Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 645 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yudi Alamin
Abstrak :
Untuk membangun kota Jakarta sebagai kota masa depan khususnya pengembangan kawasan pantai Utara (Water Front City) diperlukan strategi dan kebijakan yang terpadu dari unsur-unsur terkait baik Pemerintah Daerah maupun pihak swasta serta masyarakat pantai Utara Jakarta. Gagasan pengembangan kawasan pantai Utara Jakarta telah dimulai sejak tahun 1989, namun sampai saat ini belum dapat dilaksanakan mengingat belum siap dan terkoordinasinya unsure-unsur terkait di atas. Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah analisis strategi dan kebijakan pengembangan kawasan pantai Utara Jakarta yang dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi misi, strategi dan kebijakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam pengembangan kawasan Pantai Utara Jakarta. 2. Seberapa besar ketahanan kota DKI Jakarta mempengaruhi misi, strategi dan kebijakan pengembangan. Adapun tujuan dalam penelitian ini ialah : 1. Menganalisis strategi dan kebijakan pengembangan kawasan pantai Utara Jakarta dan faktor-faktor mempengaruhinya. 2. Untuk memprediksi pengaruh ketahanan kota terhadap kebijakan kawasan pantai Utara Jakarta, apabila akan dilaksanakan pada saat ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini AHP( Analytical Hierarchy Process ) dari Thomas Saaty, yakni suatu metode yang mengukur bobot dalam menentukan pilihan dan variabel-variabel yang dianalisis. Untuk menentukan bobot tersebut telah ditentukan skala dasar, yakni suatu ukuran yang berlaku sesuai dengan prioritas-prioritas pilihan dengan berbagai kriteria. Data yang dianalisis dalam penelitian ini diperoleh dari kuesioner dan wawancara terstruktur, antara lain : pada tingkat misi, data diperoleh dari para ahli perencana, pada tingkat strategi data melibatkan pihak swasta, dan pada tingkat kebijakan, kuesioner dan wawancara dengan melibatkan seluruh komponen birokrasi, pihak swasta, pengelola bandara serta tokoh masyarakat di daerah penelitian. Tujuan penelitian butir 1 diperoleh kesimpulan bahwa untuk tingkat strategi, prioritas utamanya adalah pembangunan pelabuhan ( H )dengan bobot tertinggi 0,257 (25,7%), diikuti oleh pembangunan tempat rekreasi (R) : 0,247 (24,7 %), industri (I) : 0,149 (14 ,49%), dan pengembangan ekonomi ( E ) : 0,147 (14,7 %). Sedangkan pada tingkat kebijakan yang harus diprioritaskan adalah faktor birokrasi ( B ) dengan bobot 0,096 (9,6 %) diikuti oleh faktor pendanaan keuangan ( U) : 0,062 (6,2 %) dan prasarana (P) : 0,043 (4,3%). Untuk tujuan penelitian butir 2 diperoleh kesimpulan bahwa gatra ketahanan kota yang paling berpengaruh dan perlu ditingkatkan untuk kesuksesan strategi dan kebijakan pengembangan kawasan pantai Utara Jakarta adalah gatra ekonomi (E ) dan keamanan ( K) dengan masing-masing bobot prioritas 0,273 (27,3%) diikuti politik ( P) 0,235 (23,5 %) dan sosial budaya ( S ) : 0,218 (21,8 %).
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hernadewita
Abstrak :
Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat,khususnya di Kota Cilegon disebabkan oleh pertumbuhan alamiah dan migrasi. Pertumbuhan ini mengakibatkan tekanan yang berat terhadap kota, apalagi mengingat fungsi kota Cilegon yang dijadikan sebagai kota industri, perdagangan dan jasa. Dengan berbagai fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, tentunya semua kegiatan tersebut akan bertumpu pada lahan sebagai ruang yang dapat menyediakan (mengalokasikan) ruang bagi kegiatan-kegiatan tersebut beserta fasilitas dan utilitas penunjang yang dibutuhkan. Keterbatasan luas lahan yang tersedia, sementara tuntutan terhadap peningkatan berbagai fungsi lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan terus meningkat. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan diberbagai bidang seiring dengan fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, baik langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pemanfaatan ruang. Perubahan struktur dan fungsi ruang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pola adaptasi masyarakat. Proses adaptasi akan dialami baik oleh masyarakat pendatang maupun masyarakat asli. Adaptasi yang dituntut terjadi tidak hanya dari segi budaya tetapi juga dalam keikutsertaan berperan pada kegiatan pembangunan. Berdasarkan karakteristik tersebut, penelitian dilakukan di wilayah Cilegon, yang saat ini terbagi atas 4 (empat) kecamatan, yaitu: Cilegon, Ciwandan, Cibeber, dan Pulomerak. Cilegon berada 90 km dari Barat Jakarta. Sebagai pusat penataan ruang, Cilegon merupakan pusat perdagangan, perkantoran, dan wilayah permukiman; Ciwandan memiliki pelabuhan Banten dan kawasan industri; Pulomerak sebagai kawasan industri, pelabuhan Merak dan wilayah pemukiman; Cibeber adalah wilayah permukiman dan juga terdapat waduk yang digunakan untuk menyuplai air ke sebagian komunitas masyarakat di Cilegon dan juga untuk PT. Krakatau Steel. Luas Cilegon (17.550 Ha), dan jumlah penduduk sebesar 294,936 jiwa (talrun 1999), tersebar pada 4 (empat) Kecamatan di Kota Cilegon, dengan rincian:
  1. Kecamatan Ciwandan dengan luas wilayah (7.483 Ha), kepadatan penduduk sebesar 83.861 jiwa, yang terdiri dari 42.897 jiwa laki-laki dan 40.964 jiwa perempuan.
  2. Kecamatan Cilegon dengan luas wilayah (1.753 Ha), kepadatan penduduk sebesar 69.488 jiwa, yang terdiri dari 35.352 jiwa laki-laki dan 34.136 jiwa perempuan.
  3. Kecamatan Cibeber dengan luas wilayah (2.466 Ha), kepadatan penduduk sebesar 41.362 jiwa, yang terdiri dari 20.911 jiwa laki-laki dan 20.451 jiwa perempuan.
  4. Kecamatan Pulomerak dengan luas wilayah (5.848 Ha), kepadatan penduduk sebesar 100.225 jiwa, yang terdiri dari 51.527 jiwa laki-laki dan 48.698 jiwa perempuan.
Pada tahun 1990 penduduk Cilegon terdaftar sebesar 226.461 jiwa. Pada 1998 jumlah tersebut meningkat menjadi sebesar 257.864 jiwa dan pada tahun 1999 menjadi 278.462 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk tersebut terus berlangsung pada tahun 2000, mencapai 294.936 jiwa, hal itu berarti bahwa pada tahun 1999 terjadi pertambahan penduduk sebesar 8,06%, dibandingkan dengan tahun 1998 terjadi peningkatan sebesar 6,13% (terjadi penurunan peningkatannya sebesar 1,93% dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 1998-1999). Sementara luas Cilegon tetap pada 17.550 Ha, yang berarti tingkat kepadatan penduduk pada tahun 1998 adalah sebesar 1.469 jiwa per Ha, sedangkan tahun 2000 menjadi 1.681 jiwa per Ha. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di daerah ini erat kaitannya dengan perkembangan industri yang dimulai semenjak tahun 1965 dengan berdirinya industri baja pertama yang sekarang dikenal dengan PT. Krakatau Steel, dan pembangunan berianjut sampai tahun 1990 (di mana industri lain juga dibangun di Cilegon, yang sebagian besar industri kimia, seperti: PT. PENI, PT. UAP, Bakrie Kasei, PT. PIPI (DOW Chemical), PT Tripolyta, Asahimas, PT. Chandra Asri. dan lain-lain). Nampaknya pertumbuhan penduduk yang tidak merata persebarannya di Cilegon itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan industri tersebut. Hal ini menimbulkan penyebaran penduduk yang terkonsentari di pusat kegiatan bisnis (Cilegon). Perkembangan industri dan konsentrasi serta distribusi penduduk tersebut, tidak terlepas dari penataan wilayah yang direncanakan sedemikian rupa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Cilegon ditetapkan sebagai pusat utama untuk kawasan andalan Bojonegara-Merak-Cilegon dan sekitarnya. Sektor unggulan untuk kawasan ini adalah: industri, pertanian tanaman pangan, pariwisata, perikanan, dan pertambangan. Khusus untuk RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), Cilegon berfungsi sebagai pusat (simpul). Dengan adanya RTRW yang menetapkan fungsi sebagai pusat, maka fungsi-fungsi yang diemban oleh Cilegon adalah sebagai pusat industri, pusat kegiatan perdagangan dan jasa, pusat kegiatan komersial, pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan pelabuhan dan sebagai pintu gerbang Barat PuIau Jawa, serta sebagai kota lintasan pergerakan kegiatan wisata Anyer-Carita dan lalu lintas Jawa-Sumatera. Dengan berbagai fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, tentunya semua kegiatan tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pemanfaatan ruang dan daya dukung wilayahnya. Dari kenyataan tersebut di atas penataan ruang Cilegon menunjukkan penataan ruang dalam arti sempit. Budihardjo (1997: 1) mengungkapkan bahwa tata ruang sebagai suatu kegiatan penataan yang tidak hanya berarti sempit atau terbatas pada perencanaan dan perancangan fisik semata, tetapi juga melakukan penataan manusia dengan segenap keunikan perilakunya. Bahkan Rapoport menggunakan istilah "cultural landscape" karena kota dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya dengan beraneka ragam karakter, sifat, keunikan, dan kepribadian. Mengingat hal tersebut (Budihardjo, 1997: 2) mengungkapkan bahwa yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk kota maupun daerah. Berkaitan dengan penataan ruang dan adaptasi manusia, Weber (dalam Budihardjo, 1997. 2) mengungkapkan bahwa jurang kaya miskin makin menganga mencolok mata, komunitas yang guyub pecah menjelma menjadi masyarakat patembayan yang dilandasi penalaran kalkulatif. Durkheim (dalam Budihardjo, 1997:2) menambahkan bahwa keadaan demikian menyebabkan kesepakatan moral yang disepakati bersama makin meluntur. Gejala demikian terlihat pada masyarakat yang terdapat di Kota Cilegon. Permasalahan umum yang terdapat di Kota Cilegon, seperti juga yang dihadapi oleh kota-kota lain di Indonesia, sesuai dengan perkembangannya adalah sebagai berikut :
  1. Penyebaran (distribusi) penduduk di wilayah kota yang tidak merata.
  2. Pertumbuhan penduduk kota yang tinggi, pertumbuhan ini terjadi terutama diakibatkan oleh migrasi penduduk dari tempat lain ke Cilegon untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik.
  3. Ketersediaan fasilitas dan utilitas kota yang tidak atau belum mencapai tingkat yang optimal.
  4. Perkembangan yang sangat pesat terkonsentrasi di sepanjang jalur arteri regional (sepanjang Jalan Raya Cilegon).
  5. Kualitas jaringan jalan yang sebagian besar belum mencapai tingkat kondisi yang baik, terutama jalan-jalan lingkungan atau jalan-jalan desa.
Sementara itu permasalahan khusus yang dihadapi oleh Cilegon adalah adaptasi masyarakat terhadap perubahan fisik dan sosial yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan wilayah. Perubahan yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan seyogyanya dapat meningkatkan mutu hidup masyarakat. Kenyataannya, perubahan kegiatan pembangunan khususnya di bidang industri, ternyata juga membuka lapangan kerja dan menimbulkan dampak lingkungan yang harus dihadapi oleh penduduk setempat dan juga tergusurnya penduduk dari lingkungan hidupnya yang asli. Di mana hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup besar atau akan berdampak pada perubahan sosial dan budaya masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini difokuskan pada penduduk setempat dan kemampuan mereka dalam menghadapi proses penyesuaian terhadap perubahan fungsi lingkungan. Dari permasalahan yang diuraikan di atas maka formulasi pertanyaan penelitian adalah:
  1. Apakah terdapat hubungan antara penataan ruang dengan kualitas hidup masyarakat?
  2. Apakah terdapat hubungan antara penataan ruang dengan kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dirumuskan: tata ruang mikro (yang dilihat dari: ventilasi, pencahayaan, saluran air (drainage)) dan persepsi terhadap pelaksanaan rencana tata ruang (yang dilihat dari struktur dan wujud tata ruang) di jadikan variabel bebas (independent variable) dan kualitas hidup (berisikan kondisi sosial ekonomi, yang dilihat dari: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, daerah asal, pendapatan, pengeluaran, kesehatan, kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban) dijadikan variabel tidak bebas (dependent variable). Selanjutnya, berdasarkan fokus penelitian, asumsi-asumsi yang dikemukakan, diformulasikan kedalam 2 (dua) hipotesis berikut:
  1. Terdapat hubungan antara kualitas hidup masyarakat dengan penataan ruang.
  2. Terdapat hubungan antara kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban dengan penataan ruang.
Lokasi penelitian adalah Kota Cilegon seperti telah disebutkan di atas, yang meliputi 4 (empat) kecamatan, yaitu: Ciwandan, Cilegon, Cibeber, dan Pulomerak. Sampel yang digunakan dipilih secara acak, yaitu sebesar 130 kepala keluarga (KK/responden), yang terdiri dari: 25 responden di Ciwandan, 55 responden di Cilegon, 15 responden di Cibeber, dan 35 responden di Pulomerak. Analisis data dilakukan secara deskriptif (dengan menggunakan perhitungan persentase dan populasi) dan analisis kuantitatif (untuk melihat hubungan dari masing-masing variabel, menggunakan uji statistik Chi-Square (x2) dan uji korelasi dengan tingkat signifikansi 95% (a=0,05)). Dari hasil pengolahan data terhadap penataan ruang (independent variable) dan kualitas hidup (dependent variable) diperoleh: 1. Tata Ruang Mikro. Variabel uji yang digunakan adalah ventilasi, pencahayaan, dan saluran air. Dari hasil uji statistik diperoleh, penataan ruang berpengaruh terhadap kualitas hidup (dari variabel kontrol pendapatan). Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan (x2 hitung = 33,815 (ventilasi) dan 25,631 (pencahayaan) lebih besar dari x2 tabel= 24,996; dan 33,015 (saluran air) lebih besar x2 tabel= 18,307), 2. Persepsi terhadap Pelaksanaan Rencana Tata Ruang. Variabel yang diuji dibagi atas dua yaitu struktur tata ruang (meliputi: alih fungsi ruang, dan pembebasan tanah) dan wujud tata ruang (meliputi: persepsi terhadap UUPR, UU, dan pelaksanaan UUPR). Dari hasil uji statistik diperoleh hasil uji terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), untuk struktur tata ruang (x2 hitung = 59,138 (alih fungsi); 32,415 (pembebasan tanah), yang keduanya lebih besar dari x2 tabel = 18,307); perhitungan statistik untuk wujud tata ruang (x2 hitung = 29,569 (pengetahuan), lebih besar dari x2 tabel =11,070) dan (f hitung = 32,415 (pelaksanaan RUTR) dan 92,785 (sikap pemerintah terhadap RUTR), keduanya lebih besar dari (x2 tabel = 18,307). Dapat dikatakan pengetahuan mengenai tata ruang yang tertuang dalam RUTR wilayah berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup yang diwakili oleh pendapatan yang diperoleh sebagai penghasilan perbulan. 3. Daerah Asal. 79 responden (60,80%) menyatakan bahwa mereka adalah penduduk asli daerah Cilegon, karena mereka sudah bermukim dan memperoleh penghidupan di wilayah ini sudah lebih dari 20 tahun. Sementara sisanya, 51 responden (39,20%) adalah penduduk yang datang dan bermukim di Cilegon untuk memperoleh penghidupan kurang dari 20 tahun. Dari hasil analisis statistik menunjukkan, tidak adanya pengaruh daerah asal terhadap pendapatan, dimana (x2 hitung=6,031 lebih kecil dari x2 tabel= 11,070), 4. Sosial Ekonomi a.Tingkat Pendidikan Dari tingkat pendidikan sebagian besar responden berada pada tingkat pendidikan menengah (Pendidikan SLTA), 84 responden (64,6%) berada pada tingkat pendidikan menengah (SLTA); 29 responden (22,3%) berada pada tingkat pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi); 17 responden (13,1%) berada pada tingkat pendidikan rendah (SD-SLTP). b.Jenis Pekerjaan. 42 responden (32,3%) berprofesi sebagai Pegawai Negeri; 30 responden (23,1%) berprofesi sebagai karyawan swasta; 30 reponden (23,1%) mempunyai usaha sendiri sebagai wiraswasta; dan sisanya 28 responden (21,6%) bekerja sebagai buruh dan lain-lain (tukang ojek dan ibu rumah tangga). c.Pendapatan dan pengeluaran. Berada pada kisaran (Rp. 500.000 sampai lebih besar dari Rp. 3.000.000 per bulan). Sebahagian besar tingkat pendapatan penduduk Cilegon tersebut dipergunakan untuk pengeluaran kebutuhan pokok (37,75%) dan sekunder (62,25%). Dari hasil ini dapat dikategorikan bahwa masyarakat Cilegon sebagai masyarakat tidak miskin, dikarenakan proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok berada dibawah 40% dari seluruh total pengeluaran. 5. Kelembagaan Sosial, Keamanan dan Ketertiban - Kelembagaan Sosial. Terdapat 11 (sebelas) lembaga sosial masyarakat yang terbentuk di Cilegon, yaitu: PPM (Pemuda Panca Marga); FKKT (Forum Komunikasi Karang Taruna); AMS (Angkatan Muda Siliwangi); KNPI; Pemuda Pancasila; IPSI; FBMC (Forum Bersama Masyarakat Cilegon); MUI (Majelis Ularna Indonesia); LPMC (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Cilegon); AMPI; KMC (Korp Mubalig Cilegon). - Keamanan dan Ketertiban. 92 responden (70,77%) menyatakan kondisi keamanan lingkungannya aman; 38 responden (29,23%) tidak aman. Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa keamanan lingkungan berpengaruh terhadap terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), yang ditunjukkan oleh (x2 hitung = 84,938 lebih besar dari x2 tabel = 18,307). 6. Kesehatan. Kesehatan masyarakat dilihat dari tingkat kesehatan balita, penyediaan sumber air bersih, dan sanitasi/MCK. Dari perhitungan statistik diperoleh, terdapat pengaruh kesehatan masyarakat terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), dengan variabel uji: Kesehatan balita, penyediaan sumber air bersih, MCK. Dari hasil perhitungan diperoleh untuk kesehatan balita (x2 hitung = 51,154 lebih besar dari x2 tabel = 18,307). Tetapi untuk Kondisi MCK (x2 hitung = 6,108 lebih kecil dari x2 tabel = 18,307) dan sumber air bersih [x2 hitung = 2,406 lebih kecil dari x2 tabel = 18,307), yang berarti sanitasi dan air bersih yang digunakan dan dikonsumsi masyarakat sehari-hari tidak berpengaruh terhadap pendapatan (variabel kontrol kualitas hidup). Secara keseluruhan, berdasarkan hasil penelitian dan hubungannya dengan perspektif penelitian lingkungan (sebagai acuan dalam penggelolaan lingkungan), penataan ruang berpengaruh terhadap kualitas hidup, dan tidak terdapat korelasi (hubungan) antara penataan ruang dan keberadaan kelembagaan sosial. Sementara itu, keamanan dan ketertiban lingkungan berpengaruh terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan). Sesuai dengan keinginan masyarakat, Pemerintah Kota Cilegon harus terbuka dalam penataan kotanya, terutama dalam penataan ruang. ......The fast growing of population, especially in Cilegon was caused by natural growth and migration. This growth brought heavy pressure to the city, especially its function in the future as the industrial city, trading, and services. By the number of its functions, its makes all of activities concentrated to the land as the space with allocated for all of those activities and also provided facilities and utilities as needed. Its need to increase the land functions for all aspect in development activities, meanwhile, its limited on availability of land area. Those activities, direct or indirect, will caused the changed on space utilisations for the number of development sectors. Eventually, the changed in function of structure and space will be affected to the adaptation pattern in the society. Adaptation process should be concerned by the society, even the foreigner or origin society. It's not just adaptation of cultural needs, but also the participation on the development activity. Based on those characteristics, this research focuses on the Cilegon area, which is divided by 4 (four) sub-districts area, ie: Cilegon, Ciwandan, Cibeber and Pulomerak. Cilegon is 90 kilometers from west Jakarta. As focused to the spatial planning, Cilegon as the center of trading, offices, and settlement region; Ciwandan has a Banten Port and industrial estate; Pulomerak as industrial estate, Merak Port and settlement region; Cibeber as settlement region and has a reservoir which is supply the water to some area in Cilegon community and PT. Krakatau Steel. When the monetary crisis came to Indonesia in the middle of 1997, its affected to all of economic sectors in this country, and also to the investment on industrial sector in Cilegon. By 1997, population growth following the crisis not so many people come to work in industrial basis. Industrial sector could not employ `more employee' to work with them. This is another problem that affected to Cilegon government in manage their community. Cilegon area (17.550 Ha), 294.936 persons in number of populations (year 1999); which are 150.687 (male) and 144.249 (female) and they spread on 4 (four) sub-districts in Cilegon, as follows: 1. Ciwandan area (7.483 Ha), by population density of 83.861 persons; 42.897 (male) and 40.964 (female). 2. Cilegon area (1.753 Ha), by population density of 69.488 persons: 35.352 (male) and 34.136 (female). 3. Cibeber area (2.466 Ha), by population density of 41.362 persons; 20.911 (male) and 20.451 (female). 4. Pulomerak area (5.848 Ha), by population density of 100.225 persons; 51,527 (male) and 48.698 (female). By the 1990, number of populations in Cilegon are 226.461 persons, and in 1998 increased to 257.864 persons, and its increased in 1999 278.462 persons. Its increased continued to year 2000, up to 294.936 persons. Its mean, in 1999 (8,06%) increased than 1998 (6,13%) and the populations decreased (1,93%) than growth in population (1998-1999). Meanwhile, Cilegon areas stay at 17.550 Ha (1998), population density of 1.469 persons per Ha, and 1.681 persons per Ha (2000). Higher in population growth of Cilegon are related to the development of industrial growth which has started since 1965 by development of PT. Krakatau Steel, and the developing continued to 1990 (when some other industries build in Cilegon area, mostly chemical industries, ie., PT. PENI, PT. UAP, Bakrie Kasei, PT. PIPI (Dow Chemical), PT. Tripolyta, Asahimas, PT. Chandra Asri, etc). Population distribution related to the distribution of industries space. Its make the population concentrated into the center of business districts (Cilegon). Industrial development and population density concentrated in Cilegon area based on Spatial Planning Area, under Regulation No. 47, year 1999 about National of Regional Spatial Planning (RTRWN), and considered to Cilegon, as the center of the pledge area: Bojonegara-Merak-Cilegon. The first development sectors are: industries, agricultural, tourism, fishery, and mining area. Especially, RTRW (Regional Spatial PIanning), Cilegon functions are as the districts of industries, trading and services, center of commercial places, government activities, and as the West Gate' of Java Island, and the center of maritime-tourism (Anyer-Carita-Labuan) and as the matters pertaining traffic of Java-Sumatra. By the number of that functions, its makes all of activities were concentrated to the land, and for the number of development sectors will caused the changed on space utilisations and capability (carrying capacity). Based on those characteristics, spatial planning in Cilegon has shown a `constrictive meaning'. Budihardjo (1997: 7) said that spatial planning is a structuring activity that not just limited on planning and physical design, but also how to manage human aspect in all of unique behavior. Even, Rapoport used the `cultural landscape', because the city and region are based on the implementation of the culture in various characteristics, attitude, unique, and personality. Considering to those matters (Budihardjo, 1997: 2) shown that the first things to understand of the culture from various community and the impact of value system, norm, life style, activities and the conviction symbol to the structure and format of the city and region. Understand to the impact in all aspect of human life, its need a human adaptation to their community. Related to the spatial planning and human adaptation, Weber (in Budihardjo, 1997: 2) shown, that we have to face `the gap' between the richer and the poorer, and the solid community became an individualistic and based on the calculative thinking. Durkheim (in Budihardjo, 1997: 2) also said that situation will affected to the changeable of integrative agreement (integrative needs). Those symptoms have shown by Cilegon community, lately. General issues in Cilegon area, as also found in the other cities (or entire cities) in Indonesia, following their development are: 1. Inequitability in distribution population, especially in the city region. 2. Higher in population growth, specially in the city region, its caused (especially) by migration from the other city to Cilegon for having `a better income (revenue). 3. The availability of facilities and utilities are not optimise. 4. The fast development concentrated along the arterial road (along Cilegon main road). 5. Most of road network are still in `minor' conditions, especially embraced road and rural. Meanwhile, the specific issues that have to face by Cilegon are adaptation of community into physical and social change that introduced by the region development activities. The changed that introduced by the development activities should increase the quality of life. In fact, changed in development activities, especially in industries based, beside its open new space for `man power', also affected to `minor community who could not gain to it. Who become `a big problem' or affected to social and culture. In accordance with these matters, this research focuses on the local society effort to face readjustment process on their environment, which shifted in function. For this reason, the fundamental problem in this research is formulated in two research questions as follows: 1. Are there any correlations between spatial planning and the quality of life? 2.Are there any correlations between spatial planning and social institution and environmental safety? To answer research questions as it has been mentioned, the spatial planning (contained society perception on implementation of spatial planning it self; Regulations and the implementation) indicated as independent variable and quality of life (contained in social-economic basis: education, income (revenue), expenditure, health, social institution perception on implementation of the spatial planning and environmental safety), as dependent variable. Furthermore, to focus to the research problem, assumption has been made through two general hypothesis: 1. There is correlation between spatial planning and the quality of life. 2. There is correlation between spatial planning and social institution and environmental safety. Research location is Cilegon (as mentioned above) in four sub-districts, ie: Ciwandan, Cilegon, Cibeber and Pulomerak. Sample being used is stratified random sampling for 130 head of family (KK) consist of 25 in Ciwandan, 55 in Cilegon, 15 in Cibeber and 35 in Pulomerak. Data were analyses descriptively by percentage as well as statistical test of CM-Square (x2) and correlation (0, with significance level 95% (a= 0.05). As a research results were the spatial planning (independent variable) and the quality of life (dependent variable) in social-economics, which is contained: 1. Micro Spatial Planning. Variable test that used for statistical test was ventilations, illuminations (sunlight), and drainage. From statistical test, its shown (x2 test 33.815 (ventilations); 25.631 (illuminations); and 33.015 (drainage), which are higher than x2 table= 24.996 (ventilations and illuminations); 18,307 (drainage), its mean these variables significantly affected by spatial planning. 2. Perception on Implementation of Spatial Planning. Variable test that used for statistical test was spatial planning structures (transferring the right of land and acquittal) and formatted (perception of knowledge and implementation of regulation of spatial planning). From statistical test, its shown that (x2 test = 59.138 and 32.415 for structures) higher than (x2 tables for both = 18.307) and (x2 test = 29.569; 31415; and 92.785 for formatted) higher than (x2 tables = 18.307 for implementations and 11.070 for knowledge). Significantly structure and formatted of spatial planning affected to the quality of life (in income as control variable). 3. Origin Region. 79 respondents (60.0%) from Cilegon (which stayed in Cilegon longer than 20 years) and 51 respondents (39.20%) from outside Cilegon. There is no impact of the origin to income, as shown statistically (x2 test=6,031 lower than x2 table= 11,070). 4. Social-Economics, contained: Education. 84 respondents (64,6%) from senior high school (SLTA); 29 respondents (22,3%) from college, 17 respondents (13,1%) basic (SD-SLTP). Job. 42 respondents (32,3%) Government Employee; 30 respondents (23,1%) private workers; 30 respondents (23,1%) running their own business; 28 respondents (others; house wife, laborer, etc). Income and expenses. Range between (Rp. 500,000 to higher than Rp. 3,000,000)1 Most of expenses for secondary section needs (62.25%) and the rest for nine staples (37.75%). That's mean Cilegon society are not poor society. 5. Social Institutions and Environmental Safety Social Institutions. There are 11 (eleven) social institutions in Cilegon, ie., PPM, AMS KNPI, Youth Pancasila, IPSI, FBMC, MIA and KMC (Moslem organization), LPMC, and AMPI. According to the information, these institutions not affected to the lower level community. They trapped into the conflict of interest (certain community). - Environmental Safety. 92 respondents (70.77%) said there were no crime (safe); 38 respondents (20.77%) unsafe. It was found from the statistical test that environmental endurance was affected to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 84.938 higher than x2 table = 18.307). 6. Health. The society health test by children under five years old category, clean water resources, and sanitations. From statistical test results: for health conditions affected to quality of life (income), which has shown by (x2 test = 51.154 higher than x2 table = 18.307) and sanitations did not affect to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 6.108 lower than x2 table = 18.307); clean water resources did not affect to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 2.406 lowest than x2 table = 18.307). As a whole, based on research results and in conjunction with the perspective of environmental research (basic guidance on managing the environment), spatial planning affected to quality of life, and there was correlated between spatial planning to environmental safety but not affected to social institutions. In order to the community requested, Cilegon government should have open management in manage their town.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 2953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gandhi Adi Prianto
Abstrak :
Kota merupakan lambang peradaban kehidupan manusia, sebagai pertumbuhan ekonomi, sumber inovasi dan kreasi, pusat kebudayaan, dan wahana untuk peningkatan kualitas hidup. Kota adalah suatu lingkungan binaan manusia, merupakan hasil cipta - rasa dan karsa manusia yang secara sengaja dibentuk atau tidak sengaja terbentuk, mempunyai karakteristik tersendiri sesuai dengan daya dukung lingkungannya dan menjadi wadah bagi kegiatan manusia dengan segala aspek kehidupan yang dinamis. Perkembangan kegiatan manusia di wilayah perkotaan akan mengarahkan perkembangan tampilan fisik kota, balk secara luasan horizontal maupun luasan vertikalnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi lingkungan alam sekitarnya. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Persyaratan minimum pembangunan berkelanjutan berupa terpeliharanya apa yang disebut dengan "total natural capital stock pada tingkat yang lama atau kalau bisa lebih tinggi dibanding dengan keadaan sekarang. Produk rancangan pengembangan kota melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) maupun Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)/Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) pada umumnya berupa naskah dokumen yang dilengkapi dengan penjelasan grafis (berupa peta-peta) mengenai segala hal/faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota. Produk grafis tersebut merupakan penjabaran dari naskah dokumen rancangan yang memberikan gambaran visual secara dua dimensi tentang penggunaan wilayah atau bagian ruang sesuai dengan fungsi dan pemanfaatannya. Produk normatif dan grafis tersebut adalah merupakan suatu upaya untuk pengerahan sumber-sumber daya perkotaan, baik meliputi alam, ekonomi, dan manusia, untuk mencapai tujuan pembangunan kota yang dicita-citakan. Penelitian yang dilakukan di Kota Soreang, sebagai Ibukota Kabupaten Bandung, merupakan penelitian deskriptif-ekspioratif, dengan menggunakan data sekunder, berupa kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) maupun Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)/Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang serta Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK). Penelitian mengenai Analisis Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Kota Baru yang Berkelanjutan (Studi Kasus: Soreang, Ibukota Kabupaten Bandung) dengan fokus pembahasan pada kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun mengacu kepada dua permasalahan, yaitu: Belum diketahui secara pasti seberapa besar kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun Kota Soreang pada pemetaan Tahun 1999 sudah sesuai dengan rencana produk normatif dan gratis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989. Belum diketahui secara pasti apakah produk normatif dan grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 maupun Rencana Terperind Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 2001-2010 telah menerapkan kaidah pembangunan kota berkelanjutan dari sisi keseimbangan ekologis. Tujuan penelitian ini adalah: Untuk mencari kejelasan seberapa besar realisasi-pembiasan maupun penyimpangan kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun atas produk normatif dan grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 pada saat pemetaan Tahun 1999. Untuk mencari kejelasan apakah produk normatif dan grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 maupun Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 2001-2010 telah mempertimbangkan kaidah pembangunan kota yang berkelanjutan dari sisi keseimbangan ekologisnya. Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut, di bawah ini: Realisasi penerapan kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun melalui Produk Normatif dan Grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 dibandingkan dengan kondisi hasil pemetaan pada Tahun 1999 belum sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan (RTTRK Tahun 1989). Produk Normatif dan Grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 maupun Rencana Terperincil Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 2001-2010 kurang mempertimbangkan kaidah kota berkelanjutan dilihat dari keseimbangan ekologisnya. Pendekatan analisis yang dilakukan untuk pemecahan masalah digunakan dua pendekatan yaitu secara analisis normatif dan analisis grafis. Analisis normatif dilakukan dengan melihat perkembangan alokasi dan kondisi keberadaan penerapan rencana tata ruang kota. Sedangkan untuk analisis grafis dilakukan dengan pendekatan analisis melalui produk grafis, yaitu dengan melihat realisasi penerapan secara fisik antara alokasi rencana dengan kondisi waktu tertentu (10 tahun setelah rencana). Pendekatan analisis tersebut dilakukan untuk melihat realisasi penerapan rencana tata ruang dari data sekunder yang telah dikumpulkan dari berbagai instansi. Analisis ini mempertimbangkan penggunaan lahan dalam dua titik waktu, yaitu antara rencana Tahun 1989 dengan realisasi melalui pemetaan Tahun 1999. Berdasarkan hasil dari pembahasan data yang diperoieh dari penelitian ini, maka kesimpulan yang diperoleh adalah: Bahwa Rencana Terperinci Tata Ruang Kota Soreang (RTTRK) Tahun 1989 yang diharapkan membawa pertumbuhan dan perkembangan Kota Soreang, pada pemetaan tahun 1999, khususnya pemanfaatan guna lahan melalui kawasan terbangun dan tidak terbangun, belum sesuai dengan apa yang telah diganskan dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989. Perubahan yang mencolok terlihat pada kawasan terbangun perumahan, yang melebihi target rencana sebesar 75,55% (185,18 ha), sedangkan untuk kawasan tidak terbangun persawahan terjadi pengurangan terbesar, yaitu 357,64 ha dari apa yang direncanakan pada Tahun 1989. Hasil analisis terhadap produk normatif dan grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 melalui kawasan terbangun dan tidak terbangun menunjukkan bahwa dilihat dari sisi keseimbangan ekologisnya kurang mempertimbangkan pembangunan kota yang berkelanjutan, terlihat dari rencana pengalihan fungsi lahan semula lahan pertanian menjadi lahan permukiman tanpa diimbangi dengan pemecahan masalah sosial dalam hal alih lapangan pekerjaan penduduk Kota Soreang yang mayoritas berpendidikan SD. Sedangkan Hasil analisis terhadap produk normatif dan grafis antara Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 2001-Revisi dengan produk normatif dan grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota (RTTRK) Soreang Tahun 1989 menunjukkan bahwa bdak terjadi perubahan yang mendasar dalam hal rencana menjaga keseimbangan ekologisnya, terlihat dari produk grafis Rencana Terperinci Tata Ruang Kota Soreang (RTTRK) Tahun 2001-Revisi yang tetap mempertahankan pengalihan fungsi lahan seperti apa yang telah ditetapkan dalam Rencana Terperinci Tata Ruang Kota Soreang (RTTRK) Tahun 1989. Seperti telah diungkapkan bahwa sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif eksploratif, maka masih banyak hal-hal yang lain yang berkaitan dengan penerapan rencana tata ruang kota yang Iebih patting dan belum terungkap, memerlukan suatu penelitian Iebih lanjut, mengingat pentingnya penataan ruang berkaitan dengan masalah lingkungan di perkotaan.
Analysis on The Implementation of Sustainable New Town Spatial Plan (Case Study: Soreang, Capital City of Bandung Regency) A city is a symbol of human civilization, economical development, a source of innovation and creation, a center of culture and a vehicle to improve life conditions. A city is a man made environment; it is a human made creation and work of arts, deliberately constructed or not and having its own characteristics in accordance with its surrounding and it becomes a place of human activities with all dynamics approach of life. The development of human activities in cities will direct the physical appearance of the city, horizontal extension as well as vertical extension, which will influence the natural environment. A sustainable development is a development, which can fulfill the requirements present generation without ignoring the ability of the next generation in fulfilling their requirements. The minimal conditions of a sustainable development are the maintenance of the so called `total natural capital stock" on the same level or if possible higher than the present condition. Above concept is in accordance with the meaning on a sustainable community according to another concept of sustainable development which means a community which live within the limits of a mutual supporting environment. The spatial land planning such as Regional Spatial Plan (RTRW), Urban Subdivision Area Plan (RBWK), Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) and Urban Technical Spatial Plan (RTRK) usually contains document text completed with graphic methods (maps) about all fact, which influence the city development. Graphic methods are descriptions of document text planning which give two dimensions visual information about regional land use planning or a part of it according to as mentioned in document texts. Normative and graphic products are an effort to maximize the potential of city (region), like nature, economic, human to reach the ideal city development. The study held on Soreang city, being the capital of Bandung region, is a descriptive explorative study using secondary data, being regulation as mentioned in land use document text planning, Regional Spatial Plan (RTRW), Urban Subdivision Area Plan (RBWK), Urban Technical Spatial Plan (RTTRK). The research is to study carefully and find out how the effect of land use planning is in accordance to sustainable city development by studying the developed and undeveloped areas. There were two problems, such as: It is not exactly known, how much the differences are between developed and undeveloped areas of Soreang city by existing condition on year 1999 compared with the normative and graphic products of Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 1989. It is not exactly known, whether the developed and undeveloped areas expressed on normative and graphic products Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 1989 and Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 2001 has implemented the principles of sustainable city with focus on environmental aspect (ecology). The aim of this study is: To get more information, how much the differences are between developed and undeveloped area of Soreang city by existing condition in 1999 compared with the normative and graphic products of Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang in 1989. To get more information, whether the developed and undeveloped areas expressed on normative and graphic products Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang in 1989 and Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 2001 ware implemented the principles of sustainable city with focus on environmental aspect (ecology). Hypothesis of this research is as follows: Implementation of developed and undeveloped areas by normative and graphic products of Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang in 1989 compared with the existing condition in 1999 not expressed a suitable plan. Normative and graphic products Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang in 1989 and Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang in 2001 were not yet in balance with sustainable city principles focused on environmental balancing aspects. This analytical approach used two methods, i.e. normative and graphic analysis. Calculating regional realization and implementation conditions of spatial planning uses normative analysis, while the graphic analysis is done by analytical approach using graphic products by calculating the physic realization between planning at certain times. This analytical approach used secondary data collected from several agencies. This analysis is considering spatial plan at 2 different times, namely planning and realization. Based on the results of the study using data obtained for this research, the conclusion is as follows: Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 1989 which were planned to develop Soreang city to the maximum of human need, controlled by data base surveyed in 1999 focusing on developed and undeveloped area, were not yet in line with the original plan. A significant change was in the developed housing area, which excluded the planned target, 185,18 ha (75.55%) and for the undeveloped area, 357.94 ha reduced the farmland. The study of normative and graphic products Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 1989 and Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 2001 on developed and undeveloped areas expressed that focused on ecology balance was not yet in line with sustainable city development concepts. This was demonstrated by the changing on land use some land to housing-area without balancing the citizen's social aspects. It seems that on normative and graphic products Urban Technical Spatial Plan (RTTRK) Soreang 2001 is still promoted to change farmland use to the housing-area. As mentioned above, this research is descriptive and explorative, so there are still many other research matters related to the implementation of a spatial city plan, which are more important and not revealed yet.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhsin H. A. Rahman
Abstrak :
ABSTRAK
Kajian mengenai kelembagaan akhir-akhir ini marak baik di media massa, jurnal maupun tulisan-tulisan Ilmiah. Fenomena ini menunjukan bahwa persoalan kelembagaan semakin penting dan strategis, terutama peranannya dalam proses pembangunan pada umumnya pembangunan perkotaan pada khususnya, walaupun persepsi dan definisi mengenai kelembagaan ini sangatlah komplek baik bobot maupun tekanannya.

Arturo Israel tenaga ahli Bank Dunia, menempatkan persoalan kelembagaan sebagai persoalan yang utama dalam proses pembangunan, dikatakannya bahwa banyak negara berkembang tidak berhasil mencapai tujuan pembangunannya, akar persoalannya adalah kelembagaan.

Dalam konteks itulah, penulis mencoba melihat persoalan kelembagaan disektor Pemerintah, namun dalam skala yang lebih kecil, yaitu kelembagaan pemda tepatnya kelembagaan P3KT dalam pembangunan perkotaan. Kajian ini mencoba melihat persoalan kelembagaan P3KT dalam upaya mencapai efisiensi dan efektifitas pengelolaan Prasarana Kota Terpadu terutama dalam rangka proses pelaksanaan desentralisasi pembangunan perkotaan sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Kepada Pemerintah Daerah.

Dipilihnya Kotamadya Dati II Ujung Pandang sebagai lokasi penelitian, karena kota Ujung Pandang sebagai kota besar yang berkembang pesat dan sekaligus pintu gerbang Wilayah Timur, tentunya persoalan yang dihadapi adalah kualitas pelayanan (services), konsekwensi dari pelayanan ini akan terdampak pada persoalan kelembagaan yang prima untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Hasil penelitian di kotamadya Dati II Ujung Pandang menunjukan bahwa tinggi rendahnya kinerja kelembagaan P3KT akan sangat ditentukan oleh faktor-faktor; Pertama, dari segi Pemerintah temyata dominasi Pemerintah Pusat cukup tinggi dalam hal kewenangan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian sumber daya manusia. Kedua, segi masyarakat kurangnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian ini berakibat pengelolaan kurang efektif. Ketiga, aspek pendanaan dari yang berbagai sumber lembaga yang terkait sehingga sulit melakukan koordinasi dalam koordinasi. Keempat, struktur kelembagaan P3KT baik struktural maupun fungsional sulit menyatu dalam mekanisme perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian pembangunan prasarana.

Dari aspek-aspek inilah perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk memperbaiki kelembagaan P3KT di Kotamadya Dati II Ujung Pandang. Dengan demikian penelitian semakin menarik, terutama untuk para pengambil keputusan di Pemda agar kiranya memberikan bobot dan prioritas pada aspek kelembagaan bukan hanya pada aspek fisik saja tapi bagaimana melembagakan pendekatan P3KT sebagai suatu kebijakan pembangunan perkotaan yang dapat mempercepat proses desentralisasi pembangunan perkotaan.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadeak, Hasoloan
Abstrak :
RINGKASAN
Kabupaten Dati II Bogor mempunyai luas wilayah 3.440,72 Km2 atau 344.072 Ha. Ada seluas ± 101.138 Ha atau 29,39% dari luas wilayah tersebut berada dalam Kawasan Puncak yaitu wilayah penanganan khusus penataan ruang dan penertiban serta pengendalian pembangunannya diatur dalam Keppres Nomor 48 Tahun 1983 dan Keppres Nomor 79 Tahun 1985. Wilayah penanganan khusus dimaksud secara administratif untuk Kabupaten Dati II Bogor terdiri atas 11 kecamatan (sekarang menjadi 13 kecamatan) yaitu:

Kecamatan Ciawi Kecamatan Cibinong Kecamatan Cimanggis Kecamatan Cisarua Kecamatan Citeureup Kecamatan Gunung Putri Kecamatan Gunung Sindur Kecamatan Sawangan Kecamatan Kedung Halang (Sukaraja) Kecamatan Parung Kecamatan Semplak (Kemang) Kecamatan Megamendung Kecamatan Limo

Dua wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Ciawi dan kecamatan Cisarua termasuk Kawasan Pariwisata Puncak, di samping itu Kawasan Puncak memiliki keunikan dan peran, diantaranya yang terpenting adalah :

Konservasi tanah dan air bagi wilayah aliran sungai Ciliwung dan Cisadane. Konservasi Flora dan Fauna.

Di samping kedua peranan di atas, juga Kawasan Puncak memiliki keindahan alam, udara nyaman dan sejuk, sehingga mendorong terjadinya migrasi dan pertambahan penduduk dan tidak dapat dihindari hukum ekonomi terjadi yaitu tingginya permintaan atau keinginan untuk menguasai atau memiliki tanah oleh berbagai pihak, mengakibatkan harga tanah di Kawasan Puncak menjadi mahal dan dapat digunakan sebagai komoditi ekonomi. Dengan demikian kawasan ini cenderung untuk dieksploitir dengan cara pembangunan rumah, vila dan hotel oleh masyarakat, tanpa memperhatikan kriteria lokasi dan standar teknis pembangunannya, bahkan membuat danau buatan yang diairi dengan cara merombak dan membendung aliran sungai Ciliwung.

Menyadari betapa besarnya kontribusi Kawasan Puncak terhadap fungsi lingkungan, maka pemerintah berupaya untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang berlarut-larut dengan cara pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana detail tata ruang Kawasan Puncak. Hal ini memerlukan usaha penertiban kembali agar pengendalian dan usaha penertiban pemanfaatan Kawasan Puncak khususnya yang berada di Kabupaten Dati II Bogor dapat dicapai, diperlukan adanya suatu sistem administrasi.

Tujuan Penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui hubungan sebab-akibat tetapi tidak timbal balik antara kebijaksanaan pemerintah, struktur organisasi , koordinasi unit kerja terkait sebagai satu kesatuan yang merupakan satu sistem administrasi dan pengelolaan Kawasan Puncak di Kabupaten Dati II Bogor.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian "Pengukuran Sesudah Kejadian" (PSK) yaitu penelitian yang tidak ada perlakuan yang dilakukan si peneliti atau ada perlakuan yang terjadi sebelum diadakan pengukuran tetapi perlakuan dimaksud tidak dilaksanakan oleh peneliti sendiri.

Hipotesis Penelitian ini adalah :

Tidak ada hubungan antara kebijaksanaan yang ditetapkan dan pelaksanaannya dalam pengelolaan Kawasan Puncak di Kabupaten Dati II Bogor.

Tidak ada hubungan antara struktur organisasi dan pelaksanaan pengelolaan Kawasan Puncak di Kabupaten Dati II Bogor.

Tidak ada hubungan antara koordinasi unit kerja terkait dan pelaksanaan pengelolaan Kawasan Puncak di Kabupaten Dati II Bogor.

Kesimpulan hasil analisis adalah

Sesuai dengan hasil penelitian diketahui, bahwa sistem administrasi dalam pengelolaan Kawasan Puncak di Kabupaten Dati II Bogor belum berfungsi secara optimal. Hal ini disebabkan tiga komponen utama dalam sistem administrasi yaitu kebijaksanaan pemerintah mengenai pengelolaan Kawasan Puncak, struktur organisasi sebagai unit kerja pelaksana pengelolaan Kawasan Puncak dan koordinasi unit kerja terkait belum tertata dengan baik.

Berdasarkan pembahasan atas ketiga komponen sistem administrasi dimaksud, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut

1. Kebijaksanaan pemerintah yang menetapkan tujuan penataan ruang Kawasan Puncak, tidak relevan untuk pengelolaan Kawasan Puncak, karena Kawasan Puncak memiliki keunikan (kekhususan) fungsi.

2. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Dati II Bogor, di dalam pengelolaan Kawasan Puncak terdapat perbedaan-perbedaan yang meliputi perbedaan penetapan alokasi pemanfaatan ruang dan luas areal dari masing-masing lokasi perbedaan penetapan lokasi peruntukan.

3. Sesuai dengan fungsi Kawasan Puncak yang harus tetap dijaga dan dipertahankan, makes perlu dilakukan tindakan sebagai berikut mencabut beberapa pasal dalam Keppres Nomor 79 Tahun 1985. mencabut beberapa pasal dalam Perda Nomor 3 Tahun 1988. mengatur dan menetapkan kembali pasal-pasal dalam Keppres dan Perda tersebut di atas setelah dilakukan penyesuaian. Khusus mengenai tujuan, agar ditetapkan dalam suatu redaksi yang lebih proporsional yaitu mencegah pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana peruntukan yang telah ditentukan.

4. Organisasi atau unit kerja yang diberikan wewenang untuk mengendalikan dan menertibkan pembangunan di Kawasan Puncak, balk di tingkat Propinsi Dati I Jawa Barat maupun di tingkat Kabupaten Dati II Bogor tidak mempunyai struktur organisasi, sehingga tidak memperlihatkan dengan jelas pembagian pekerjaan, departementalisasi, rentang kendali, dan pendelegasian wewenang. oleh karena itu, agar Menteri Dalam Negeri meninjau kembali Keputusan Menteri Islam Negeri Komar 22 Tahun 1989 tentang Tatalaksana Penertiban dan Pengendalian Pembangunan Kawasan Puncak, sebagai landasan hukum pembentukan organisasi atau unit kerja.

5. Pembentukan struktur organisasi yang akan menangani Kawasan Puncak dapat berbentuk lini dan staf, dengan sebutan Badan Otorita Kawasan Puncak. ini dimaksudkan untuk lebih menjamin pandekatan yang lebih terpadu, lintas sektoral dan lebih berpandangan jauh ke depan di dalam pengambilan keputusan.

6. Pengelolaan Kawasan Puncak dengan pola organisasi seperti sekarang, larut dalam tugas-tugas rutinnya, sehingga dalam pengelolaannya umumnya bersifat reaktif yaitu lebih menanggapi masalah setelah masalah itu berkembang, mengakibatkan penanganannya menjadi mahal dan sulit dibanding bila masalah itu dicegah sebelum timbul. Oleh karena itu, unit kerja atau organisasi yang mengelola Kawasan Puncak lebih ideal berdiri sendiri yang setingkat dengan Bappeda Kabupaten dan bertanygung jawab langsung kepada Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat.

7. Koordinasi adalah penyatupaduan gerak dan seluruh potensi organisasi, agar benar-benar mengarah pada sasaran yang sama secara efisien . Penyatu paduan gerak di maksud meliputi aspek keterpaduan kegiatan, keterpaduan waktu dan pelaksanaan serta aspek keterpaduan sasaran atau tujuan. Penyatupaduan gerak yang meliputi ketiga aspek tersebut belum sinkron dilaksanakan oleh TAT Pembinaan dan Pengendalian Pembangunan Kawasan Puncak baik di tingkat Propinsi Dati I Jawa Barat, maupun Kabupaten Dati II Bogor. oleh karena itu, agar penyatupaduan gerak dari seluruh organisasi benar-benar mengarah pada sasaran yang sama, maka pola organisasi yang sekarang harus diganti dengan struktur organisasi lini dan staf, sehingga lebih memudahkan penyusunan jaringan koordinasinya baik secara interen maupun eksteren.

ABSTRACT The Administration System in the Management of Puncak Area in Bogor RegencyBogor Regency has an area of 3.440, 72 Km2 or 344-.072 Ha. The area is about 101.138 Ha or 29.39% of the area is located in Puncak Area i.e. the special management are for spatial planning and order and development control provided for in Presidential Decree Number: 48/1983 and Presidential Decree Number: 79/1985. It's mentioned that special management area, administratively for Bogor Regency comprises 11 subdistricts (now 13 subdistricts) i.e..

Ciawi Subdistrict Cibinong Subdistrict Cimanggis Subdistrict Cisarua Subdistrict Citereup Subdistrict Gunung Putri Subdistrict Gunung Sindur Subdictrict Sawangan Subdistrict Kedung Halang (Sukaraja) Subdistrict Parung Subdistrict Semplak (Kemang) Subdistrict Megamendung Subdistrict Limo Subdistrict

Two subdistrict i.e. Ciawi and Cisarua Subdistrict belong to Puncak Tourism Area; besides this Puncak Area has uniqueness and role, among others, the most important is:

Soil and water conservation for Ciliwung and Cisadane watersheds. Flora and Fauna conservation.

Besides the two roles above, Puncak Area also has natural beauty, fresh air, which encourages migration and increased number of population and economic law cannot be prevented from occurring i.e. high demand or wish to control or posses land by various parties, resulting in the price of land in Puncak Area becoming expensive and can be used as an economic commodity. Thus, this area tends to be exploited by developing houses, villas and hotels by the people, without taking into consideration the criteria of location and technical standards of criteria of location and technical standards of development, indeed a manmade lake has been constructed which is watered by damming the water of Ciliwung River.

Realizing the great contribution of Puncak Area to the environmental functions, the government is making the effort to overcome prolonged environmental damage by utilization of the space in accordance with the detailed spatial planning of Puncak Area. This requires reorganization so that control and management of Puncak Area particularly those in Bogor Regency can be achieved through a system of administration.

The objective of the Study is:

To find out the cause-effect relations but not reciprocal between government policy, structure of organization, coordination of related work units as a unit constituting a system of administration and management of Puncak Area in Bogor Regency. Methods of Study is :

The method of research used is that of "Measuring After the Event" that is a research without any treatment made by the researcher or if any made before measurement it is not done by the researcher himself.

The hypothesis of the Study are:

There is no related between the policy and its implementation in the management of Puncak Area in Bogor Regency.

There is no related between the organizational structure and the management of Puncak Area in Bogor Regency.

There is no related between work unit coordination and the management of Puncak Area in Bogor Regency.

Conclusion of the analysis are:

According to the results of the research, it is found out that the administrative system in the management of Puncak Area has not been functioning optimally. This is caused by three main components in the administration system i.e. Government Policy on Puncak Area management, structure of organization as an executive unit of management of Puncak Area and related work unit coordination has not yet been well ordered.

Government policy which determines the objective of spatial planning of Puncak Area is not relevant to the management of Puncak Area, because it has a specific function.

There are differences in the management of Puncak Area between central government and the regional differences in the allocation of spatial utilization and the areas of respective allocations differences in location of allocation.

According to Puncak Area functions which should continue to be maintained and preserved, the following actions need to be taken:

to revoke several articles in Presidential Decree Number 79 of 1985. to revoke several articles in Regional Regulation Number 3 of 1988.

rearranging and restating the articles in the Presidential Decrees and Regional Government Regulations mentioned above after adjustments.

a. Regarding the objectives in particular, these should be stated in a more proportional edition i.e.: to prevent the use of land which does not conform with stipulated allocation plan.

The organization or work unit authorized to manage and control the development in Puncak Area at West Java Provincial level and at Bogor Regency level have no structure of organization, so that there is no clear job description, departmental division, span of control and delegation of authority. Therefore, the Minister of Domestic Affairs should review the Decree of the Minister Domestic Affairs Number 22/1989 concerning Procedures of Reorganization and Control of Development in Puncak Area, as the legal basis for the formation reorganize them.

The structure of organization which will be managing Puncak Area may take the form of line and staff, called Puncak Area Authority. This is intended to guarantee more integrated approach, inter-sectoraly and be more forward looking in decision making.

Puncak Area management under the present pattern of organization is more involved in routine tasks, so that in general management it is reactive in nature i.e. responding to problems only after the develop resulting in more expensive and difficult handling than if the problems are prevented before emerge. Therefore, it is more ideal that they work unit or organization managing Puncak Area should be independent at equal level with Regency Bappeda and reports directly to the Governor of West Java.

Coordination is the union of movements of a l l organizational potentials, so that they really go towards common targets efficiently'. The union of movements concerned covers the aspects of activity integration time, integration and the implementation and aspects of integrated targets or objectives. The integration of movements covering all three aspects have not been synchronized implemented by TAT Development and Control of Puncak Area Development at West Java Provincial level as well as at Bogor Regency level. Therefore, so that the integration of movements of the entire organization is really going towards common targets, present pattern of organization should be changed to line and staff structure of organization, so that it will be better, internally as well as externally.

1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boediono Soedirman
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya korelasi antara pembangunan jalan raya, yang selalu diikuti perubahan tata guna lahan, dengan kualitas hidup masyarakat. Wilayah kajian penelitian ditetapkan pada Kecamatan Pasar Minggu dan Kecamatan Jagakarsa di wilayah Jakarta Selatan, dan Kota Administratif Depok. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan atau bahan pertimbangan dalam proses perancangan jalan raya, termasuk teknik dan manajemen lalu-lintas, serta pengembangan wilayah pada umumnya. Faktor-faktor yang diteliti dari ketersediaan data sekunder menyangkut empat variabel tata guna lahan (yaitu: lahan perumahan, lahan industri, lahan perdagangan dan jasa, serta lahan pertanian dan tak tergarap); dan lima variabel kualitas hidup masyarakat (yang diwakili oleh faktor-faktor: tingkat pendidikan masyarakat, tingkat kepadatan penduduk, kondisi fisik perumahan masyarakat, penggunaan sumber cahaya/penerangan, dan penggunaan sumber air bersih/minum yang dikonsumsi masyarakat). Sementara itu, dari sisi lapangan melalui teknik wawancara secara langsung untuk memperoleh data primer; maka faktor-faktor yang dianalisis adalah: tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pendidikan masyarakat, bidang pekerjaan utama, sarana perjalanan yang digunakan, peluang mendapatkan pekerjaan, status pemilikan rumah, kondisi fisik rumah, penggunaan sumber cahaya/penerangan, serta penggunaan sumber air bersih/minum. Analisis data sekunder dilakukan dengan uji korelasi r untuk mendapatkan tingkat korelasi. Selanjutnya, untuk menguji hipotesis kerja Ho: r=0 melawan H1: ro; dilakukan uji independensi dengan menggunakan distribusi Student t. Untuk tingkat kepercayaan a, dimana distribusi t yang digunakan mempunyai derajat kebebasan u=(n-2); maka hipotesis kerja Ho dapat diterima bila t(hitungan) berada dalam interval t(tabel). Data primer dianalisis melalui uji independensi antar 2 faktor dengan menggunakan prinsip asosiasi dalam daftar kontingensi (B)aris*(K)olom. Hipotesis H, yang mengindikasikan bahwa kedua faktor bebas statistik, akan ditolak, bila X2(hitungan) ~ X2(tabel) dalam tingkat kepercayaan a dan derajat kebebasan u untuk distribusi x2= (B-I)(K-1). Dalam hal lainnya, hipotesis H dapat diterima. Dinamika tata guna lahan, secara nyata, ditunjukkan pada peruntukan lahan perumahan, lahan perdagangan dan jasa, serta lahan pertanian dan tak tergarap. Kenyataan ini membuktikan, bahwa dengan adanya pembangunan jalan raya sepanjang ruas Pasar Minggu - Depok mengakibatkan peralihan fungsi peruntukan lahan; dari lahan pertanian dan tak tergarap menjadi lahan perumahan dan/atau lahan perdagangan dan jasa. Hal ini dapat dilihat dan tumbuhnya kawasan perumahan (terutama "real estate"); berikut sarana perdagangan dan jasa, yang merupakan kelengkapan koheren dari suatu gejala pengembangan wilayah. Perubahan indikator kualitas hidup masyarakat, secara nyata, dibuktikan melalui variabel tingkat pendidikan masyarakat, variabel tingkat kepadatan penduduk, serta variabel kondisi fisik perumahan masyarakat. Hasil pengujian ini mengindikasikan, bahwa pembangunan jalan raya (yang merupakan pra-sarana fisik dalam pengertian yang mendasar), merupakan faktor pemicu pertambahan penduduk. Bila dikaitkan dengan dinamika tata guna lahan, maka pertambahan penduduk ini merupakan masyarakat yang memperoleh pendidikan baik dan mereka menempati perumahan dengan kondisi fisik yang relatif lebih baik (bangunan permanen). Pelaku perjalanan (dalam hal ini ditinjau dari sarana perjalanan/transportasi yang digunakan), ditentukan oleh tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan bidang pekerjaan yang bersangkutan. Selanjutnya, sarana perjalanan/transportasi yang digunakan berkaitan dengan peluang untuk mendapatkan pekerjaan, status pemilikan rumah, kondisi fisik rumah, dan penggunaan sumber air bersih/minum.
ABSTRACT The aim of this research is to ensure the correlation between highway construction, which is usually followed by the changes of land use pattern, and the quality of life of the community. Study area was limited on Pasar Minggu and Jagakarsa regencies in the southern part of South Jakarta Metropolitan City and Depok Administrative City. This study is expected to yield some useful results for the considerations of highway design, including traffic engineering and management and regional planning purposes. The source of data being studied were of two kinds: the primary and secondary data. The factors studied from secondary data were of four variables of land use pattern (those were classified as: settlement, industrial, business and services, and agriculture and non-utilized land); and five variables of the quality of life of the community (those were represented by: educational level, population density, physical housing condition, electrical facility, and drinking water facility). While, the primary data obtained from field survey through direct interview were as follows: income level, educational level, main job/occupation, transportation/vehicle used, job opportunity, status of house ownership, physical housing condition, electrical facility, and drinking water facility. Data analysis obtained from secondary data were done by using correlation test r to obtain significance level of correlation a. In order to test hypothesis Ho: r=0 versus H1: r-0; an independent test was done by adopting Students t distribution method. For level of significance a and the degree of freedom u=(n-2), the hypothesis H0 could be accepted if t(observed) is between the interval of t(table). The primary data were analyzed by independent test between 2 factors, using the association principles in the L(ine)*(C)olumn contingency list. Hypothesis H, which indicates that two factors are statistically dependent, will be denied when X2(observed) X2(table) with level of significance a and the degree of freedom u for distribution of x2= (B-1)(K-1). On the other cases, hypothesis H could be accepted. The land use dynamics were being significantly showed on the usage of settlement, business and services, agricultural and non-utilized areas. These facts proved that the highway construction along the Pasar Minggu-Depok road resulted in the changes of the land use function; from the agricultural and non-utilized areas to the settlement and/or business and services areas. This phenomenon can also be seen from the growth of the housing area (especially real estate); including the business and services facilities, which are the coherent attribute of an indication of regional planning. The changes on indicators of the quality of life of the community significantly showed by the educational level of community, population density, and physical housing condition variables. The results of the test indicated that the highway construction (as basically physical infra-structure), become a trigger factor for population growth. If it was seen from the land use dynamics, this population growth is the community which is well educated people who live in the houses with relatively having a better physical condition (permanent buildings). The travelers (seen from the transportation/vehicle used) are dependent on their educational level, income level, and their main occupation. Furthermore, the transportation facility used is related to the job opportunity, ownership status of the house, physical housing condition, and drinking water facility.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Setyo Widianto Harungewaning Wirjaatmadja
Abstrak :
Permasalahan yang dihadapi oleh beberapa kota pada saat ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan populasi yang sangat pesat. Hasil Sensus Penduduk 1990 memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan penduduk perkotaan telah mencapai 5,38 % per tahun sementara laju pertumbuhan total hanya mencapai 1,98 % per tahun. Ini berarti laju pertumbuhan penduduk perkotaan jauh melebihi laju pertumbuhan total penduduk. Akibatnya, timbul permasalahan baik fisik lingkungan maupun social ekonomi. Hal inilah yang juga terjadi di Bekasi, sebuah kota kecil yang berdekatan dengan Jakarta. Kota administratif (Kotif) Bekasi, terletak di sepanjang akses yang terpenting di timur Jakarta dan merupakan ibu kota dari sebuah kabupaten yang telah berubah dari suatu daerah pertanian tenang menjadi salah satu pusat industri yang sangat sibuk. Ratusan hektar tanah pertanian prima telah berubah menjadi daerah industri hanya dalam waktu kurang dari satu dekade dan proses tersebut masih berjalan hingga saat ini. Selain itu, banyak jumlah pendatang baik yang mencari pekerjaan dan terutama kaum penglaju. tampaknya tidak dapat diimbangi oleh kemajuan/perkembangan struktur kota. Hal inilah yang mengganggu keserasian lingkungan hidup. Dengan anggapan adanya perkembangan diatas, penelitian struktur kota Bekasi ini dilakukan. Beberapa pertanyaan yang diharapkan dapat terjawab dalam penelitian ini adalah, seperti misalnya, apakah struktur kota Bekasi mengikuti pola kota industri barat atau bertahan dengan pola kota kolonial yang banyak ditemukan di Indonesia? Atau adakah kemungkinan kota ini memiliki suatu pola baru yang tersendiri ? Apakah struktur kota mempunyai kaitan dan pengaruh terhadap Iingkungan hidup perkotaannya Hasil pengkajian mengenai struktur kota dari penelitian yang bersifat "content analysis" ini, menunjukkan bahwa dari banyaknya pusat kota, Kotif Bekasi terlihat mempunyai struktur kota Multiple. Dari perletakan industrinya, Kotif Bekasi bercirikan struktur kota Multiple dan Sector. Perletakan industri yang ada di Kotif Bekasi rata-rata berada pada bagian arah Jakarta, ini mencirikan betapa kuatnya pengaruh Jakarta pada Bekasi. Namun demikian, seperti halnya kota-kota lainnya di Indonesia, Kotif Bekasi masih tetap bercirikan struktur kota kolonial, yaitu dengan adanya pemukiman kumuh yang terletak ditengah pusat kota. Pola harga tanah sebetulnya memusat, menyerupai pola Concentric, tetapi karena adanya pengaruh yang kuat dari Jakarta, maka harga tanah di Kotif Bekasi cenderung berorientasi kearah Jakarta. Sementara itu, hasil pengkajian keterkaitan struktur kota dan pengaruhnya terhadap lingkungan hidup perkotaannya, menunjukkan bahwa secara spatial, ternyata kegiatan industri di Kotif Bekasi tidak begitu menyita lahan ruang terbuka hijau. Yang paling banyak menyita justru kegiatan perumahan. Pada tahun 1985, perbandingan antara ruang terbuka hijau dengan perumahan adalah 3.296,99 hektar berbanding 5.063,22 hektar. Pada 1990 perbandingan tersebut menjadi 1.914,03 hektar berbanding 6. 472,3 hektar. Dengan merujuk pada batasan Iuas ideal ruang terbuka hijau sebesar 20 % dari luas seluruhnya IRDTRK Bekasi 1987), maka dapat dilihat terdapat satu kecamatan yang mempunyai nilai buruk, yaitu kecamatan Bekasi Timur, dimana lugs ruang terbuka hijaunya hanya sekitar 12,82 % dari lugs seluruh kecamatan. Tetapi dalam skala kota, Iuas ruang terbuka hijau diseluruh Kotif Bekasi masih mempunyai nilai baik, yaitu sebesar 21,6 %. Dalam mendapatkan nilai tingkat kesejahteraan yang merujuk pada kondisi perumahannya, dapat dilihat bahwa masyarakat di Kotif Bekasi rata-rata berada dalam tingkat kesejahteraan yang balk. Bahkan kecamatan Bekasi Selatan mempunyai tingkat kesejahteraan diatas rata-rata. ini artinya, perkembangan struktur kota di Kotif Bekasi membawa pengaruh yang dapat meningkatkan niiai kesejahteraan masyarakatnya Akhirnya, kesimpulan yang didapat dapat dirumuskan sebagai berikut; 1 Kesimpulan dari penelitian ini, sedemikian jauh menunjukan dengan jelas bahwa Bekasi mempunyai suatu struktur kota yang khan, yaitu berupa poia struktur kota tersendiri yang berbeda, tidak mengikuti poia kota industri barat dan tidak pula mengikuti poia tradisional kota kolonial yang masih banyak ditemukan di Indonesia. Ini berarti bahwa struktur kota ini tidak mencerminkan secara mumi salah satu teori-teori kota yang ada. Namun demikian, meskipun pada saat ini hasil penelitian tersebut diatas dapat dianggap benar, kita harus tetap beranggapan bahwa struktur kota Bekasi masih dalam proses pertumbuhan yang pesat, sehingga suiit untuk memperkirakan atau meramalkan pola struktur akhimya. 2 struktur kota rnempunyai kaftan dan pengaruh terhadap lingkungan hidup perkotaannya. Pada sisi lingkungan hidup alaminya, perkembangan struktur kota memberikan pengaruh yang mengkhawatirkan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir yaitu dari tahun 1985 sampai rahun 1990, pada wilayah Kotif Bekasi, terlihat adanya laju penurunan yang cukup besar pada luas ruang terbuka hijau kota. Namun demikian merujuk pada kondisi perumahannya perkembangan struktur kota tersebut memberikan dampak yang cukup positif dalam meningkatkan tingkat kesejaheraan penduduknya, (Seberapa jauh pengaruh tersebut, tentunya harus dilihat dari suatu studi yang khusus menganalisis mengenai dampak lingkungan atau AMDAL.)
The problems faced by many cities presently are mainly due to the fact that their population are growing at a rate much too fast. This is precisely what happened in Bekasi, a small town adjacent to Jakarta. Located along the most important eastern approach to Jakarta, the once sleepy farming community has presently become one of the busiest industrial centers of the country. Hundreds of hectares of prime agricultural land has been converted to industrial sites, primarily without the administrative limits of the city, during less than a decade and (the process) is still going on today. With industries, inevitably come along housing development and the construction of new roads and other public facilities, which occur mostly within the city limits. Although compensation to landowners are sufficiently adequate and resulted in the improvement of their standard of living, the number of jobseekers from other areas of the country is such, that the physical structure of the city does not seem to keep pace with progress, which is disturbing to the environmental equilibrium. It is with such development in mind, that the investigation of the structure of the city of Bekasi has been carried out. Does the structure of the city of Bekasi follow the pattern of Western industrial cities, or does it retain the pattern of colonial towns as it is usually found in older cities in Indonesia ? Or is there a possibility that it might show a completely new pattern which is truly it's own ? The result of the investigation so far shows clearly, that Bekasi shows to possess a distinct structural pattern of it's own. It neither follows the pattern of a Western industrial city, nor does it follow the traditional colonial city pattern, which is still commonly found in Indonesia. Although this might be true at the moment, one must keep in mind, that presently Bekasi is in the process of robust growth, which makes it rather difficult to predict it's eventual structural pattern.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustini Rahayu
Abstrak :
Penelitian terhadap tata ruang publik di seputar Bundaran HI, Jakarta Pusat dengan menggunakan analisis semiotik adalah sebuah wacana untuk mengungkapkan atau melakukan dekonstruksi pemikiran terhadap arti dan fungsi tata ruang publik dalam proses pemaknaan yang diberikan oleh masyarakat pemakai / pengguna. Dalam konteks produksi budaya, tata ruang publik, salah satu karya arsitektur tidak hanya mampu memenuhi hasrat dasar berkegiatan manusia dalam batas ruang yang dihasilkannya, tetapi juga mampu menyampaikan makna. Permasalahannya selama ini di dalam proses pemaknaan terhadap tata ruang publik seringkali terdistorsi oleh berbagai kepentingan penguasa yang lebih mendominasi daripada kepentingan publik. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa tata ruang publik, acap kali mengalami pergeseran makna. Padahal secara jelas tata ruang publik itu dilihat dari fungsi tradisionalnya dasar perancangan dan pembentukannya adalah untuk kepentingan publik dengan penonjolan identitas ataupun keunikan ekologinya. Di tengah permasalahan yang telah terkonstruksi, perkembangan Jakarta sebagai sebuah kota megapolitan telah membawa perluasan terhadap fungsi dan peranan ruang publik. Sebelumnya ruang publik diandaikan sebagai ruang terbuka, kini ruang publik memiliki makna kultural dan politiknya sekaligus. Ruang publik di Jakarta tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Berangkat dari permasalahan yang memiliki kompleksitas tinggi, pertanyaan penelitian yang muncul adalah bagaimanakah masyarakat memaknai tata ruang publik di seputar Bundaran Hotel Indonesia sebagai penentuan identitasnya? Sejauh mana proses pemaknaan tata ruang publik di seputar Bundaran Hotel Indonesia dapat merepresentasikan gaya hidup dan pola komunikasi masyarakat urban? Sejauh mana tata ruang publik sebagai produk kebudayaan yang telah mengalami perubahan ditentukan oleh budaya dominan? Dengan menggunakan paradigma kritis, lebih spesifik lagi melalui pendekatan post strukturalis peneliti berusaha melakukan dekonstruksi dengan tujuan untuk mengungkap cara-cara pemaknaan masyarakat terhadap tata ruang publik di dalam menentukan gaya hidup dan pola komunikasi para pengunjungnya. Dari analisis semiatik terhadap ruang publik Plaza Indonesia Entertainment X'nter (Plaza eX) di Jakarta Pusat yang mengasumsikan representasi identitas Masyarakat Urban, maka dapat disimpulkan bahwa : Bangunan berfungsi sebagai cermin, yang merefeksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Bangunan Plaza eX memiliki nilal intensional, untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Masyarakat pengguna terlibat dalam proses pemaknaan, masyarakat masuk pada tahapan kognisi dengan mengkonstruksi makna lewat karya arsitektur melalui gaya hidup dan pola komunikasinya. Ada perbedaan orientasi nilai yang dianut oleh penguasa di dalam mempengaruhi dan menjelaskan sikap para arsitek dalam menangani suatu bangunan. Menitikberatkan sejarah ruang di atas sejarah waktu dalam merajut kembali hubungan karya arsitektur dengan keadaan politik dan sosiai budaya bangsa dan negara Indonesia, meletakkan bahasannya dalam ruang nyata, serta berucap melalui bangunan dart bingkaiannya. Kehidupan manusia berlangsung dalam ruang sarat raga yang dibingkai oleh arsitektur. Dengan memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan penelitian pembongkaran pemikiran ini, maka dapatlah dipahami bahwa tata ruang publik sebagai tempat masyarakat bertemu, berkumpul dan berinteraksi, di dalam prosesnya mendorong perilaku kehidupan sehari-hari pengunjung sebagai masyarakat urban Jakarta. Sementara proses enkulturasi (pembudayaan) dari nilainilai yang terlembaga melalui pemanfaatan jalan dan fasilitasnya sebagai tata ruang publik, maka di samping fungsi tradisionalnya sebagai tempat pertemuan, melalui ruang publik dapat merepresentasikan para pengguna yang mewakili warga kota ke arah identitas masyarakat urban. Sebagai rekomendasi akademis, bahwa konsep tata ruang publik yang menjadi perhatian dari displin arsitektur, di dalam masyarakat memiliki fungsi, tidak sekedar struktur fisik sebagai tanda yang memiliki makna tertentu. Tanda ini menyiratkan sikap dan perilaku, bahkan ekspresi dari seseorang. Dari elaborasi ini, maka secara kontekstual proses perubahan kognisi, sikap dan perilaku seseorang sangat terkait dengan disiplin komunikasi khususnya dalam mewujudkan representasi identitas masyarakat urban. Dengan demikian usaha untuk melihat bahwa ilmu komunikasi yang merupakan bagian dari disiplin yang berpijak pada persoalan sosial atau bagian ilmu sosial, bisa didekati melalui kajian budaya, sebagai sesuatu yang melekat dalam diri manusia sebagai mahluk sosial.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14267
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safitri
Abstrak :
Setiap individu menggunakan ruang kota dengan cara yang berbeda. Begitu juga setiap lapisan dan golongan masyarakat menggunakan ruang kota dengan cara yang berbeda pula. Penyalahguna narkotika dan psikotropika bagian dari warga kota yang menggunakan ruang kota. Bagaimana karakteristik ruang yang mereka gunakan? Pertanyaan itu menyebabkan saya memutuskan untuk meneliti masalah ini. Agar mendapatkan karakteristik ruang untuk membeli dan mengonsumsi narkotika dan psikotropika di Jakarta, maka harus diketahui kognisi penyalahguna tentang ruang kota. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara tidak terstruktur, menggambar, dan mendeskripsikan ruang yang didapatkan dari tuturan informan. Informan kunci berasal dari pasien yang rawat inap di ruang detoksifikasi RSKO, RS Fatmawati. Kriteria informan adalah laki-laki, sudah mengonsumsi narkotika dan psikotropika lebih dari 5 tahun, berumur 16 - 36 tahun, dan dirawat lebih dari 3 hari (untuk menghilangkan ketegangan fisik dan psikis), dan mengonsumsi narkotika (heroin) dan psikotropika (sabu-sabu dan ekstasi). Dari hasil penelitian selama 1 bulan (Desember 2004) saya menemukan bahwa penyalahguna mampu mengingat kembali lokasi membeli narkotika dan psikotropika, yaitu (1) lokasi yang sama (tempat untuk membeli narkotika dari psikotropika selalu sama) (2) lokasi yang berpindah-pindah (tergantung kesepakatan antara penyalahguna dan bandar). Karakteristik lokasi yang sama berupa kawasan pemukiman golongan menengah-bawah, ada warung, tukang ojek, banyak jalan/gang, ruang umum, ruang kosong antar bangunan, dan ruang yang tersembunyi dari bangunan/mobil. Sedangkan lokasi yang berpindah-pindah terdapat ruang untuk menunggu, ada acuan (landmark), dan penyalahguna mudah mengawasi lingkungan di sekitarnya. Mereka mampu mengingat lokasi dan rute perjalanan menuju lokasi, lengkap dengan acuan, persimpangan, jalan, kawasan. Bila lokasi itu didatangi berkali-kali, ada kejadian yang memberikan kesan di lokasi itu, dan keinginan yang kuat untuk mengonsumsi narkotika dan psikotropika. Sedangkan lokasi yang hanya didatangi sesekali dan diantar oleh teman, mereka hanya mengingat kawasannya saja. Ruang yang digunakan untuk mengonsumsi narkotika dan psikotropika tergantung dari jenis zat, cara mengonsumsi, dan efek yang ditimbulkannya. Penyalahguna mengonsumsi di dalam rumah dan di luar rumah (ruang umum). Penyalahguna yang mengonsumsi di dalam rumah menggunakan ruang tertutup dan ruang terbuka. Penyalahguna menggunakan ruang untuk membeli dan mengonsumsi narkotika dan psikotropika, yang juga digunakan oleh bukan penyalahguna. Mereka menggunakan ruang umum dan menjadikan sarana dan fasilitas umum untuk tempat bertransaksi. Penyalahguna dapat memenuhi kebutuhannya untuk mengonsumsi narkotika dan psikotropika, bila mereka menjalin hubungan baik dengan bandar, keluarga, sesama penyalahguna, dan bukan penyalahguna. Jika membeli narkotika dan psikotropika untuk pertama kali, penyalahguna harus diantar oleh teman atau orang yang mengetahui keberadaan bandar. Konstribusi penelitian ini bagi pengelola kota adalah memberikan masukan dalam membuat program penangganan masalah penyalahguna narkotika dan psikotropika di ,perkotaan. Untuk perencana/perancang kota, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menata ruang kota.
Individuals look at urban spaces differently to one another and it is also (rue in the case of social stratifications and groups. Narcotic and psychotropic drugs abuse, on the other hand, arc one way the inhabitants of a city utilize the urban space. What is the characteristic of space used for such an illegal transaction? What is their cognition on such spaces? These are the main questions that leads me towards this research. My focus is on the aspect of cognition within those who either conduct illegal transaction on narcotic and psychotropic drugs or consume them while my ultimate main is to search tier the characteristic of spaces used for such illegal actions. This research employs qualitative approach using unstructured interviews with the informants to picture and describe the space in questioned. Key informants are male patients under treatment at detoxification ward of the RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat or Drug Addictive Hospital) Fatmawati. They have consumed narcotic and psychotropic drugs for at least 5 years and their ages are between 16 - 36 years old. They have been at the ward for more than 3 days to reduce their physical and emotional tension due to the consumption of narcotic (i.e.: heroin), and psychotropic, amphetamine (i.e.: sabu-sabu and ecstasy). Within 1 month of observation in December 2004, I have found out that these informants were able to recall locations they used to go for the drugs. These locations are either permanent or moveable according to the deal between them and the suppliers. The permanent locations are either housing complexes for low-income communities having many waning (kiosks) or the nearby tukang ojek (motorcycle taxis) or gang (narrow alleys), public areas, space between buildings and hidden places behind cars or buildings. The moveable ones are those that provide unseen waiting corners and a landmark where they may easily watch the surrounding. These informants were also able to recall the routes toward permanent locations along with references such as the crossroads, name of streets and areas whereas for the moveable locations they were able to remember the areas only. The places to consume are depending on the drugs, means of consuming and effects being experienced soon after taking the drugs. These may be taking place at homes or in public areas and in the case of outside consuming; they would use both of a close and open areas within physical and social terms of it. Deliberately, these informants even used common public areas for the transaction and consuming the drugs. The informants must have a good relation with the suppliers and other drugs addicts in order to get the drugs. including their families and those who are not addicted to drugs. However, they must be taken by particular person to meet the suppliers in their first acquaintance with narcotic and psychotropic drugs. This research contributes inputs to the Municipal Governments in tackling problems of illegal drugs trafficking and consuming in the respected cities. Town planners and urban designers. on the other hand, may take the result of this research as part of their consideration in conducting their professions.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15273
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvi Efrini AS
Abstrak :
Tesis ini bertujuan untuk mengungkapkan permasalahan keterbatasan ruang yang dihadapi oleh perempuan di tingkat hunian dan lingkungan dan dampaknya terhadap kualitas hidup perempuan, ditinjau dari peran perempuan (peran produktif, reproduktif, sosial dan kemasyarakatan), khususnya perempuan yang berada di permukiman kumuh padat Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan suatu desain studi kasus yang menghasilkan gambaran menyeluruh permasalahan keterbatasan ruang yang dihadapi oleh perempuan di permukiman kumuh padat dan dampaknya terhadap kualitas hidup perempuan. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dan informasi adalah pengamatan lapangan langsung dan wawancara semi terstruktur. Informan dalam penelitian adalah perempuan dewasa yang mempunyai lebih dan satu peran perempuan. Penelitian difokuskan pada perempuan yang tinggal di permukiman kumuh padat yang mempunyai ekonomi menengah ke bawah di RW 01, 03, dan 08 Kelurahan Kramat. Dari hasil penelitian ini terungkap bahwa perempuan mengalami permasalahan keterbatasan ruang di tingkat hunian dan lingkungan, yang disebabkan oleh kepadatan, keterbatasan fungsi ruang dari segi bentuk, ukuran dan pemanfaatannya, keterbatasan pencahayaan dan penghawaan, dan keterbatasan fasilitas lingkungan. Berdasarkan analisis ruang kota (teori Goad City Form) permasalahan yang dihadapi perempuan ini menunjukkan bahwa perempuan tidak mendapatkan kebutuhan dasar yang layak dari sebuah permukiman, terbatas dalam akses dan kontrol terhadap ruang, dan tidak ada kesesuaian antara ketersediaan ruang dan kebutuhan kegiatan. Keadaan ini berdasarkan analisis gender mempengaruhi peran perempuan, dan menimbulkan dampak ketidakadilan gender terhadap perempuan yang dapat menyebabkan marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban kerja berlebih. Permasalahan keterbatasan ruang yang ada di human dan lingkungan menimbulkan dampak terhadap kualitas hidup perempuan ditinjau dari aspek spasial. Crowding, teritorialitas, privasi dan ruang personal, keamanan, kenyamanan, kesehatan, interaksi sosial, home range dan jelajah ruang geografis mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peran perempuan. Kualitas hidup dari tinjauan spasial ini mempengaruhi peran perempuan, antara lain kualitas dalam merawat dan membesarkan anak, kualitas kesehatan reproduktif perempuan, dan kualitas interaksi sosial di lingkungan.
This thesis aims at capturing the problem of limitation of space in housing and neighbourhood levels that is faced by women who live in dense slum settlement and its implication on the quality of life of women in term of their triple roles: productive, reproductive and community. The research employed qualitative method through a case study design that thoroughly describes the quality of life of women in crowded slum settlement. Data and information in this research is collected by field observation and semi-structured interview. Informant in this research are mature women with a consideration that these women already take some responsibilities of their roles. The research location is focused on 3 RW of Kramat Sub Districts, where low income women live in dense slum settlement. This research explains that women suffer of space limitation in housing and neighbourhood levels because of crowding, inappropriate of space, insufficient of healthy air, and lack of environment facilities. According to criteria of urban space for human settlement (Good City Form Theory) this condition explains that women cannot achieve basic need for adequate livelihood, sufficient access and control of space, and proper space for activities. These condition according to gender analysis affect women's productive, reproductive and community roles and have implication on gender inequality on women: marginalization, subordination, burden, and violence. Space limitation has implication on the quality of life of women. Crowding, territoriality, -privacy and personal space, safety; comfortable, social interaction and home range have significantly affected furthermore confine women roles, especially for the proper quality in child bearing and rearing, family's health and social interaction.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T20209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>