebih banyak dilakukan oleh para profesional di luar negeri, khususnya negara-negara Barat. Sedangkan di Indonesia sendiri belum terlalu banyak penelitian yang dilakukan untuk mengupas tema kekerasan dalam lingkungan keluarga, khususnya kekerasan terhadap anak. Berangkat dari beberapa pandangan teoritis yang mengatakan bahwa korban kekerasan di masa kanak-kanak akan berpotensi untuk membina relasi interpersonal -khususnya relasi intim romantis heteroseksual- di masa dewasanya kelak, peneliti kemudian tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran konflik dan strategi coping dalam relasi intim romantis heteroseksual pada dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan di masa kanak-kanaknya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitis. Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah wawancara terfokus dan observasi. Selama proses pengumpulan data, peneliti berhasil mendapatkan 3 orang subyek (1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan), yaitu para dewasa muda yang mengalami kekerasan di masa kanak-kanaknya, serta sedang atau pernah menjalani relasi intim heteroseksual. Setelah melakukan penelitian, hasil yang didapat oleh peneliti adalah bahwa dari ketiga orang subyek dewasa muda yang mengalami kekerasan di masa kecilnya, ternyata hanya 1 orang subyek yang meneruskan rantai kekerasan dengan melakukan tindakan agresivitas terhadap pasangannya. Subyek laki-laki dan perempuan ternyata juga memiliki orientasi yang berbeda dalam relasi intim heteroseksualnya. Pada subyek laki-laki, keintiman fisik dan emosional yang dapat diwujudkan melalui aktivitas-aktivitas seksual menjadi prioritas terpenting dalam hubungannya. Di sisi lain, ia tidak ingin merasa terikat oleh adanya komitmen dengan pasangan. Pada salah seorang subyek perempuan, ia memiliki kebutuhan yang sangat besar terhadap afeksi dan kasih sayang dari pasangannya. Namun di sisi lain, ia juga memiliki kebutuhan akan power dan dominasi yang juga sama kuatnya. Pada salah seorang subyek perempuan yang lain, kebutuhan akan afeksi dan penghargaan menjadi aspek terpenting yang mewarnai hubungannya. Jika kedua hal tersebut tidak berhasil didapatkannya dari hubungan yang dijalaninya, maka ia pun akan dengan sangat mudah mengambil jalan pintas untuk segera mengakhiri hubungan tersebut. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa semua bentuk kekerasan yang dialami masing-masing subyek di masa kanak-kanaknya menggoreskan luka psikologis yang mendalam pada diri mereka. Namun, dari ketiga bentuk penyiksaan fisik, emosional, dan seksual yang mereka terima, kekerasan emosionallah yang paling meninggalkan luka traumatis bagi diri mereka. Kedua orang subyek perempuan mengatakan bahwa mereka memiliki trauma atas pengalaman kekerasan seksualnya di masa kanak-kanak, sedangkan pada subyek laki-laki hal tersebut tidak dialaminya. Konflik yang terjadi dalam relasi intim heteroseksual pada masing-masing subyek dilatarbelakangi oleh pengalaman traumatis mereka di masa kecil. Strategi coping yang dilakukan tiap subyek pun bersifat unik dan menunjukkan ciri khas karakter dari masing-masing individu.
2005
S3512
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library