Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dino Nurwahyudin
Abstrak :
Sejak Deng Xiaoping mengambil tampuk kepemimpinan di China pada tahun 1978 terjadi perubahan mendasar dalam politik luar negeri China. Kebijakan Politik Luar Negeri menjadi terbuka, lebih aktif di forum internasional dan lebih canggih dalam membina hubungan dengan negara-negara lain. Di bidang ekonomi, Deng menggandeng dua lembaga keuangan internasional yang sangat berpengaruh, yaitu IMF dan Bank Dunia sebagai advisor sehingga Foreign Direct Investment (FDI) China meningkat secara pesat yang berujung pada tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi. Tumbuhnya China sebagai kekuatan baru di kawasan mengubah secara signifikan konstelasi politik internasional terutama di Kawasan Asia Timur apalagi pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi Jepang, yang sebelumnya menjadi negara Asia yang paling maju, stagnan. Dalam perjalanannya, hubungan bilateral China dan Jepang justru semakin tegang, terutama di era pemerintahan Perdana Menteri Junichiro Koizumi. Pemicunya berkaitan dengan isu kolonialisme. Koizumi setiap tahun sejak menduduki posisi sebagai Perdana Menteri Jepang selalu berkunjung ke kuil Yasukuni setiap tahun sesuai janji yang diikrarkan, di mana terdapat 14 penjahat perang kelas A pada Perang Dunia II dimakamkan. Selain itu, Jepang berupaya menyembunyikan kekejaman pasukan beserta dirinya pada masa kolonialisme Jepang di China dalam buku sejarahnya. Kurang harmonisnya hubungan China dan Jepang berdampak negatif terhadap kawasan Asia Timur apalagi mereka berdua diharapkan dapat menjadi backbone dalam pembentukan Komunitas Asia Timur yang telah disepakati para pemimpina negara di kawasan ini. Berangkat dari pentingnya hubungan bilateral China-Jepang tersebut, penelitian ini mengkaji lebih jauh isu kolonialisme yang menjadi kerikil tajam dalam hubungan China dan Jepang. Teori-teori utama yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori struktur politik dari Kenneth Wattz, teori, sistem internasional dari Chris Brown, teori perilaku dari Samuel S. Kim, dan teori kebijakan politik luar negeri dari David M. Lampton. Pertanyaan penelitian dalam tesis ini adalah bagaimana pemerintah China menggunakan isu kolonialisme dalam politik luar negeri-nya dalam menjalin hubungan bilateral dengan Jepang dan apa keunungan yang diperoleh China dalam memainkan isu kolonialisme, khususnya dalam tata pergaulan internasional. Dengan menggunakan penelitian deskriptis analitis, dapat dikatakan bahwa pemerintah China memainkan isu kolonialisme sebagai upaya mempengaruhi lingkungan eksternal dan internal. Jepang, bagaimanapun juga adalah saingan China dalam sistem internasional yang bersifat anarkis. Melalui isu kolonialisme, kekejaman Jepang dalam era Perang Dunia II akan selalu dikenang oleh masyarakat internasional sehingga upaya Jepang menjadi negara berpengaruh di dunia internasional, khususnya di Asia Timur, terganggu. Melalui isu kolonialisme, dukungan masyarakat China atas legitimasi Partai Komunis semakin meningkat karena Partai Komunis adalah pihak yang paling gigih berjuang saat pendudukan Jepang.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22194
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yin, Ching-yao
Taipei, Taiwan: World Anti-Communist League, 1985
327.51 YIN r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Warner, Denis, 1917-2012
New York: Macmillan, 1961
951.05 WAR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Ronawati
Abstrak :
Setelah kemenangan PKC (Partai Komunis Cina atau terhadap PNC (Partai Nasionalis Cina atau Guomindang) pada tahun 1949, dengan didukung penuh oleh rakyat dan partai, Mao Ze-dong memegang tampuk kekuasaan tertinggi di Republik Rakyat Cina (selanjutnya akan disebut Cina). Dan untuk mempersatukan seluruh rakyat demi tercapainya masyarakat sosialis, Mao menggunakan filsafat komunisme yang berbeda dengan komunisme Rusia. Seperti halnya negara-negara komunis lainnya, politik Iuar negeri Cina juga berkiblat pada ajaran Marxisme Leninisme yang membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis. Namun disamping itu, dalam prakteknya Cina juga menerapkan pemikiran Mao. Menurut ajaran Mao, pertentangan antara komunis dan kapitalis hanya dapat dimenangkan oleh komunis melalui suatu revolusi bersenjata. Di dalam proses pertentangan klas ini selain melalui revolusi bersenjata, Cina juga mengenal yang disebut Strategi Koeksisensi Damai. Perubahan sikap ini terjadi karena pengakuan atas kenyataan bahwa kapitalisme ternyata masih kuat dan memerlukan pendekatan lain. Strategi koeksistensi damai ini menganut prinsip_
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12856
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rotua, Helmy
Abstrak :
Sejarah Cina modern merupakan suatu topik yang sangat menarik untuk dibicarakan, termasuk di dalamnya sejarah mengenai hubungan Cina, dalam hal ini Republik Rakyat Cina (RRC) dengan negara-negara lainnya. Hubungan Cina dengan negara-negara lain selalu diwarnai dengan perselisihan di satu saat dan perdamaian di saat lain. Demikian juga halnya, hubungan antara Cina dan Amerika yang menjadi fokus pembicaraan di dalam penulisan skripsi ini. Sebenarnya, hubungan yang tidak harmonis di antara Cina dan Amerika telah terjadi jauh sebelum Partai Komunis Cina berhasil merebut kekuasaan dari kaum nasionalis pada tahun 1949. Ketidakharmonisan hubungan di antara dua negara ini timbul karena Amerika selalu memberikan bantuannya kepada kaum nasionalis (Guo Min Dang) untuk melawan kaum komunis (Gong Chan Dang). Karena pada saat itu hubungan Cina dan Amerika tidak begitu baik, secara otomatis Cina tidak mungkin mengharapkan datangnya bantuan dari Amerika. Padahal, bantuan modal tersebut sangat diperlukan dalam melakukan rehabilitasi keadaan negara Cina yang saat itu sangat memprihatinkan keadaannya, sebagai akibat peperangan yang terus-menerus melanda negara tersebut. Pada akhirnya, bantuan modal tersebut datang dari Soviet. Alasan Pemerintah Cina memilih Soviet sebagai negara yang diharapkan akan dapat memberikan bantuannya kepada Cina adalah karena adanya persamaan ideologi, letaknya yang bertetangga, dan juga karena pada saat itu Soviet merupakan negara kaya di samping Amerika. Karena pada saat itu Pemerintah Cina menganggap bahwa hanya Sovietlah satu-satunya negara yang dapat membantu Cina, maka di dalam segala aspek kebijaksanaan negaranya Cina mencontoh Soviet, sehingga kebijaksanaan Cina pada saat itu lebih dikenal sebagai Yi Elan Dao (bersandar hanya pada satu sisi)1, yaitu Soviet. Pada bulan Juni 1950, pecah Perang Korea yang melibatkan Amerika. Keterlibatan Amerika dalam Perang Korea ini menambah kebencian Cina terhadap Amerika, karena Cina menganggap, bahwa dengan turut campurnya Amerika dalam masalah ini, berarti Amerika telah mencampuri urusan dalam negeri Cina. Pada waktu itu, Cina sedang bersiap-siap untuk membebaskan Taiwan. Rencana tersebut menjadi terhambat karena pada saat itu Amerika menempatkan pasukannya (Armada ke-7)2 untuk berpatroli di selat Taiwan, sehingga secara otomatis usaha Cina untuk mempersatukan wilayahnya menjadi terhambat (Gregor, 1986:124-125). Masalah mengenai Taiwan ini selalu menjadi sumber konflik antara Cina dan Amerika. Pada pertengahan tahun 1950-an, mulai muncul ketidaksesuaian pendapat antara Cina dan Soviet, sehingga menyebabkan hubungan kedua negara tersebut menjadi renggang. Beberapa sebab yang turut mempengaruhi buruknya hubungan Cina dan Soviet adalah adanya perbedaan persepsi mengenai koeksistensi damai. Menurut Khrushchev, koeksistensi damai berarti mencegah timbulnya perang baru antara Soviet dan Amerika. Dalam hal ini, hanya diperkenankan perlombaan di bidang ekonomi dan bukan militer. Sementara itu Cina berpendapat, bahwa koeksistensi damai berarti bersahabat dengan negara-negara yang menganggap Cina sebagai sahabat dan sederajat serta sekaligus menentang imperialisme dan kolonialisme. Selanjutnya adalah munculnya de-Stalinisasi di Soviet,3 dan adanya rasa tidak setuju di kalangan pemimpin Soviet, khususnya Khrushchev terhadap program Lompatan Jauh ke Muka (Dayuejin) yang dilaksanakan oleh Mao.4 Buruknya hubungan Cina-Soviet ini mencapai puncaknya pada tahun 1963, yaitu pada waktu Soviet dan Amerika menandatangani perjanjian untuk tidak melakukan percobaan nuklir di atmosfir yang dikenal dengan nama Test Ban Treaty,5 padahal pada waktu itu Cina masih memerlukan bantuan nuklir dari Soviet (Schurmann, et al., 1967:264-266). Memburuknya hubungan antara Cina dan Soviet telah membuat Cina sadar, bahwa ia harus mencari dan membina hubungan dengan negara lain. Karena pada saat itu hanya Amerika yang dapat menandingi Soviet, maka Cina mulai menjalin kembali hubungannya dengan Amerika. Hubungan ini mulai membaik karena baik Cina maupun Amerika merasa terancam akan kekuatan Soviet yang makin lama makin kuat. Mereka menyadari, bahwa mereka sesungguhnya saling membutuhkan. Pada tanggal 21 Februari 1972, Presiden Nixon yang didampingi oleh salah seorang asistennya, Dr. Henry Kissinger memulai lawatannya ke Beijing selama 8 hari (21-28 Februari 1972). Dalam pertemuan ini, Presiden Nixon dan Mao Zedong juga membahas kemungkinan diadakannya normalisasi hubungan dan juga membicarakan masalah-masalah luar negeri. Hal yang sama juga dibicarakan oleh Presiden Nixon dengan Perdana Menteri Zhou Enlai dan juga oleh Sekretaris Negara Amerika William Rogers dengan Menteri Luar Negeri Cina Ji Pengfei (Solomon, 1984:12-17). Bila ditinjau dari segi politik global Amerika, adanya normalisasi hubungan ini dimaksudkan oleh Amerika untuk menghadapi Soviet. Dalam hal ini tampak adanya kesesuaian dalam pandangan dan kebutuhan yang sama antara Cina dan Amerika, sehingga kedua negara merasa perlu untuk segera merealisasikan normalisasi hubungan tersebut. Di pihak Amerika, kebutuhan tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: a). secara militer Soviet mulai mengimbangi Amerika b). secara politis, Soviet cenderung akan meluaskan pengaruhnya ke Afrika, Yaman Selatan, Afganistan maupun Asia Tenggara, khususnya Indocina; Sedangkan di pihak Cina, normalisasi hubungan didasarkan pada pertimbangan, bahwa untuk mengadakan imbangan kekuatan terhadap Soviet, jalan satu-satunya adalah melalui hubungan dengan Amerika. Kebutuhan ini dilihat Cina sebagai sesuatu yang sangat mendesak berhubung meningkatnya persengketaan antara Vietnam dan Kamboja yang mengakibatkan bertambahnya tekanan terhadap Cina dari sebelah selatan. Sementara itu, di perbatasan sebelah barat dan utara tentara Soviet semakin mendesak. Ditinjau dari segi kepentingan nasionalnya, Amerika melihat bahwa untuk jangka panjang ia berkepentingan agar Cina mencapai stabilitas dalam negerinya dan dapat mengatasi masalah pangan dan perkimbangan ekonominya. Pemikiran tersebut muncul karena Amerika melihat, bahwa Cina dengan penduduk yang jumlahnya sangat banyak ini memiliki pengaruh internasional di masa mendatang dan juga adanya perimbangan politik di kawasan Asia-Pasifik, yang diharapkan dapat diambil alih oleh Cina. Dari sudut ekonomi, Amerika melihat bahwa Cina merupakan daerah pasaran yang cukup besar bagi barang-barang modal dan teknologi Amerika. Melalui ekspor barang-barang modal dan teknologinya, terutama alat-alat pertambangan untuk eksplorasi minyak, Amerika berharap dapat ikut memperbesar suplai minyak dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Amerika memberi dukungan dan dorongan kepada kaum moderat di bawah pimpinan Deng Xiaoping agar lebih memperkuat diri Analisa, 1972:6-101. Walaupun normalisasi hubungan ini didasarkan pada berbagai pertimbangan di atas, tetapi kepentingan utama kedua belah pihak saat ini adalah untuk menciptakan imbangan terhadap Soviet. Karena desakan yang semakin dirasakan oleh Cina, maka akhirnya Cina bersedia melakukan kompromi mengenai masalah Taiwan , yaitu: Secara diam-diam Cina menerima pernyataan sepihak Amerika, bahwa masalah Taiwan harus diselesaikan secara damai. Sebagai jaminan, Amerika akan tetap mempertahankan hubungan ekonominya dengan Taiwan, walaupun hubungan diplomatiknya dengan Taiwan akan diakhiri,Amerika akan tetap menjual senjata defensif kepada Taiwan walaupun pakta pertahanan dengan Taiwan (1954)6 akan diakhiri pada tanggal 1 Januari 1980. Setelah normalisasi hubungan Cina-Amerika direalisasikan pada tanggal 15 Desember 1978, beberapa kesepakatan lain telah diambil oleh ke dua negara, yaitu: Kedua negara berjanji untuk lebih saling mengenal dan sepakat untuk membuka hubungan diplomatik secara resmi pada tanggal 1 Januari 1979. Pemerintah Amerika harus mengakui bahwa Cina merupakan pemerintahan yang sah. Amerika dapat melanjutkan hubungannya dengan Taiwan, tetapi terbatas pada bidang perdagangan, kebudayaan dan hubungan yang non-pemerintah. Kedua negara harus berusaha untuk memperkecil konflik bersenjata dan berusaha mencegah hegemoni di wilayah Asia-Pasifik. Mereka akan mengadakan tukar-menukar dutabesar dan membuka kedutaan secara resmi pada tanggal 1 Maret 1979 (Hsu, 1972:63-64).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S12874
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jae, Ho-chung
New York: Columbia University Press, 2006
KOR 327.519 JAE b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jain, Girilal
Bombay: Asia Publishing House, 1959
327.954 JAI n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lingqun, Li
Abstrak :
This book provides an explanation of Chinese policy towards the South China Sea, and argues that this has been sculpted by the changing dynamics of the law of the sea in conjunction with regional geopolitical flux.The past few decades have witnessed a bifurcated trend in China's management of territorial disputes. Over the years, while China gradually calmed and settled most land-border disputes with its neighbors, disputes on the ocean frontier continued to simmer in a seething cauldron. China's Policy towards the South China Sea attributes the distinctive path of China's approach to maritime disputes to a unique factor--the law of the sea (LOS) as the "rules of the road" in the ocean. By deconstructing the concept of "sovereignty" and treating the LOS as an evolving regime, the book examines how the changing dynamics of the LOS regime have complicated and reshaped the nature and content of sovereign disputes in the ocean regime as well as the options of settlement. Applying the findings to the South China Sea case, the author traces the learning curve on which China has embarked to comprehend the complexity of the dispute accordingly and finds that it is the dynamic interaction of the law of the sea regime and the geopolitical conditions that has driven the evolution of China's South China Sea policy. This book will be of great interest to students of Chinese and Asian politics, international law, international relations and security studies
London: Routledge, Taylor & Francis Group, 2018
327.951 LIN c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>