Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amin Maulana Wicaksono
Abstrak :
ABSTRAK
Berakhirnya Perang Dingin dan Disintegrasi Uni Soviet menyebabkan terjadinya perubahan mendasar di bidang politik dan ekonomi Rusia. Perubahan-perubahan yang ada ternyata membawa dampak terhadap masalah keamanan nasional Rusia, sebab bagaimanapun masalah kelanjutan Rusia sebagai bekas negara adidaya tidak semata masalah reformasi ekonomi dan demokrasi, tetapi jauh Iebih penting adalah bagaimana mengembalikan status Rusia sediakala seperti Uni Soviet, dengan kapabilitas kekuatan militer dan nuklirnya.

Untuk itu, Rusia merasa perlu dan segera merumuskan atau memperkirakan apa dan bagaimana menghadapai dan mengantisipasi berbagai bentuk ancaman keamanan nasionalnya. Untuk mengimplementasikan kebijakan keamanan tersebut dengan sendirinya, strategi keamanan dan militernya juga harus dikaitan atau disesuaikan dengan perkembangan realitas yang dihadapi oleh Rusia saat ini dan masa depan.

Kepentingan keamanan Rusia tidak lain adalah masalah konflik-konflik regional antara negara-negara bekas Uni Soviet dan masalah ancaman perluasan NATO ke Eropa Timur dan Tengah atau negara-negara bekas anggota Pakta Warsawa. Kedua ancaman tersebut sebenarnya saling mempengaruhi, instabilitas dalam negeri dan regional akan mempengaruhi kredibilitas Rusia sebagai pewaris kekuasaan Uni Soviet di internasional.

Ketidakberdayaan Rusia dalam mencegah NATO tersebut menunjukkan bahwa Rusia tidak memiliki kekuatan tawar menawar (bargaining power) yang kuat terhadap Amerika Serikat. Pada gilirannya Rusia mengalami dilema, di satu sisi tidak ingin AS bertindak sebagai hegemoni tunggal. Di sisi lain, Rusia masih membutuhkan bantuan dan dukungan ekonomi dari AS dan negara-negara maju lainnya (G-7).

Dari pandangan strategi tradisionil, Rusia secara historis memiliki penyebaran pengaruh (sphere of infiuence) di seluruh wilayah bekas Uni Soviet. Dengan kata Iain secara geopolitik, Rusia masih merasa perlu menyatukan bekas negara-negara Uni Soviet dan Pakta Warsawa bahkan RRC untuk menggalang kerjasama kemanan dan militer regional. Di samping itu, sebagai upaya pencarian keseimbangan kekuatan (balance of power) terhadap NATO.

Konsekuensi logis dari ancaman tersebut adalah Rusia tetap mengandalkan kekuatan nuklirnya secara terbatas (finite nuclear deterrence) untuk menghadapi perang-perang lokaI. Dalam hal ini, diarahkan kepada kekuatan NATO yang mencoba mengancam kedaulatan Rusia.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Spohr, Kristina
Abstrak :
In 1989-90 the map of Europe was transformed peacefully-without a war, unlike other great ruptures of the international order such as 1815, 1870, 1918, and 1945. What role did international summitry play in the dénouement of the cold war? So far scholars have focused on long-term systemic factors, Gorbachevs reform agenda, or the impact in 1989 of people power. This major multinational study, based on archives from both sides of the Iron Curtain, adopts a novel perspective by exploring the contribution of international statecraft to the dissolution of Europes bipolar order. This is done through the examination of key summit meetings from 1970 to 1990 across three phases Thawing the cold war, living with the cold war, and transcending the cold war and in three main strands: the superpowers and arms control, their triangular relationship with China, and the German question. The threads are drawn together in a sweeping analytical conclusion. The book includes fascinating insights into key statesman such as Richard Nixon and Ronald Reagan, Leonid Brezhnev and Mikhail Gorbachev, Willy Brandt and Helmut Kohl, Zhou Enlai and Deng Xiaoping, both as thinkers about the international system and also practitioners of summit bargaining. Particular attention is devoted to the cultural dimensions of summitry, as performative acts for the media and as engagement with the other across ideological divides. Written in lively prose, this book is essential reading for those interested in modern history, contemporary politics, and international relations addressing issues that still shape the world today.
Oxford: Oxford University Press, 2016
e20470087
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Khoirunnisa
Abstrak :
Terjadinya perubahan besar dalam struktur keamanan dunia dalam era pasca Perang Dingin, menjadikan situasi keamanan Asia Pasifik dilanda ketidakpastian, Sedikitnya terdapat dua alasan yang menyebabkan situasi keamanan tersebut, yaitu pertama terjadinya pengurangan kehadiran kekuatan militer Amerika Serikat di kawasan tersebut yang menimbulkan kekhawatiran diantara di kawasan. Kekhawatiran tersebut mengakibatkan munculnya peningkatan pembangunan militer dan dilema keamanan. Alasan kedua adalah negara-negara Asia Pasifik pasca Perang Dingin tidak memiliki persepsi yang sama mengenai ancaman terhadap keamanan di kawasan. Tesis ini membahas faktor-faktor penghambat dan pendukung bagi terbentuknya kerja sama keamanan di kawasan Asia Pasifik. Penulis membagi faktor-faktor tersebut ke dalam dua bagian, yaitu faktor-faktor penghambat terbentuknya kerja sama keamanan di kawasan Asia Pasifik antara lain seperti persepsi dan sikap negara-negara besar di kawasan, timbulnya dilema keamanan akibat peningkatan kemampuan militer dan perkembangan sistem internasional pasca Perang Dingin. Sedangkan pada bagian kedua membahas mengenai faktor-faktor pendukung kerja sama keamanan di kawasan Asia Pasifik seperti adanya interdependensi, peran konstruktif ASEAN dalam menangani masalah keamanan regional. Namun untuk membatasi meluasnya ruang lingkup penelitian, perrmbahasan dibatasi seputar wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam hal ini penulis mencoba membahasnya dengan menggunakan pendekatan rezim internasional dan dilema keamanan yang dikemukakan oleh Oran Young, Robert O. Keohane, Bilveer Singh dan DR. Amien Rais. Adapun dalam menganalisanya, penulis melakukan studi kepustakaan yang didasarkan pada buku-buku dan referensi lainnya sebagai sumber data yang ada kaitannya dengan pokok masalah penelitian. Pembahasan yang didukung dengan data yang ada mendukung hipotesa yang diambil oleh penulis bahwa situasi keamanan di kawasan Asia Pasifik pasca Perang Dingin masih tergantung pada interaksi antar negara-negara besar dengan negara-negara lainnya di kawasan, dan semakin tingginya faktor-faktor penghambat yang ada maka semakin rendah kemungkinan atau semakin tinggi kesulitan pembentukan kerja sama keamanan di Asia Pasifik pasca Perang Dingin serta peran konstruktif ASEAN dalam merealisasikan pembentukan forum dialog multilateral di kawasan Asia Pasifik, namun untuk membatasi jangkauan pembahasan dalam masalah tersebut tidak dibahas masalah ARF dan prospeknya secara detail.
2000
T3606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Jasson
Abstrak :
Berakhir Perang Dingin menciptakan dinamika baru di dalam tatanan hubungan internasional di Eropa. Pembentukan Uni Eropa menyebabkan kerja sama diantara negara-negara Eropa menjadi lebih intens di dalam banyak sektor, termasuk sektor pertahanan dan keamanan. Pembuatan kebijakan Common Foreign and Security Policy (CFSP) dan Common Security and Defense Policy (CSDP) pada tahun 1999 merupakan beberapa contoh integrasi keamanan di Eropa. Selain integrasi tersebut, ketidakpastian komitmen Amerika Serikat dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO) menyebabkan Uni Eropa perlu merasa perlu menciptakan tentaranya sendiri. Keinginan tersebut digambarkan oleh pembentukan Permanent Structured Cooperation oleh Uni Eropa pada 2017 dan pidato Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Angela Merkel yang menyebutkan Uni Eropa memerlukan tentaranya sendiri pada tahun 2018. Berdasasrkan pernyataan tersebut, skripsi ini memiliki pertanyaan riset “mengapa Uni Eropa menginginkan untuk menciptakan tentaranya sendiri?” Dengan menjawab pertanyaan diatas, diharapkan penelitian ini dapat menganalisis insentif Uni Eropa yang semakin mengintegrasikan militernya pada masa kini. Selain itu, diharapkan penelitian ini akan berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan tentang topik Tentara Uni Eropa. ......The end of the Cold War brought a new dynamic to the realm of international politics in Europe. Creation of European Union (EU) made cooperation between European states more intense in many sectors, including in the security and defense section. Establishment of Common Foreign and Security Policy (CFSP) and Common Security and Defense Policy (CSDP), both in 1999, are some examples of European security integration. Aside from those integration, the uncertain commitment of United States of America (USA) on the defense of Europe through North Atlantic Treaty Organization (NATO) made the EU feel the need to create their own army. The desire for EU to create its own army also showed by the creation of Permanent Structured Cooperation in 2017 and speech by both the French President Emmanuel Macron and German Chancellor Angela Merkel to call for the creation of European Army in 2018.1 Based on the statement above, this thesis would like to ask questions of “why the EU have an urge to create its own army?” By answering those question, this thesis has an aim to analyze the reasons EU is incentivized to create their own army. Hopefully, this thesis will also contribute to the development of science regarding the creation of European Army, as there are only few researches that currently focus on this topic.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dave Emmilio Zegno Fudi
Abstrak :
Berlin sebagai ibukota Jerman tidak hanya dikenal dengan peninggalan historis dalam bentuk budaya material (material culture) seperti monumen atau bangunan dengan gaya arsitektur tertentu, tetapi juga menyimpan kisah spionase dunia pada era Perang Dingin. Sebagai “pusat pertarungan“ ideologi Perang Dingin, Berlin sangat lekat diasosiasikan dengan spionase. Kesan ini sering diangkat sebagai tema berbagai produk media, baik yang diproduksi di dalam atau luar Jerman. Salah satu produk media populer yang mengangkat tema spionase di Berlin adalah serial manga Spy X Family (2019) karya Tetsuya Endo. Penggambaran kota Berlint dalam serial manga ini dapat dimaknai sebagai representasi Berlin pada era Perang Dingin. Dengan menganalisis serial manga ini secara semiotik, penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana Berlin sebagai wilayah sentral pada era Perang Dingin direpresentasikan dalam budaya populer. Analisis semiotik terhadap penggambaran landscape dan kehidupan di kota Berlint dalam manga Spy X Family ini merepresentasikan kota Berlin sebagai pusat spionase yang tertata rapi dan menyediakan ruang tinggal yang layak bagi penduduknya. ......Berlin is not only known for its historical heritage in the form of material culture, such as monuments or buildings with a particular architectural style, but also for keeping stories of world espionage during the Cold War era. As the arena of ideology contestation of the Cold War, Berlin is closely associated with espionage. This impression is often used as the theme of various media products produced inside and outside Germany. One of the popular media products with the theme of espionage in Berlin is the manga series Spy X Family (2019) by Tetsuya Endo. The depiction of the city of Berlint in this manga series can be interpreted as a representation of Berlin during the Cold War era. By analyzing this manga series semiotically, this study aims to reveal how Berlin, as a central region during the Cold War era, was represented in popular culture. This semiotic analysis of the depiction of landscape and life in the city of Berlint in the Spy X Family manga represents the city of Berlin as an espionage center that is neatly arranged and provides decent living space for its inhabitants.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Manus, M.P.B.
Abstrak :
ABSTRAK
Benua Eropa merupakan benua kedua terkecil dalam jajaran benua yang ada dipermukaan planet Bumi. Benua ini membentang di semenanjung Eurasia bagian Barat, memiliki luas hampir 10.600.000 kilometer persegi atau seluas seperlima belas dari luas daratan di Bumi. benua ini dibatasi Lautan Arktik di utara, laut Tengah, laut Hitam, dan pegunungan Kaukasus di selatan mengarah ke timur, pegunungan Ural dan laut Kaspia di timur dan lautan Atlantik di Barat.

Sekalipun kecil tak ada satu benua pun yang besar pengaruhnya terhadap dunia daripada Eropa. Terkonsentrasinya penemuan penting dan budaya manusia, di bagian bumi ini, menyebabkan Eropa menjadi semacam 'kekayaan yang tiada habisnya dalam sebuah ruang kecil'. semenjak jaman Yunani Kuno, paham-paham politik, penemuan ilmiah, kesenian, filsafat, serta kepercayaan relijius menyebar dari Eropa ke seluruh bagian dunia lain.

Statistik tahun 1988 menunjukkan dua perlima belas penduduk dunia atau 696.360.000 dari 5,026 milyar penduduk dunia berdiam di benua tersebut. Tingkat kepadatannya 65 jiwa per kilometer persegi.

Dalam sejarahnya terjadi peristiwa-peristiwa besar yang mewarnai jalannya kehidupan bangsa-bangsa di Eropa. Munculnya renaissance, aufklarung dan revolusi industri telah merubah wajah Eropa dari jaman kegelapan abad pertengahan menjadi ajang konflik di antara raja-raja ?
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
John A. Marston
Abstrak :
Following Heonik Kwon, this article explores the social and cultural underpinnings of the Cold War (and Cambodia’s stance of neutrality in relation to it) as illustrated through the life of a colorful Cambodian monk, Dharmawara Mahathera. Long resident in India, Dharmawara became a confidant of Norodom Sihanouk as the latter negotiated independence and Cambodia’s new geopolitical realities. Dharmawara was one point of connection between Sihanouk and India at the time Sihanouk was drawn to a position of neutrality and to the Non-Aligned Movement associated with Jawaharlal Nehru and Zhou Enlai, and his story illuminates some of the cultural interface underlying the politics. He would assume a profile in emerging institutions of international Buddhism, such as the World Fellowship of Buddhists, which in their own way related to developing geopolitics. He subsequently attracted the attention of American diplomats in Cambodia in ways that illustrate something of how the Cold War came to be negotiated on the ground. His tensions with the Cambodian monastic hierarchy help us better understand the latter’s role at a historical conjuncture. I argue that Dharmawara helps us understand Sihanouk’s emerging philosophy of “Buddhist socialism.”
Kyoto : Nakanishi Printing Company, 2022
050 SEAS 11:2 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Seoul: Hyunsil book, 2008
KOR 306.519 SEO n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Wiguna
Abstrak :
ABSTRAK
Sejak awal berdirinya, Indonesia sering diasosiasikan sebagai pemimpin di institusi kawasan Asia Tenggara, The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Berakhirnya Perang Dingin membuat peran yang dilakukan Indonesia semakin beragam. Tulisan ini akan melihat posisi Indonesia dan kondisi lingkungan yang mendorong Indonesia dalam menjalankan peran di ASEAN. Secara kronologis, tulisan ini akan melihat peran Indonesia di ASEAN pada masa Orde Baru pasca Perang Dingin, peran Indonesia di ASEAN pada masa krisis ekonomi Asia 1997, dan peran Indonesia di ASEAN pada masa pasca krisis ekonomi 1997. Tinjauan pustaka ini berusaha untuk menunjukkan konsensus, perdebatan, dan kesenjangan akademis dalam topik ini. Dari pemetaan literatur yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pada masa Orde Baru pasca Perang Dingin, Indonesia tetap mampu menginisiasi kerja sama di ASEAN walaupun signifikansi ASEAN sempat dipertanyakan. Pada masa krisis ekonomi Asia 1997, krisis ekonomi, kebakaran hutan, dan instabilitas politik di Indonesia menjadi sumber masalah di ASEAN. Krisis tersebut membuat Indonesia berperan pasif di ASEAN. Pasca krisis, Indonesia kembali menunjukkan kepemimpinannya dengan menginisiasi Komunitas ASEAN maupun memediasi konflik di kawasan, salah satunya adalah kasus Preah Vihear. Namun pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia dinilai tidak lagi memprioritaskan ASEAN dalam kebijakan luar negerinya. Indonesia berfokus pada urusan dalam negeri dan mencoba berperan lebih di tingkat internasional. Secara umum, peran Indonesia di ASEAN didominasi di sektor keamanan dan politik. Kajian literatur menunjukkan bahwa kepentingan, kepemimpinan, dan dinamika politik internal dan internasional memengaruhi peran yang dilakukan Indonesia di ASEAN.
ABSTRACT
Since its inception, Indonesia has often been associated as a leader in the institution of the Southeast Asian region, The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). The end of the Cold War made Indonesia's role more diverse. This paper will look at Indonesia's position and environmental conditions that are driving Indonesia to play a role in ASEAN. Chronologically, this paper will look at Indonesia's role in ASEAN during the post-Cold War New Order, Indonesia's role in ASEAN during the 1997 Asian economic crisis, and Indonesia's role in ASEAN in the post-1997 economic crisis period. This literature review seeks to show consensus, debate, and academic gaps in this topic. From the literature mapping conducted, it can be concluded that in the post-Cold War New Order era, Indonesia was still able to initiate cooperation in ASEAN even though the significance of ASEAN was questioned. During the 1997 Asian economic crisis, the economic crisis, forest fires and political instability in Indonesia were a source of problems in ASEAN. The crisis made Indonesia a passive role in ASEAN. After the crisis, Indonesia again showed its leadership by initiating the ASEAN Community and mediating conflicts in the region, one of which was the Preah Vihear dispute. But in the first period of President Joko Widodo's administration, Indonesia was considered to no longer prioritize ASEAN in its foreign policy. Indonesia focuses on domestic affairs and tries to play a greater role at the international level. In general, Indonesia's role in ASEAN is dominated in the security and political sectors. The literature study shows that the interests, leadership, and dynamics of internal and international politics influence the role of Indonesia in ASEAN.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Nurkomarini Jauhari
Abstrak :
ABSTRAK Di era globalisasi pada masa pasca Perang Dingin, negara-negara semakin perlu untuk melakukan kerja sama di bidang industri pertahanan akibat adanya hambatan ekonomi, politik, dan sosial. Dalam tulisannya, penulis bertujuan untuk mengkaji literatur mengenai kerja sama industri pertahanan internasional dan selanjutnya menganalisis karakter hubungan yang tercipta. Dalam pembahasannya, literatur tersebut kemudian penulis kategorisasikan berdasarkan tipologi motif pelaksanaan kerja sama industri pertahanan menurut Widjajanto, et al. (2012) yang meliputi motif anggaran, teknologi, dan pasar. Hasil temuan berdasarkan tinjauan literatur menunjukkan bahwa kategorisasi juga dapat dilakukan melalui sifat hubungan regional, multilateral, maupun bilateral dalam kerangka aliansi, kemitraan strategis, dan juga atas dasar proyek. Melalui tinjauan terhadap literatur, diketahui bahwa sebagian besar hubungan kerja sama didasarkan atas motif atau kepentingan teknologi dan sifat hubungan bilateral menjadi kondisi yang lebih efektif untuk melaksanakan kerja sama. Temuan baru yang diidentifikasi penulis adalah pelaksanaan kerja sama industri pertahanan juga dapat turut dilaksanakan melalui motif persamaan ancaman.
ABSTRACT In the era of globalization of the post-Cold War time, countries increasingly need to collaborate in defense industry sector due to economic, political and social barriers. In this paper, the author aimed to review the literatures on international defense industry cooperation and further analyzed the character of the relationships that are created. In the discussion, the author then categorized the literature based on the typologies of the motives for implementing defense industry cooperation according to Widjajanto, et al. (2012), which consists of budget, technology, and market motives. The findings based on the literature review indicated that categorization can also be made through the nature of regional, multilateral, and bilateral relations within the framework of alliances, strategic partnerships, and project-based program. Through the review, it is known that most cooperative relationships are based on technological motives or interests and the nature of bilateral relations is a more effective condition for carrying out cooperation. The new finding identified by the author is that the implementation of the defense industry cooperation can also be made through the threat motive.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>