Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maggadani, Baitha Palanggatan
Abstrak :
N-asetilglukosamin merupakan monosakarida derivat glukosa yang memiliki banyak fungsi dan terdapat secara luas dalam sistem tubuh manusia. Nasetilglukosamin dimanfaatkan secara luas baik dibidang kesehatan maupun kosmetik. Produksi N-asetilglukosamin secara enzimatis menggunakan kitinase yang salah satunya dapat diisolasi dari bakteri relatif lebih ramah lingkungan dan menghasilkan rendemen yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimal produksi N-asetilglukosamin secara hidrolisis enzimatik menggunakan kitinase yang diisolasi dari bakteri. Seleksi dilakukan terhadap sembilan kultur koleksi BPPT untuk mendapatkan isolat potensial yang dapat menghasilkan kitinase dengan aktivitas terbaik dan dapat menghidrolisis kitin menjadi N-asetilglukosamin dengan rendemen tertinggi. Diantara isolat tersebut, BPPT CC 2 menunjukkan aktivitas kitinase terbaik serta dapat menghidrolisis substrat koloidal kitin dan menghasilkan N-asetilglukosamin dengan rendemen tertinggi. Produksi N-asetilglukosamin menggunakan kitinase BPPT CC 2 dioptimasi pH, suhu, konsentrasi substrat dan enzim serta lamanya inkubasi. Rendemen N-setilglukosamin tertinggi sebanyak 99,41% didapatkan dari hidrolisis 3% substrat koloidal kitin dengan 0,2 U enzim pada kondisi pH 6,0 dan suhu 500C selama 5 hari. Hasil ini mengindikasikan bahwa kitinase dari BPPT CC 2 dapat digunakan untuk biokonversi kitin menjadi N-asetilglukosamin dengan rendemen yang tinggi untuk kepentingan industri.
Abstract
N-acetylglucosamine is a monosaccharide derivative of glucose that serve a number of functions and are widely distributed throughout the human body system. N-acetylglucosamine posses benefit as a nutritional supplement for therapeutic usage and also in cosmetics. Enzymatic hydrolysis using chitinase isolated from bacterial, as one of the enzyme source, produce high yield N- acetylglucosamine and environmental friendly. This research is aimed to achieve optimum condition for N-acetylglucosamine production by enzymatic hydrolysis using bacterial isolated chitinase. Nine isolates from BPPT culture collection was selected to get the most potential isolate, which produced chitinase with best activity and able to hydrolyze colloidal chitin resulting high yield of N- acetylglucosamine. Among those isolates, isolate BPPT CC 2 showed the best chitinase activity and able to hydrolyze colloidal chitin substrate resulting high yield of N-acetylglucosamine. Production of N-acetylglucosamine with BPPT CC 2 chitinase was optimized by adjusting its pH, temperature, substrate and enzyme concentration, and also time of hydrolysis. The yield of 99,41% as maximum production of N-acetylglucosamine was obtained by hydrolysis of 3% substrate colloidal chitin with 0,2 U chitinase after 5 days of incubation on pH 6,0 and temperature of 500C. This result suggest that crude chitinase produced by BPPT CC 2 could be useful for bioconversion of chitin into high yield N- acetylglucosamine for industrial application.
Universitas Indonesia, 2012
T31002
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deden Rosid Waltam
Abstrak :
ABSTRAK Proses ekstraksi kitin di industri dilakukan secara kimiawi, proses ini dapat memberikan dampak negatif terhadap kualitas kitin, peralatan dan lingkungan. Akhir-akhir ini penelitian ekstraksi kitin secara biologis banyak dikembangkan. Ekstraksi kitin secara biologis telah banyak diteliti, baik melalui sistem fermentasi batch atau subsequent-batch. Proses demineralisasi dan deproteinasi secara kontinyu merupakan inovasi baru dalam teknologi produksi kitin secara biologis, serta dapat mengatasi kekurangan pada sistem fermentasi batch maupun proses kimiawi. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan kondisi optimum proses demineralisasi dan deproteinasi kulit udang vannamei (P. vannamei) secara kontinyu, menggunakan mikroba Lactobacillus acidophilus FNCC 116 dan Bacillus licheniformis F11.1. Prosedur penelitian dibagi dalam beberaba tahapan. Tahap pertama, pada 12 jam pertama dilakukan demineralisasi secara batch, dilanjutkan demineralisasi secara kontinyu selama 36 jam. Tahap kedua, pada 24 jam pertama dilakukan deproteinasi batch, dilanjutkan deproteinasi kontinyu selama 72 jam. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kondisi terbaik untuk proses demineralisasi secara kontinyu, adalah umpan glukosa 6,5% dan waktu tinggal 16 jam. Untuk proses deproteinasi secara kontinyu adalah waktu tinggal 12 jam. Dengan proses ini dapat menghilangkan abu 92.95% dan protein 91.40%. Kandungan kitin, abu, dan protein pada produk kitin adalah 96.69%, 1.44% dan 1,76%.
ABSTRACT Chitin extraction in industry, has been conducted by chemical process. The process has been known as a harsh treatment that badly affected to chitin quality, equipment and the environment. Since the last decade biologically chitin extraction has more attracted attention. The biologically chitin extraction was conducted by batch fermentation or subsequent-batch fermentation. Continous demineralization and deproteinization is a new inovation on biologically chitin production technology. This system promises as an alternative technology for overcoming problems of batch fermentation process and chemical process. The objectives of the experiment was to obtain the optimal condition for continous deminineralization and deproteinization of vannamei (P. vannamei) shrimp shells. Lactobacillus acidophilus FNCC 116 and Bacillus licheniformis F11.1 was used for demineralization and deproteination process respectively. The experiment was divided into several steps. The first step was batch demineralization that was conducted for 12 hours, then was followed by continuous demineralization for 36 hours. The second step was batch deproteinization for 24 hours, and was followed by continuous deproteinization for 72 hours. The results showed that the best condition for continuous demineralization was 6,5% glucose feed, with 16 hours retention time. For continuous deproteinization, the best condition was with 12 hours retention time. The process could remove 92.95% ash and 91.40% protein. The chitin, ash, and protein content of chitin product was 96.69%, 1.44% and 1,76% respectively.
2009
T26657
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
The development of new materials with both organic and inorganic structures is of great interest to obtain special material properties. Chitosan [2-amino-2-deoxy-D-glucan] can be obtained by N-deacetylation of chitin. Chitin is the second most abundant biopolymer in nature and the supporting material of crustaceans, insects, fungi etc. Chitosan is a unique polysaccharide and has been widely used in various biomedical application due to its biocompatibility, low toxicity, biodegradability, non-immunogenic and non-carcinogenic character. In the past years, chitosan and some of its modifications have been reported for use in biomedical applications such as artificial skin, wound dressing, anticoagulant, suture, drug delivery, vaccine carrier and dietary fibers. Recently, the use of chitosan and its derivatives has received much attention as temporary scaffolding to promotie mineralization or stimulate endochondral ossification. This article aims to give a broad overview of chitosan and its clinical applications as biomaterial.
Journal of Dentistry Indonesia, 2005
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Lusiana
Abstrak :
Kitin dan kitosan memiliki gugus amina yang bermuatan positif pada rantai sampingnya. Kesamaan struktur kitin dan kitosan dengan DEAE selulosa membuat kedua polimer tersebut berpotensi digunakan sebagai matriks penukar ion untuk fraksinasi protein. Hasil fraksinasi serum dengan matriks kitin dan kitosan dibandingkan dengan hasil fraksinasi dengan matriks  DEAE selulosa. Serum darah sapi diifraksinasi dengan kromatografi kolom dnegan matriks kitin kitosan dan DEAE selulosa dengan fase gerak PBS Ph 7,4, bufer fosfat Ph 6,5 Dan dapar Tris Ph 8,5. Fraksi IgG diuji dengan elektroforesis selulosa asetat, elektroforesis gel poliakrilamida dan imunodifusi radial. fraksinasi degan matriks kitin dan kitosan menunjukkan pola yang sama dengan matriks DEAE selulosa. Hasil elektroforesis gel poliakrilamid menunjukkan adanya pita IgG pada fraksi kitin, kitosan dan DEAE selulosa dengan fase gerak PBS pH 7,4 dan dapar fosfat pH 6,5. Namun hasil fraksinasi dengan dapar tris pH 8,5 tidak menunjukkan adanya pita IgG. Hasil uji dengan imunodifusi radial menunjukkan adanya IgG dengan konsentrasi terbanyak pada fraksi kitosan dengan fase gerak PBS pH 7,4. Kitin dan kitosan berpotensi digunakan sebagai Matriks penukar ion untuk fraksinasi protein serum darah sapi. Fraksi terbaik adalah fraksi kitosan degan fase gerak PBS pH 7,4. ......Chitin and chitosan are polymers that naturally have N group on the side chain. The similarity structure between chitin, chitosan and DEAE-cellulose make the two polymer potentially used as ion-exchange matrix to fractionation of blood serum. Bovine serum was fractionated by column chromatography with chitin chitosan matrix and DEAE-cellulose with PBS pH 7.4, Phosphate buffer with pH 6.5 and tris buffer pH 8.5. The IgG fraction was tested by cellulose acetate electrophoresis, polyacrylamide gel electrophoresis and radial immunodiffusion.the results of fractionation using chitin and chitosan matrix showed the same pattern as DEAE-cellulose matrix. The results of polyacrylamide gel electrophoresis showed the presence of IgG bands in the chitin, chitosan and DEAE-cellulose fractions with PBS mobile phase pH 7.4 and phosphate buffer pH 6.5. However, the results of fractionation with tris buffer pH 8.5 did not show any IgG bands. The test results with radial immunodiffusion showed the presence of IgG with the highest concentration in the chitosan fraction with PBS mobile phase pH 7.4. Chitin and chitosan have potential as ion exchange matrix for protein fractionation of bovine serum. chitosan matrix with PBS pH 7.4 mobile phase show the best fraction.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Setiawan
Abstrak :
Skripsi ini membahas proses dan jumlah kitosan yang diproduksi dari cangkang rajungan dan cangkang kepiting hijau, karakterisasi kitosan, dan pengujian kitosan sebagai koagulan jika dibandingkan dengan koagulan PAC (Poly Aluminum Chloride) untuk menjernihkan air sungai Kalimalang. Jumlah kitosan yang diproduksi dari cangkang kepiting hijau sebesar 12.34 gram dari 420 gram cangkang kepiting kering, dan sebesar 21 gram dari 300 gram cangkang rajungan kering. Faktor-faktor yang menyebabkan sedikitnya jumlah kitosan di dalam pembuatan dijelaskan di dalam skripsi ini. Karakterisasi kitosan didapat melalui pengukuran kandungan nitrogen dan derajat deasetilasi. Besar kandungan nitrogen yang didapat dari kitosan cangkang kepiting hijau, kitosan cangkang rajungan produksi 1 dan kitosan cangkang rajungan produksi 2 adalah 6.208 %, 5.5656 %, dan 5.288 %. Besar derajat deasetilasi secara berturut-turut adalah: 53.47 %, 20.57 %, 53.32 %. Penggunaan kitosan sebagai koagulan diuji dengan menggunakan metode Jar Test dibandingkan dengan PAC. Air sampel didapat dari air sungai Kalimalang dengan tingkat kekeruhan sekitar 947 NTU. Efisiensi dosis optimum cangkang kepiting hijau, cangkang rajungan produksi 1, cangkang rajungan produksi 2, dan PAC secara berturut-turut adalah 8, 40, 50, dan 50 ppm. Efisiensi removal mencapai 99 % untuk semua koagulan untuk menurunkan kekeruhan hingga batas di bawah 5 NTU. Selain itu, juga dilakukan penelitian untuk mencoba penggabungan kitosan dengan PAC dalam mengkoagulasi dan flokulasi. Kemampuan kitosan untuk mengkoagulasi juga dipengaruhi oleh nilai pH, dimana pH optimum bagi kitosan untuk mengkoagulasi air sungai Kalimalang adalah pada daerah pH netral dengan batas sekitar 7.5.
The focus of study are discuss about the process and amount of chitosan produced from blue crab shell and mud crab shell, characterization of chitosan, and observe chitosan effectiveness as coagulant compared with PAC (Poly Aluminum Chloride) in clarifying Kalimalang river. The amounts of chitosan produced from mud crab shell are 12.34 gram from 420 gram dry mud crab shell, and 21 gram from 300 gram blue crab shell. Factors affecting amount of chitosan produced explained in this study. Chitosan characterization obtained from measurement of nitrogen content and degree of deacetylation. Nitrogen content from mud crab shell chitosan, blue crab shell chitosan 1, and blue crab shell chitosan 2 are 6.208 %, 5.5656 %, dan 5.288 %. Degrees of deacetylation for each chitosan are 53.47 %, 20.57 %, 53.32 %. Performance of chitosan as coagulant measured using Jar Test method compared with PAC. Water sample obtained from Kalimalang river with turbidity 947 NTU. Optimum dose for chitosan from mud crab shell, blue crab shell 1, blue crab shell 2, and PAC are 8, 40, 50, and 50 ppm. Removal efficiencies reached to 99 % for all type of coagulant, reduced turbidity to the limit under 5 NTU. Furthermore the research also tried to integrate chitosan with PAC in coagulation and flocculation. Chitosan performance in coagulation affected by pH value, where optimum pH for chitosan to coagulate Kalimalang river water sample at neutral pH range with upper limit about 7.5.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S50699
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Aurellea Artato
Abstrak :
Pleurotus ostreatus atau jamur tiram putih merupakan jamur yang umum dibudidaya di Indonesia dan mengandung senyawa kitin. Kitin merupakan polisakarida struktural dari jamur yang berperan sebagai imunomodulator dengan memicu respons imun. Salah satu gen pengkode senyawa kitin pada P. ostreatus adalah gen chitin synthase class IV (CHS4). Gen CHS4 diketahui memiliki tingkat ekspresi gen yang tinggi pada ketiga fase pertumbuhan jamur, yaitu miselia, bakal tubuh buah, dan tubuh buah dewasa. Desain primer, isolasi, dan optimasi primer dalam amplifikasi gen CHS4 dari P. ostreatus yang dibudidayakan di Indonesia belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk mengisolasi gen CHS4 dari tubuh buah P. ostreatus. Penelitian diawali dengan desain primer gen CHS4 yang dilakukan dengan bantuan laman NCBI PrimerBLAST, Primer3Plus, Netprimer, dan FastPCR. Isolasi DNA dilakukan dari tubuh buah P. ostreatus menggunakan kit, kemudian hasil isolasi DNA diukur konsentrasi dan kemurniannya dengan spektrofotometer. Amplifikasi gen target selanjutnya dilakukan dengan teknik PCR lalu hasil amplifikasi divisualisasikan dengan elektroforesis gel agarosa dan dilakukan analisis data. Isolat DNA yang diperoleh memiliki rerata nilai konsentrasi sebesar 20,106 ng/μL dan rerata nilai kemurnian sebesar 2,007. Pasangan primer CHS4 B yang telah didesain berhasil mengamplifikasi pita DNA dari gen CHS4 dengan panjang ukuran diperkirakan 570 pb pada suhu annealing 54 °C. ......Pleurotus ostreatus, or white oyster mushroom, is a commonly cultivated mushroom that contains high levels of nutrients and bioactive compounds with immunomodulating properties, one of which is chitin. Chitin, structural polysaccharide found in mushrooms, has immunomodulatory properties that can stimulate an immunological response. One of the genes that encodes chitin in P. ostreatus is chitin synthase class IV gene (CHS4). The CHS4 gene known to be highly expressed in the three life stages of P. ostreatus (mycelia, primordia, and fruiting body). Currently, there has never been primer design, DNA isolation, or primer optimization in the amplification of the CHS4 gene from P. ostreatus cultivated in Indonesia. Therefore, this study aims to isolate CHS4 gene from the fruiting body of P. ostreatus. This study began with designing CHS4 gene primers using websites and applications such as NCBI PrimerBLAST, Primer3Plus, Netprimer, and FastPCR. The DNA was isolated from P. ostreatus fruiting body. The results of DNA isolation were measured for concentration and purity with a spectrophotometer. The stages of target gene amplification were carried out by PCR technique then visualized using agarose gel electrophoresis and results were assessed. The DNA isolate has an average of 20,106 ng/μL in concentration and 2,007 in purity. Result of this study is CHS4 B primer pair was able to amplify CHS4 gene with an estimated sequence size of 570 bp in annealing temperature of 54 °C.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Yunita
Abstrak :
Kitosan diketahui memiliki sifat yang keras dan ketahanan termal yang tinggi. Pemanfaatan kitosan sebagai material insulasi digunakan dengan menggunakan metode coating pada busa poliuretan dengan densitas 16’4 kg/m3 . Pelapisan kitosan pada busa poliuretan diawali dengan pelarutan kitosan dalam larutan asam. Jenis asam berpengaruh terhadap kualitas lapisan yang dihasilkan. Jenis asam yang digunakan yaitu asam asetat (CH3COOH) dan asam format (CH2O­2). Kualitas yang dihasilkan dari produk busa poliuretan dengan jenis asam tersebut menunjukkan hasil yang berbeda. Produk jenis asam asetat memiliki sifat mekanis yang lebih baik dibandingkan produk jenis asam format di mana nilai UTS pada produk dengan konsentrasi asam 1% v/v yaitu 3,05 kg/cm2 (produk asam asetat) dan 5,53 kg/cm2 (produk asam format). Konsentrasi asam yang digunakan memiliki pengaruh terhadap sifat mekanis dan termal yang berhubungan dengan banyaknya ikatan hidrogen yang dihasilkan. Dari produk busa poliuretan yang diperoleh, kemudian dibandingkan antara PU-Virgin (busa poliuretan tanpa perlakuan), PU-Kitosan (produk busa poliuretan terbaik), dan PU-Headliner (produk headliner densitas 45 kg/m3)......Chitosan is known to have hard properties and high thermal resistance. The use of chitosan as an insulation material is used by using a coating method on polyurethane foam with a density of 16.4 kg / m3. Coating of chitosan in polyurethane foam begins with the dissolution of chitosan in an acid solution. The type of acid affects the quality of the coating produced. The types of acids used are acetic acid (CH3COOH) and formic acid (CH2O2). The quality produced from polyurethane foam products with this type of acid shows different results. Acetate acid products have better mechanical properties than form acid products where UTS values ​​in products with an acid concentration of 1% v / v are 3.05 kg / cm2 (acetic acid product) and 5.53 kg / cm2 (product formic acid). The acid concentration used has an influence on the mechanical and thermal properties associated with the number of hydrogen bonds produced. From polyurethane foam products obtained, then compared between Virgin PU (untreated polyurethane foam), PU-Chitosan (the best polyurethane foam product), and PU-Headliner (headliner product density of 45 kg / m3.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library