Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arwin Soelaksono
Abstrak :
Studi ini dimaksudkan untuk memformulasi strategi yang dapat menjadi sumbangsih bagi usaha-usaha mitigasi perubahan iklim. Pada akhir 2012 Kyoto Protocol tahap satu telah berakhir dan hasil dari COP 18 membuat keberadaan CDM menjadi penuh tantangan. Sehingga pelaksanaan CDM pasca 2012 atau mekanisme yang sejenis harus diperkuat. Sasaran dari riset ini adalah memformulasikan kombinasi dari kebijakan pemerintah Indonesia dan perjanjian perdagangan internasional untuk meperkuat pelaksanaan CDM di masa mendatang atau mekanisme baru berdasarkan pasar. Riset ini dilakukan melalui tinjauan literatur dan pengumpulan respons survey yang respondennya telah dipilih dengan cermat supaya dapat mewakili seluruh pemangku kepentingan. Para responden yang dicari berasal dari para ahli nasional maupun asing yang memiliki pengalaman dibidang ini. Untuk menjamin bahwa mereka memberikan respons yang sahih, para responden juga dipilih berdasarkan pencapaian pendidikan dan pengalaman kerja yang relevan. Data yang terkumpul pada tahap pertama diolah dengan analisa SWOT yang kemudian difinalisasi menggunakan AHP. Namun riset yang berdasarkan perspektif CDM ini memberikan hasil yang berbeda. Strategi yang terbaik adalah dengan mengkaitkan mekanisme ini dengan perjanjian pedagangan internasional. Sehingga kesadaran akan perubahan iklim perlu dibangun secara regional ataupun dengan mitra perdagangan lainnya. Hasil dari usaha ini adalah pembagian tanggung jawab dalam mitigasi perubahan iklim. Lebih lanjut seyogyanya usaha ini tidak berhenti pada tingkatan antar pemerintah semata, namun harus dapat diimplementasikan antar lembaga-lembaga usaha swasta. Dengan demikian mekanisme bisnis ke bisnis yang cocok dengan CDM ataupun mekanisme yang sejenis dapat berfungsi efektif.
This study is intended to formulate strategy that can contribute the climate change mitigation measures. By the end of 2012 first phase Kyoto Protocol has ended and the result of COP 18 brought CDM existence in considerable challenge. Therefore CDM post 2012 or similar mechanism implementation has to be strengthened. The research goal is to formulate combination of Government of Indonesia policies and international trade agreement to reinforce future CDM or new market based mechanism. This research conducted through literature review and collecting survey responses which the respondents were carefully selected to cover all stakeholders. The respondents were sought from national and foreign expert or people who have experiences in this field. The respondents also selected based on education attainment and relevant working experience to ensure they will give valid responses. The first stage data collected was processed using SWOT analysis and then finalized using AHP. However this research based on CDM perspective, gave different result. The best strategy is to work through linking the mechanism to the international trade agreement. Therefore climate change awareness should be built regionally or with other trading partners. The outcome of this measures is sharing responsibility on climate change mitigation. Moreover it should not stop only at governments? level, but it should be implemented among the private sectors. Then business to business mechanism which is suitable to CDM or its similar mechanism will be functioned effectively.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T41592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Poerna Setiawan
Abstrak :
Perubahan iklim yang semakin nyata mengancam kehidupan manusia di muka bumi mendorong negara-negara untuk mengantisipasinya. Persoalan perubahan iklim tidak dapat ditangani oleh satu negara, namun dibutuhkan kerja sama negara-negara untuk melakukan tindakan bersama dalam rangka mencegah dan memeranginya. Kerja sama antara negara maju dan negara berkembang tampaknya tidak mudah dilakukan mengingat adanya perbedaan kepentingan diantara keduanya. Negara berkembang menuntut negara maju untuk bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca yang telah dihasilkan selama pembangunan industrinya hingga membawa kesuksesan ekonomi seperti yang yang tampak sekarang ini. Sementara negara maju mengimbau agar negara berkembang ikut berpartisipasi dalam melakukan tindakan-tindakan nyata mengantisipasi perubahan iklim karena tingkat emisinya yang terus meningkat. Awal tahun 1990-an PBB menyepakati pembentukan UNFCCC sebagai wadah bagi pelaksanaan perundingan untuk menyusun mekanisme pencegahan dan penanganan perubahan iklim. Protokol Kyoto yang disusun sebagai mekanisme mengikat (legally binding) untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca tidak dapat berjalan efektif karena pertentangan kepentingan negara maju dan negara berkembang terkait dengan kepentingan ekonomi. Diantara negara maju, Jerman merespon isu perubahan iklim dengan kebijakankebijakan yang aktif dan progresif. Bersama Uni Eropa, Jerman senantiasa menunjukkan komitmennya dalam mengusulkan dan memelopori tindakantindakan konkret dalam rangka mengurangi emisi sebagaimana diwajibkan dalam Protokol Kyoto. Kebijakan luar negeri Jerman yang progresif dalam menangani isu perubahan iklim lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi politik domestik. Sebagai negara demokrasi liberal, pemerintah federal Jerman berperan untuk mengelola dinamika politik domestik untuk dapat dirumuskan menjadi sebuah kebijakan luar negeri mengenai perubahan iklim global. Perundingan internasional dalam kerangka UNFCCC yang berlangsung setiap tahun pada kenyataannya telah menjadi wahana pertarungan kepentingan ekonomi dan politik negara-negara maju berhadapan dengan negara berkembang. Ditengah kondisi tersebut, kebijakan luar negeri Jerman senantiasa mendinamisasi politik perubahan iklim dari kebuntuan-kebuntuan yang mengancam bubarnya kesepakatan global mengenai upaya memerangi perubahan iklim.
Climate change has increasingly threatened the life of people in this world. This problem has urged many countries to take actions. The climate change problem can not be resolved by individual country, but it needs the cooperation among all countries in this world.. However, the cooperation between developed and developing countries seems uneasy because of the differences of economic interests among them. In this issue, developing countries invoke developed countries to take responsibility for greenhouse gas emissions that have been generated during the development of their industries. Meanwhile, developed countries also call for developing countries to participate in this action as nowadays most developing countries also emit greenhouse gases more than developed countries. In early 1990s, the United Nations has approved the establishment of UNFCCC, forum under United Nations, as a tools for negotiation in order to arrange the mechanisms for the prevention and dealing with climate change issue. Kyoto Protocol is one of binding mechanism in order to reduce greenhouse gas emissions. However, it is not be effective because of conflict in economic interest between developed and developing coutries. Among developed countries, Germany has strong political leadership in responding to global climate change. German is also very active and progressive in developing its climate change policies. Germany with the EU always shows its strong commitment in recommending and pioneering actions in order to reduce emissions even more than as required in the Kyoto Protocol. German foreign policy in dealing with climate change is more influenced by domestic political conditions. As a liberal democratic country, the federal government has central role in managing the dynamic domestic politic that can be formulated in foreign policy on global climate change. International negotiation in the UNFCCC framework conducts every year. Nevertheless, this negotiation forum is used to fight the economic and political interests between developed and developing countries. In this condition, German foreign policy often comes up with progressive policy that avoids the impasse of global agreement efforts in combat climate change.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25044
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erik Faripasha S.
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri Indonesia terhadap isu perubahan iklim global era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Perubahan iklim yang semakin nyata mengancam kehidupan manusia di muka bumi mendorong negara-negara untuk mengantisipasinya. Persoalan perubahan iklim tidak dapat ditangani oleh satu negara, namun dibutuhkan kerja sama negaranegara untuk melakukan tindakan bersama dalam rangka mencegah dan memeranginya. Kerja sama antara negara maju dan negara berkembang tampaknya tidak mudah dilakukan mengingat adanya perbedaan kepentingan di antara keduanya. Negara berkembang menuntut negara maju untuk bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca yang telah dihasilkan selama pembangunan industrinya hingga membawa kesuksesan ekonomi seperti yang tampak sekarang ini. Sementara negara maju menghimbau negara berkembang agar ikut berpartisipasi dalam melakukan tindakan-tindakan nyata mengantisipasi perubahan iklim karena tingkat emisinya yang terus meningkat. Kebijakan luar negeri Indonesia harus adaptif sesuai dengan kebutuhan bagi kepentingan nasionalnya. Indonesia senantiasa menunjukkan komitmennya sebagai negara yang mendukung terhadap isu perubahan iklim global dengan memelopori pertemuan-pertemuan internasional dalam rangka mengurangi emisi sebagaimana diwajibkan dalam Protokol Kyoto , salah satunya UNFCCC. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam menangani isu perubahan iklim global banyak dipengaruhi oleh kondisi politik di lingkungan domestik dan lingkungan eksternal. Pemerintah Republik Indonesia berperan dalam mengelola dinamika politik yang terjadi untuk dapat dirumuskan menjadi sebuah kebijakan luar negeri mengenai perubahan iklim global.
This thesis is focusing on the Indonesian Foreign Policy in responding to global climate change issues era Susilo Bambang Yudhoyono during 2004-2008. Climate change has increasingly threatened the life people in this world. This problem has urged many countries to take actions. The climate change problem cannot be resolved by individual country, but it needs the cooperation among all countries in this world. However, the cooperation between developed and developing countries seems uneasy because of the differences of economics interests among them. In this issues, developing countries invoke developed countries to take responsibility for greenhouse gas emissions that have been generated during the development of their industries. Meanwhile, developed countries also call for developing countries to participate in this action as nowadays most developing countries also emit greenhouse gases more than developed countries. Indonesian Foreign policy have to adaptive for its national interest. Indonesia shows the commitment by supporting international meetings to decrease the emission as of Kyoto Protocol mandate, one of them is UNFCCC. Indonesian foreign policy in responding to global climate change more influences by domestic and external political conditions. The Indonesian government has central role in managing the dynamic domestic politic that can be formulated in foreign policy on global climate change.
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26745
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Subhan Maulana Syifa
Abstrak :
Hingga saat ini terjadinya perubahan iklim beserta dampaknya sudah mulai dirasakan hampir di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Perubahan iklim memiliki dampak yang penting dalam produksi tanaman teh. Tanaman teh sangat bergantung pada distribusi curah hujan dan suhu udara yang baik. Perubahan iklim akan menyebabkan kerentanan pada perkebunan teh sehingga perlu untuk memetakan kerentanan perkebunan teh terhadap perubahan iklim di wilayah Puncak Gunung Gede Pangrango. Penilaian kerentanan dilihat dari tiga aspek yaitu keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi. Pemetaan kerentanan dilakukan menggunakan analisis spasial dengan teknik skoring yang dipadukan dengan metode AHP dan weighted sum, sehingga diperoleh hasil yang menunjukan bahwa sebagian besar (sekitar 80 persen) area perkebunan teh di wilayah Puncak memiliki kerentanan wilayah terhadap perubahan iklim dalam kategori sedang. Perkebunan teh yang paling rentan (kerentanan tinggi) adalah perkebunan teh Gunung Mas yang disebabkan oleh tingginya dampak potensial dan rendahnya kapasitas adaptasi yang dimiliki, sebagian besar lahan perkebunan teh yang sangat rentan terhadap perubahan iklim berada di sebelah utara puncak Gunung Gede Pangrango.
Until now, climate change and its impacts are already being felt almost all over the world, including in Indonesia. Climate change has a significant impact in the production of tea plants. Plants are highly dependent on the distribution of rainfall and air temperature. Climate change will lead to vulnerabilities in the tea plantation so it is necessary to map the vulnerability to climate change of tea plantations in the Peak region. Vulnerability assessment viewed from three aspects: exposure, sensitivity and adaptive capacity. Vulnerability mapping using spatial analysis by scoring technique combined with the AHP and the weighted sum method, so that the obtained results show that the majority (approximately 80 percent) in the tea plantation area of the Peak has areas of vulnerability to climate change in the medium category. Tea plantations are most vulnerable (high vulnerability) is Gunung Mas tea plantation is due to high potential impact and low adaptive capacity owned, tea plantations mostly highly vulnerable to climate change are in the north peak of Gede Pangrango Mountain.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S55666
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathurohmah
Abstrak :
ABSTRAK Penyimpangan iklim merupakan bagian dari gejala atmosfer yang memberikan pengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan terutama sektor pangan dan pertanian. Melalui perhitungan statistik dan analisis temporal, penelitian ini mengungkapkan bahwa terjadi penyimpangan iklim di Kabupaten Kebumen selama periode 1983-2012. Berdasarkan pemetaan data spasial, wilayah terdampak penyimpangan iklim yang paling luas terjadi pada tahun 1997 dan tahun 2010. Sebaran wilayah penyimpangan iklim tersebut terkonsentrasi di wilayah dataran rendah bagian tenggara, wilayah perbukitan barat laut dan wilayah pegunungan utara Kabupaten Kebumen. Penyimpangan iklim berpengaruh terhadap rendahnya ketahanan pangan terutama di wilayah pegunungan utara Kabupaten Kebumen.
ABSTRACT Climate deviation is a part of the atmospheric indication that gives effect to the various sectors particularly to food and agriculture. Through statistical calculation and temporal analysis, this research reveals that occurred climate deviation in Kebumen Regency during the period 1983-2012. Based on mapping of spatial data, most extensive impacted area by climate deviation occurred in 1997 and 2010. The area distribution of that climate deviation are concentrated in the lowland area of southeast, hills area of northwest, and mountain area of north Kebumen Regency. Climate deviation affect to food security particularly in mountain area of north Kebumen Regency.
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S55679
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kementrian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, 2009
551.6 BUK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Rusbiantoro
Yogyakarta: O2, 2008
363.738 74 DAD g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Juhyeon, KANG
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019
551.6 JUH w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tomkiewicz, Micha
New York: Momentum Press, 2011
551.6 TOM c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>