Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hans Hagerdal
Abstrak :

ABSTRACT
The article is focused on early colonial interaction with the Aru Islands, geographically located in southern Maluku, at the easternmost end of the Indian Ocean world. The study examines how relationships were constructed in the course of the seventeenth century, how they were institutionalized and how this engendered forms of hybridity. Moreover, it discusses forms of resistance and avoidance in relation to the Dutch East India Company (VOC). Aru constitutes an interesting case as it is was one of the easternmost places in the world in which Islam and Christianity gained a (limited) foothold in the early-modern period, and it also marked the outer limit of Dutch authority. Aru differed from most geographical areas approached by the VOC because of its lack of any large-scale political structures and its relatively non-hierarchical society. The article discusses the forging of Dutch-Arunese political ties after the Banda massacre in 1621, as well as the role of Asian competitors of the VOC such as the Makassarese and Ceramese, the increasing adaptation to world religions in an Arunese setting, conditions in the European-indigenous contact zones and, finally, the conflicts arising from the imbalances between western and eastern Aru, in which the VOC repeatedly intervened to suppress the villages of the Backshore (east coast).
Depok: University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2019
909 UI-WACANA 20:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dudy Syafruddin
Abstrak :
Globalisasi yang berkembang Pascaperang Dunia II telah meningkatkan mobilitas manusia dan informasi secara masif serta menyebabkan pertukaran budaya yang semakin luas dan intens. Masifnya pergerakan dan pertukaran tersebut mengubah paradigma dalam memandang ruang, waktu, dan budaya. Semua itu tidak lagi dianggap sebagai entitas yang homogen dan statis melainkan cair dan heterogen. Transkulturalitas menjadi salah satu fenomena yang muncul sebagai pembacaan ulang atas postkolonialisme yang telah berkembang sejak dua dekade akhir abad ke-20. Transkulturalitas melihat pertemuan budaya lebih dicirikan oleh porositas, pertukaran, keterjeratan, dan hibriditas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi wacana kolonial dalam novel Sturm über Südwest-Afrika, karya Ferdinand May (1962) yang terbit di Jerman Timur dan Morenga karya Uwe Timm (1978) yang terbit di Jerman Barat Pascaperang Dunia II melalui pendekatan transcultural. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis representasi dan rekonstruksi memori kolonial Jerman Pascaperang Dunia II dalam kedua novel tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan transkultural yang mencoba mendekonstruksi konsep-konsep pertemuan budaya dan memori budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di ruang koloni terjadi relasi yang saling terjerat dan meresap sehingga memungkinkan adanya kesalingtergantungan di antara pendatang Jerman dan penduduk pribumi di Afrika Barat Daya. Kompleks pemukiman dan lahan pertanian menunjukkan adanya kesaling tergantungan tersebut. Sementara pertemuan spiritualitas kristen dan animisme menunjukkan adanya pori yang memungkinkan menyerapnya pengaruh ke dalam ajaran Kristen. Demikian pula dengan kapal dan pelabuhan yang menunjukkan keterjeratan antara metropolitan dan pinggiran melalui komoditas kolonial. Pertemuan budaya di ruang koloni tersebut telah berusaha dijembatani oleh para perantara budaya. Namun demikian, transkulturalitas secara makro tidak terbentuk karena transkulturalitas secara mikro masih belum dimiliki oleh kebanyakan pendatang Jerman. Sementara itu, konstruksi memori kolonial dalam kedua novel menunjukkan adanya pergerakan dan kesalingpengaruhan dalam memaknai memori kolonial. Kedua novel dibangun oleh kesamaan ideologi antikapitalisme dan antifasisme. Namun demikian terdapat perbedaan dalam mengungkapkan keduanya. Di Jerman Timur konstruksi memori kolonial terbentuk karena batasan yang dibuat oleh negara, Sementara di Jerman Barat memori kolonial lebih tampak sebagai memori yang dipengaruhi secara terbuka oleh berbagai pihak. ......Globalization developing after World War II has increased human mobility and massive information. In addition, it also contributes to cultural encounter which becomes wider and more intensive. This massive movement and exchange change paradigm in viewing space, time, and culture. All of those are no longer viewed as homogeny and static, but fluid and heterogenic. Transculturality has become one of the phenomena appearing as re-reading of post-colonialism which has developed since the last two decades at the end of the 20th century. Transculturality perceives that cultural encounter is marked as porosity, exchange, entanglement, and hybridity. This research aimed to analyze colonial discourse construction in the novel Sturm über Südwest-Afrika by Ferdinand May (1962) published in East German and Morenga by Uwe Timm (1978) published in West German after World War II through a transcultural approach. Moreover, this research also analyzed the representation and reconstruction of German colonial memory after World War II in those both novels. Furthermore, this research employed a transcultural approach attempting to deconstruct concepts of cultural encounters and cultural memory. The research result proved that in colonial space, entanglement might have happened, and then it was absorbed. As a result, it allowed interdependence among the German immigrants and native people of Southwest Africa. As a matter of fact, settlement complex and farming land identified the interdependence. On the other hand, Christian spirituality and animism showed a space allowing the influence to be absorbed in Christian values. Likewise, ships and harbors also indicated entanglement between metropolitan and suburban through colonial commodities. That cultural encounter in colonial space had been bridged by cultural agents. Nevertheless, macro transculturality was not established since micro transculturality was not owned by most German immigrants. Colonial memory construction in both novels identified movement and interdependence in interpreting the colonial memory. Both novels were created by similar ideologies; anti-capitalism and anti-fascism. Nonetheless, there are differences in expressing those terms. In East Germany, colonial memory construction was shaped due to restrictions made by the state. On the other hand, in West Germany it was viewed as a memory influenced openly by various parties.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Priyatna Murtyaningsih
Abstrak :
Berakhirnya kolonialisme menyebabkan negara-negara penjajah secara perlahan kehilangan kekuasaan atas negara koloninya. Untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, maka negara penjajah menggunakan cara lain untuk mempertahankan kuasanya. Neo-kolonialisme merupakan sebuah konsep untuk menguasai suatu negara tanpa menggunakan kekerasan, melainkan dengan hubungan bilateral, persebaran budaya dan bantuan ekonomi. Neo-kolonialisme dapat mengancam kebebasan dan kemerdekaan suatu negara, karena negara tersebut akan dijadikan boneka oleh negara yang mendominasinya. Emmanuel Macron selaku Presiden Prancis menyampaikan sebuah pidato pada Hari Frankofoni Internasional di hadapan publik Académie Française 2018. Pidato ini dianggap menggambarkan neo-kolonialisme yang dilakukan oleh Prancis. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan unsur-unsur neo-kolonialisme yang terdapat dalam pidato Macron, dan menggunakan teori Analisis Wacana Kritis dari Ruth Wodak. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggambaran neo-kolonialisme dalam pidato dilakukan melalui dominasi bahasa pada tiga bidang utama, yaitu politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Neo-kolonialisme dalam pidato ini digambarkan sebagai usaha-usaha Prancis untuk menyebarkan bahasanya ke seluruh dunia, khususnya negara-negara anggota Organisation International de la Francophonie (OIF).
The end of colonialism caused the colonizing countries to slowly lose power over their colonies. To maintain the power possessed, the colonial state used other means to maintain its power. Neo-colonialism is a concept for controlling a country without resorting to violence, but rather with bilateral relations, cultural distribution and economic assistance. Neo-colonialism can threaten the freedom and independence of a country, because that country will become a puppet by the state that dominates it. Emmanuel Macron as the President of France delivered a speech on International Francophonie Day in public in the 2018 Académie Française. This speech was considered to describe neo-colonialism carried out by France. This study aims to show the neo-colonial elements contained in Macron's speech, and use the theory of Critical Discourse Analysis from Ruth Wodak. This research shows that the description of neo-colonialism in speech is carried out through language dominance in three main areas, namely politics, economics, and socio-culture. Neo-colonialism in this speech was described as France's efforts to spread its language throughout the world, especially the member states of Organisation International de la Francophonie (OIF).
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ariq Bachtera Putra
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai peranan Sukarelawan dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau Operasi Dwikora di wilayah Kalimantan (1963-1966). Semenjak Pemerintah Inggris menetapkan pembentukan Federasi Malaysia pada tahun 1963, Indonesia merasa terancam dengan pembentukan Federasi Malaysia ini karena dianggap sebagai proyek neo kolonialisme Inggris yang bisa mengganggu kestabilan serta keamanan di Indonesia. Berbagai usaha meredakan ketegangan antara kedua negara dengan cara yang damai menemui kegagalan sehingga Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Federasi Malaysia dengan dicanangkan Operasi Dwikora. Untuk melakukan Operasi Dwikora, Indonesia mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya. Mulai dari TNI/ABRI hingga rakyat biasa yang dihimpun dalam suatu barisan yang dinamakan Barisan Sukarelawan. Barisan Sukarelawan ini terdiri dari berbagai elemen masyarakat yang ada di Indonesia seperti Buruh, Tani, Pegawai Negeri, Mahasiswa, hingga Pemuda. Para sukerelawan bertugas untuk tugas-tugas tempur maupun non-tempur. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang kebanyakan membahas mengenai keterlibatan TNI atau elite-elite politik dalam Operasi Dwikora, yang mana penelitian ini berfokus dalam keterlibatan para sukarelawan dalam Operasi Dwikora. Penelitian ini menggunakan sumber-sumber primer seperti surat-surat kabar sezaman, serta arsip dan sumber sekunder yang berupa buku-buku yang terkait dengan pembahasan Operasi Dwikora. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakaan empat tahapan dalam metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. ......This paper discusses the role of Volunteers in the Indonesia-Malaysia Confrontation or Operation Dwikora in the Kalimantan region (1963-1966). Since the British Government established the formation of the Federation of Malaysia in 1963, Indonesia felt threatened by the creation of the Federation of Malaysia because it was considered a British neo-colonial project that could disrupt stability and security in Indonesia. Various attempts to ease tensions between the two countries in a peaceful manner failed, so that Indonesia confronted the Malaysian Federation with the launching of Operation Dwikora. To carry out Operation Dwikora, Indonesia mobilized all its resources. Starting from the TNI / ABRI to common people who are gathered in a line called the Volunteer Front. This volunteer line consists of various elements of society in Indonesia such as workers, farmers, civil servants, students, and youth. Volunteers serve both combat and non-combat tasks. This paper differs from previous papers which mostly discussed the involvement of the TNI or political elites in the Dwikora Operation, in which this paper focused on the involvement of volunteers in the Dwikora Operation. This paper uses primary sources such as contemporary newspapers, as well as archives and secondary sources in the form of books related to the discussion of Operation Dwikora. This research is analytical descriptive using four stages in the historical method, such as heuristics, criticism, interpretation and historiography.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nitya Pradivta
Abstrak :
Sastra Maroko sudah mulai berkembang sejak tahun 1950-an ketika Maroko masih berada di bawah penjajahan Prancis. Tema-tema besar yang biasa muncul dalam kesusastraan Maroko adalah tema mengenai isu kolonialisme dan rasisme. Salah satu penulis Maroko yang karyanya banyak berbicara mengenai rasisme adalah Tahar Ben Jelloun. Artikel ini akan menganalisis salah satu karya Ben Jelloun yang berjudul Le Racisme expliqué à ma fille. Esai ini berbentuk diskusi antara ayah dan anaknya yang berumur 10 tahun mengenai rasisme serta apa yang membuat orang dapat menjadi rasis. Dalam esai ada beberapa kata yang dicetak tebal dan kata-kata ini sebagian besar merupakan fenomena atau peristiwa sosial yang berkaitan dengan sejarah kelam peradaban dunia akibat rasisme. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan teori fokalisator milik Genette untuk melihat pandangan ayah dan anak mengenai rasisme dan teori oposisi antar penanda milik Greimas untuk memaknai kata-kata yang dicetak tebal. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsep rasisme dalam esai ini disampaikan melalui fokalisasi ayah meskipun bentuk esai adalah tanya jawab ayah dan anak. Pemilihan bentuk dialog dengan tokoh ayah dan anak dapat dilihat sebagai sebuah strategi naratif untuk menyampaikan makna implisit yaitu bahwa untuk memerangi rasisme diperlukan pendidikan keluarga sejak dini. Pendidikan anti rasisme dalam keluarga merupakan refleksi Tahar Ben jelloun mengenai solusi atas rasisme di dunia. ......Moroccan literature has been growing since the 1950s when Morocco was still under French occupation. The big themes that commonly appear in Moroccan literature are the issues of colonialism and racism. One Moroccan writer whose work speaks a lot about racism is Tahar Ben Jelloun. This article will analyze one of Ben Jelloun's works entitled Le Racisme expliquée à ma fille. The essay is a discussion between a father and his 10-year-old daughter about racism and what makes people became a racist. In the essay there are some words that are in bold and these words are mostly phenomena or social events related to the dark history of world civilization due to racism. This study used qualitative method by using Genette's focalisation theory to look at father and daughter's views on racism and opposition theory by Greimas markers to interpret bold words. The results of the analysis show that the concept of racism in this essay is conveyed through the father’s focalisation even though the form of the essay is a question and answer between the father and the daughter. The selection of forms of dialogue with father and daughter figures can be seen as a narrative strategy to convey the implicit meaning that to combat racism, it is necessary to educate a child about this concept. Anti-racism education in the family is Tahar Ben Jelloun's reflection on solutions to racism in the world.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Depdikbud, 1983
959.84 SEM s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bondan Kanumoyoso
Abstrak :
Pendirian Batavia sebagai markas besar Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Asia pada 30 Mei 1619 turut memengaruhi wilayah di sekitarnya. Ketika Batavia berkembang menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar, kota ini membutuhkan wilayah pedalaman (Ommelanden) untuk memenuhi keperluan warganya dengan beragam jenis tanaman pangan, bahan bangunan, dan sumber daya manusia. Setelah mengalami dua serangan oleh Kesultanan Mataram pada 1628 dan 1629, serta beberapa kali pertempuran dengan Kesultanan Banten pada 1640-an, VOC menyadari betapa pentingnya menegakkan kekuasaannya di Ommelanden demi memelihara keamanan dan memastikan Batavia tidak terisolasi dari wilayah pedalamannya yang vital. Perjanjian dengan penguasa lokal lantas dibuat untuk memperluas pengaruh VOC. Selain itu, beberapa lembaga dibentuk guna mengelola masyarakat dan perekonomian di Ommelanden. Ommelanden: Perkembangan Masyarakat dan Ekonomi di Luar Tembok Kota Batavia, 1684–1740 memotret berbagai faktor yang merangsang perkembangan sosial-ekonomi di sekitar wilayah Batavia. Buku ini menjelaskan wilayah Ommelanden dari segi karakteristik geografis, perkembangan administrasi lokal, pola-pola kepemilikan lahan, perbudakan dan buruh, serta perkembangan industri gula sebagai usaha pertanian terpenting
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2023
959.802 BON o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Seoul: Pulbiy, 2010
R KOR 951.9 IYA XI
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library