Ditemukan 267 dokumen yang sesuai dengan query
Regina Cecilia
"
Perjanjian pinjaman sindikasi merupakan suatu perjanjian pinjaman yang melibatkan beberapa kreditur untuk memberikan dana besar kepada debitur, serta dapat diselesaikan dengan teori Hukum Perdata Internasional (HPI). Dalam penelitian hukum normatif, kehadiran elemen asing dalam perjanjian kredit sindikasi internasional memungkinkan penerapan teori HPI untuk menentukan hukum yang berlaku dan forum penyelesaian sengketa. Pokok kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1345 K/PDT/2015 menunjukkan dapat digunakannya teori HPI dalam menentukan hukum yang berlaku dan forum yang berwenang berdasarkan kedudukan dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang asing. Penggunaan hukum Indonesia oleh majelis hakim pokok sengketa dalam menentukan hukum yang berlaku dapat dipertimbangkan melalui teori proper law of the contract. Sementara itu, diskusi tentang kebebasan berkontrak dalam penyelesaian sengketa perjanjian kredit sindikasi internasional akan berhubungan dengan pelaksanaan penjaminan terhadap sindikasi dalam pokok sengketa. Prinsip kebebasan berkontrak adalah prinsip diakui dalam hukum kontrak internasional, namun terdapat pembatasan tertentu, terutama dalam hukum Indonesia. Penunjukan Pengadilan Negeri Cilacap dengan dasar Klausul 'Ketentuan Lainnya' serta Pasal 99 ayat (1) RV dalam pokok gugatan tingkat pertama menyebabkan kompleksitas hukum dalam menentukan forum yang berwenang. Kesalahan penerapan dasar hukum dan eksistensi klausul dengan ketentuan multi tafsir serta memiliki risiko forum shopping dapat memiliki implikasi hukum yang signifikan bagi para pihak.
The dispute involving international syndicated loan agreements and foreign parties requires the application of Private International Law (PIL) principles for resolution. Normative legal research reveals that the foreign elements in these agreements allow the use of PIL to determine applicable law and the competent dispute resolution forum. In the Supreme Court decision No. 1345 K/PDT/2015, the legal position and relationship among foreign parties necessitate the application of PIL to decide applicable law and the competent forum. The use of Indonesian law in determining the contract's applicable law aligns with the proper law of the contract. Freedom of contract in resolving disputes in international syndicated credit agreements relates closely to collateral implementation in the dispute. Despite its recognition in international contract law, freedom of contract has limitations within Indonesian law. The designation of Cilacap District Court as the competent forum, based on 'Other Provisions' Clauses and Article 99 paragraph (1) RV in the lawsuit done on the District Court further creates legal complexity in determining the actual dispute resolution forum. Errors in using legal bases and such existence of ambiguous provisions implied with forum shopping risks within this syndicated loan agreement can have significant legal implications for the involved parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Zalfa Ghea Tamima
"Perkembangan teknologi memungkinkan perusahaan asing untuk beroperasi secara digital di negara lain dan memperoleh keuntungan usaha dari masyarakat negara lain tanpa perlu hadir secara fisik di sana. Salah satu sektor yang terdampak dari digitalisasi ini adalah sektor hiburan melalui tersedianya berbagai layanan konten dan/atau aplikasi melalui internet (layanan over the top atau âOTTâ) yang membuat konten daring dapat diakses secara global tanpa penyedia layanannya perlu mendirikan tempat usaha di negara tersebut. Namun, pengaturan terkait layanan OTT di Indonesia cenderung masih berlandaskan kehadiran fisik untuk bisa membebankan kewajiban dan pertanggungjawaban kepada perusahaan asing secara hukum. Penelitian ini akan menggali bagaimana hukum Indonesia mengatur penyedia layanan OTT asing seperti Prime Video, WeTV, dan iQiyi yang beroperasi tanpa mendirikan bentuk usaha tetap dan bagaimana langkah yang dapat dilakukan negara untuk memperjelas kedudukan penyedia layanan OTT asing yang tidak hadir secara fisik di Indonesia. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dengan metode yuridis normatif, deskriptif kualitatif, dan deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum sebagai anggota World Trade Organization, Indonesia berkomitmen melakukan liberalisasi sektor layanan digital bagi pihak asing. Secara khusus, hukum Indonesia baru mengatur dalam aspek perpajakan dan pendaftaran sebagai perusahaan digital. Jika memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, penyedia layanan OTT dipersamakan dengan bentuk usaha tetap sehingga dapat dikenakan pajak penghasilan. Adapun langkah yang dapat dilakukan negara adalah merevisi aturan seputar bentuk usaha tetap dan menentukan kriteria konkret dari âkehadiran ekonomi signifikanâ yang dapat mengacu pada panduan yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development dan G20 serta melakukan kerja sama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perdagangan dalam mengusahakan pembebanan kewajiban kepada penyedia layanan OTT asing melalui optimalisasi pangkal data ketiga lembaga.
Technological developments allow foreign companies to operate digitally in other countries and gain business benefits from the people of other countries without the need to be physically present there. One of the sectors affected by this digitalization is the entertainment through the availability of various content and/or application services via the internet (over the top or âOTTâ services) that makes online content globally accessible without the need for its service provider to establish a place of business in said country. However, regulations related to OTT services in Indonesia still tends to rely upon physical presence for foreign companies to bear obligations and be accountable by law. This research will explore how Indonesian law regulates foreign OTT service providers such as Prime Video, WeTV, and iQiyi that operate without a permanent establishment and what the state can do to clarify the position of foreign OTT service providers who are not physically present in Indonesia. Data collection in this study was carried out through literature study using juridical-normative, descriptive-qualitative and descriptive-analytical research methods. The research concludes that in general, as a member of the World Trade Organization, Indonesia is committed to liberalizing the digital service sector for foreign parties. Specifically, regulations surrounding OTT service providers under Indonesian law have only covered aspects of taxation and registration as a digital company. If they meet the criteria of âsignificant economic presenceâ, foreign OTT service providers can be treated as a permanent establishment, hence are subject to income tax. To clarity their position, the state may have to revise the regulation regarding permanent establishment and determine concrete criteria for the concept of âsignificant economic presenceâ which can refer to the guidelines issued by the Organisation for Economic Co-operation and Development and G20. Moreover, the state, through the Ministry of Communication and Informatics, the Ministry of Finance, and the Ministry of Trade can also work together optimizing their databases in an effort to impose obligations on the foreign OTT service providers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Carolus Bitho Wirawan
"Pemenuhan kebutuhan akan sarana transportasi udara tentu menjadi sangat penting. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara ini adalah dengan melakukan sewa pesawat. Untuk memberikan suatu proteksi kepada pemberi sewa agar aman untuk menyewaan pesawatnya lintas negara maka Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment memberikan suatu upaya pemulihan yang dikenal sebagai tindakan sementara. Tindakan sementara ini merupakan suatu upaya pemulihan yang dapat dimintakan sebelum putusan final diberikan saat terjadi cidera janji. Permasalahan yang muncul dalam perkara tindakan sementara ini adalah forum manakah yang berwenang untuk mengadili tindakan sementara ini. Penelitian ini menyajikan penjelasan (i) Bagaimana kewenangan pengadilan terhadap tindakan sementara berdasarkan Hukum Perdata Internasional Indonesia. (ii) Bagaimana pertimbangan hakim di pengadilan Indonesia dalam kewenangan pengadilan dalam menetapkan permohonan kasus tindakan sementara. Dengan metode penelitian doktrinal serta dengan pendekatan kualitatif, dapat diambil kesimpulan bahwa: Pertama, pengertian mengenai tindakan sementara sendiri berbeda dalam Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment dan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Kedua, berdasarkan HPI Indonesia untuk menentukan kualifikasi mana yang tepat maka hakim seharusnya menggunakan lex fori berdasarkan Hukum Perdata Internasional Indonesia terkhusus mengikuti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Oleh karena itu dalam hal ini forum yang berwenang adalah pilihan forum para pihak.
Meeting the need for air transportation is certainly very important. One way to address this need is by renting a plane. To provide protection to lessors and ensure the safety of renting aircraft across countries, the Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment offers a remedy known as interim measures. This interim measure serves as a remedy that can be sought before a final decision is made when a breach of contract occurs. The challenge that arises in this interim measure case is determining which forum has the authority to adjudicate this matter. This research aims to provide an explanation of two key aspects: (i) How the court exercises authority over interim measure based on the Indonesian Private International Law. (ii) How judges in Indonesian courts consider the court's authority when deciding on requests for interim measure. Employing doctrinal research methods and a qualitative approach, the study concludes that: First, the definition of interim measure differs between the Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment and Law Number 1 of 2009 concerning Aviation. Second, based on the Indonesian HPI, judges should determine the appropriate qualifications by using lex fori based on Indonesian Private International Law, specifically following Law Number 1 of 2009 concerning Aviation. Therefore, in this case, the authorized forum is the forum chosen by the parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kahn-Freund, Otto, 1900-1979
Rockville: Sijthoff, 1980
340.9 KAH g (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Sudargo Gautama
Bandung: Alumni, 1983
340.9 SUD c
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Kahn-Freund, Otto, 1900-1979
Leyden: Sijthoff, 1980
340.9 Kah g
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Humphrey, John
Leyden: A.W. Sijthoff, 1978
340.9 HUM c
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Pryles, Michael
Sydney: Butterworth, 1974
340.9 PRY f
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Martin, James A.
Boston: Little, Brown, 1978
340.9 MAR p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Sudargo Gautama
Bandung: Alumni, 1974
340 SUD c
Buku Teks Universitas Indonesia Library