Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rr. Dyah Ayu Chandrika
Abstrak :
Kemanjuran kolektif dari aspek konstruksinya adalah perbaikan pada langkah-langkah intervensi mekanisme sosial di suatu komunitas dibandingkan dengan yang digunakan dalam usaha untuk mengukur disorganisasi sosial. Artinya, ukuran ini menangkap dan menggabungkan tindakan dan hubungan spesifik yang mencerminkan kohesi (kepercayaan, kedekatan, menolong dan nilai bersama) dengan keterlibatan aktif dalam kontrol sosial informal. Tulisan ini akan memberikan kontribusi terhadap penelitian, kebijakan dan praktik berkenaan dengan teori kemanjuran kolektif dan relevansinya untuk pencegahan kejahatan berbasis komunitas. Tulisan ini juga akan berkontribusi pada pengetahuan dan menghasilkan area untuk penelitian lebih lanjut dengan memeriksa bagaimana kemanjuran kolektif bekerja di komunitas dengan berfokus pada kohesi sosial dan kontrol sosial. Untuk tujuan ini, maka tulisan ini dibuat untuk memahami (i) norma, proses dan hubungan yang mendefinisikan kontrol sosial dan kohesi di masyarakat terpilih, (ii) hubungan antara kohesi sosial dan kontrol sosial, dan (iii) faktor-faktor yang bertanggung jawab atas menghasilkan kohesi sosial dan kontrol sosial di komunitas terpilih. ......Collective efficacy as a construct is an improvement on the measure of intervening social mechanisms in communities compared with those used in attempts to measure social disorganization. That is, this measure captures and combines specific actions and relationships that reflect cohesion (trust, closeness, helpfulness and shared values) with the active engagement in informal social control. This paper will contribute to research, policy and practice related to the theory of collective efficacy and its relevance for community based crime prevention. This paper will also contribute to knowledge and generate areas for further research by examining how collective efficacy works in communities with focus on social cohesion and social control. In the end, this paper try to understand (i) the norms, processes and relationships that define social control and cohesion in selected communities, (ii) the relationship between social cohesion and social control, and (iii) the factors responsible for generating social cohesion and social control in selected communities.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Faela Nisa
Abstrak :
ABSTRAK
Alasan pentlngnya penelitian skrlpsi in! adalah pertama, untuk melihat apllkasi Social Identity Model of Deindividuation Phenomena (SIDE) dalam menjelaskan tingkah laku penjarahan massa terhadap pertokoan karena selama in! penjelasan terhadap tingkah laku kerumunan sebagian besar menggunakan tech Le Bon. Kedua, secara kuantitatif, aksi penjarahan massa pada pertokoan sangat besar sehingga menimbulkan kerugian yang besar. Dan disamping kedua alasan di atas, sedikitnya penelitian tentang penjarahan massa di Indonesia menjadikan pentingnya mengadakan penelitian tentang penjarahan massa agar peristiwa penjarahan massa dapat diantisipasi dan ditangani di kemudian hari. Skripsi menggunakan metode kualitatif dengan mengambil kasus penjarahan massa di wilayah Menteng Jakarta. Skripsi menggunakan Metode Triangulasi Data. Adapun data yang dipakai adalah pertama: hasil laporan wawancara dengan responden (penjarah, saksi kejadian dan satpam), kedua: artikel koran dan majalah tentang kejadian dan ketiga: foto kejadlan dan klip video tentang penjarahan massa di wilayah Menteng Jakarta pada peristiwa Mei 1998. Dengan menggunakan Trianguiasi Data diharapkan hasil peneiitian akan iebih baik dan lebih dapat dipercaya. Skripsi berusaha menguji tiga hipotesis yang dibuat berdasarkan teori SIDE, hipotesis keempat dan hipotesis kelima yang dibuat Reicher (1996). Berdasarkan dari uraian pada Bab Analisis Data dan Interpretasi hasil skripsi menunjukkan bahwa "Orang-orang yang berada dalam kerumunan di sekitar Menteng Prada pada peristiwa Mei 1998 tidak kehilangan identitas dirinya". Hasil skripsi juga menunjukkan bahwa "Orang-orang dalam kerumunan beramai-ramai masuk toko dan mengambil barang cenderung bukan karena adanya persepsi bahwa selama ini orang-orang pribumi tertindas oleh orang-orang Tionghoa akan tetapi karena kecenderungan adanya persepsi bahwa selama ini orangorang pribumi mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintahan Orde Baru". Yang terakhir, "Adanya perasaan sesama in-group membuat individu-individu dalam kerumunan saling membantu dan saling mendukung dalam tingkah laku penjarahan massa". Berdasarkan hasil skripsi, beberapa saran untuk peneiitian selanjutnya adalah penggunaan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif untuk meneliti tingkah laku penjarahan massa, perlu dilakukan peneiitian tentang peta identitas sosial yang mungkin dibangkitkan dari tiap-tiap daerah di Indonesia Selain itu, serta program intervensi untuk dapat mengantisipasi kerusuhan dan penjarahan yang dilatarbelakangi persepsi terhadap suku tertentu. Program itu berupa ikian di media massa tentang persatuan, kebersamaan dan pendidikan masyarakat yang bisa mengembangkan sikap yang menganggap bahwa keanekaragaman itu positif dan merupakan aset/modal nasional.
1999
S2685
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Dialina
Abstrak :
Maraknya aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh pekerja akhir-akhir ini banyak menarik perhatian orang. Banyak pengamat memberikan analisanya dan sebagian besar mengatakan bahwa penyebabnya masih berkisar pada rendahnya upah minimum (UMR). Dari data yang diperoleh menyebutkan dari tahun 1990 sampai 1996, telah terjadi 903 kali aksi unjuk rasa di wilayah DKI Jakarta. Puncaknya terjadi pada tahun 1996 dengan 350 kali dan tidak mustahil pada tahun ini akan terus meningkat, mengingat semakin seringnya hal itu terjadi akhir-akhir ini (Laporan Analisa Aksi Unjuk Rasa & Pemogokan Kerja Depnaker, 1996). Akibat tejadinya aksi unjuk rasa inipun sangat merugikan kedua belah pihak, baik para pekerja maupun pengusaha Kerugian dapat bersifat fisik dan psikologis (ldroes Kompas, 27 September 1995). Ia menyatakan bahwa kerugian akibat berbagai aksi unjuk rasa sangat besar dan luas, baik secara fisik, material, mental maupun moral. Masalah aksi unjuk rasa ini merupakan masalah yang sangat serius, seperti yang dikemukakan oleh Pasaribu dan Kwik Kian Gie (Kompas, 1996). Masalah ketenagakerjaan juga merupakan masalah yang sangat vital dan strategis, serta menyimpan ancaman yang besar jika tidak diselesaikan secara tuntas, karena itu harus segera diambil kebijaksanaan dan langkah-langkah penyelesaian serta antisipasinya (Idroes, Kompas 27 September 1995). Walaupun upaya-upaya terus dilakukan, tetapi masih sering kita membaca di media massa, aksi unjuk rasa itu terjadi. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dalam diri peneliti, ?Bagaimana hal ini dapat terjadi? Apakah upah merupakan masalah yang utama? Beberapa kalangan pengamat masalah-masalah sosial, menilai terjadinya bukan disebabkan oleh masalah fisik semata, tetapi juga masalah-masalah yang lebih bersifat sosial dan psikologis. Selama ini masalah pekerja selalu dipandang dari sudut ekonomi. Para pengamat mencoba untuk lebih melihat masalah ini dari sudut sosial dan psikologis, seperti yang diteliti oleh Komalasari (1995) bahwa pemogokan kerja yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini Iebih melibatkan hal seperti lingkungan kerja, penilaian kerja dan beban kerja. Salah satu teori yang cukup komprehensif dalam menjelaskan timbulnya collective behavior (selanjutnya akan disebut dengan tingkahIaku kelompok) adalah teori dari Smelser (1962). Aksi unjuk rasa yang dimaksud di sini merupakan salah satu bentuk dari tingkahlaku kelompok, yang berorientasi pada perubahan norma (Smelser, 1962). Timbulnya tingkahlaku kelompok didasarkan pada satu keyakinan umum bahwa situasi perlu dan dapat diubah. Dalam menentukan timbulnya suatu tingkahlaku klompok, Smelser mengemukakan enam determinan. Determinan-determinan ini adalah (1). Kekondusifan struktural, (2) Tekanan Struktural, (3) Pertumbuhan Keyakinan, (4) Faktor Pencetus, (5) Mobilisasi Partisipan dan (6) Penerapan Kontrol Sosial. Determinan-determinan ini disusun secara berurutan, sehingga determinan yang terdahulu merupakan syarat bagi timbulnya determinan yang berikutnya, tetapi tidak harus selalu berurutan sauna kronologis atau dalam urutan waktu. Dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Smelser (1962), masalah penelitian ini adalah bagaimana dinamika terjadinya aksi unjuk rasa didasarkan pada teori Smelser? Pembahasan akan difokuskan pada perbedaan determinan-determinan yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu tingkahlaku kelompok, dalam hal ini aksi unjuk rasa. Agar dapat diadakan perbandingan, dalam penelitian ini digunakan dua kelompok pekerja, yaitu kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pekerja swasta dan kelompok pekerja yang tidak melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pegawai negeri. Digunakannya sampel pegawai negeri dengan pertimbangan secara keseluruhan keadaan di antara kedua profesi tersebut tidak jauh berbeda, baik dilihat dari segi upah, jam kerja maupun intensitas pekerjaannya. Penelitian dilakukan terhadap sampel pekerja dengan menggunakan alat ukur kuesioner yang terdiri dari beberapa bagian dan mengukur determinan-determinan yang bepengaruh. Penyusunan alat ukur didasarkan pada hasil elisitasi terhadap sejumlah orang yang sesuai dengan karakteristik subyek penelitian. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis perbedaan mean antar determinan, dengan membandingkan mean antara kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa (pekerja swasta) dengan mean kelompok pekerja yang tidak melakukan aksi unjuk rasa (pegawai negeri). Berdasarkan hasil penelitian utama diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang Signifikan dalam terjadinya perilaku aksi unjuk rasa pada pekerja swasta dengan pegawai negeri. Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa Tekanan Struktural merupakan determinan yang paling berpengaruh, dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini, Tekanan Struktural dirasakan paling besar oleh kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pekerja swasta dibandingkan dengan determinan lainnya. Selain itu, dari pengolahan yang dilakukan juga dapat diketahui bahwa, dalam penelitian ini, upah bukan merupakan faktor utama dalam menimbulkan aksi unjuk rasa pada pekerja swasta. Dari hasil yang diperoleh diharapkan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk melakukan evaluasi serta penyempurnaan lebih lanjut bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S2691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulia Ade Zulfadlan
Abstrak :
Aksi kolektif oleh mahasiswa merupakan hal yang sering terjadi di Indonesia. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kecenderungan tersebut dapat muncul akibat identifikasi kelompok yang dimiliki oleh individu. Temuan lain juga menemukan bahwa faktor eksternal, seperti pengaruh dari media dapat mendorong terbentuknya keinginan untuk mengikuti aksi kolektif, terutama tercermin dalam bentuk hostile media perception. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hostile media perception dapat memoderasi hubungan antara identifikasi kelompok dan kecenderungan untuk mengikuti aksi kolektif. Penelitian ini dilakukan secara daring kepada 163 mahasiswa aktif yang berada di wilayah Jabodetabek. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Group Identification Measure (Doosje, Ellemers, dan Spears, 1995; α = 0,92), Hostile Media Perception Scale (Hwang et al., 2008; α = 0,76), dan Collective Action Tendency (van Zomeren et al., 2004; α = 0,90). Penelitian ini menemukan bahwa hostile media perception tidak memoderasi hubungan antara identifikasi kelompok dan kecenderungan aksi kolektif mahasiswa (t = .0019, p<.81). Temuan dari penelitian ini menunjukkan pentingnya identifikasi mahasiswa terhadap suatu kelompok demi memunculkan keinginan mengikuti aksi kolektif. ......Collective action by university student happened regularly in Indonesia. Previous research has shown that this tendency comes in response to group identification that an individual has. Another research also found that external factors, such as media interference might increase this tendency, mainly in the form of hostile media perception. This study aims to examine the moderating role of hostile media perception on the relationship between group identification and collective action tendency. This study was conducted online on 163 active university students in Jabodetabek area. Instruments used in this study are Group Identification Measure (Doosje, Ellemers, dan Spears, 1995; α = 0,92), Hostile Media Perception Scale (Hwang et al., 2008; α = 0,76), dan Collective Action Tendency (van Zomeren et al., 2004; α = 0,90). This study found that hostile media perception did not moderate the relation between group identification and collective action tendency (t = .0019, p<.81). The findings of this study show how group identification in university students could incite collective action tendency.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
In normative political and social discourse it is often said that some collective or group of people morally ought to or is morally responsible to perform a certain action or bring about a certain outcome. One way such expressions are asserted is say that such collectives have a moral responsibility to do something going forward or from now on. This volume explores various aspects of the concept of forward-looking collective responsibility and its application. The 2006 Midwest Studies in Philosophy volume (Shared Intention and Collective Responsibility) concentrated primarily on collective responsibility for past actions and events. This volume serves as a companion piece to that volume by extending the philosophical discussion of collective responsibility and collective morality towards future collective action. It contains fifteen articles written by leading philosophers from around the world. --Book Jacket.
Hoboken : Wiley Blackwell, 2014
170 MID
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
PaPiere, Richard T.
New York: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1938
301.1 LAP c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ginneken, Jaap van
Ner Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2002
303.38 GIN c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ginneken, Jaap van
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 1938
303.38 GIN c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zakiatus Solikhah
Abstrak :
Perkelahian pelajar atau yang sering dl sebut tawuran merupakan salah satu bentuk kenakalan pelajar yang ada sejak tahun 70-an. Masalah tawuran sekarang ini telah berkembang menjadi iebih kompleks ditandai dengan peningkatan yang terjadi balk secara kualitas maupun kuantitas. Kegagalan program yang dilakukan selama ini disebabkan adanya fokus penanganan pada individu pelajar yang dianggap bermasalah karena terlibat tawuran. Melihat kenyataan di lapangan bahwa tawuran merupakan bentuk perilaku kelompok yang memiliki dinamika berbeda dengan perilaku individu. Berdasar asumsi diatas telah dilakukan penelitian lapangan yang dilakukan Winarini Mansoer (1998). Penelitian tersebut menjadi dasar bagi Kelompok Kerja (Pokja) Penanggulangan Tawuran Depdikbud untuk mengevaluasi dan mencari strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah tawuran. Untuk memberi gambaran komprehensif, penelitian ini akan melihat pelajar yang terlibat dan tidak terlibat tawuran. Bagaimana mereka memandang identitas sosialnya berkaitan dengan sekolahnya sebagai "Sekolah Tawuran ", alasan apa yang mendorong mereka terlibat atau tidak terlibat tawuran. Penelitian ini juga akan melihat bagaimana pelajar yang tidak terlibat tawuran dapat tetap menghindarkan dari keterlibatan dalam tawuran. Hasil ini diharapkan akan memberi masukan yang konkret untuk mengatasi tawuran berdasarkan pengalaman dari pelajar yang tidak terlibat tawuran. Menurut Morse (1996), penelitian kualitatif dapat digabung pendekatan kuantitatif dengan melihat frekuensi subyek yang menjawab. Penelitian ini dilakukan dengan 40 subyek dari 4 SLTA yang pelajarnya memiliki tradisi tawuran, yaitu 3 SLTA yang ada di kawasan Budi Utomo dan 1 SMU yang merupakan "musuhnya". Teknik pengambilan sampling menggunakan Purposive Sampling dengan Incidental Sampling, sekolah dan subyek dipilih dengan kriiteria tertentu dan melihat ketermudahan subyek yang ditemui dan memenuhi kriteria. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah Wawancara Semi Terstruktur yang dilengkapi dengan observasi tidak terstruktur perilaku pelajar dalam Basis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pandangan stereotipe yang berkaitan dengan tawuran yang diakui pelajar yang terlibat dan tidak terlibat tawuran di sekolah-sekolah Boedoet. Hasil ini dipertegas dengan pandangan yang same pada sekolah "musuh". Hanya bedanya, pelajar yang terlibat tawuran menganggap stereotipe itu sebagai bagian dari keanggotaannya dalam sekolah Boedoet. Sedangkan pelajar yang tidak tawuran menganggap mereka berhak tidak ikut tawuran, walaupun mereka mengakui bagian dari sekolah yang memiliki Identitas sebagai "Sekolah Tawuran". Semua pelajar dalam penelitian ini mengakui adanya kecemasan adanya rasa aman yang terancam selama berangkat dan pulang sekolah. Untuk mendapatkan rasa aman tersebut, sebagian pelajar memilih ikut Basis dan sebagian dengan menghindari Basis. Alasan pelajar tergabung dalam Basis untuk mendapatkan rasa aman, rasa kebersamaan, rasa solidaritas ke teman, adanya keinginan menjaga dan meneruskan tradisi Basis, dan mencari teman. Alasan mereka terlibat tawuran adalah karena diserang "musuh", membela nama baik sekolah dan rasa solider dengan teman. Alasan pelajar tidak terlibat tawuran adalah adanya keyakinan pribadi yang kuat bahwa tawuran tidak baik, menyusahkan diri dan OT. Adanya pengalaman traumatis, kontrol dari orang tua, dan jarak rumah dekat dapat mendukung pelajar tetap tidak terlibat tawuran. Pelajar yang tidak tawuran intinya karena mereka menyakini tawuran sebagai sesuatu yang negatif dan mendorong mereka menghindari tawuran dengan berbagai strategi yang berbeda pada tiap pelajar disesuaikan dengan kondisi mereka saat itu. Beberapa kelompok sosial yang menjadi pendukung mereka adalah OT, OSIS, Rohis, teman bermain dan klub olah raga. Faktor lain yang mendukung pelajar terlibat atau tidak terlibat tawuran adalah ada tidaknya kegiatan pada jam rawan tawuran. Studi ini sebaiknya dijadikan dasar untuk melakukan studi kuantitaif pada banyak pelajar yang tidak terlibat tawuran di sekolah yang pelajarnya memiliki tradisi tawuran. Sehingga hasilnya dapat digeneralisasikan untuk pelajar yang tidak terlibat tawuran di sekolah-sekolah yang memiliki tradisi tawuran. Melihat kuatnya persepsi pelajar tentang rasa aman yang terancam selama perjalanan berangkat dan pulang sekolah, dan melihat kuatnya keyakinan pelajar yang tidak terlibat tawuran tentang efek negatif tawuran, perlu kiranya segera dilakukan pelatihan untuk megubah pemikiran kognitif pelajar yang tawuran. Melihat karakteristik pelajar yang dekat dengan Basis, alangkah baiknya kegiatan tersebut melibatkan Basis sebagai kelompok sosial pelajar. Untuk membantu program penanggulangan yang dilakukan, perlu dilakukan penelitian tentang motivasi keterlibatan alumni yang dari penelitian ini sangat berperan melestarikan tradisi tawuran di sekolah Budi Utomo. Dengan melibatkan mereka dan mengetahui proses dokrinasi yang dilakukannya, akan membantu untuk mengurangi dan mencegah tawuran. Mengingat makin kompleknya masalah tawuran, semua penanggulangan tawuran tidak akan berhasil tanpa kerjasama semua pihak yang terkait.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
S2692
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Goldstein, Arnold P.
New York: John Wiley & Sons, 2002
616.858 2 GOL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>