Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Theresia Maharini
"Dari berbagai kehilangan yang djumpai di usia lanjut, salah satunya yang terberat adalah kehilangan pasangan melalui kematian. Secara umum, kematian pasangan mendatangkan tekanan yang amat berat bagi individu yang mengalaminya terbukti dari dijumpainya peristiwa ini pada peringkat pertama dari skala penyesuaian diri atas sejumlah peristiwa dalam kehidupan, yang disusun oleh Hoimes & Rahe (1967). lndividu yang ditinggal mati pasangannya dapat dikatakan mengalami bereavement, yaitu situasi dimana individu kehilangan orang yang dicintainya melalui kematian.
Berbagai Iiteratur yang ada menunjukkan bahwa wanita lebih mampu bertahan dalam menghadapi kehidupan sendiri setelah ditinggal mati pasangan, dibandingkan dengan pria. Pada pria umumnya ataupun pria Ianjut usia khususnya, dijumpai masalah-masalah yang berkisar dari kehilangan peran sebagai pasangan, masalah rumah tangga, dan perubahan jaringan sosial. Mengingat penyesuaian terhadap kematian pasangan merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dihadapi pada masa usia Ianjut (Turner & Helms, 1995), maka individu yang ditinggal mati pasangan harus melakukan upaya untuk menghadapi tuntutan ataupun kesulitan yang kemudian timbul dari peristiwa ini. Secara umum, upaya yang dilakukan individu untuk menghadapi tuntutan yang mendatangkan tekanan disebut coping (Lazarus, 1976).
Secara garis besar Lazarus & Folkman (1984) membagi coping menjadi 2 dimensi yaitu coping yang mengarah pada masalah, dan coping yang mengarah pada emosi. Untuk setiap dimensi, coping dapat terjadi pada taraf kognitif, perilaku, maupun secara bersamaan. Lebih lanjut Mikulincer & Florian (1996) mengembangkan klasirikasi respon coping khusus pada situasi bereavement, dengan diferensiasi pada coping yang mengarah pada emosi yang telah dikemukakan oieh Lazarus & Folkman, yaitu meliputi strategi berfokus pada masalah, reappraisal atau penilaian ulang, reorganisasi, dan penghindaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana lanjut usia pria rnengatasi kesulitan yang timbul akibat kematian pasangan. Dengan menggunakan metode studi kasus, dilakukan wawancara terhadap empat Ianjut usia pria yang ditinggal mati istri dalam kurun waktu maksimal dua tahun, sesuai perkiraan Iamanya individu pulih dari bereavement menurut Cook & Dworkin (1992).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis coping disesuaikan dengan karakteristik masalah. Untuk masalah-masalah praktis (separti masalah rumah tangga, pendamping dalam menghadiri acara sosial), coping perilaku yang mengarah pada masalah banyak dijumpai. Sedangkan untuk masalah-masalah emosi (rasa sedih), subyek banyak menggunakan upaya kognitif untuk meredakannya. Coping yang menonjol dari para subyek dalam menghadapi emosi yang menekan adalah berpaling pada keyakinan religius. Strategi berfokus pada masalah dengan melakukan tindakan tertentu juga efektif meredakan emosi yang menekan. Strategi reappraisai atau penilaian ulang banyak dijumpai dalam bentuk pengarahan atensi secara selektif terhadap informasi positif seputar peristiwa kematian istri. Keempat subyek sudah menunjukkan upaya reorganisasi dengan berbagai pengalaman positif maupun negatif selama menjalani masa kehilangan. Adapun faktor yang berperan dalam membantu mengatasi kesulitan pada masa bereavement dapat dibedakan menjadi faktor dari dalam diri subyek dan dari Iuar. Faktor dari dalam berupa iman, karakteristik kepribadian, dan pengalaman terlibat dalam tugas kerumahtanggaan, sedangkan faktor dari Iuar meliputi dukungan sosial serta masih adanya kesibukan rutin untuk dijalani. Dari hasil penelitian ini, disarankan untuk mengembangkan pusat penanganan masalah bagi para Ianjut usia yang mengalami kehilangan pasangan. Penelitian lanjutan dapat diarahkan untuk mengetahui perbedaan pengaruh dukungan sosial yang diperoleh lanjut usia berdasarkan sumber dukungan (dari pihak keluarga ataukah teman-teman), maupun bentuk-bentuk dukungan sosial yang diperiukan Ianjut usia sesuai dalam tahapan waktu tertentu selama menjalani masa kehilangan pasangan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2618
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Nadia Febrina Yahya
"Kehilangan anggota keluarga inti dapat memicu reaksi duka yang lebih mendalam dan kesulitan dalam beradaptasi. Ketika individu tidak mampu menghadapi kedukaan dengan adaptif maka akan rentan mengalami complicated grief dan menurunkan kesejahteraan subjektif individu. Mekanisme koping seperti spiritual dan religius koping dapat membantu individu dalam menghadapi kedukaannya. Koping spiritual dan religius terbagi menjadi dua yaitu religius koping positif dan religius koping negatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah complicated grief berkorelasi negatif dengan kepuasan hidup, serta melihat apakah religius koping baik positif atau negatif berperan sebagai moderator dalam hubungan antara complicated grief dengan kepuasan hidup pada keluarga inti yang berduka. Analisis data dilakukan terhadap 452 partisipan dengan rentang usia 19 – 40 tahun yang kehilangan anggota keluarga inti. Alat ukur yang digunakan yaitu Satisfaction With Life Scale, Inventory of Complicated Grief, dan Brief Spiritual/Religious Coping Scale. Hasil analisis menunjukkan bahwa complicated grief tidak berkorelasi negatif secara signifikan dengan kepuasan hidup. Selanjutnya, religius koping positif berperan sebagai variabel moderator yang memperkuat hubungan negatif antara complicated grief dan life satisfaction, sedangkan religius koping negatif tidak memoderasi hubungan antara complicated grief dan life satisfaction. Penelitian ini memberikan implikasi terkait pentingnya pemberian intervensi koping religius yang dapat benar-benar meningkatkan kemampuan individu dalam memaknai penggunaan koping religius positif sehingga dapat mengurangi dampak negatif kedukaan terhadap kepuasan hidup individu.

The loss of a nuclear family member can trigger deeper grief reactions and difficulties in adapting. When individuals are unable to deal with grief adaptively, they will be vulnerable to experiencing complicated grief and reduce individual subjective well-being. Coping mechanisms such as spiritual and religious coping can help individuals in dealing with their grief. Spiritual and religious coping is divided into two types, positive religious coping and negative religious coping. This study aims to see if complicated grief is negatively correlated with life satisfaction, and to see if religious coping either positive or negative plays a moderating role in the relationship between complicated grief and life satisfaction in bereaved nuclear families. Data analysis was conducted on 452 participants aged 19 – 40 years who lost a nuclear family member. The measuring instruments used were Satisfaction With Life Scale, Inventory of Complicated Grief, and Brief Spiritual/Religious Coping Scale. The results of the analysis showed that complicated grief was not significantly negatively correlated with life satisfaction. Furthermore, positive religious coping acts as a moderator variable that strengthens the negative relationship between complicated grief and life satisfaction, while negative religious coping does not moderate the relationship between complicated grief and life satisfaction. This study provides implications regarding the importance of providing religious coping interventions that can actually enhance the individual's ability to interpret the use of positive religious coping so as to reduce the negative impact of grief on individual life satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakiyah Dinhudayah
"Kehilangan anggota keluarga inti dapat memicu duka yang lebih intens dan berkepanjangan, meningkatkan risiko complicated grief (CG) yang berdampak pada kesehatan mental dan fungsi sehari-hari. Salah satu strategi yang dapat membantu individu dalam menghadapi tantangan akibat kehilangan adalah koping religius (religious coping). Koping religius merupakan penggunaan keyakinan dan praktik agama untuk menghadapi tekanan hidup. Strategi ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu koping religius positif yang berhubungan dengan penurunan intensitas CG, dan koping religius negatif yang cenderung meningkatkan keparahan duka. Resiliensi, yang merupakan kemampuan individu untuk bangkit di tengah kesulitan, juga terbukti berperan penting dalam proses adaptasi terhadap kehilangan dan kemunculannya dapat dipengaruhi oleh pemaknaan yang merupakan mekanisme dari koping religius. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran resiliensi sebagai mediator dalam hubungan antara koping religius (baik positif maupun negatif) dan CG. Data dikumpulkan dari 452 partisipan dengan usia rata-rata (M=29.72), menggunakan tiga alat ukur, yaitu Brief Spiritual/Religious Coping Scale, The Connor-Davidson Resilience Scale, dan Inventory of Complicated Grief. Analisis data dilakukan menggunakan model mediasi dengan PROCESS Hayes. Hasil menunjukkan bahwa resiliensi berperan sebagai mediator dalam hubungan antara koping religius positif dan CG. Namun, pada model hubungan antara koping religius negatif dan CG, resiliensi tidak ditemukan berperan sebagai mediator. Penelitian ini memberikan wawasan mengenai pengembangan intervensi psikologis dengan mengintegrasikan pendekatan agama dan resiliensi untuk mengelola kehilangan secara adaptif, serta menyoroti pentingnya deteksi dan penanganan koping religius negatif yang dapat memperburuk CG.

The loss of a nuclear family member can trigger more intense and prolonged grief, increasing the risk of complicated grief (CG) which impacts mental health and daily functioning. One strategy that can help individuals deal with the challenges of loss is religious coping. Religious coping is the use of religious beliefs and practices to deal with life stresses. This strategy is divided into two types, namely positive religious coping (PRC), which is associated with a decrease in CG intensity, and negative religious coping (NRC), which tends to increase the severity of grief. Resilience, which is an individual's ability to rise above adversity, has also been shown to play an important role in the process of adapting to loss and its emergence can be influenced by meaning-making, which is a mechanism of religious coping. This study aimed to examine the role of resilience as a mediator in the relationship between religious coping (both positive and negative) and CG. Data were collected from 452 participants with a mean age (M=29.72), using three measurement tools, namely the Brief Spiritual/Religious Coping Scale, The Connor-Davidson Resilience Scale, and the Inventory of Complicated Grief. Data analysis was conducted using the mediation model with Hayes' PROCESS. The results showed that resilience acts as a mediator in the relationship between PRC and CG. However, in the relationship model between NRC and CG, resilience was not found to play a mediating role. This study provides insights into the development of psychological interventions integrating religious and resilience approaches to adaptively manage loss, and highlights the importance of detecting and addressing negative religious coping that may exacerbate CG."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Junita
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan dari tingkat stres dengan strategi emotion-focused coping: fangirling/fanboying pada mahasiswa, khususnya mahasiswa Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan teknik cluster random sampling. Penelitian ini melibatkan 439 mahasiswa di Universitas Indonesia, Data analisis dengan menggunakan Chi-Square untuk mengetahui hubungan yang bermakna antara tingkat stres dan strategi emotion-focused coping: fangirling/fanboying berdasarkan bentuk, waktu, dan durasi kegiatan. Hasil uji statistik diperoleh p=0,019 berdasarkan bentuk kegiatan dan <0,001 berdasarkan durasi kegiatan, artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan strategi emotion-focused coping: fangirling/fanboying pada mahasiswa berdasarkan bentuk dan durasi kegiatan. Sedangkan untuk waktu kegiatan, didapatkan p=0,814, artinya tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan strategi emotion-focused coping: fangirling/fanboying pada mahasiswa berdasarkan waktu kegiatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat stres pada mahasiswa Universitas Indonesia berada pada tingkat sedang (73,8 %), tingkat ringan (11,8%), dan tingkat tinggi (14,4%). Kesimpulannya, mahasiswa harus menemukan bentuk kegiatan strategi koping yang tepat bagi dirinya yang dilakukan dalam durasi waktu yang tepat dan terbatas agar tidak memberikan dampak yang buruk bagi tingkat stres mahasiswa.

This research aims to identify the relationship between stress levels and emotion-focused coping strategies: fangirling/fanboying in students, especially University of Indonesia students. This study used a cross-sectional design with cluster random sampling technique. This research involved 439 students at the University of Indonesia. Data analysis used Chi-Square to determine the significant relationship between stress levels and emotion-focused coping strategies: fangirling/fanboying based on the form, time and duration of the activity. The statistical test results obtained p=0.019 based on the form of activity and <0.001 based on the duration of the activity, meaning that there is a significant relationship between stress levels and emotion-focused coping strategies: fangirling/fanboying in students based on the form and duration of the activity. Meanwhile, for activity time, p=0.814 was obtained, meaning that there was no significant relationship between stress levels and emotion-focused coping strategies: fangirling/fanboying in students based on activity time. The research results showed that the stress level of University of Indonesia students was at a moderate level (73.8%), mild level (11.8%), and high level (14.4%). In conclusion, students must find the right form of coping strategy activity for themselves which is carried out in the right and limited time duration so that it does not have a bad impact on the student's stress level."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library