Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yen, Chia-Chi
Teipei: Institute of Current China Studies, 1988
951.056 YEN ct
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pan, Stephen
New York: Twin Circle Pub. Co., 1968
951.056 PAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Butterfield, Fox
Toronto: Bantam Books, 1983
951.056 BUT c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dutt, Gargi
New York : Asia Pub. House, 1970
320.951 DUL c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
N. Ika M. Sukarno
Abstrak :
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menggambarkan secara jelas mengenai Lin Biao, menitikberatkan pada peranan Lin Biao dalam Revolusi Kebudayaan dan sepak terjangnya sesudah revolusi berakhir hingga ia meninggal dunia. Lin Biao adalah seorang panglima perang yang tangguh, di mana ia dikenal ahli dalam strategi peperangan. Titik awal karir Lin Biao dimulai setelah ia lulus dari Akademi Militer Whampoa tahun 1926. Selama Revolusi Kebudayaan berlangsung, Lin Biao selalu berada di belakang Mao. Pidato-pidato dan perkataan-perkataan Mao selalu ia dengungkan dalam setiap pertemuan massa. Dengan cara ini, ia menarik massa untuk turut serta dalam Revolusi Kebudayaan. Lin Biao juga merupakan orang yang menggerakkan Pengawal Merah. Setelah keadaan negara menjadi sangat kacau, Lin Biao menggunakan Tentara Pembebasan Rakyat yang berada di bawah pengaruhnya untuk mengamankan situasi. Hasilnya adalah kepercayaan Mao padanya bertambah dan Lin Biao diangkat secara resmi menjadi ahli waris dan penerus Mao. Setelah pengangkatan itu, Mao merasa pengaruh Lin Biao terlalu besar, sehingga ia merasa perlu menantangnya dengan maksud agar pengaruhnya berkurang. Di lain pihak, Lin Biao merasakan kekuatannya cukup kuat untuk dapat menggeser Mao. la dan kelompoknya menyusun rencana dan membangun kekuatan untuk menggulingkan Mao. Rencana ini rupanya tercium oleh Mao, sehingga sebelum Lin Biao melaksanakan impiannya, Mao sudah terlebih dahulu memusnahkan Lin Biao pada tanggal 12 September 1971
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zhang, Xinguo
London: Minerva, 1995
365.450 9 ZHA g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yu, Hua, 1960-
Abstrak :
A soaring literary achievement from internationally acclaimed writer Yu Hua, whose novels are now appearing in English for the first time, Chronicle of a Blood Merchant provides an unflinching portrait of China under Chairman Mao, as a factory worker must sell his blood to overcome every crisis. Xu Sanguan is a Chinese everyman-a cart-pusher in a silk mill struggling under the cruelty and hardships of Mao's leadership. His meager salary is not enough to sustain his family, so he pays regular visits to the local blood chief, followed by stops at the Victory Restaurant, where he pounds on the table and demands his ritual meal: "A plate of fried pork livers and two shots of yellow rice wine. And warm the wine up for me." But fried pork livers and yellow rice wine are not enough to restore Xu Sanguan. With the country in the throes of the Cultural Revolution, his visits to the blood chief become lethally frequent and his obligations to his family press against him mercilessly. At the height of famine, the Xu family lies motionless in bed, rising twice a day to consume increasingly watery rations of corn gruel. Xu Sanguan's wife is forced to stand on a stool in the center of town wearing a sandwich board that reads "prostitute". Yile, his wife's bastard son, forever haunts Xu Sanguan's sense of honor. And when Xu Sanguan sells his blood so he can take his family out to a proper meal, he does not invite Yile, who paces the town, famished and in tears, offering himself as a son to any man who will buy him a bowl of noodles. In a series of heartbreaking reversals, Xu Sanguan decides to risk his own life to save Yile and comes to understand that in a society ravaged by suspicion, hostility, and poverty, blood money not only pays debts, but forgives them as well. With rare emotional intensity, grippingly raw descriptions of place and time, and clear-eyed compassion, Yu Hua gives us a stunning tapestry of human life in the grave particulars of one man's days.
Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2017
895.1 YUH k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Leressae
Abstrak :
Sebagai salah satu bentuk kesusastraan, puisi mengalami masa-masa keemasan di Cina. Puisi samar atau Menglongshi merupakan salah satu jenis puisi di Cina yang sulit diinterpretasikan maknanya dan muncul pada masa Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Bei Dao adalah salah satu penyair yang menulis puisi samar berjudul “Xuanyan (Deklarasi)” pada masa itu. Revolusi kebudayaan membuat Bei Dao dan para penyair puisi samar lainnya tidak bebas berekspresi sehingga harus menggunakan berbagai simbol untuk menyembunyikan makna sebenarnya dalam puisi mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna situasi zaman yang terkandung di dalam puisi “Xuanyan (Deklarasi)” karya Bei Dao melalui simbol-simbol yang dituangkan ke dalam puisi ini. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu menganalisis puisi “Xuanyan (Deklarasi)” dan melakukan interpretasi untuk mendapatkan makna simbolik dari puisi ini. Penelitian ini mendapati hasil bahwa puisi “Xuanyan (Deklarasi)” memiliki makna simbolik tentang kritik dan penolakan Bei Dao terhadap segala propaganda dalam Revolusi Kebudayaan. ......As a form of literature, poetry experienced golden times in China. Misty poetry or Menglongshi is a type of poetry in China that is difficult to interpret and emerged during the Cultural Revolution (1966-1976). Bei Dao was one of the poets who wrote the misty poem “Xuanyan (Declaration)” at that time. The cultural revolution made Bei Dao and other misty poets not free to express themselves, so they had to use various symbols to hide the true meaning in their poetry. This study aims to find out the meaning of the current situation contained in the poem "Xuanyan (Declaration)” by Bei Dao through the symbols that are poured into this poem. The research method used is descriptive qualitative, namely analyzing the poem "Xuanyan (Declaration)" and interpreting it to get the symbolic meaning of this poem. This study found that the poem "Xuanyan (Declaration)" has a symbolic meaning about Bei Dao's criticism and rejection of all propaganda in the Cultural Revolution.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Ning Kasih Abduh Putri
Abstrak :
Skripsi ini membahas tentang penerapan konsep kritik dan kritik-diri yang terjadi pada era Revolusi Kebudayaan RRT (1966-1976). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab apakah sebenarnya kritik dan kritik-diri dapat menyelesaikan kontradiksi yang terjadi di PKT menjelang Revolusi Kebudayaan. Melalui metode kualitatif deskriptif, penelitian dilakukan dengan memaparkan Pemikiran Mao serta kontradiksi antara kelompok Maois dan Liuis yang terjadi di era tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kritik dan kritik-diri dapat menyelesaikan kontradiksi tersebut meskipun penerapannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
The focus of this study is Criticism and Self-Criticism Concept Implementation in Chinese Cultural Revolution (1966-1976). The purpose of this study is to find the answer of whether criticism and self-criticism concept could truly solve the contradiction which was happened in Chinese Communist Party towards Chinese Cultural Revolution. Through descriptive qualitative method, this study explains Mao Zedong?s Thought and the contradiction between Maoist and Liuist which occured in that era. The result of this study shows that criticism and self-criticism concept could solve the contradiction, although the implementation was not executed as what it is meant to be.
2016
S62434
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tai, Sung An
Indianapolis: Pegasus, 1972
320.951 TAI m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>