Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nuralda Rivanella Martha
Abstrak :
Tesis ini menunjukkan bahwa di dalam masyarakat perkotaan yang bersifat impersonal, anonimiti dan superfisial, komuniti masih dapat terbentuk. Penelitian dilakukan di cluster Riverpark II yang tergolong permukiman menengah-atas, di kawasan real estate Bintaro Jaya, Tangerang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi untuk menunjukkan proses pcmbentukan komuniti, keteraturan hidup bersama dan sosialibilitas; menunjukkan hambatanhambatan dalam kehidupan komuniti serta penanganannya; dan menunjukkan pengaruh desain terhadap komuniti. Dalam tesis ini saya tunjukkan bahwa dalam suatu permukiman yang ditata olch pengembang, komuniti yang terbentuk terbatas pada komuniti spasial. Desain tata ruang dapat mempengaruhi sosialibilitas tetapi komuniti tidak ditentukan oleh sosialibilitas. Batas-batas sosial merupakan hambatan di dalam komuniti karena berarti lebih mementingkan privasi dari kebersamaan. Faktor kepemimpinan juga memainkan peranan penting dalam keberlangsungan kehidupan komuniti sebagai inisiator, penggerak kegiatan kebersamaan, dan panutan. Komuniti di Riverpark II tidak didasarkan old adanya ikatan emosional yang kuat walau memiliki sosialibilitas yang cukup kental, melainkan pada mekanisme organisasi paguyuban yang dijalankan secara rasional untuk mengatur hal-hal menyangkut kepentingan bersama. Tesis ini juga menunjukkan bahwa proses pembentukan komuniti Riverpak II masih terus berlangsung dan akan selalu berada di antara kutub community dan society seperti dikemukakan oleh Tonnics dan Durkheim. Saat ini kecenderungan komuniti Riverpark II sedang bcrgeser ke arah society. Pergeseran ini juga menjelaskan bahwa kehidupan kebersamaan akan cenderung mencari keseimbangan antara kebutuhan internal warga dan pengaturan eksternal, atau keseimbangan antara kehidupan privat dan publik warga.
This thesis shows that in urban society that characterized by impersonality, anonymity, and superficial relationships, the creation of community could still occurs. This research was done in Riverpark II cluster, which belongs to middle to upper social economic class, in real estate Bintaro Jaya, Tangerang. With qualitative method research and ethnographic approach, this research has purposes to show the creation of community, social order in communal life and socialibility; to show obstacles stand in the way and being overcome, to show design influence on community. This thesis shows the creation of community in Riverpark II as a new-planned settlement built by developer is limited to spatial community. The space-design in the settlement could generate or deter socialibility, community is not defined by socialibility but precedes it. Leadership also plays crucial role in community vialibility connected with the apathy held by some residents of Riverpark II Community in Riverpark II is not based on strong social-emotional ties although socialibility is quite good but based on organizational mechanism called `Paguyuban' which is driven rationally to achieve common interests. This thesis also shows that the creation of community in Riverpark II is still processing and will always stand between two polars, community and society-stated by Tonnics and Durkheim. Nowadays, the tendency of Riverpark 11 is shifting to society. This shifting explains that collective living tends to seek equilibrium between internal needs versus external enforcements, or between private and public living of residents.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14891
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farizky
Abstrak :
Maraknya perkembangan Komunitas Vespa Ekstrim menjadi fenomena sosial saat ini. Penampilan Anggotanya sering diidentikkan dengan preman jalanan. Vespa Ekstrim yang mereka buat, dengan beragam bentuk yang aneh dan aksesoris benda bekas dianggap tidak memenuhi standard kelayakan kendaraan transportasi. Banyak masyarakat yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Komunitas Vespa Ekstrim sendiri menyanggah respon negatif masyarakat dan menganggap apa yang mereka lakukan adalah bentuk ekspresi, kreativitas dan seni. Skripsi ini membahas lebih lanjut tentang alasan-alasan terbentuknya Komunitas Vespa Ekstrim dan alasan-alasan dibalik pembuatan Vespa Ekstrim. Dengan mengambil studi kasus Komunitas Vespa ?Apa Aja Boleh?, beragam alasan terlihat di balik terbentuknya Komunitas Vespa Ekstrim. Komunitas ini menjadi sarana pembentukan ruang aktualisasi diri anggotanya untuk mengekspresikan diri dengan landasan nilai-nilai yang ada dalam komunitas. Komunitas ini terbentuk karena dorongan kreativitas anggotanya untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada. Pada akhirnya Vespa Ekstrim yang mereka buat menjadi benda seni dan totem komunitas.
The rise of Vespa Communities has become today?s social phenomenon. The appearance of its members often identified as street thugs. The Extreme Vespa Motorscooter, with various queer configurations that have been produced from scrap accessories by them, do not meet the safety standard of transportation vehicle and many people disturbed by their presence. Meanwhile, Extreme Vespa Communities argue the people?s negative response to them and they consider what they do as a form of expression, creativity, and art. Futhermore, the thesis will discuss many reasons of the formation Extreme Vespa Communities and the production of Extreme Vespa Motorscooter. By taking the case study of Vespa Community ?Apa Aja Boleh?, it will get the reasons behind the formation of extreme vespa community. This community becomes a formation medium of self actualization space for its members to express themselves with the foundation values which exist in the community. This community was formed because of the encouragement of its member creativity to develop their potency. Finally, Extreme Vespa Motorscooter that have been produced by them, become the object of art and the totem of community.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S44472
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraini
Abstrak :
Skripsi ini mengkaji tentang pengalaman menjadi penari dance cover dan pembentukan communitas di agensi PAOW DC. Melalui wawancara dengan lima anggota PAOW DC dan mengamati perilaku serta aktivitas mereka di komuniti dance cover saya melihat adanya proses belajar, refleksi dan pembagian pengalaman, dalam perilaku kolektif di agensi PAOW DC. Proses belajar terjadi karena anggota PAOW DC menghadapi situasi berbeda dengan kesehariannya yakni proses sosial yang terjadi di komuniti dance cover. Dalam proses tersebut mereka mendapatkan pengalaman individual yang nantinya akan direfleksikan di dalam agensinya. Refleksi dari pengalaman tersebut akan dialami oleh anggota PAOW DC yang lain sehinggga bersifat intersubjektif. Mereka berinteraksi dan membagikan pengalaman kemudian dapat membentuk communitas di agensinya. Hasilnya adalah mereka bisa bertahan pada kerasnya persaingan di komuniti dance cover karena empati, saling terbuka, menghargai, serta ikatan yang kuat antar anggotanya. ......This study focus on the experience of being a dance cover performers and forming a communitas at PAOW DC agency. We comprehend the process of learning, reflection and sharing experiences in collective behavior at the PAOW DC agency through interviews with five of their members and observing their behavior and activities in the dance cover community. The learning process occurs as PAOW DC members encounter a different situations from their daily lives, specifically the social processes that ensue in the dance cover community. They gain individual experiences in the process, which will later be reflected in their agency. Reflections from these experiences will be witnessed by other PAOW DC members so that it is tend to be intersubjective. They are interacting and share experiences in forming a communitas within the agency. The outcome is they are able to withstand the intense competition in the dance cover community for their empathy, mutual openness, respect, and strong bonds amongst members.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yusufa Islam Armyando
Abstrak :
Kemajuan teknologi membawa perubahan dalam industri musik, baik dari sisi konsumen dan produsen. Konsumen kini memiliki akses terhadap musik yang sangat luas dengan layanan on-demand music streaming yang turut membentuk perilaku mereka. Produsen juga dapat memproduksi musik lebih mudah dengan bantuan digital audio workstation. Kemudahan yang dibawa oleh transformasi digital ini memungkinkan musisi independen untuk mencapai pasar yang semakin tersegmentasi. Penggemar dari kelompok musik pun akan muncul dan berkemungkinan besar untuk membentuk brand community mereka masing-masing. Perwujudan brand community tersebut dapat ditemui dalam skena musik indie di Indonesia, dalam hal ini adalah Kelelawar sebagai brand community penyuka kelompok musik .Feast. Penelitian ini mengungkap proses pembentukan brand community “Kelelawar” dan praktik mereka sebagai brand community. Praktik ini meliput ritual moshing, pembelian mechandise, berkumpul bersama, sampai pembuatan konten media sosial.
Technological advancement bring a change into the music industry. That applies on consumer and producer side. Consumers nowadays have a wide access into music with help of on-demand music streaming services. The producers also could produce music easier with the help of digital audio workstation. The easiness that bought with the digital transformation enable independent musician to reach more segmented market. The fans of those music groups will emerge and could make their own brand community. The embodiment of that brand community can be found on Indonesia’s indie music scene. This research take Kelelawar as that embodiment as .Feast’s brand community. This research uncover the building process of “Kelelawar” brand community and their practices as a brand community. The practices includes moshing ritual, merchandise buying, get together, until making social media content.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Kemal Dermawan
Jakarta: FISIP UI, 2011
307.1 MOH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Pusat penelitian dan pengembangan permukiman,
307 JPP
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Fina Halun Djata
Abstrak :
Fungsi Abeh Dalam Mengintegrasikan Masyarakat Dayak Ma'anyan di Desa Dayu merupakan topik penelitian ini. Keberadaan Abeh sebagai sebuah simbol yang diyakini masyarakat berfungsi sebagai penyelamat dan pemersatu masyarakat jika ada bahaya yang menyerang dari luar desa. Fenomena yang menarik dari keberadaan Abeh ini adalah keberadaannya sebagai simbol dalam masyarakat tradisional yang diistilahkan dalam kajian sosiologi sebagai masyarakat mekanik sementara itu masyarakat Dayak Ma'anyan di Desa Dayu ini hidup dalam arus modernisasi. Dua tipe masyarakat hidup dalam satu komunitas dengan nilai yang berbeda. Permasalahan pokok yang diangkat dalam penelitian ini adalah Fungsi Abeh dalam mengintegrasikan masyarakat Dayak Ma'anyan di Desa Dayu dengan pertanyaan apa fungsi Abeh bagi masyarakat Dayak Ma'anyan di Desa Dayu, bagaimana Abeh sebagai simbol mengintegrasikan masyarakat Dayak Ma'anyan di Desa Dayu dan faktor-faktor apa yang dapat menghambat fungsi Abeh dalam mengintegrasikan Masyarakat Dayak Ma'anyan di Desa Dayu. Atas dasar pokok permasalahan di atas maka penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu penjelasan ilmiah tentang fungsi Abeh dalam mengintegrasikan masyarakat Dayak Ma'anyan di Desa Dayu secara komprehensif dalam dimensi sosial budaya masyarakat desa. Kerangka teoritik, menggunakan kerangka berpikir keberfungsian dengan menggunakan teori fungsionalisme perspektif Emile Dukheim, Radcliffe-Brown dan Malinowski, dengan memandang bahwa adanya bagian-bagian sistem hanya diterangkan atau dijelaskan oleh keseluruhan atau tatanan sosial, dimana bagian-bagian itu menjalankan fungsi dari tujuan keseluruhan. Menurut aliran ini bahwa suatu sistem selalu berkaitan dengan fungsi, suatu sistem itu terdiri dan sejumlah unsur yang berfungsi secara timbale balik yaitu saling memberi, saling menerima guna memelihara keseimbangan suatu entitas sistem tertentu. Dalam aliran ini bahwa masyarakat harus dilihat secara holistik sebagai sistem yang terdiri dari bagian-bagian dan terdapat nilai-nilai konsensus yang menggerakkan terjadinya keseimbangan atau integrasi yang dinanlls. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metodologi dengan menggunakan teknik wawancara mendalam atau indepth Interview, disamping itu agar penulis bisa menemukan data yang lebih akurat, spontan dan data baru maka penulis juga menggunakan teknik observasi partisipasi atau pengamatan terlibat. Penulis selama beberapa bulan mengamati secara langsung dan ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan subjek. Melalui metode penelitian ini penulis menemukan bahwa fungsi Abeh bertitik tolak dari pengalaman masa lampau yaitu sebagai penyelamat dan pemersatu masyarakat jika dalam bahaya yang datang dari luar komunitas dan hampir tidak relevan lagi jika ditinjau dalam konteks kekinian. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Data yang ada kemudian diinterpretasikan. Kesimpulan, fungsi Abeh sebagai penyelamat dan mempersatukan masyarakat Dayak Ma'anyan di Desa Dayu lebih pada zaman lampau, masyarakat terintegrasi dan memiliki solidaritas bersama seperti sekarang ini, bukan karena fungsi Abeh tetapi lebih nampak disebabkan oleh adanya rasa sentimen yang sama atau identitas yang sama sebagai sesama orang Dayu. Saran-saran yang dapat diajukan adalah perijinan untuk mengadakan kegiatan perlu dikaji ulang terutama masalah perjudian yang amat mendoinasi. Hal itu perlu secepamya dilakukan agar orang tidak salah interpretasi tentang makna upacara itu diadakan. Ada pembatasan yang jelas antra perayaan dan waktu ritual; ada pengkajian ulang tentang gagasan re-integrasi untuk usaha-usaha pemaknaan fungsi Abeh dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih cocok dengan kebutuhan masyarakat dimana makna dan fungsi Abeh menjadi ikatan dari masyarakat yang lebih luas lagi. Perlu pengembangan lebih jauh tentang fungsi Abeh, yaitu kajian lintas fungsi maksudnya adalah pengembangan untuk bidang ilmu dan hiburan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1312
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Prasetyo
Abstrak :
Komunitas Basis, merupakan suatu konsep yang sedang dikembangkan oleh organisasi Gereja Katolik yang diwakili oleh mereka yang berada di Konferensi Wali Gereja Katolik Indonesia. Keinginan untuk mengembangkan komunitas Basis ini sudah dicanangkan sejak konsili Vatikan II, yaitu suatu pertemuan antara Para kardinal sedunia. Kardinal adalah pimpinan tertinggi gereja Katolik dalam suatu negara. Kemudian dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000, keinginan ini dipertegas dengan dikeluarkannya kebijakan untuk mengembangkan komunitas basis di keuskupan masing-masing. Keuskupan adalah batas wilayah administratif yang dalam pemerintahan dapat disejajarkan dengan propinsi. Namun untuk satu wilayah keuskupan tidak terbatas pada satu propinsi saja, seperti misalnya keuskupan Agung Jakarta yang meliputi juga daerah Bekasi, Tangerang, serta Banten. Awal ketertarikan peneliti untuk mengkaji komunitas basis didasarkan pada adanya antagonis, antara struktur gereja yang hirarki dengan pola yang top down dengan komunitas basis yang justru berangkat dari bawah. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana suatu organisasi yang sedemikian hirarkinya mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan suatu gerakan yang bottom up. Sejalan dengan berlangsungnya pengumpulan data dan analisa data yang ada, maka topik penelitian ini mengalami beberapa kali perubahan, yang di dalam penelitian kualitatif hal itu sangat dimungkinkan. Jika pada awalnya peneliti tertarik untuk mengkaji perkembangan komunitas basis, maka pada akhirnya penulis justru tertarik untuk mengkaji mengenai konsep komunitas basis yang berkembang. Tidak adanya batasan yang baku serta batasan operasional yang ditetapkan oleh organisasi gereja katolik membuat begitu banyaknya variasi yang berkembang bukan hanya di kalangan umat (tercatat ada 21 variasi) tetapi juga di kalangan mereka yang berada di lingkungan struktur organisasi gereja katolik. Dengan memakai kerangka pemikiran dari Coleman tentang modal sosial, Marx dan Gramsci tentang keberadaan basis di dalam dan di luar struktur, serta pemikiran Mannheim dan Berger tentang pengetahuan, maka peneliti memulai penelitian dengan mengajukan permasalahan yaitu, Apakah Komunitas Basis hanya merupakan gagasan utopis (tipe ideal) yang tidak akan mungkin terjadi? Pertanyaan mendasar ini dijabarkan lebih jauh dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah ada batasan (definisi) baku mengenai komunitas basis? Apakah ada ukuran baku yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan komunitas basis? Apakah komunitas basis merupakan suatu dasar dari struktur organisasi Gereja katolik? Apa yang disebut basis di dalam komunitas basis? Dalam menjawab pertanyaan penelitian, maka hipotesa kerja yang digunakan peneliti sebagai berikut: pertama: Tidak adanya batasan baku yang operasional di kalangan umat, bahkan di pusat hirarki membuat komunitas basis saat ini hanya merupakan gagasan utopis. Hipotesa kerja Kedua: ketika komunitas basis berada di luar struktur organisasi gereja, maka pengaruh top down dari hirarki menjadi hilang (setidaknya berkurang) dan komunitas basis dapat berkembang, serta hipotesa ketiga: komunitas basis merupakan bentuk potensial terbentuknya sekte-sekte di kalangan gereja Katolik, jika konsep komunitas basis disalahartikan sebagai gerakan kebebasan untuk melawan struktur yang ada. Dalam mengkaji hipotesa kerja ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, dan penelitian ini termasuk ke dalam grounded research. Metode utama yang digunakan adalah wawancara mendalam yang dilakukan terhadap tiga orang informan. Peneliti memutuskan hanya tiga informan, karena dari ketiganya terdapat variasi jawaban yang berbeda tentang konsep komunitas basis, dan untuk mendukung alasan peneliti ini, maka dilakukan penyebaran angket terhadap 50 responden. Dari penyebaran terhadap 50 responden, angket yang kembali sejumlah 37 buah. Metode lain yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber beberapa buku tentang komunitas basis, dokumen-dokumen, serta beberapa majalah yang terkait, serta dimasukkan pula hasil refleksi atas pengalaman peneliti yang berkait dengan komunitas basis. Hasil penelitian yang dapat disampaikan dalam hasil karya ini antara lain terdapatnya banyak variasi tentang pemahaman umat tentang komunitas basis. Hal ini disebabkan gereja sendiri tidak memiliki batasan yang baku tentang komunitas basis. Pada akhirnya komunitas basis hanya merupakan gagasan yang utopis yang tidak akan pernah terjadi, dan hal ini juga diakui oleh ketiga informan. Komunitas basis yang (boleh dikatakan) sudah berkembang saat ini adalah komunitas basis yang berada di luar struktur gereja. Mereka dapat berkembang karena tidak adanya campur tangan organisasi gereja. Dalam melihat komunitas basis kita bisa klasifikasikan ke dalam empat tipologi, yaitu komunitas basis yang berada di dalam struktur yang sejalan dengan pemikiran Marx tentang basis, serta komunitas basis yang berada di luar struktur yang sejalan dengan pemikiran Gramsci. Baik di dalam maupun di luar struktur, komunitas basis bisa merupakan gerakan yang menopang maupun yang melawan struktur. Gerakan komunitas basis yang dijadikan sebagai perlawanan terhadap struktur merupakan gerakan yang potensial untuk menjadi sekte-sekte atau sel-sel yang ada di dalam struktur gereja. Hambatan utama terhadap perkembangan komunitas basis adalah budaya kemapanan dan budaya patriarki. Kedua faktor ini sulit untuk dihilangkan karena sudah berlangsung lama. Perlu perombakan yang menyeluruh agar kedua budaya ini dapat dihilangkan. Akhirnya Peneliti sampai kepada keinginan untuk memberikan masukan kepada Gereja Katolik agar membuat batasan yang lebih baku dan operasional tentang komunitas basis. Ketika batasan yang baku sudah ada, maka sosialisasi hingga ke tingkat bawah (umat) juga perlu dilakukan, agar terdapat kesamaan pengetahuan antara umat yang satu dengan yang lain. Dan dari semua konsep yang ada tentang komunitas basis, maka konsep yang digagas oleh Frans Magnis Suseno, menurut peneliti merupakan konsep yang paling tepat untuk dijalankan dalam konteks Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yossa Istiadi
Abstrak :
ABSTRAK
Monyet pemakan daun yang termasuk sub famili Colobinae, terdiri dari 5 - 7 genus dengan 24 - 30 spesies (Struhsaker dan Leland, 1987). Di Indonesia jenis-jenis ini tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Di Sumatera Joja (Presbytis potenziani) menyebar di Kepulauan Mentawai, Kedih (Presbytis thomasi) hanya di Sumatera bagian Utara, Kokah (Presbytis femoralis) hanya terdapat di Sumatera Tengah bagian pantai Timur (Megantara, 1989), Lutung (Trachypilecus cristalus) penyebarannya merata di seluruh daratan Sumatera (Maryanto, 1995) kecuali di habitat rawa di Sumatera Selatan bagian pantai Timur (Wilson dan Wilson, 1972), serta Simpai (Presbytis melalophos) yang mempunyai populasi-populasi spesifik pada 11 wilayah zoogeografis satwa.

Di daratan Sumatera terdapat 11 sub jenis Simpai yang memiliki keragaman dalam warna tubuh. Keragaman ini diakibatkan oleh adanya penghalang-penghalang alam sebagai pembatas distribusi populasinya. Tulisan ini merupakan hasil survei dalam membandingkan variasi warna pada setiap bagian tubuh dari sub jenis Simpai (Presbytis melalophos) guna mengetahui hubungan kekerabatan sub jenis Simpai berdasarkan pengamatan gradasi warna bagian-bagian tubuh. Selain itu akan diamati apakah ada perbedaan karakter populasi pada masing-masing sub jenis tersebut.

Survei dilakukan pada bulan Februari - Mei 1997 di Taman Nasional Bukit Barisan, Bukit Nanti, Air Hitam, Kerinci Seblat, Danau Maninjau, Gunung Talamau, Cagar Alam Rimbo Panti, dan lain-lain. Perjalanan dilakukan sepanjang kira-kira 7500 km menggunakan kendaraan, dan pengamatan melalui penelusuran jalur di hutan dengan total sekitar 18 kilometer.

Dari Uji hirarki menunjukkan adanya hubungan kekerabatan pada populasi yang berada pada wilayah geografis satwa yang berdekatan berdasarkan pola gradasi perubahan warna tubuh (Diskriminan dengan indeks Wilk Lamda 0,60657 p < 0,00). Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh populasi antar sub jenis, dan pengaruh antara populasi dari jenis Presbytis lain yang mempunyai wilayah geografis satwa yang berdekatan.

Gradasi perubahan warna juga dapat disebabkan oleh pengaruh radiasi ultra violet, terutama faktor jarak terhadap garis ekuator dan faktor ketinggian elevasi. Semakin mendekati garis ekuator dan semakin tinggi elevasi daerahnya maka degradasi warna berubah ke arah pucat. Tapi dari hasil penelitian ini tidak menunjukan adanya korelasi antara skor warna dengan ketingian elevasi (R -0,615 p >0,01), dan tidak menunjukan korelasi antara jarak dengan skor warna (R= 0,135 p>0,01). Perubahan degradasi warna menurut Hershkovith (1968 dalam Wilson dan Wilson, 1972) didasarkan atas 2 pola, yaitu eumelanin (Hit= -- Abu-abu (coklat) - Putih), dan pheomelcmin (Merah Oranye - Kuning - Putih). Perubahan tersebut disebabkan oleh reduksi gen-gen fotopigmen karena proses adaptasi, dan kejenuhan pigmentasi selama masa pergantian rambut.

Dalam karakter populasi, kelompok dalam sub-sub jenis tidak mempunyai berbedaan yang berarti dengan populasi yang lain, baik antar sub fens, maupun dengan presbytis lainnya. Namun beberapa karakter yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah adanya dimorfisme seksual pada sub Denis Presbytis melalophos aurata di Blok Pasaman, yaitu individu jantan mempunyai warna dorsal tangan dan kaki yang sedikit oranye. Juga faktor penggunaan habitat oleh populasi Simpai yang lebih banyak berada di habitat yang dekat dengan aktifitas manusia, seperti perladangan, perkebunan masyarakat, semak dan belukar, serta hutan sekunder di tepi jalan.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Utari Budihardjo
Abstrak :
Hasil penelitian tentang di Madura yang dilakukan pada bulan Juli 1995 sampai dengan bulan Juli 1996 telah diketemukan empat species Baru di perairan Indonesia, yaitu Solen abbreviatus, Solen comeus, Solen malaccensis dan Solen timorensis. Solen merupakan makanan tambahan untuk lauk pauk, cemilan dan sebagai penyedap (petis). Solen regularis, Solen malaccensis dan Solen leanus mempunyai kandungan protein masing-masing 10,73%;12,34%; 11,29%. Kandungan karbohidrat 4,1%, 5,39% dan 6,66%. Sedangkan kandungan lemak 1,22% dan 1,29 % dan kandungan air sebesar 79,33%, 79,46% dan 75,68%.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>