Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Celerina Dewi Hartati
"Disertasi ini merupakan kritikan terhadap teori Emile Durkheim mengenai konsep sakral dan profan. Emile Durkheim melihat religi sebagai suatu bentuk dikotomi antara sakral dan profan dalam dimensi ruang dan waktu. Diskusi sakral dan profan selama ini senantiasa memperlakukan ruang dan waktu dalam analisis yang coextensive atau menyatu. Padahal dalam beberapa kebudayaan, pemisahan kedua hal tersebut yaitu antara ruang dan waktu sangat dibutuhkan dalam memahami konsepsi sakral, dan profan itu sendiri. Dalam kebudayaan Cina perlu adanya pemisahan ruang dan waktu dalam memperlihatkan yang sakral. Disertasi ini menunjukkan ruang sakral menjadi tidak sakral ketika tidak ada upacara dan dimensi waktu menentukan konsepsi sakral. Melalui dimensi waktulah, proses transformasi terjadi dengan mengubah yang profan menjadi sakral demikian juga sebaliknya.
Penelitian ini merupakan penelitian metode etnografi yang dilakukan di kelenteng Hok Lay Kiong, Bekasi. Teknik utama yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah pengamatan terlibat, dan pengamatan terhadap upacara-upacara seperti sembahyang ceit capgo, rangkaian upacara Imlek mulai dari upacara mengantar dewa dapur, upacara memandikan patung dewa, sampai dengan upacara Imlek, upacara Capgomeh, dan upacara ulang tahun dewa Hian Thian Siang Tee, yang merupakan dewa utama kelenteng. Wawancara mendalam juga dilakukan terhadap orang-orang kelenteng yang eliputi pengurus yayasan, pengurus kelenteng, medium, penjaga kelenteng, dan umat kelenteng. Dengan menganalisis upacara-upacara tersebut terlihat bagaimana konsepsi sakral terwujud dalam sebuah upacara dan dimensi waktu yang mengubah profan menjadi sakral.

This dissertation is a form of criticism of Emile Durkheim’s theory of the concepts of the sacred and profane. Emile Durkheim perceives religion as dichotomy between the sacred and profane in the dimensions of space and time. The discussion related to the sacred and profane has always treated space and time in coextensive or unified analysis. Whereas in some cultures, the separation between space and time is needed to understand the concepts of the sacred and profane. In Chinese culture, it is necessary to separate space and time in showing
the sacred. This dissertation presents that the sacred space is not sacred when there is no ceremony, and the time dimension determines the conception of the sacred. Through the time dimension, the process of transformation occurs by changing the profane into the sacred, and vice versa. This study uses ethnographic method conducted at Hok Lay Kiong Temple, Bekasi. The main data collection techniques used are involved-observation, and ceremonies
observation such as the Ceit Capgo, Chinese New Year ceremonies ranging from accompanying the Kitchen God, bathing ceremony to god statues, to Chinese New Year ceremonies, Capgomeh ceremony, and the celebration of Hian Thian Siang Tee birthday. Indepth interviews were also conducted with the temple’s people including the foundation’s
management, the temple administrator, the medium, the temple guards, and the temple community. By analyzing the ceremonies, it can be seen how the conception of the sacred occured, and the time dimension changes the profane into a sacred.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Tjaturrini
"ABSTRAK
Dyah Tjaturrini ( 0790060094 ). Kelenteng Pulau Kemaro : Riwayat dan Upacara-Upacara di Dalamnya.
Kebiasaan sembahyang yang dilakukan oleh orang-orang Cina telah dilakukan sejak dahulu sebagai suatu kebiasaan tradisional. Sembahyang yang mereka lakukan dapat dilakukan di rumah, kelenteng dan di tempat-tempat yang mereka anggap pantas untuk melakukan sembahyang. Kebiasaan sembahyang ini pun dilakukan oleh orang-orang Cina yang tinggal di kotamadya Palembang Propinsi Sumatera Selatan. Mereka melakukan sembahyang untuk menunjukan rasa hormat mereka kepada Tuhan Allah, para dewa dan menunjukkan rasa bakti mereka kepada leluhur. Biasanya pada hari-hari perayaan tertentu seperti Tahun Baru Cina (Imlek) dan Cap Gomeh mereka pergi ke kelenteng Pulau Kemaro. Mereka datang bersembahyang ke kelenteng Pulau Kemaro karena mereka menganggap bahwa bila mereka memohon sesuatu di kelenteng tersebut pasti akan terkabul. Tidaklah mengherankan apabila pada saat perayaan Imlek dan Cap Gomeh kelenteng ini banyak dikunjungi oleh orang-orang dari luar kota Palembang bahkan luar negeri sehingga perayaan tersebut berlangsung sangat meriah.
Untuk menguraikan dan menggambarkan topik di atas, penulis menggunakan penelitian kepustakaan dan lapangan. Data dikumpulkan dengan wawancara dan observasi terlibat. Hasil penelitian membuktikan kebenaran bahwa upacara perayaan yang diadakan di suatu kelenteng merupakan suatu perwujudan dari kegiatan religius dan hal ini juga membuktikan bahwa orang-orang yang datang ke kelenteng pasti memilik tujuan bukan hanya sekedar kebiasaan.

"
Lengkap +
1995
S12861
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library