Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Deystia Ayesha Rae
Abstrak :
Dalam penelitian ini, penulis akan membahas mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 yang dibelakangi oleh adanya permohonan uji materil atas ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang mengatur mengenai kekuatan eksekutorial atas Sertifikat Jaminan Fidusia serta hak parate eksekusi yang dimiliki Penerima Fidusia. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 telah mengabulkan permohonan uji materil untuk sebagian dan menyatakan bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) tidak mengikat apabila tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan Fidusia sehingga eksekusi harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, serta cidera janji (wanprestasi) tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur namun harus berdasarkan kesepakatan debitur dan kreditur atau adanya upaya hukum yang menentukan telah terjadi cidera janji (wanprestasi). Penelitian ini akan berfokus kepada pengaturan mengenai pelaksanaan hak parate eksekusi yang melekat dalam setiap bentuk jaminan kebendaan dan implikasi/dampak dari terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia. Untuk dapat menjelaskan permasalahan pokok dari penelitian ini maka dipergunakan metode penelitian yuridis normatif, yang menekankan kepada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis yaitu norma peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019. Berdasarkan analisis diketahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 telah menimbulkan beberapa dampak seperti hilangnya hak khusus yang dimiliki jaminan Fidusia, hilangnya kepercayaan kreditur untuk menyalurkan kredit, adanya potensi biaya eksekusi yang besar, timbulnya kemungkinan adanya itikad tidak baik dari debitur, Pengadilan Negeri akan terbebani dengan banyaknya permohonan gugatan wanprestasi yang diajukan, dan menjadi tidak berlakunya Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. ......In this research, the author will discuss the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 based on the request for a judicial review of the provision of Article 15 paragraph (2) and (3) of Law No. 42 of 1999 on Fiduciary Guaranty, which regulates the executorial power of the Fiduciary Guaranty Certificate and parate execution right owned by the Fiduciary Recipient. Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 has granted a partial judicial review request and stated that the provision of Article 15 paragraph (2) and (3) are not binding if there is no agreement on breach of contract (default) and the debtor refuse to voluntary hand over the object of Fiduciary Guaranty, therefore the execution shall be carried out and apply the same as the execution of court decision which already obtain a permanent legal force, and also a breach of contract (default) shall not be determined unilaterally by the creditor but must be based on the agreement of the debtor ad creditor or there is a legal remedy which determines that there has been a breach of contract (default). This study will focus on the regulation regarding the implementation of the parate execution rights in every form of secured transaction and the implications/impacts of the issuance of the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 on the execution of Fiduciary Guaranty. To be able to explain the main problems of this research, a normative judicial research method is used, which emphasizes the use of written legal norms, namely the statute approach and the case approach based on Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019. Based on the analysis, it is known that the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 has caused several impacts such as the loss of special rights held by Fiduciary Guaranty, namely the loss of creditor trust to give credits, the potential for large execution costs, the possibility of bad faith from the debtor, the District Court will be burdened with many lawsuit filled for default, and the Regulation of the Chief of Police of the Republic of Indonesia No. 8 of 2011 on the Safeguarding of the Execution of Fiduciary Guarantee.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herti Septhiany
Abstrak :
Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi sebagai penegak konstitusi yang putusannya bersifat final dan sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir. Menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, kewenangan pengisian jabatan hakim konstitusi didelegasikan kepada tiga lembaga berwenang, yaitu Mahkamah Agung. DPR dan Presiden. Pengisian jabatan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga berwenang tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi, partisipasi, obyektif dan akuntabel. Transparansi diartikan sebagai keterbukaan. Artinya dalam setiap proses pengisian jabatan hakim konstitusi baik MA, DPR dan Presiden harus melaksanakan publikasi dan memberikan segala informasi terkait dengan proses yang dilaksanakan dalam pengisian jabatan hakim konstitusi. Namun, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak mengatur secara spesifik dan tidak adanya standarisasi aturan dalam pengisian jabatan hakim konstitusi dan indikator pelaksanaan prinsip transparansi. Proses pengisian jabatan hakim konstitusi yang transparan mempengaruhi pembentukan independensi personal hakim. Semakin baik pelaksanaan prinsip transparansi dalam pengisian jabatan hakim konstitusi, semakin baik pula terwujudnya independensi hakim. Untuk mewujudkan independensi hakim, tentunya harus diterapkan pula mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang ideal berdasar prinsip transparansi. Perbandingan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi di negara lainnya dapat menjadi sebuah inspirasi untuk membentuk mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang ideal berdasar prinsip transparansi untuk memperkuat independensi hakim konstitusi. ......Constitutional Court is a judicial institution that has function as constitutional enforcer which have final decisions and as first and final level judiciary. According to the Law of Constitutional Court, the authority to fill the positions of constitutional judges is delegated to three institutions, those are MA, DPR and President. The filling the positions of constitutional judges by those institutions must be implemented based on the principles of transparency, participation, objectivity and accountability. Transparency is defined as openness. This means in every process of filling positions of constitutional judges, both of MA, DPR and President, must carry out publications and provide all information related to process in filling positions of constitutional judges. However, the Law on the Constitutional Court does not specifically regulated and there is no standardization of rules in filling positions of constitutional judges and indicators of implementation principle of transparency. The transparent process of filling position of constitutional judge affects personal independence of judges. Implementation the principle of transparency in filling the positions of constitutional judges makes higher independence of judges will be. To realize the independence of judges, of course, the mechanism for filling the position of an ideal constitutional judge based on the principle of transparency must also be applied. Comparison of mechanisms for filling the positions of constitutional justices in other countries can be an inspiration to form an ideal mechanism for filling the positions of constitutional judges based on the principle of transparency to strengthen the independence of constitutional judges.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Kurniawan Ardi
Abstrak :
Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Peradilan pasca reformasi nyatanya memberikan angin segar bagi para pihak yang ingin berperkara. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang diberikan pada Pasal 24C ayat (1) yaitu memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Melalui kewenangan tersebut banyak gugatan perselisihan hasil pemilu diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Dalil-dalil yang disampaikan beragam yaitu gugatan secara kualitatif atau gugatan kuantitatif namun, timbul perdebatan bahwa sejauh mana Mahkamah Konstitusi dapat mengadili perkara PHPU berdasarkan 2 (dua) pendekatan tersebut. Tesis ini hendak menjawab permasalahan yaitu mengenai macam-macam putusan MK dalam menangani perkara PHPU dan desain yang ideal agar tercapai nilai keadilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa melihat beberapa putusan PHPU, Mahkamah Konstitusi memutus suatu perkara berbeda-beda dengan amar putusan yang melampaui dari ketentuan jenis putusan di UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Mahkamah Konstitusi. Formulasi desain yang ditawarkan adalah alat kelengkapan penyelesaian PHP Kada hendaknya juga terdapat di PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Pertimbangan estimasi waktu penyelesaian agar dapat diselaraskan mengingat kesamaan urgensi kekosongan Pemerintahan. ......The establishment of the Constitutional Court as a judicial institution after the reformation has in fact provided fresh air for parties who wish to litigate. One of the powers that the Constitutional Court has granted in Article 24C paragraph (1) is to decide on disputes over the results of general elections. Through this authority, many disputes over election results are submitted to the Constitutional Court. The arguments presented are various, namely qualitative or quantitative claims, however, there is a debate as to the extent to which the Constitutional Court can judge PHPU cases based on these 2 (two) approaches. This thesis intends to answer the problem, namely regarding the kinds of Constitutional Court decisions in handling PHPU cases and the ideal design to achieve the value of justice. The method used in this research is normative juridical method. The results showed that looking at several PHPU decisions, the Constitutional Court decided a case that was different from the verdict that exceeded the provisions of the type of decision in Law Number 24 of 2009 concerning the Constitutional Court. The design formulation offered is that the completion tool for PHPUD should also be available at the PHPU President and Vice President. Consideration of the estimated completion time so that it can be harmonized given the similarity of urgency for the absence of Government.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Paulana
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai Kedudukan Hukum Legal Standing Lembaga Negara dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi yang dikaitkan dengan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara terjadi ketika suatu lembaga merasa kewenangannya diganggu, dikurangi dan/atau diambil-alih secara tidak sah oleh lembaga lainnya. Lembaga yang dapat menjadi Pemohon atau Termohon dalam beracara sidang Mahkamah Konstitusi hanya lembaga yang memperoleh kewenangan dari Undang-Undang Dasar. Penelitian ini mengambil rumusan masalah tentang bagaimana penerapan hukum acara sengketa kewenangan lembaga negara dan bagaimana pembatasan subjectum litis dan objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa sejauh ini Mahkamah Konstitusi telah menerapkan hukum acara sengketa kewenangan lembaga negara dengan konsisten dan telah memberikan penegasan serta pengakuan terhadap lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar 1945.Kata Kunci: Kedudukan Hukum, Sengketa Kewenangan, Subjectum Litis, Objectum Litis, Putusan Perkara SKLN. ......This thesis discusses Legal Standing of State Institution in authority disputes in various Constitutional Court decisions. Authority dispute of State Institution occurs when a State Institution or Agency perceive its Authority is being interrupted, reduced and or illegally taken over by another institution. Institutions that act as the Petitioners or the Petitionees in the Constitutional Court's justice proceedings shall be the only institutions authorized by the Constitution. This study takes the outline of issues about how procedural law of State institutions authority dispute is applied and how subjectum litis and objectum litis is restricted in authority dispute of State institutions. The method used in this study is juridical normative based on secondary data and presented descriptive analytic. Results of the study shows that the Constitutional Court has consistently applied procedural law of State institutions authority dispute and has given affirmation and acknowledgment to state institutions which authority is attributed by the 1945 Constitution.Keywords Legal Standing, Authority Dispute, Subjectim Litis, Objectum Liti, Court Decision in Authority Dispute of State Institutions
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Fajrul Falah
Abstrak :
Skripsi ini membahas kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perselisihan Pemilukada berdasarkan UU Pemerintahan Daerah. Namun MK melaksanakannya tidak mendasarkan pada UU. Skripsi ini mengambil studi kasus putusan MK atas perselisihan Pemilukada di Kota Jayapura. Permasalahannya bagaimana MK menjalankan kewenangan memutus perselisihan Pemilukada dan apakah bakal pasangan calon dapat diterima sebagai pemohon dalam perselisihan Pemilukada. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan bahwa MK menjalankan kewenangan dengan memegang prinsip hukum dan keadilan, sehingga mengutamakan keadilan substantif. Demi menegakan keadilan substantif, MK mendasarkan kewenangannya pada UUD NRI Tahun 1945. Apabila MK hanya mendasarkan pada UU, maka keadilan prosedural akan menyampingkan keadilan substantif, yang kemudian akan menjadikan MK berwenang mengadili seluruh pelanggaran yang terjadi dalam proses Pemilukada yang mempengaruhi hasil Pemilukada. Dengan kewenangan tersebut, maka MK dapat memeriksa sejak penetapan daftar pemilih pada kasus Kota Jayapura. Dengan adanya pemohon yang merupakan bakal pasangan calon, MK perlu menggunakan interpretasi ekstensif untuk memberikan kedudukan hukum. MK memberikan kedudukan hukum tersebut demi menegakan keadilan substantif dan menjamin hak konstitusional warganegara karena pada dasarnya bakal pasangan calon secara materiil merupakan peserta Pemilukada berdasarkan putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap. Bakal pasangan calon juga dapat menjadikan putusan PTUN sebagai alat bukti otentik di persidangan. Penulis juga mendapat kesimpulan bahwa MK menganut aliran Interessenjurisprudenz dalam melakukan penemuan hukum, dimana hakim konstitusi mencari dan menemukan keadilan dalam batas kaidah-kaidah yang telah ditentukan. MK juga menjadikan putusan-putusannya sebagai yurisprudensi untuk menerapkan pada perkara yang sejenis. ......This paper discusses the authority of the Constitutional Court to decide election disputes according to Local Government Act. However, the Constitutional Court does not refer to the Act on asserting its authority. This paper takes a case study of the Constitutional Court verdict on Election dispute in Jayapura. The problem is how to assert the Constitutional Court‟s authority to decide Election disputes and whether the pre-candidates would be accepted as party in the election dispute. The author uses the method of legal normative research, using secondary data. This research concluded that the Constitutional Court implement the principle in law and justice so that substantial justice will be taken as first priority. For the sake of upholding the substantial justice, the Constitutional Court refers its authority on the Constitution. If the Constitutional Court only refers to the Act, the procedural justice will rule aside substantive justice, which makes Constitutional Court has the authority to examine all violations in the Election process which could influence the Election result. With such authority, the Constitutional Court is able to examine since the enlistment of voters in Jayapura case. With the existence of such plaintiff, which is a pre-candidate, the Constitutional Court ought to interpretes extensively to grant legal standing to these plaintiffs. The Constitutional Court grants them the legal standing in order to uphold substantive justice and ensure the constitutional rights of citizens because pre-candidate substantively will be a participant in the Election based on the final and binding verdict of the Administrative Court. Pre-candidates will also be able to use its verdict as an authentic evidence in the trial. The author also concludes that the Constitutional Court adopts Interessenjurisprudenz idea on legal finding, in which the constitutional judges look for and find justice within the limits of established norms. The Constitutional Court also deduces its verdicts as the case law to be applied in other similar case(s).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1942
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Anuhroho
Abstrak :
Abstrak
Tesis ini membahas tentang penormaan asas efisiensi berkeadilan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diperbarui pada peraturan perundang-undangan bidang ketenagalistrikan. Tulisan ini menganalisis bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan unsur efisiensi berkeadilan dalam pengujian konstitusional UU Ketenagalistrikan. Disimpulkan bahwa makna dari efisiensi berkeadilan dalam Pasal 33 ayat (4) adalah perekonomian nasional diselenggarakan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Dalam penormaan dalam bidang ketenagalistrikan Indonesia, ditemukan bahwa setiap peraturan perundang-undangan bidang ketenagalistrikan telah mengandung paling tidak salah satu aspek prinsip efisiensi berkeadilan.
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2017
340 JHP 47:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover