Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wildan Ibnu Walid
Abstrak :
Isu tentang perubahan identitas etnis Tionghoa pasca Orde Baru sangat penting dikaji untuk melihat bagaimana perubahan batasan etnis serta upaya membangun relasi dengan etnis lain. Dalam tulisan ini, penulis membahas bagaimana upaya warga etnis Tionghoa Cirebon merekonstruksi identitas kulturalnya untuk mempertegas kembali batasan etnisnya. Proses rekonstruksi identitas etnis kultural etnis Tionghoa dibentuk dari praktik ziarah makam Ong Tien. Memori kolektif pengalaman sosial diskriminasi Orde Baru mendorong warga etnis Tionghoa Cirebon untuk mengatur ulang relasinya dengan warga lokal. Pada studi ini, citra Ong Tien dibentuk sebagai simbol kultural dan simbol sejarah untuk membangun relasi yang lebih harmoni dengan etnis lain. Merujuk pada kajian sebelumnya yang membahas implikasi kebijakan Orde Baru, penelitian ini aspek lain bagaimana etnis Tionghoa Cirebon menegaskan kembali posisinya di ruang sosial. Melalui metode kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa praktik ziarah makam Ong Tien mengalami perubahan dari sebelum dan pasca Orde Baru. Agar batasan identitas etnis Tionghoa tetap bertahan, aktor perubahan di kalangan etnis Tionghoa Cirebon melakukan pemeliharaan identitas dengan cara melembagakan praktik ziarah makam Ong Tien sebagai perayaan budaya tahunan. Strategi dimaksudkan agar pesan-pesan makna simbolik Ong Tien tersampaikan kepada masyarakat luas. ......The issue of changing Chinese ethnic identity in Post-New Order is one of the most important to see how ethnic boundaries change and how to build relationships with other ethnicities. In this paper, the author discusses how the efforts of the Cirebon Chinese ethnic community to reconstruct its cultural identity to reaffirm their ethnic boundaries. The process of reconstructing ethnic Chinese cultural identity shaped from the practice of Ong Tien's grave pilgrimage. The collective memory of the New Order's social experiences of discrimination encouraged Cirebon Chinese citizens to reorganize their relations with local residents. In this study, Ong Tien's image shaped as a cultural symbol and a historical symbol to build more harmonious relations with other ethnicities. Referring to the previous study that discussed the implications of the New Order policy, this research is another aspect of how Cirebon Chinese people reaffirm their position in the social space. Through qualitative methods, this study found that the pilgrimage practice of Ong Tien's grave had changed from before and after the New Order. In order to maintain the boundaries of Chinese ethnic identity, change actors among the Cirebon Chinese ethnic group have maintained their identity by institutionalizing the practice of the Ong Tien tomb pilgrimage as an annual cultural celebration. The strategy intended to convey Ong Tien's messages of symbolic meaning to the wider community.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Antonia Wilhelmina
Abstrak :
Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis terbanyak ke-18 dari total 1.340 etnis di Indonesia berdasarkan data BPS 2010. Nama seseorang menjadi identitas diri seseorang. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa makna nama Tionghoa bagi masyarakat etnis Tionghoa kelahiran sebelum 1967, cara adaptasi apa yang digunakan untuk mengubah nama Tionghoa menjadi nama Indonesia untuk masyarakat kelahiran sebelum tahun 1967 di Indonesia, cara adaptasi apa yang digunakan untuk mengadaptasi nama Indonesia menjadi nama Tionghoa untuk masyarakat kelahiran sebelum tahun 1967 di Indonesia, dan apakah unsur budaya Cina masih dipertahankan untuk etnis Tionghoa yang lahir setelah tahun 1967. Pengambilan data dilakukan dengan studi dokumen untuk mendapatkan data dan studi pustaka sebagai sumber pelengkap data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan ekstralingual. Penelitian ini akan melakukan analisis perubahan fonologis dan analisis makna menggunakan kajian semiotik pada data nama yang terkumpul. ......Chinese ethnic is the 18th most populated out of 1.340 ethnic groups in Indonesia based on BPS data taken in 2010. A person's name becomes a person's identity. The problem formulation in this study is what is the meaning of Chinese names for Chinese ethnic people born before 1967, what is the adaptation method used to change Chinese names to Indonesian names for people born before 1967 in Indonesia, what are the adaptation methods used to adapt Indonesian names to Chinese names for Chinese ethnic people born before 1967 in Indonesia, and are the elements of Chinese culture still maintained for Chinese ethnic people born after 1967. Data were collected by studying documents to obtain data and literature study as a complementary source of data. The method used in this study is the extralingual equivalent method. This study will analyze phonological changes and analyze meaning using semiotic studies on the collected name data.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Chintya
Abstrak :
Pertunjukkan Pawai Tatung dalam perayaan Cap Go Meh berasal dari Kalimantan Barat, tepatnya Kota Singkawang. Tradisi Tatung di Kalimantan Barat merupakan tradisi yang dibawa langsung oleh suku Hakka yang berasal dari Cina Selatan. Hal yang menarik dari Pawai Tatung di Kota Singkawang adalah tradisi ini merupakan perpaduan antara tiga budaya yakni budaya Dayak, Melayu serta Cina. Permasalahan utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk implementasi akulturasi etnis Cina dengan kebudayaan lokal dalam Pawai Tatung di Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan sumber data primer berupa video dokumentasi penuh Perayaan Cap Go Meh Singkawang 2020 dari halaman Youtube “Pojok Inspirasi”. Hasil penelitian menemukan bahwa bentuk implementasi akulturasi dalam Pawai Tatung tidak hanya terletak dari keikutsertaan masyarakat dari masing-masing ketiga budaya tersebut serta kostum khas dari masing-masing budaya, melainkan keterlibatan dewa-dewi Cina dengan roh lokal setempat ( Datuk & Latuk ). Akulturasi yang terjadi dalam Pawai Tatung menunjukkan tumbuhnya kesetiaan orang Cina terhadap penunggu / roh nenek moyang setempat serta rasa persaudaraan yang terjalin diantara ketiga budaya ini dan berhasil berpengaruh terhadap eksistensi Pawai Tatung yang masih ada hingga saat ini di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. ...... The Tatung Parade in the Cap Go Meh celebration originally from Singkawang City, West Kalimantan. The Tatung tradition in West Kalimantan was brought by the Hakka people from South China. The interesting thing about the Tatung Parade in Singkawang City is that this tradition is a collaboration between three cultures ; The Dayak, Malay, and Chinese. The main problem in this research is how the implementation of the acculturation between the Dayak, Chinese and Malay in the Tatung Parade is. The research method is qualitative method. The primary source in this research is a full documentation video of the 2020 Cap Go Meh Singkawang Celebration from Youtube account "Pojok Inspirasi". The result of this research indicates that the form implementation of acculturation in the Tatung Parade did not only lie in the participation of the Dayak, Malay, and Chinese, but it is the involvement of Chinese gods / goddesses with local spirits (Datuk & Latuk). The acculturation that occurs in the Tatung Parade shows the loyalty of the Chinese to the local ancestors of West Kalimantan and the brotherhood between these three cultures. This acculturation has proven influent on the existence of Tatung Parade in Singkawang City until right now.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luli Lusdiana Awaliah
Abstrak :
Tugas akhir ini membahas tentang peran organisasi Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia dalam mempertahankan kebudayaan Tionghoa di Kota Sukabumi pada tahun 2008-2019. PSMTI cabang Kota Sukabumi didirikan pada tahun 2008 oleh Robert Charly. Berdirinya PSMTI di Kota Sukabumi memiliki tujuan untuk menginventarisasi budaya Tionghoa di Indonesia. Hal ini dilakukan karena masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Sukabumi masih memiliki rasa khawatir yang berlebih ketika menunjukan identitasnya sebagai etnis Tionghoa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh PSMTI dalam mempertahankan kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Sukabumi. Pada penelitian ini digunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa upaya yang dilakukan oleh PSMTI Kota Sukabumi dalam mempertahankan budaya Tionghoa berdampak pada kembalinya tiga pilar kebudayaan Tionghoa yang sebelumnya dilarang. Selain itu, rasa khawatir yang berlebih dari masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Sukabumi berangsur pulih, sehingga mereka berani untuk memperlihatkan kembali identitasnya sebagai Etnis Tionghoa. Adapun upaya tersebut dilakukan dengan cara pembentukan Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) cabang Sukabumi, membuka kursus bahasa mandarin secara gratis bagi masyarakat Kota Sukabumi, memeriahkan kembali perayaan hari besar masyarakat Tionghoa, dan pembangunan Anjungan Taman Tionghoa Sukabumi di TMII. ......This final project discusses the role of the Indonesian Chinese Clan Social Organization in maintaining Chinese culture in Sukabumi City from 2008 to 2019. PSMTI in Sukabumi City branch was founded in 2008 by Robert Charly. PSMTI has goal as to take an inventory of Chinese culture in Indonesia. This activity was carried out because the Chinese community in Sukabumi City still had an inflated sense of worry when they showed their identity as Chinese ethnic. Therefore, this research intends to describe the efforts made by PSMTI to maintain the culture of the Chinese community in Sukabumi City. The research uses historical researchmethods, which consist of four stages: heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. The results of this research indicate that the efforts made by PSMTI Sukabumi City in maintaining Chinese culture impact the return of the three pillars of Chinese culture, which the New Order government previously prohibited. In addition, the excessive anxiety of the ethnic Chinese in Sukabumi gradually recovered, so they dared to show their identity as ethnic Chinese again. These efforts were carried out by establishing the Sukabumi branch of the Indonesian Barongsai Sports Federation (FOBI), opening a free Mandarin language course for the people of Sukabumi City, enlivening the Chinese community's celebration day, and building the Sukabumi Chinese Pavilion Park around the complex located at TMII.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Audy Charles Lieke
Abstrak :
Tulisan ini mengkaji dan menjawab tentang peran etnik Tionghoa Indonesia dalam kegiatan politik nasional. Dari sejarah yang ada terlihat peran etnis Tionghoa cukup menonjol pada masa kolonialisme, pra kemerdekaan, pada masa orde lama dan reformasi. Peran politik etnis Tionghoa melemah pada masa Orde Baru, dan mulai meningkat lagi pada masa Reformasi. Salah satu aktor yang menonjol adalah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Permasalahan yang ada apakah etnik Tionghoa dalam pemilihan langsung dapatkah menjadi pemimpin nasional seperti misalnya Gubernur atau Presiden? Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta hanyalah karena mengganti Joko Widodo karena dia terpilih menjadi Presiden. Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif Deskriptif dengan pendekatan Studi Kasus. Salah satu metode yang digunakan adalah Wawancara mendalam dengan informan yang sesuai konteks. Hasil penelitian menjelaskan bahwa etnis Tionghoa telah berperan dalam perpolitikan nasional Indonesia dan setelah mengalami kemunduran pada era Orde Baru, kini berkembang lagi pada era Reformasi. Namun studi ini memperlihatkan bahwa Politik Identitas pada 2016 mengancam stabilitas keamanan dan ketahanan nasional serta berdampak pada kepemimpinan Ahok. Terbukti pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 Ahok tidak terpilih lagi. Penelitian ini juga menjelaskan strategi Ahok dalam meredam konflik agar tidak meluasnya politik identitas yaitu strategi coping adaptif dengan memenuhi tuntutan pendemo untuk mengadili Ahok tujuannya tentu Ahok ingin menjaga stabilitas keamanan serta ketahanan nasional dan terciptanya ketahanan sosial budaya. ......This paper examines and answers the role of Indonesian Chinese ethnicity in national political activities. From the existing history, it can be seen that the role of ethnic Chinese was quite prominent during colonialism, pre-independence, during the old order and reformation. The political role of ethnic Chinese weakened during the New Order era, and began to increase again during the Reformation period. One of the prominent actors is Basuki Tjahaja Purnama or Ahok. The problem that exists is whether ethnic Chinese in direct elections can become national leaders such as governors or presidents? Ahok became Governor of DKI Jakarta only because he replaced Joko Widodo when he was elected President. This study uses a descriptive qualitative research method with a case study approach. One of the methods used is in-depth interviews with context-appropriate informants. The results of the study explain that ethnic Chinese have played a role in Indonesian national politics and after experiencing setbacks in the New Order era, are now developing again in the Reformation era. However, this study shows that Identity Politics in 2016 threatened national security and security stability and had an impact on Ahok's leadership. It was proven that in the 2017 DKI Jakarta gubernatorial election, Ahok was not re-elected. This study also explains Ahok's strategy in reducing conflict so that identity politics does not spread, namely an adaptive coping strategy by meeting the demands of the demonstrators to try Ahok. Of course, Ahok wants to maintain security stability and national resilience and create socio-cultural resilience.
Jakarta: Sekolah Kajian dan Stratejik Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idil Akbar
Abstrak :
Pemilu 2009 merupakan momentum kebangkitan warga Tionghoa Bangka Belitung, dan Indonesia Umumnya untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Fenomena ini ditunjukkan dengan terpilihnya 4 (empat) politisi Etnis Tionghoa Dapil Bangka Belitung sebagai anggota DPR dan DPD RI. Mereka adalah Rudianto Tjen, Basuki Tjahja Purnama, Telli Gozeli dan Bahar Buasan. Keterpilihan mereka memperkaya wacana politik pemilihan umum yang lebih mengedepankan politik primordialis, sosiologis dan tradisional menjadi pilihan rasional. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori demokrasi dari Samuel Huntington, Robert Dahl, Karl jaspers dan Afan Gaffar, teori etnis dan politik etnis dari Erikson, Max Weber dan Martin N. Marger, teori sistem pemilu dari Arend Lijphart dan Ramlan Surbakti, teori rational choice dari Guido Pincione dan Fernando R Teson, dan teori jejaring sosial ekonomi dari Wolf dan Granovetter. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analisis data menggunakan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data administratif KPUD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung serta dari Kementrian Dalam Negeri. Penelitian ini juga melakukan wawancara mendalam dengan enam narasumber kompeten, yakni Bapak DR. Yusron Ihza, Bapak Telli Gozelli, S.E., Anggota DPD RI Periode 2009 – 2014, Bapak Ir. Bahar Buasan, Anggota DPD RI Periode 2009 – 2014, Bapak Ayie Gardiansyah, Ketua PSMTI Kabupaten Belitung, Bapak Muhammad Munzir, Ketua Tim Pemenangan Telli Gozeli, Bapak Wahyu Effendy, S.E., Tokoh Pemuda Tionghoa Asal Bangka Belitung dan Bapak Johan Wijaya, Tokoh Muda Tionghoa Temuan di lapangan menunjukkan keterpilihan politisi Tionghoa Bangka Belitung berlangsung secara demokratis. Dalam konteks ini, politik etnis di tingkat lokal ditunjukkan dengan terpilihnya empat politisi Tionghoa Bangka Belitung sebagai anggota DPR dan DPD RI periode 2009-2014 meski etnis Melayu dan Islam dominan. Keterpilihan mereka karena adanya penguatan dari basis sosial politik dan ditunjang oleh basis sosial ekonomi karena latar belakang mereka adalah pengusaha. Implikasi teoritis menunjukkan adanya kesamaan hak (equal rights) untuk berpartisipasi di politik secara aktif, demokratis dan rasional sebagaimana pendapat Karl Jaspers, Guido Pincione dan Fernando R Teson. Sementara konstelasi politik etnis cenderung semakin menguat sebagai bentuk dari persamaan perjuangan dan harapan Etnis Tionghoa akan terakomodasinya hak-hak politik mereka. ......2009 Election is the momentum of the rise of Chinese citizens in Bangka Belitung, and in Indonesia generally, to actively participate in politics. This phenomenon is shown by the electability of 4 (four) Chinese Ethnic politicians in Bangka Belitung voting region as the members of Indonesian Republic Parliament and Regional Parliament. They are Rudianto Tjen, Basuki Tjahja Purnama, Telli Gozeli and Bahar Buasan. Their electability enriches political discourse on general election which emphasizes primordiality, sociological and traditional politics to turn into rational choice. As theoretical basis, this study used democracy theory by Samuel Huntington, Robert Dahl, Karl Jaspers and Afan Gaffar, ethnic theory and ethnic politics by Erikson, Max Weber and Martin N. Marger, election system theory by Arend Lijphart and Ramlan Surbakti, rational choice theory by Guido Pincione and Fernando R Teson and economic social networks theory by Wolf and Granovetter. The study used qualitative method, while the data analysis technique used descriptive analysis. The data collecting technique was done by collecting administrative data from Regional Election Commission (KPUD) of Bangka Belitung Island Province and Central Bureau of Statistics (BPS) of Bangka Belitung Island Province as well as Domestic Affair Ministry. The study also conducted in-depth interviews with seven competent informants, they are; Dr. Yusron Ihza, Bangka Belitung people’s Figure, Telli Gozelli, SE, an Indonesian Republic Parliament and Regional Parliament member in the Period of 2009 - 2014, Ir. Bahar Buasan, an Indonesian Regional Parliament member in the Period of 2009 - 2014, Ayie Gardiansyah, the Chief of PSMTI in Belitung Regency, Muhammad Munzir, the campaign team leader of Telli Gozeli, Mr.Wahyu Effendy, SE, a Chinese Youth Leader originated from Bangka Belitung Island and Mr. Johan Wijaya, a Chinese Young Figure. The finding on the field shows that the electability of the Chinese politicians happened democratically. In this context, ethnic politics at local level is indicated by the elected four Bangka Belitung Chinese politicians as the members of Indonesian Republic Parliament and Regional Parliament in the period of 2009-2014, despite the dominant Malays and Moslem ethnics. Their electability is due to the social political basic strengthening and it is supported by socio-economic basic because their backgrounds are businessmen. Theoretical implication indicates that there are equal rights to participate in politics actively, democratically and rationally as stated by Karl Jaspers, Guido Pincione and Fernando R Teson. In the meantime, ethnic political constellation tends to be stronger as a form of Chinese Ethnic struggle for equation and their hope on the accommodation of their political rights.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Ladykia Naftali
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang etnis Tionghoa dan dinamikanya dalam kesuksesan bulu tangkis Indonesia pada tahun 1966 - 1998. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana etnis Tionghoa dari berbagai bidang dan dinamikanya dalam kesuksesan bulu tangkis Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan sejarah. Dalam pengumpulan data akan menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sekalipun di tengah dinamika sosial dan politik pada masa Orde Baru (1966-1998) yang diskriminatif seperti kewajiban memiliki SBKRI dan adanya kekerasan rasial, tetapi etnis Tionghoa dari berbagai bidang tetap melakukan aperannya masing-masing dalam kesuksesan bulu tangkis Indonesia sebagai bentuk rasa nasionalisme untuk menanggapi keadaan yang dialami tersebut. Hal ini dapat diperhatikan dari berbagai bidang, mulai dari atlet yang mengharumkan nama Indonesia di dunia melalui perjuangan prestasi sebagai bentuk menunjukkan identitas nasional, pelatih yang berjuang melatih guna menghasilkan atlet yang berprestasi, organisator yang rela bergerak di bidang politik organisasi bulutangkis demi kepentingan Indonesia, hingga sebagai pengusaha membantu pembinaan bulu tangkis Indonesia melalui pendanaan. Lalu, kesuksesan bulutangkis Indonesia ini berdampak positif terhadap respon yang diberikan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia yaitu berupa dukungan, sambutan, dan apresiasi yang tinggi kepada para kontingen bulutangkis Indonesia.
This study discusses the Chinese ethnicity and its dynamics in the success of Indonesian badminton in 1966 - 1998. The purpose of this study is to explain how the ethnic Chinese from various fields and their dynamics in the success of Indonesian badminton. The method used in this research is a qualitative research method with a historical approach. In data collection will use literature study and interview techniques. The conclusion of this research is that even in the midst of discriminatory social and political dynamics during the New Order (1966-1998) such as the obligation to have an SBKRI and the existence of racial violence, ethnic Chinese from various fields still carry out their respective roles in the success of Indonesian badminton as a form of a sense of nationalism to respond to the circumstances experienced. This can be observed from various fields, start from athletes who makes Indonesia’s name fame in the world through achievement struggles as a form of showing national identity, coaches who struggle to train to produce outstanding athletes, committee who are willing to engage in badminton organization politics for the sake of Indonesia, entrepreneurs assisting the development of Indonesian badminton through funding. Then, the success of Indonesian badminton has a positive impact on the response given by the Indonesian people and government, namely in the form of support, welcome, and high appreciation for the Indonesian badminton contingent.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asrinda
Abstrak :
Etnis Cina adalah salah satu dari beragam etnis yang ada di Singapura pada mass kolonialisme Inggris. Kedatangan imigran-imigran Cina ke Singapura adalah untuk menetap sementara mencari kemakmuran, sehingga aspek-aspek sosial seperti pendidikan tidak diperhatikan. Pada perkembangan kemudian, dengan semakin stabilnya komunitas imigran Cina di Singapura, beberapa tokoh komunitas Cina di Singapura mulai mengangkat masalah pendidikan. Di antara tokoh-tokoh tersebut terdapat nama Tan Kah Kee, seorang pengusaha sukses di Singapura yang berasal dari Fujian. Keterlibatan Tan Kah Kee pada pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor yang terdapat di Singapura dan di Cina. Selain faktor-faktor intern dan ekstern tersebut, motivasi Tan Kah Kee sendiri juga mempengaruhi keterlibatannya dalam masalah pendidikan etnis Cina di Singapura. Motivasi yang melatarbelakangi tindakan Tan Kah Kee tersebut perlu diperhatikan karena menyebabkan Tan Kah Kee, yang sebelumnya adalah pengusaha, menjadi seorang yang sangat memperhatikan masalah pendidikan sehingga seakan-akan mengabaikan bisnisnya. Pendidikan berbahasa Cina di Singapura sendiri sebelumnya merupakan pendidikan yang kurikulumnya masih berdasarkan kurikulum tradisional Dinasti Qing. Lama kelamaan kurikulum tersebut mengalami modernisasi dan pelajaran-pelajaran yang masih berdasarkan kurikulum tradisional dihilangkan sama sekali. Selain itu, kurikulum sekolah berbahasa Cina di Singapura juga mendapat penyesuaian dengan kondisi domisili di Singapura.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12100
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library