Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Hisbaro Muryantoro
Abstrak :
Gereja Puh Sarang yang dibangun oleh Ir.Hericus Maclaine Pont pada tahun 1936 merupakan bangunan gereja yang bercorak Hindu - Jawa.Maclaine mampu memadukan gaya arsitektur pada bangunan gereja yang melambangkan unsur-unsur kebudayaan lokal baik corak,persiapan materi dan pengerjaan bangunan yang melibatkan penduduk setempat....
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2008
PATRA 9(3-4) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jacobs, Tom
Yogyakarta: Kanisius , 1992
260 JAC g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Kanisius, 1988
260 GER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Goddijn, Walter
Amsterdam: Elsevier, 1975
262.001 7 GOD d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Burdam
Abstrak :
"Konflik Otonomi Gereja di Minahasa (1915-1979)", yang dikaji dalam penulisan ini, difokuskan pada masalah; "Gereja dan politik". Gereja sebagai organisasi mempunyai pemimpin, dan dalam mekanisme kerjanya (walaupun hierarkis), seharusnya berorientasi pada keadilan bagi umatnya, termasuk kaum intelektual dalam konflik ini. Tetapi, kenyataannya gereja tidak mampu berlaku adil bagi umatnya, sehingga kaum intelektual menuntut otonomi gereja Protestan di Minahasa kepada Indische Kerk atau Gereja Protestan Indonesia. Politik dalam konflik ini adalah wawasan kebangsaan dalam konteks pergerakan Indonesia dari kaum intelektual, yang mempengaruhi perjuangan mereka, sehingga mereka menolak campur tangan pemerintah kolonial dan Indische Kerk dalam usaha membentuk gereja otonom di Minahasa. Usaha itu dilakukan pertama kali oleh Lambertus Mangindaan, dan kemudian Joel Walintukan pada akhir abad ke-19, yang sifat perjuangannya perorangan. Perjuangan itu, kemudian diteruskan pada awal abad ke-20, dalam bentuk kelompok, yaitu kelompok kepala-kepala kampung di Minahasa pada tahun 1902, dan kelompok Majelis Gereja (kerkeraad) di Manado, sejak tahun 1911. Perjuangan mendirikan gereja otonom di Minahasa dengan menggunakan "organisasi" baru dilakukan guru-guru zending melalui pembentukan perserikatan "Pangkal Setia", pada bulan Mei 1915 di Tomohon Minahasa. Pada tahun 1920-an, terjadi penyatuan perjuangan antara guru-guru zending, majelis gereja, dan tokoh masyarakat dalam wadah organisasi Pangkal Setia. Bahkan pada tahun 1930-an, bergabunglah politisi nasional asal Minahasa, dalam perjuangan mewujudkan gereja otonom di Minahasa. Kelompok ini, dalam penulisan ini disebut "kaum intelektual,? yang berkonflik dengan Indische Kerk (GPI). Permasalahan dalam penulisan ini, adalah "bagaimana pengaruh politik kolonial Belanda dalam Indische Kerk dan dampaknya pada kepentingan kaum intelektual di Minahasa?" Lebih khusus, "pengaruh kekuasaan Indische Kerk terhadap status dan hak kaum intelektual Minahasa dalam kehidupan gereja?". Permasalahan ini, kemudian dirumuskan sebagai berikut: "mengapa terjadi konflik otonomi gereja antara kaum intelektual dengan Indische Kerk di Minahasa?" dan "mengapa konflik otonomi gereja itu berlangsung begitu lama antara tahun 1915-1979?". Tujuan penulisan ialah menemukan faktor penyebab terjadinya konflik, dan menjelaskan wawasan perjuangan kaum intelektual dalam konflik otonomi gereja di Minahasa, serta faktor-faktor penyebab lamanya konflik itu. Manfaat penulisan, untuk mengisi kesenjangan yang terjadi dalam penulisan sejarah Minahasa dalam kurun waktu yang dikaji, terutama peran kaum intelektual dalam konflik otonomi gereja. Pendekatan dalam penulisan adalah pendekatan Strukturis dari Christopher Lloyd, dengan metode pengumpulan data ialah metode sejarah oleh Marc Bloch, dan eksplanasi fakta menggunakan teori "Collective Action" oleh Charles Tilly, proactive collective action dari tiga macam polity model dalam teori tersebut. Sumber data diperoleh dari arsip GMIM (terutama surat-surat rahasia tentang konflik tersebut), naskah-naskah dari KGPM, Arsip Nasional Republik Indonesia, wawancara dan literatur lain yang berkaitan. Konflik ini didorong oleh kepentingan kelompok, yaitu "status dan hak", dari guru-guru zending, guru jemaat, dan majelis gereja yang diabaikan dalam struktur kerja Indische Kerk di Minahasa. Akibatnya, mereka berjuang menuntut persamaan dengan pegawai, terutama sesamanya Inlands Leraar (Guru Injil) dalam lingkungan Indische Kerk. Untuk mendapatkan dukungan dari massa, maka perjuangan itu dikaitkan dengan persoalan tuntutan "otonomi gereja di Minahasa". Mereka juga mendapatkan dukungan dari politisi nasional asal Minahasa pada tahun 1930-an, seperti Sam Ratulangi, Dr. R. Tumbelaka, dan Mr. A.A. Maramis. Dengan dukungan itu, maka 11 Maret 1933 di Manado, dibentuklah Badan Pengurus Organisasi Gereja. Badan ini, diketuai Joseph Jacobus dan B.W. Lapian, sebagai sekretaris. Selanjutnya, Badan ini mendeklarasikan berdirikannya "Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM)", pada 21 April 1933 di Manado. Menyusul berdirinya KGPM, maka pemerintah kolonial dan Indische Kerk, merestui berdirinya "Gereja Masehi Injil Minahasa (GMIM), pada 30 September 1934 di Tomohon Minahasa. Persoalan konflik setelah berdirinya GMIM, diwarnai oleh latar sejarah dari kedua gereja, sedangkan sesudah kemerdekaan Indonesia, konflik lebih disebabkan masalah politik, yaitu gereja yang para tokoh pejuangnya, adalah berjiwa nasionalis Indonesia (KGPM), dan gereja yang merupakan hadiah atau warisan penjajah Belanda (GMIM). Akibat dari pandangan yang berbeda itu, maka konflik berlangsung secara tertutup, dan sulit untuk mempertemukan kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik tersebut. Causal factor, "konflik otonomi Gereja di Minahasa", adalah orientasi diri orang Minahasa, yang pada umumnya cenderung memproyeksikan diri sebagai "pemimpin", karena dengan menjadi pemimpin, maka status mereka lebih tinggi dari sesamanya, sehingga dihargai dan disapa dengan "boss". Ironisnya, orientasi ini kemudian dibawa ke dalam kehidupan gereja, sehingga jabatan dalam organisasi gereja diperebutkan setiap individu yang ingin mengaktualisasikan diri sebagai "pemimpin" atau "pejabat". Akibatnya, fungsi jabatan pejabat gereja, yang adalah "pelayan" atau "hamba", dalam melayani jemaat, dijadikan jabatan demi status, hormat, dan materi. Di samping itu, karena pengaruh "pietisme" dari para Zendeling di Minahasa, yang tidak mempedulikan masalah organisasi dalam pekerjaan gereja.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T901
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Purwanto
Abstrak :
ABSTRAK


Gerakan Pembaharuan Karismatik Katolik merupakan gerakan yang paling cepat pertumbuhannya dalam Gereja Katolik. Tujuan utama gerakan ini adalah untuk menghidupkan kembali peranan karisma-karisma Roh Kudus dalam kehidupan Gereja. Wujud nyata dari gerakan ini adalah terbentuknya kelompok-kelompok persekutuan doa pembaharuan karismatik di Paroki. Kegiatan utama kelompok persekutuan doa adalah penyelenggaraan acara persekutuan doa secara rutin. Studi ini berusaha untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong muncul, bertahan dan berkembangnya kelompok persekutuan doa serta untuk mengetahui sejauh mana kelompok tersebut telah mencapai tahap institusionalisasi.

Dengan menggunakan teori Berger-Luckmann dan metodologi penelitian kualitatif, studi ini difokuskan pada kelompok persekutuan doa Maria Bunda Perantara dan Fransiskus Asisi yang bertempat di Paroki Maria Bunda Perantara dan Paroki Hati Kudus, Keuskupan Agung Jakarta.

Hasil studi menunjukkan bahwa kelompok persekutuan doa bisa muncul, bertahan dan berkembang karena kelompok ini mampu memenuhi kebutuhan individu para anggotanya akan keselamatan. Orientasi gerakan pembaharuan karismatik katolik yang tidak menolak atau mengubah dunia (tatasosial yang ada), memudarnya bentuk kehidupan komunitas dan kurangnya intensitas interaksi antara para fungsionaris Gereja Katolik dengan umatnya merupakan faktor yang bersifat konduksif bagi muncul, bertahan dan berkembangnya kelompok persekutuan doa. Hasil studi juga menunjukkan bahwa telah ada proses habitualisasi dan tipifikasi maknamakna dunia pembaharuan karismatik di antara para anggcta kelompok persekutuan doa. Namun demikian, kelompok persekutuan doa belum mencapai tahap institusionalisasi. Kelompok persekutuan doa belum menjadi institusi.
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doy, Clemens
Abstrak :
ABSTRACT
In the classic study of revolution, The Anatomy of Revolution, by Crane Brinton, (Vintage Books, New York, 1938/1952), the author identified a number of uniform factors as a cause of all great revolutions. In my study of black liberation and the role of the black church, I have focused on three of those uniform factors associated with liberations in history because they seem to surface repeatedly in the subject of the role of the black church in black liberation. These three uniformities are Leadership, Organization, and Ideology, and to be more specific, my hypothesis is that BY AND THROUGH THE BLACK CHURCH, ESPECIALLY THROUGH ITS IDEOLOGY, ORGANIZATION, AND LEADERSHIP, BLACKS EVENTUALLY SUCCEEDED IN LIBERATING THEMSELVES IN AMERICA. This tentative statement will be proved by the data which I obtain from the books I have read in libraries. The hypothesis is in line with the topic of the paper.
The reason I chose this topic is:
1. It is and was a fact that in the black community the church is the only. legitimate institution by and
through which the blacks are and were improved.
2. The church allows opportunities for training in leadership and independence.(McPherson,1972:81).This means that the church provides opportunities for black clergies to preach, and their preachings in.-the church reflect their leadership, and. serve as a training ground to air their independent thought to lead their people to gain independence.
3. The church functions as the "fountainhead" for the improvement of blacks' social life.(Thompson, 1986: 98).

All the great revolutions of history required all three factors in a well-developed stage. In my readings on the Black Church in American history, it too seems to focus on these same three factors.

Definition of terms:

According to the Grolier International Dictionary, the terms "ideology", "organization", and "leadership" are explained as follows:

Ideology is "the body of ideas reflecting the social needs and aspirations of an individual, group, class, or culture" (William Morriss, 1981: 654). Organization is "a number of persons or groups having specific responsibilities and united for some purpose or work" (Morriss, 1981 ; 926). Leadership is "capacity to be a leader; ability to lead; whereas a leader is one in command of others, or The head of political party or organization; or One who has an influential voice in polities" (Morris,
. 1981: 743)

What I would like to show is how the above three concepts were used by Black Leaders over time in order to form a successful black liberation movement in the United States.

Leadership: It was explained that leaders of a revolution are "often of striking respectability and excellent social standing" (Brinton, 1952:1067107). They are not political innocents; instead, "they have experience in leading organizations and even' pressure groups"(. Brintan, 1952: 109-110).
As men in their thirties and forties, "they are not newcomers to the world. They are idealists with a streak of realism. The men who act as political prophets are usually "men of words" who are gifted orators" (Brinton,
1952: 124) and "are skilled in the teaching of propaganda" (Brinton, 1952: 163-164). Despite their idealism, they are also capable of "managing organizations which can get things done" (Brinton:1952:166).They seek "to spread their
liberating gospel" (Brinton, 1952: 202) and are convinced that "they are the elect who are destined to carry out liberating will of God" (Brinton, 1952: 203).
Organization: It is argued that revolutions are "the product of careful organization and propitious circumstances" (Brinton,1952: 90). The key to the success of revolutions "lies in their monopoly of control over liberating organizations" (Brinton, 1952:156), Without organizations capable of "collecting the funds, followers, and attention for their political cause, there can be no revolution" (Brinton, 1952: 164,151).

Ideology: All revolutionary movements need "... an ideology, symbols, or myth" (Brinton, 1952: 49)?Revolutions are about ideals and dreams. Brinton says, "Revolutions contrast the current illegitimate, existing world with the good and inevitable world of the world to come" (Brinton, 1952: 150)?
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
J. Loekito Kartono
Abstrak :
BAB I PENDAHULUAN Religi dan upacara religi merupakan salah satu sistem keyakinan yang hidup dalam masyarakat manusia sejak masih dalam bentuk yang sederhana dan primitip. Sistem ini timbul karena manusia yakin adanya kekuatan supranatural, mahluk harus (roh) dan akan adanya kelangsungan hidup jiwa manusia sesudah tubuh jasmaninya meninggal ( Koentjaraningrat, 1987 _ 57-65 ). Dalam upacara religi biasanya dibutuhkan bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti : tempat/gedung pemujaan (arsitektur), patung, alat bunyi-bunyian serta pakaian yang harus dikenakan karena dianggap suci. Arsitektur yang berfungsi sebagai prasarana upacara religi, pada hakekatnya mengungkapkan ruang yang akan digunakan untuk menampung kegiatan manusia, baik secara fisik maupun psikis, dengan maksud agar manusia dapat berbahagia,serta mempunyai perwujudan nyata sebagai sebuah bangunan (Romondt, 1954 3 ). Dari segi kepercayaan dan agama ada 2 jenis konsep ruang. Pertama ialah ruang yang sudah "dikonsekrasikan" ( disucikan ) dan disebut sebagai ruang kudus (sacred), yakni ruang yang mereka diami dan dikenal sebagai dunia yang sudah teratur. Sedangkan ruang yang lain adalah ruang tidak kudus ( profan ), yakni ruang yang dianggap tidak mempunyai keteraturan, tidak berbentuk dan khaos. Maka yang menjadi pembeda utamanya adalah masalah kekudusan dari suatu ruang ( Eliade,1959 : 20-24 ). Menurut Vitruvius, suatu karya arsitektur harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu : Commoditas ( komoditi ), Firmitas ( kekokohan ) serta Venusitas ( keindahan ). Jadi dalam mendisain bangunan sebagai kelengkapan upacara keagamaan, masyarakat tidak dapat mengabaikan aspek keindahan ( estetika ), disamping aspek-aspek yang lain. Berbicara mengenai disain ( mulai dari proses imajinasi, implementasi dan pengkajian ulang ) ( Zeisel, 1984: E ) manusia akan selalu terlibat sesuai dengan peranan serta pengetahuan masing-masing individu, sebab design is everybody's bussiness (Grillo,1960:9,26). Adapun hasil dari disain tiap individu ( designer ) akan selalu berbeda-beda. Karena sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan budaya yang telah dimiliki maupun aspirasi yang hidup dalam pribadi masing-masing. Dalam masyarakat tradisional, pembuatan bangunan/ disain dilakukan secara berkelompok (jarang sendiri), dengan bantuan seorang perancang (seorang yang dianggap tua dan memiliki pengetahuan tertentu) atau secara kolektip serta didahului dengan berbagai upacara-upacara ritual ( Rykwert,1981 : 14-22 ). Ada beberapa fungsi bangunan menurut arsitek-arsitek Hiller, Musgrove dan O'Sullivan ( 1972 ) antara lain 1. Sebuah bangunan adalah suatu perubah iklim dan " saringan " lingkungan yang komplek. Manusia pada hakekatnya akan selalu berusaha untuk beradaptasi terhadap lingkungannya, baik secara tingkah laku, fisiologis maupun secara genetis dengan bertahap ( Moran,1979: 65-103 ). Salah satu bentuk perwujudan adaptasi tingkah laku manusia dalam menghadapi pengaruh lingkungan alam seperti hujan, matahari, suhu, salju, topografi, keadaan tanah serta pengaruh flora dan fauna, ialah membuat suatu lingkungan khusus di sekitar dirinya yaitu sebuah bangunan. Atap, dinding dan lantai bangunan diharapkan mengurangi pengaruh suhu serta melindungi dari hujan, salju dan angin. Jendela (pembukaan) untuk memasukkan cahaya agar menerangi bagian dalam dan memberikan kesegaran untuk bernafas. Jadi lingkungan buatan manusia ini merupakan suatu bentuk perwujudan adaptasi untuk mengurangi stress climatic agar tercipta lingkungan " micro climate " yang sesuai dengan tuntutan tubuh untuk memudahkan proses homeostasis?.
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T3420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paul Rakmeni
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini adalah hasil penelitian tentang Assessment Awal terhadap masyarakat oleh Pathfinder sebagai anggota jemaat Gereja Advent bersama Adventist Development and Relief Agency (ADRA) sebagai Organisasi Sosial Berbasis Keagamaan dari Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh guna meningkatkan kesejahteraan sosial warga masyarakat di lingkungan Gereja Advent Depok Baru melalui program I’M ADRA Project. Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan Assessment Awal dalam kegiatan sosial kemanusiaan, kemudian menggambarkan faktor pendorong dan penghambat dari Assessment Awal tersebut. ini adalah penelitian kualitatif dengan desain diskriptif.
ABSTRACT
This thesis is a study about Faith-Based Organization that is Adventist Development and Relief Agency as part of Seventh-day Adventist Church (SDAC) organization in cooperation with the adventist church members especially Adventist youth and adolescent (Pathfinder Club) to make needs Assessment for community in Depok Baru SDAC area with I’M ADRA Project. The purpose of this study to describe need Assessment process in social humanity activity, then discribe the driving and inhibiting factors in this partnership. This research is a descriptive qualitative research design.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>