Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Hasan Anshori
Abstrak :
Pada dasarnya, penelitian ini didorong oleh perubahan besar yang tengah terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini. Perubahan tersebut terkait erat dengan semangat reformasi dan otoda yang bermaksud untuk lebih mengurangi peran pemerintah dengan memberikan kesempatan yang lebih besar pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tabun 1999 tentang pemerintah daerah merupakan bentuk respons atas semangat perubahan tersebut. Dengan demikian penyelenggaraan otonomi daerah harus dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi, pemberdayaan masyarakat, partisipasi dan pemerataan. Akibatnya, paradigma pembangunan daerah juga mengalami perubahan, termasuk di antaranya perubahan sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah. Renstra merupakan sistem perencanaan pembangunan yang digunakan oleh kabupaten Gresik sebagai penerjemahan atas semangat otonomi daerah tersebut. Penyusunannya dilakukan dengan mengundang seluruh elemen masyarakat Gresik. Partisipasi mereka diharapkan akan memberikan informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan keinginan masyarakat Gresik secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, masyarakat tersebut direpresentasikan melalui unsur-unsur civil society yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten Gresik. Civil society sendiri merupakan elemen penting kekuatan masyarakat dan proses demokratisasi di Gresik. Keberadaan mereka sangat strategis dalam mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan dalam proses penyusunan renstra. Namun demikian, masalah yang seringkali muncul adalah berkenaan dengan kesiapan, kualitas isu, kebijakan, kuantitas dan kredibilitas mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Tehnik pemilihan informan yang digunakan adaiah purposive. Informan-informan penting yang menjadi sampel penelitian ini adalah lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, asosiasi profesi, organisasi sosial-keagamaan/kemasyarakatan dan Bappeda sendiri. Sedangkan tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan para informan tersebut. Partisipasi civil society adalah keterlibatan mereka secara langsung dan aktif dalam proses penyusunan renstra. Partisipasi mereka sendiri berada pada tataran decision making ( pengambilan keputusan kebijakan ). Dengan demikian renstra sendiri merupakan dokumen perencanaan yang akan dijadikan acuan atau referensi untuk kegiatan operasional kabupaten Gresik. Temuan penting dalam penelitian ini adalah pemahaman dan pengetahuan civil society sendiri mengenai renstra sangat beragam dan kurang. Di antara satu civil society dengan lainya membawakan isu dan kebijakan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada perbedaan concern dan kajian masing-masing. Mekanisme pendukung ( enforcing mechanism ) partisipasi sendiri berupa mekansime formal yang dirancang dan difasilitasi pihak pemda. Mekanisme tersebut berbentuk seminar pendahuluan, sidang komisi dan diakhiri dengan rapat paripurna yang bersifat memberikan keputusan final.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luhur Budianda
Abstrak :
Salah satu objek wisata yang ada di Kota Padang adalah objek wisata Pantai Air Manis. Dari tahun ke tahun, jumlah wisatawan yang berkunjung ke objek wisata ini terus meningkat. Peningkatan kunjungan wisatawan ini membawa konsekuensi terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Namun pada kenyataannya, pesatnya perkembangan sarana pendukung pariwisata tidak diikuti dengan peningkatan kualitas objek dan daya tarik wisata, seperti kebersihan, perawatan dan pemeliharaan objek, atraksi wisata serta industri kerajinannya. Seringkali pembangunan dan penataan suatu objek wisata oleh pemerintah akhimya terlantar karena kurangnya pemeliharaan dan perawatan. Begitu juga dengan atraksi wisata dan kerajinan cenderamata yang kurang mempunyai daya jual dan daya saing. Untuk mengatasi masalah tersebut pertu digalang dan ditingkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata. Dalam artian mengikut sertakan masyarakat dalam proses dan usaha pengembangan pariwisata, sehingga rasa memiliki dan tanggung jawab tumbuh pada masyarakat terhadap objek wisata yang ada di daerahnya. Dengan rasa memiliki dan tanggung jawab ini, maka masyarakat akan ikut merawat dan memelihara kelestarian objek wisata tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara yang mendalam, kuesioner dan pengamatan di lapangan. Kuesioner diberikan kepada masyarakat, dan wawancara dilakukan terhadap pejabat pemerintah daerah yang terkait dan tokoh-tokoh masyarakat. Data yang terkumpul dianalisis secarp kualitatif dan kuantitatif. Kesimpulan yang diperoleh bahwa dalam pelaksanaan pengembangan pariwisata di Kelurahan Air Manis, peranan pemerintah daerah masih sangat dominan. Kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan lebih banyak ditentukan dari atas (top down), dan masyarakat hanyalah sebagai penerima hasil-hasil pembangunan, serta tidak memberi peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Pada hakekatnya masyarakat di Kelurahan Air Manis Kecamatan Padang Selatan Kota Padang, mau dan mampu (dalam batas-batas tertentu) untuk berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata_ Namun pada kenyataannya, partisipasi masyarakat tersebut masih jauh dari yang diharapkan atau masih rendah, terutama dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Sedangkan dalam proses pemeliharaan hasil-hasil pembangunan pariwisata, partisipasi masyarakat sudah cukup tinggi. Dan dari 7 (tujuh) faktor yang mempengaruhi, ada 3 (tiga) faktor yang dominan menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Kelurahan Air Manis, yaitu faktor tidak adanya kesempatan untuk berpartisipasi, motivasi dan komunikasi. Sedangkan faktor-faktor yang lainnya yaitu, faktor pendidikan, penginterprestasian yang dangkal terhadap agama, tersedianya kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan dan faktor kepemimpinan merupakan faktor yang turut memberikan dukungan positif terhadap partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan untuk diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bentuk dan pola partisipasi masyarakat yang mampu menciptakan dan mendukung pengembangan pariwisata, sehingga kualitas objek wisata semakin meningkat dan lebih baik dari sekarang ini. Kepada pihak pemerintah khususnya pemerintah daerah agar dalam pengembangan pariwisata mengikut sertakan masyarakat sekitarnya karena keberhasilan, kenyamanan dan keindahan objek wisata sangat bergantung pada masyarakat di sekitamya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T 970
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viva Yoga Mauladi
Abstrak :
Model pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru melalui program trilogi pembangunan: mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, distribusi pendapatan, serta menjaga stabilitas politik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi- dalam tahun-tahun pertama menunjukkan prestasi yang baik. Tetapi sayang, prestasi ekonomi itu ternyata dibangun di atas landasan yang rapuh. Model kekuasaan politik dan ekonomi yang sentralistik itu memunculkan praktek model ekonomi kapitalisme perkocoan (crony capitalism) sehingga tumbuh KKN, moral hazzard, dan rent seeker sebagai virus dalam kehidupan perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak menciptakan distribusi pendapatan, atau usaha masyarakat golongan kecil dan menengah. Pertumbuhan ekonomi menciptakan peningkatan segolongan kecil pelaku bisnis yang konglomeratif dan menjad parasit negara. Dengan kondisi itu, harapan untuk mempercepat terwujudnya civil society sangatlah berat. Hal itu diperparah oleh "ketidakseriusan" beberapa stakeholder, di antaranya partai palitik, pemerintah, dan beberapa LSM, untuk dapat konsisten memperjuangkan mewujudkan civil society di Indonesia. Usaha mewujudkan civil society adalah menjadi idaman bagi hampir negara-negara yang sedang membangun demokrasi. Gerakan reformasi tahun 1998 lalu sehingga pemerintah Orde Baru jatuh bisa dianggap merupakan gerakan civil society. Model gerakannya hampir mirip dengan gerakan-gerakan reformasi di Eropa Timur- termasuk di Polandia, Cekoslavia, Yugoslavia, eks Uni Soviet- di mana gerakan civil society adalah merupakan antitesa/perhadap-hadapan/vis a vis dengan kekuatan penguasa (state). Pemilihan prioritas strategi kebijakan stakeholder dilakukan dengan metode Teori Permainan (Game Theory) untuk mendapatkan Win-win Solution yang dilakukan dengan melibatkan 15 orang ekspert dibidangnya masing-masing. Penulis menganggap mereka dapat mewakili 3 stakeholder, yaitu partai politik, pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka terdiri dari 5 orang aktivis/fungsionaris partai politik pemenang pemilu sebagai 5 partai politik terbesar yang memperoleh kursi di tingkat DPR RI (PDI-P, Golkar, PPP, PKB, dan PAN); 5 orang ekspert dari pemerintah yang mewakili 5 departemen pemerintahan (Depdagri, Dirjen Pajak Departemen Keuangan, Departemen Sosial, Bappenas, Kementerian Negara Koperasi dan UKM); dan 5 orang ekspert dari LSM (YLBHI, Humanika, Intrans, PB PMKRI, PB HMI). Hasil analisis kebijakan mewujudkan civil society di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru dengan strategi keseimbangan (Game Theory) dan metode TOWS menunjukkan bahwa peran aktif dari setiap stakeholder sangat diharapkan guna menghasilkan prioritas strategi kebijakan yang paling optimal. Dari tabel Win win Solution dapat dinilai bahwa bobot nilai terbesar dari prioritas strategi masing-masing stakeholder bila diurutkan adalah: (1) antara partai politik - pemerintah (0,275; 0,436); (2) LSM - pemerintah (0,292; 0,411); dan (3) partai politik - LSM (0,266; 0,282). Win-win Solution antara partai politik dan pemerintah didasarkan pemikiran pelaksanaan Trias Politika di Indonesia yang tidak murni telah menempatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif untuk mengadakan komunikasi dan kerjasama dengan partai-partai politik yang kepentingannya terjelma dalam sikap fraksi-fraksi di DPR. Model komunikasi pemerintah-DPR yang telah terlembaga menyebabkan peluang untuk mengadakan kerjasama relatif besar. Win-win Solution yang mempunyai bobot nilai terbesar kedua adalah pemerintah-LSM. Pemerintah telah mengadopsi beberapa program LSM. Hal itu tidak terlepas dari adanya perubahan paradigma pembangunan pemerintah dari "ideologi developmentalisme" menjadi paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (human centered development), Hal ini menempatkan beberapa LSM menjadi mitra pemerintah dalam suatu proyek pembangunan karena persamaan tujuan dan target. Maka kemudian muncul LSM-LSM "pelat merah" yang bersifat kooperatif dan dalam beberapa hal dapat dianggap menjadi agen pemerintah. Win-win Solution yang paling rendah adalah antara partai politik-LSM. Usaha partai politik memperlebar basis dikungan masyarakat sebagai legitimasi politik sehingga tujuan partai politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan (ekonomi dan politik) semakin besar, Hal inilah yang sering dlkritik oleh LSM karena partai politik hanya bertujuan untuk orientasi kekuasaan. Partai politikpun juga menilai usaha LSM meningkatkan kesadaran politik masyarakat bersifat karitatif . Sikap saling curiga ini akan terus terjadi.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T4268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzuriyatun Toyibah
Abstrak :
Sejak reformasi 1998 sebagaimana dinyatakan Faultier (2001) tengah terjadi peningkatan fungsi masyarakat sipil. Dalam penelitian ini penulis melihat terjadinya peningkatan fungsi masyarakat sipil sampai ke tingkat lokal seperti yang terjadi di Cipari, Cilacap, Jawa Tengah. Bagi sebagian aktifis masyarakat sipil hal itu dianggap penting karena ujung tombak kedaulatan rakyat sebenarnya ada di tingkat masyarakat desa. Tanpa perubahan di tingkat masyarakat akar rumput maka perubahan yang terjadi di tingkat nasional tidak akan memberi pengaruh. Sebagai ide yang diambil dari proses sejarah masyarakat Eropa, ide masyarakat sipil dalam kehidupan di masyarakat lokal nampak dalam organisasi-organisasi keagamaan yang fungsinya masih sangat terbatas. Penulis menggunakan definisi masyarakat sipil yang menurut Hikam (1999: 3) terwujud dalam berbagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Dengan definisi tersebut masyarakat sipil terdiri dari lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan, paguyuban, dan juga kelompok kepentingan di Cipari. Organisasi masyarakat sipil di lokasi penelitian yang mendapat tempat di masyarakat, seperti NU, masih lebih berorientasi kepada masalah-masalah agama dalam arti sempit (transendental} semata. Program dan kegiatannya tidak diorientasikan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata bagi anggotanya. Melainkan hanya berfungsi untuk menjaga tradisi yang telah mapan. Program pemberdayaan masyarakat sipil dalam proses otonomi daerah merupakan upaya yang dilakukan oleh PP Lakpesdam NU. Program ini bertujuan agar organisasi masyarakat sipil (CSO) di tingkat lokal bisa memiliki fungsi sebagai organisasi masyarakat sipil yang sebenarnya. Pelaksanaannya dimulai dengan lokakarya desa di lima desa. Masing-masing lokakarya menghasilkan program desa dan forum warga. Forum warga sebenarnya tidak direncanakan untuk menjadi organisasi melainkan forum yang sifatnya informal sebagai wahana diskusi, sharing gagasan dan lain-lain, Dengan demikian Forum warga ini kemudian menjadi forum bagi organisasi masyarakat sipil di Cipari. Karena program masih dalam tahap awaI sehingga mereka masih perlu didampingi oleh fasilitator. Untuk memudahkan kerja fasilitator dibentuk forum warga kecamatan. Adapun program utama dari Forum Warga adalah sosialisasi tentang wacana perubahan kepada masyarakat melalui beberapa cara. Pertama, dialog publik dan dialog mengenai masalah-masalah yang ada di desa dan kecamatan Cipari. Kedua, dengar pendapat (public hearing) dengan lembaga pemerintah (Bupati, DPRD, Camat, Desa dan BPD) dan lembaga penyedia jasa (public service) seperti PLN, KUA. Ketiga, mengadakan dialog dan seminar tentang otonomi desa dalam kebijakan otonomi daerah, tugas dan wewenang BPD. Keempat, menerbitkan bulletin Eling. Forum warga juga sedang merencanakan melaksanakan polling tentang pandangan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Dengan program pemberdayaan masyarakat sipil dalam proses otonomi daerah telah menciptakan ruang-ruang diskusi bagi kelompok-kelompok yang berbeda di wilayah kecamatan Cipari. Misalnya antara NU, Muhammadiyah, Katolik, dan lain-lain. Hubungan antara NU dan Muhammadiyah; hubungan Muslim dan Non Muslim yang selama ini agak tegang, diharapkan akan bisa mencair. Program pemberdayaan masyarakat sipil dalam proses otonomi daerah, juga telah memberi kontribusi mengubah orientasi berorganisasi sebagai ritualitas menjaga tradisi, menjadi berorganisasi sebagai wahana pemecahan alternatif masalah-masalah bersama. Termasuk di dalamnya membawa masalah kehidupan masyarakat agar mendapatkan perhatian dalam kebijakan publik melalui partisipasi dalam pembentukan kepemerintahan yang baik (good governance). Karena perubahan paradigma pemerintahan di tingkat lokal (Cipari) selama ini, baru dimaknai sebagai sebuah keharusan karena datang dari instruksi pemerintah pusat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T9169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Ibrahim
Abstrak :
Civil society merupakan istilah yang lahir dari Barat dan menyebar ke hampir seluruh negara di dunia, seiring dengan merebaknya konsep demokrasi. Munculnya istilah tersebut bukan tanpa problem, karena, dikalangan tokoh civil society sendiri seperti; Hobbes, Locke, Hegel, Adam Ferguson, Roussaue, Tacqueville dan Gramcsi telah terjadi pertentangan dalam memproposionalkan konsep civil society. Bagi Negara-negara Arab, istilah civil society pertama kali dipopulerkan pada tahun 70-an oleh Burhan Ghaliyyun, seorang sosiolog asal Suriah. Kemudian tahun 80-an, mendapat perhatian yang sangat besar dari berbagai kalangan baik politisi, intelektual, akademisi, aktivis maupun birokrat dari kalangan pemerintah. Hal ini terbukti dengan apa yang dilakukan oleh Markaz ad-Dirasat al-Wihdah al Arabiyah (Pusat Kajian Uni Arab) yang berpusat di Libanon, dan Markaz Ibnu Khaldun Liddirasat Al-Inma'i (Pusat Kajian pengembangan dan pembangunan Ibnu Khladun) yang berpusat di Kairo. Puluhan buku telah diterbitkan dan berbagai seminar telah digelar oleh kedua pusat studi tersebut. Sejauh yang penulis teliti, setidaknya, telah dilakukan penelitian secara khusus terhadap 13 negara; Mesir, Kuwait, Libanon, Palestina, Suriab, Qatar, Somalia, Sudan, Yaman, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania dan Train Civil society di Negara-negara Arab (Mesir, Suriah dan Kuwait) berkembang melalui dua faktor utama; pengaruh arus golobalisasi, dan sosial budaya dan sistem politik bangsa Arab yang bersifat diktator dan monarkhi. Baik di Mesir, Suriah dan Kuwait perkembangan civil society secara drastis berlangsung sejak tahun 80-an, dan difahami sebagai kerangka demokrasi. Di Mesir, untuk menciptakan iklim demokrasi perlu penguatan civil society, diikenal dengan coraknya yang sekuler, telah membuka peluang besar untuk melakukan aktivitas-aktivitas orgnanisasi formal dan non formal, pemerintah dan non pemerintah. Sehingga pada 1993, organisasi di Mesir telah mencapai 14.000 lembaga. Namun, dominasi Partai Demokrasi Nasional atau Al-Hizb Al-Wathani Ad-Dimugraty, sebagai partai rezim penguasa, telah menjadi penghambat kebebasan partai-partai lain untuk menyuarakan suara rakyat. Sementara di Kuwait, nampak hambatan-hambatan penerapan civil society yang lebih disebabkan oleh sistem pemerintahan yang kurang mendukung, Sistem Ke Emiran tidak sepenuhnya memberikan kebebasan kepada rakyatnya umtuk berkelompok dan berorganisasi. Contoh kasus, Partai menjadi kegiatan terlarang, karena tidak didukung oleh undang-undang yang berlaku. Namun fenomena civil society telah berlansung baik melalui pemberdayaan organisasi-organisasi dan asosiasi non formal atau non pemerintah. Karenanya, hingga 90-an hanya terdapat sekitar 50 lembaga dan asosiasi baik yang bersifat sosial maupun profesi. Sedangkan di Suriah, civil society mengalami perjalanan yang lebih sulit bila dibandingkan dengan Mesir dan Kuwait. Meskipun diketahui bahwa tokoh yang pertama kali mempopulerkan istilah civil society adalah cendekiawan asal Suriah. Suriah telah menggunakan sistem partai tunggal, Partai Baath. Hanya Partai Baath-lah yang mendomiriasi segala bentuk kegiatan sipil di Suriah. Meskipun demikian, di Suriah terdapat 450 organiasi. Singkatnya, perkembangan civil society di Negara-negara Arab dapat dikategorikan sebagai fase melampaui gelombang pertama menuju gelombang kedua, dimana proporsionalisasi pole civil society dalam fase ini sedang diupayakan legalitasnya dalam masyarakat Arab dan Timur Tengah. Meskipun ada yang menklaim, bahwa civil society dan demokratisasi di Timur Tengah adalah naif.
The Development of Civil Society In Arab States (Democratization Process in Egypt, Syria and Kuwait)Civil society that is term which born from west and disseminate to all state in the world, along disseminate conception democracy. Existence of the term non-without problem, because at figure of civil society like: Hobbes, Locke, Hegel, Adam Ferguson, Rousseau, Tacqueville and Gramsci have been happened opposition of substantive in conception civil society. In Arabic States, term of civil society in the firs time popularized in 70s by Burhan Ghaliyyun, a sociologist from Syria, then, in 80s, profound interest from good everybody of politician, intellectual, academic, activist and also bureaucrat from government. Proven is by what conducted by Markaz ad-dirasat al-Wihdah Al-Arabiyah (Uni Arab Study Center) in Lebanon, and Markaz Ibnu Khaldun Lidirasaat al Inma'i (Development of Ibnu Khaldun and Study Center) In Cairo. Tens of books have been published and various seminars have been performed by second center Study. As far as in writer research, previous, have been a researched peculiarly to 13 state; Egypt, Kuwait, Lebanon, Palestine, Syria, Qatar, Somalia, Sudan, Yemen, Bahrain, Uni Emirate Arab, Jordan and Iraq. Civil society in Arab States (Egypt, Syria and Kuwait) expanding through two primary factor: influence of globalization current, and the political system nation Arab having character of dictator and monarchy. Either in Egypt, Syria and Kuwait growth civil society drastically takes place since 1980, and comprehended by as framework democratizes. In Egypt, to create climate of democracy need support civil society recognized with its characteristic is secular, have opened big opportunity to (do/conduct) formal organizational activity and non-formal, government and non government. So those in 1993, organization in Egypt have reached 14.000 institutes. But, predominate Party of National Democratize or Al-Hizb AI-Wathany ad-Dimugraty, as party of power regime, have come to resistor freedom of other; dissimilar party to accommodate people aspiration. For a while in Kuwait, applying resistance civil society what more because of system government which less support, emirate system is not full give freedom to his people to team and have the organization. Follow the example of case, party become forbidden activity, because is not supported by law going into effect. But phenomenon civil Society has taken place, goodness of through organizational enable ness and association of non formal or non government. Hence, till 1990 only there are about 50 association and institute of both for public spirited and also profession. While in Syria, civil society experience of more difficult; journey if compared to Egypt and Kuwait. Though known that, the first figure multiply to popularize term civil society is origin Syria intellectual. Syria has used single party, Party Baath. Only Party Baath predominating all the form of the civil activity in Syria. Nevertheless, in Syria there are 450 organizations. The conclusion from above opinion the growth of civil society in Arab can be categorized as first wave phase to second wave, where correct from of civil society in this phase is being strived its legality in Middle East and Arab Society. Though there is claiming, that civil society democratization and in Arab is not possible.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Abdul Malik
Abstrak :
Program jaring pengaman sosial (JPS) bidang operasi pasar khusus (OPK) Beras merupakan program ketahanan pangan yang bertujuan untuk menangani masyarakat dalam menghadapi krisis pangan. Program ini digulirkan ke darah-daerah yang rawan terhadap masalah pangan akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Kenyataannya ketika program digulirkan banyak mengalami masalah di masyarakat terutama bagi masyarakat yang berhak menerimanya. Program JPS bidang OPK Beras yang dananya berasal dari pinjaman Asia Development Bank (ADB) merupakan program bantuan bagi masyarakat dengan persyaratan melibatkan masyarakat sipil dalam memonitoring jalannya program tersebut. Peran civil society dalam monitoring kegiatan opk beras menjadi sangat panting karena keterlibatan civil society seperti Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Masyarakat Sipil untuk Transparansi Akuntabilitas Pembangunan (JAR) akan dapat menjadi katalisator dialog (catalys of dialogue), melakukan penyeimbang kepentingan (balancing inters), pemberian sinyal (picking up signals), dan mobilisasi untuk aksi bersama (collective action). Peran masyarakat sipil yang pertama adalah menjadi katalis dari dialog antara berbagai institusi Negara, pasar, dan masyarakat untuk mencapai konsensus alas prioritas bersama. Proses mencapai consensus ini melibatkan aktivitas-aktivitas seperti identifikasi masalah dan stakeholder, artikulasi dan klarifikasi berbagai kepentingan dan kebutuhan, dan penetapan tujuan bersama. Kedua, masyarakat sipil menjadi penyeimbang kepentingan. Masyarakat sipil yang efektif ditandai dengan proses penyeimbangan kepentingan yang dilaksanakan secara terbuka, santun, dan jujur dimana institusi-institusi yang terlibat memiliki posisi tawar yang sama. Ketiga, masyarakat sipil melakukan pemberian sinyal. Masyarakat sipil yang berfungsi secara aktif menjamin bahwa sinyal yang dikirimkan sebagai akibat adanya penyimpangan mendapat perhatian dan penanganan sedini dan setuntas mungkin. Sebaliknya, suatu masyarakat yang dicirikan dengan keterlibatan dalam menangani masalah pembangunan atau dengan kata lain masalah baru diatasi ketika sudah menjadi terialu besar merupakan indikasi melemahnya masyarakat sipil (civil society). Keempat, peran mobilisasi untuk aksi bersama. Aksi bersama menandakan masyarakat sipil telah mencapai kohesi kepentingan dan sinergi. Pada kenyataanya LSM tidak berperan dalam memonitoring program opk (Beras). Ketidak berperanan LSM ini karena LSM tidak mau terlibat dalam struktur pengawasan yang telah dibuat pemerintah dalam memonitoring Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) termasuk di dalamnya operasi pasar khusus (opk) beras. LSM melihat keterlibatan mereka dalam struktur pengawasan JPS akan dapat menjadi LSM tidak independent dalam membuat laporan terhadap hasil temuan mereka. LSM menganggap program monitoring JPS hanya merupakan salah satu bagian dari proyek pengawasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Karena itu LSM tidak melakukan monitoring secara struktur tetapi melakukan kampanye melalui alat seperti brosur dan himbauan bahwa ada program JPS yang dananya merupakan pinjaman dari Lembaga bank dunia. Penelitian yang dilakukan di daerah Galur Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat, karena daerah ini merupakan daerah yang dikategorikan sebagai daerah di perkotaan yang akan mengalami krisis pangan akibat krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997 yang lalu. Tapi pada kenyataannya masyarakat tidak melihat bahwa ada program operasi pasar khusus (opk) beras di daerahnya yang bertujuan unutk membantu masyarakat yang tergolong tidak mampu dengan membeli beras seharga 1000 rupiah dan setiap kepala keluarga mendapat 20 kilogram per bulan. Penduduk Galur tidak mengetahui bahwa program JPS tersebut merupakan program yang dalam kegiatannya dipantau oleh suatu lembaga yang bertugas unutk menangani keluhan bagi masyarkat yang merasa beras yang mereka terima tidak layak dimakan atau dikonsusmsi. Penduduk tidak tahu harus mengadu atau melapor kemana ketidak sesuaian barang yang mereka terima. Ada lembaga yang seharusnya berperan dalam memantau program opk beras tetapi tidak berjalan karena hanya berada di tingkat Kabupaten. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang memaparkan kejadian atau gejala yang ada di lapangan dengan menggambarkan temuan-temuan dan mengambil suatu kesimpulan yang merekomendasikan terhadap temuan tersebut kepada lembaga yang berhak melaksanakannya. Rekomendasi didasarkan pada permasalahan yang ada kepada pihak yang terkait dengan pelaksana program.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdi Rahmat
Abstrak :
LSM selama rezim Orde Baru diakui berperan penting dalam proses kebangkitan masyarakat di Indonesia. Kebangkitan dalam pengertian naiknya posisi tawar masyarakat di hadapan negara, khususnya pemerintah. Begitu pula halnya dengan WALHI, sebagai LSM yang bergerak di isu lingkungan, dan menempatkan isu lingkungan tersebut dalam konteks demokratisasi. Di paruh akhir rezim Orde Baru, kaiangan LSM, termasuk di dalamnya WALHI, umumnya memainkan peran pengimbangan terhadap negara dengan cara konfliktual dan frontal. Hal ini karena memang rezim Orde Baru yang dihadapi ketika itu berwatak otoriter dan represif. Namun, perkembangan yang terjadi pasca refomasi menunjukkan fenomena mulai terbentuk dan berjalannya institusi-institusi demokrasi. Kekuasaan tidak lagi terpusat di pemerintah pusat, tapi sudah tersebar ke lembaga-lembaga negara lainnya, dan juga ke daerah. Sementara di tingkat masyarakat, terjadi pula perubahan-perubahan yang cenderung menjauh dari nilai-nilai civil society. Fenomena ini tentu saja harus diantisipasi secara tepat oleh WALHI, agar WALHI tetap mendapatkan relevansi perannya dalam proses perubahan kemasyarakatan, dan terutama dalam penguatan civil society. Studi ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran deskriptif analisis tentang peran yang dimainkan WALHI pasca reformasi dalam penguatan civil society di Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran tersebut, studi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode wawancara mendalam, analisis terhadap dokumen-dokumen tertulis, serta diperkaya dengan perspektif dan analisis teoritik dari bahan-bahan pustaka. Analisis terhadap peran WALHI tersebut didekati dengan kerangka paradigma LSM yaitu paradigma konformisme, reformasi, dan transformasi, serta kerangka peran LSM yaitu peran pengimbangan (countervailling power), peran pemberdayaan masyarakat (people empowerment), dan peran perantaraan (intermediary institution). Selanjutnya, analisis peran tersebut dikaitkan dengan dampak perannya terhadap penguatan civil society yang dilihat dari perspektif civil society sebagai organisasi masyarakat yang bergerak di wilayah kultural (CSO 1) dan yang bergerak di wilayah politik atau secara vertikal (CSO It), serta civil society dalam perspektif sebagai nilai-nilai yang kultural (CSV II) dan nilai-niiai yang politis (CSV I!). Dalam menghadapi perkembangan pasca reformasi, sebenarnya tidak terlalu banyak perubahan peran yang dilakukan oleh WALHI dibandingkan dengan masa-masa akhir rezim Orde Baru. Di era pasca reformasi, WALHI lebih melakukan penegasan dan penguatan visi dan paradigmanya, serta penataan internal kelembagaan sebagai antisipasi terhadap perkembangan yang terjadi. Di dataran visi, WALHI menguatkan tujuannya untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dalam pengelotaan SDA secara adil dan berkelanjutan. Kemudian, menegaskan pandangannya dalam penolakan terhadap kapitalisme global dan neo-liberalisme yang dianggap paling mempunyai andil terhadap kerusakan lingkungan dan penutupan akses rakyat terhadap sumber daya alam. Di tingkat aksi, WALHI melakukan advokasi dan kontrol terhadap kebijakan negara dan implementasinya, dan advokasi untuk penegakan hukum lingkungan. Program aksi berikutnya adalah penguatan organisasi rakyat yang ditujukan untuk penguatan basis avokasi dan basis gerakan WALHI menjadi gerakan rakyat. Di samping itu, WALHI membangun jejaring kerja di antara kekuatan-kekuatan civil society. Dari visi dan aksi WALHI, hasil analisis menunjukkan bahwa WALHI lebih cenderung berparadigma transformatif, meskipun perspektif reformatif digunakan juga oleh WALHI terutama di tingkat aksi. Dominannya paradigma transformatif ini berpengaruh terhadap strategi dan program WALHI yang memilih menjadi organisasi advokasi. Pilihan strategi dan program ini menunjukkan bahwa WALHI lebih menekankan peran sebagai kekuatan pengimbang. Di samping itu, WALHI tetap melakukan peran pemberdayaan masyarakat melalui program penguatan organisasi rakyat, serta pecan perantaraan dengan membangun jejaring kerja untuk menggalang kekuatan-kekuatan civil society. Meskipun peran pemberdayaan dan peran perantaraan ini sebenarnya juga diorientasikan untuk memperkuat peran pengimbangan WALHI terhadap negara dan kalangan industri. Dari peran yang telah dilakukan WALHI, penguatan civil society dapat dilihat pada meningkatnya keterlibatan kalangan civil society dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara, terjalinnya jejaring kerja di antara kelompok-kelompok civil society. Di samping itu, munculnya kesadaran kritis, kemandirian, keswadayaan, solidaritas, dan kepatuhan pada norma dan proses hukum, pada organisasi-organisasi rakyat dampingan WALHI. Meskipun, di sana-sini terdapat anomali, seperti masih berkembangnya anarkisme di tingkat masyarakat dalam konflik-konflik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Dengan demikian, WALHI dapat dikategorikan sebagai organisasi civil society kategori kedua (CSO II) yang bermain di wilayah politik dan kebijakan. Sebagai CSO II, WALHI memperjuangkan nilai-nilai civil society yang politis (CSV 11). Meskipun demikian, WALHI tetap memperdulikan aktualisasi nilai-nilai civil society yang kultural (CSV II). Sehingga, secara teoritik, ada persinggungan antara CSV I dan CSV II sebagai nilai-nilai civil society yang diperjuangkan oleh CSO. Aktualisasi paradigma dan peran WALHI di era pasca refonnasi dipengaruhi juga oleh faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan WALHI. Kekuatan WALHI adalah jaringannya yang menasional, struktur dan mekanisme kelembagaan yang partisipatif dan demokratis, dan pengalaman serta kompetensi WALHI dalam membangun jejaring kerja (networking), baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Sedangkan kelemahan WALHI terletak pada: ketergantungan pada donor asing, keterbatasan kuantitas dan kualitas SDM, serta anggota (LSM) yang besar dan heterogen dalam hal visi, misi, bahkan ideologinya. Faktor eksternal yang mempengaruhi, ada yang menjadi peluang bagi WALHI yaitu: situasi politik nasional yang telah terbuka, peluang otonomi daerah, dan kecenderungan menguatnya gerakan civil society secara global. Sementara yang menjadi ancaman adalah: situasi politik transisional yang membuat kehidupan politik menjadi tidak menentu, rezim yang berkuasa yang cenderung menjadi represif, kecenderungan munculnya oportunisme ekonomi politik pada penyelenggera negara, dan menguatnya hegemoni kapitalisme global dan neo-liberalisme. Studi ini tidak mengembangkan parameter untuk menganalisis hasil kerja kalangan LSM dalam penguatan civil society di Indonesia. Karena itu, dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menilai efektifitas hasil kerja kalangan LSM, sebagai komponen penting civil society, dalam penguatan civil society. Sehingga, nantinya akan diketahui sejauh mana kondisi civil society di Indonesia, dan sejauhmana pula civil society bisa menjadi fondasi yang kuat bagi terbangunnya tatanan kehidupan yang demokratis dan berkeadilan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Mudatsir Mandan
Abstrak :
Studi tesis ini berjudul Kelas Menengah Kritis: Studi tentang Posisi Ornop (Organisasi Non Pemerintah) terhadap Negara dalam Perspektif Masyarakat Sipil (Civil Society), bertujuan merekonstruksikan suatu bangunan teoritik tentang kelas menengah serta identifikasi pengelompokan kelas tersebut. Fokus bahasannya pada kelas menengah kritis yang bersumber dari kalangan ornop, serta hubungannya dengan negara. Sedangkan topik yang dibahas, tentang kelas menengah secara umum, menurut pandangan teori klasik maupun kontemporer tentang negara dan masyarakat sipil; dan organisasi non pemerintah. Studi menggunakan metode kualitatif dengan cara penelusuran riset kepustakaan (library research) sebagai data sekunder dan data dari BPS. Jumlah buku yang digunakan sebagai referensi sebanyak 89, dengan 3 buku utamanya. Pokok permasalahan yang diangkat pada intinya berkaitan dengan posisi masyarakat yang lemah di hadapan negara yang sangat kuat, terutama pada masa rezim orde baru. Dalam posisi seperti itu ornop (organisasi non pemerintah), berposisi sebagai pengimbang terhadap dominasi negara. Ornop 'dikatagorikan sebagai penggerak demokrasi, yang mengarah pada terwujudnya masyarakat sipil. Dari studi ini didapatkan tiga kesimpulan utama, yaitu: 1. Kerangka analisis Weberian tentang kelas, yang menekankan pada pendekatan pluralistic approach dalam rangka diferensiasi sosial, dipandang lebih cocok sebagai alat analisis guna memahami munculnya kelas menengah Indonesia. Pandangan Marxian tentang kelas lebih bersifat simplistis deterministik dan bersifat uni demensional sehingga tidak cocok untuk analisis kelas di Indonesia. 2. Kemunculan kelas menengah Indonesia berlangsung secara lambat dan dalarn jangka waktu yang lama, dimulai sejak jarnan penj aj ahan Belanda. Sedangkan keberadaannya dapat diidentifikasi melalui kepentingan sosial, ekonomi, politik maupun ideologis. Sikap politik kelas menengah cenderung sangat beragam, tetapi dapat didikotomikan menjadi kelas menengah kooperatif dependen (jumlahnya cukup besar) dan kelas menengah kritis independen terhadap negara (jumlahnya relatif kecil). Kelas menengah kritis banyak berasal dari kalangan ornop. 3. Keberadaan kelas menengah kritis,mengindikasikan adanya suatu kelompok yang lebih otonom dari pemerintah serta merupakan elemen yang penting dari ideologi alternatif guna mencari format baru yang lebih demokratis menuju masyarakat sipil yang kuat. Kelas menengah kritis mengambil posisi berhadapan dengan negara, menjadi kekuatan kritis sebagai pengimbang dari idelogi pembangunanisme pemerintah; kekuatan kritis sebagai penekan atas hegemoni negara terhadap masyarakat sipil; dan kekuatan kritis sebagai kontrol sosial atas pelaksanaan pembangunan negara. Studi merekomendasikan dilakukannya suatu model penelitian yang lebih konperhensip tentang kelas menengah kritis hubungannya dengan perubahan sosial yang sedang terjadi di Indonesia. Rekomendasi ini didasarkan atas adanya dugaan yang kuat bahwa: (1) Kelompok-kelompok independen yang kritis terhadap negara pada masa orde baru, terutama dari kalangan ornop, mempunyai peranan yang signifikan terhadap terjadinya proses reformas; (2) Arus reformasi yang mengarah pada percepatan proses demokratisasi menuju masyarakat sipil, akan terus bergulir dan mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar di Indonesia; (3) Dengan demikian akan terjadi suatu pengelompokan atau tatanan sosial yang baru yang diakibatkan oleh perubahan mendasar yang terus didorong oleh arus kekuatan kekuatan pro-demokrasi.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T4254
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Suryadi
Abstrak :
Studi ini bertujuan untuk meneliti permasalahan pokok, yakni eksistensi dan perkembangan Petisi 50 sebagai masyarakat madani dalam politik di Indonesia. Ruang lingkup penelitian dibatasi tahun 1980 - 1998 (era Orde Baru), tepatnya sejak kelahiran Petisi 50 (5 Mei 1980) hingga runtuhnya kekuasaan Soeharto (21 Mei 1998). Dua pertanyaan utama yang hendak dijawab dalam tesis ini: (1) bagaimana pengaruh politik negara Orde Baru terhadap eksistensi dan perkembangan Petisi 50 sebagai masyarakat madani; dan (1) mengapa Petisi 50 marnpu menunjukkan diri sebagai masyarakat madani yang mandiri? Dalam membahas pokok permasalahan tersebut, maka dirumuskan titik perhatian pada hubungan variabel multivariat, yaitu antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. Ada pun variabel pengaruh adalah negara Orde Baru dan kekuatan internal Petisi 50; sedangkan variabel terpengaruh adalah Petisi 50 sebagai masyarakat madani. Kerangka teoritis yang digunakan adalah konsep masyarakat madani (civil society). Sehubungan konsep tersebut, sebenarnya terdapat sejumlah sudut pandang. Salah satu diantaranya yang digunakan dalam studi adalah perspektif yang melihat masyarakat madani sebagai kelompok-kelompok sosial dan politik yang muncul berdasarkan inisitatif dari masyarakat, dengan ciri utamanya memiliki kemandirian (otonomi) terhadap negara. Jenis penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah sepenuhnya bersifat kualitatif; dengan mendasarkan diri pada data yang dikumpulkan melalui wawancara dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi dad tokoh-tokoh pelaku Petisi 50 sebagai sumber data primer, melalui prosedur wawancara tidak berstruktur atau pertanyaan terbuka. Sedangkan studi kepustakaan mengandalkan data dari sumber-sumber berupa buku, majalah, surat kabar, maupun dokumen-dokumen tertulis lainnya. Hasil penelitian menunjukkan pembuktian teoritis dan kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, kelompok Petisi 50 dalam eksistensi dan perkembangannya memenuhi kategori secara teoritis untuk dapat disebut sebagai masyarakat madani dengan ciri-ciri yang ditampilkan antara lain: (1) otonomi terhadap pengaruh kekuasaan negara; (2) sifat kesukarelaan dan keswadayaan sebagai kelompok politik; (3) dimilikinya kebebasan berkumpul dan berpendapat; (4) aktivitasnya yang mencerminkan kesesuaian dengan faktor 1, 2, dan 3; dan (5) adanya pluralisme dalam hal spektrum sosial dan politik dalam realitas internalnya. Kesimpulan analisa tersebut diperoleh melalui fakta-fakta yang terungkap dalam melihat hubungan antara Petisi 50 dengan negara Circle Baru dan dinamika internal Petisi 50 sebagai masyarakat madani.
Kedua, perilaku politik negara Orde Baru yang otoriter, represif dan restriktif tidak mempengaruhi eksistensi dan perkembangan Petisi 50 sebagai masyarakat madani. Petisi 50 tetap mampu menunjukkan sikap kritis dan otonominya sebagai masyarakat madani, meskipun negara Orde Baru dengan berbagai cara berupaya menghambat dan menutup ruang publik kelompok ini. Terbukti, Petisi 50 tetap aktif mengadakan pertemuan, menyampaikan protes dan kritik melalui produk produk tertulis mereka; sejak kelompok ini lahir tahun 1980 hingga Iengser-nya Presiders Soeharto tahun 1998.
Ketiga, Petisi 50 mampu mempertahankan eksistensinya sebagai masyarakat madani yang mandiri, disebabkan pengaruh realitas faktor eksternal dan internalnya. Dilihat dari faktor eksternal, dalam konteks hubungannya dengan negara Orde Baru, Petisi 50 lebih banyak mengandalkan aktivitas melalui produk tertulis yang disalurkan ke lembaga-lembaga formal (terutama DPR), sehingga negara Orde Baru tidak memiliki alasan untuk menghambat pertumbuhannya dengan tuduhan sebagai gerakan makar atau inkonstitusional. Strategi ini juga efektif; mengingat sifat negara Orde Baru yang otoriter. Dilihat dari faktor internal, para pelaku Petisi 50 relatif memiliki kemampuan finansial (ekonomi) yang memadai, moralitas (prinsip) individual yang konsisten, dan prestise di mata masyarakat dan pemerintah, sehingga mampu bertahan hidup sebagai kelompok yang mandiri. Namun demikian, dibanding faktor eksternal, kemandirian itu lebih banyak dipengaruhi faktor internalnya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Vidya Putra
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektifitas civil society dalam melaksanakan kontrol politik dan dampak dari aksi civil society tersebut bagi proses konsolidasi demokrasi. Penelitian merupakan studi kasus dalam aksi protes civil society pada penetapan APBD 2000 - 2002 di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat. Secara khusus penelitian ini terfokus pada sejunilah pokok permasalahan, yaitu, bagaimana pertumbuhan civil society dan sejauh mana maraknya aksi pengawasan yang dilakukan telah dapat dikategorikan sebagai bentuk tumbuhnya civil society yang kuat; bagaimana efektifitas politik dari aksi protes tersebut; dan dampak dari aksi protes tersebut bagi konsolidasi demokrasidi tingkat lokal. Dalam melakukan formulasi penelitian serta analisis data, penelitian ini didukung oleh teori demokrasi dan civil society. Teori demokrasi diarahkan untuk melihat sejauhmana perubahan politik yang sedang terjadi telah mengarah pada konsolidasi demokrasi dan berdampak pada perkembangan civil society. Sedangkan teori civil society berguna untuk melihat bagaimana perkembangan civil society itu sendiri. Penelitian mengunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus_ Data penelitian dikumpulkan melalui tiga strategi, yaitu studi kepustakaan, wawancara dan observasi secara langsung. Analisa data dilakukan secara kuaiitatif, yang mencatat alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab akibat dan memperoleh penjelasan yang lebih dalam dan bermanfaat Kesimpulan dari penelitian ini adalah pertumbuhan civil society sangat tergantung pada sistem politik sebuah negara. Pada pemerintahan Orde Baru pertumbuhan civil society banyak mendapat gangguan. Namun ketika anus reformasi berhasil membuka katup politik pertumbuhan civil society menunjukan peningkatan. Sebagai kekuatan yang berada di luar negara dan menjadi penyeimbang bagi negara, civil society di Sumatera Barat telah menunjukan efektifitas gerakan dan berdampak pada prose konsolidasi demokrasi kususnya di tingkat lokal. Malta tidak terlalu berlebihan jika penguatan dan pemberdayaan civil society dapat menjadi altematif bagi konsolidasi demokrasi,khususnya bagi negara-negara yang sedang melakukan transisi ke demokrasi.
Civil Society Participation on Controlling Assembly at Provincial Level. Case Study : Protest Action on Determining APBD 2000-2002 to Assembly at Provincial Level of West Sumatra Research proposes to recognize how civil society to effective on politic controlling and its impact to democracy consolidation process. This research is a case study on protest action of civil society in determining APBD 2000-2002 in Assembly at provincial level of West Sumatra_ Specially, the research focuses on several matters; that are, how is the developing of civil society process; how strong the controlling action that has been done, categorized as basis developing of strong civil society; how the politic affectivity of the protest; and the impact of the protest to local democracy consolidation. In performing research formulation and data analysis, it's supported by democracy and civil society theory. Democracy theory was aimed to observe how far the politic changing that lately happening, proposed towards democracy consolidation and impacted to the developing of civil society. Whereas civil society theory was proposed to observe how the developing of civil society itself. The research applied qualitative method by case study approaching. The data were collected through three strategy, that are; library study, interview and directly observations. Data Analysis carried out by qualitative, that recorded chronologically phenomenon, analyzed the effect and impact and acquired deep explanation and useful. The conclusion of the research is the developing of civil society entirely depend upon political system of a state. On new order, the developing of civil society experienced many obstacles. However, when reformation successed to take off the politic valve, the developing of civil society showed many positive improvement. As one of strengths beyond the state and to be counterpart of the state, civil society in West Sumatra has shows its movement affectivity and impact to democracy consolidation process, particularly at local level. Therefore, it didn't remained if reinforcement and empowerment the civil society as an alternative solution to consolidation democracy, particularly, to states that carried out transition process towards democracy.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>