Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Priyanto Wibowo
Abstrak :
ABSTRAK
Hubungan antara bangsa Cina dan orang-orang dari sebrang lautan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Paling tidak sejak abad 14, atau bahkan jauh sebelumnya, beberapa kapal dari negara-negara yang lautnya maju pernah menyinggahi Cina. Tetapi kunjungan-kunjungan kapal-kapal asing tersebut tidak mendapat sambutan yang semestinya baik dari pemerintah Cina maupun tradisionil rakyat Cina, yang notabene juga merupakan pandangan penguasa Cina pada waktu itu yang menganggap orang asing adalah orang biadab. Hal ini tercermin dari konsep mereka tentang zhongguo, yang menganggap Cina adalah pusat dunia, pusat budaya dan segala peradaban. Sementara itu masyarakat di luar Cina adalah masyarakat primitif, tidak berbudaya serta bar-bar yang perlu dibudayakan.

Atas dasar pemikiran yang demikian, maka proses hubungan antara Cina dan negara-negara sangatlah lambat. Ketika Inggris memulai menjajaiki hubungan dengan Cina perlakuan yang diterima oleh utusan Inggris adalah perlakuan sama yang diterapkan oleh kepada utusan dari sebuah negara taklukan. Tentu saja Inggris tidak dapat menerima perlakuan tersebut. Budaya diplomasi Eropa yang dibawa Inggris berbenturan dengan budaya diplomasi yang diterapkan oleh Cina yang terkenal dengan sebutan family of nations, dimana Cina bertindak sebagai bapak sementara negara-negara, terutama dikawasan Asia, bertindak sebagai anak dengan masing-masing konsekwen dengan posisinya.

Dengan menggunakan beberapa bahan bacaan yang didapat melalui penelitian kepustakaan, yang terdiri dari bahan primer maupun sekunder, tulisan ini bermaksud mengunggkapkan bagaimana akhirnya bangsa Eropa, khususnya Inggris mampu menembus konsep tradisionil Cina yang menjadi penghalang kegiatan diplomasinya. Bahkan kemudian Inggris berhasil menjadi mitra dagang paling besar bagi Cina, terutama adalah berkat adanya konsumsi teh yang sangat besar dikalangan bangsa Inggris. Semua hal tersebut dapat dicapai oleh Inggris hanya dengan melalui satu cara : kekerasan.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Avina Nadhila Widarsa
Abstrak :
Setelah terlibat konflik politik selama lebih dari enam dekade, Cina mengambil sebuah kebijakan yang fenomenal dalam hubungannya dengan Taiwan. Pada tanggal 29 Juni 2010 disepakati suatu kerangka kerjasama ekonomi yang ditandatangani oleh Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) yang mewakili pemerintah Cina dan Strait Exchange Foundation (SEF) yang mewakili pemerintah Taiwan. Penandatanganan Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) ini menandai babak baru dalam hubungan lintas selat. Walaupun perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi yang resiprokal dan setara, dalam isi perjanjian ECFA justru lebih menguntungkan Taiwan daripada Cina. Dalam ECFA disepakati kedua pihak sepakat untuk menurunkan tarif pada produk - produk ekspornya hingga 0%. Cina bersedia menurunkan tarif bagi 539 produk impor dari Taiwan, sementara Taiwan hanya bersedia menurunkan tarif bagi 267 produk impor dari Cina. Jelas terdapat ketidakseimbangan dalam kesepakatan ekonomi tersebut. Menjadi pertanyaan yang menarik, mengapa Cina tetap mau menandatangani perjanjian yang sudah jelas merugikan baginya secara ekonomi Melalui kerangka pemikiran economic statecraft, penelitian ini mengidentifikasi bahwa Cina memiliki memiliki kepentingan di balik penandatanganan ECFA. Adapun kepentingan politik Cina dalam penandatanganan ECFA adalah sebagai tahap awal untuk mencapai reunifikasi secara damai dengan Taiwan dan sebagaim pembuktian upaya peaceful development yang dilakukan Cina di kawasan Asia Timur. Selain itu, Cina juga memiliki kepentingan ekonomi untuk menjaga aliran dana investasi langsung dari Taiwan yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Cina. ......After six decades full of hostility and political tension, China took an extraordinary action regarding her relation towards Taiwan. On June 29, 2010, an economic cooperation framework agreement was signed between Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) as a representative of government of China and Strait Exchange Foundation (SEF) as a representative of government of Taiwan. The signing of Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) was marking the new era of cross strait relations. While looking to improve economic cooperation reciprocally and equally, this agreement is more favor Taiwan instead of China. China agreed to reduce tariffs until 0% for 539 Taiwan export goods, while Taiwan only agreed to reduce tariffs for 267 China export goods. It is likely that China will face economic disadvantages because of this agreement. Then, the question is why China wants to sign this agreement although it doesn't give maximum advantages to her economy. Through the analysis from economic statecraft and economic cooperation as conceptual framework, this research pointed out that China has political and economic interest within this agreement. This research identified China's interest on ECFA as initial step to achieve peaceful reunification with Taiwan and as a way for China to prove the peaceful development strategy in East Asia region. Moreover, China also has economic interest towards ECFA which is to make sure Taiwan's FDI still come to China.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Phanteon Books, 1989
327.51 CHI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Vltchek, Andre
Badak Merah Semesta, 2019
338.9 AND c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Caroline Siemarga
Abstrak :
ABSTRACT Internasionalisasi perusahaan adalah proses untuk membuat perusahaan internasional, salah satunya dengan melakukan investasi atau ekspansi operasional dari suatu perusahaan. Sebelumnya, proses internasionalisasi merupakan fenomena yang terjadi pada perusahaan-perusahaan negara maju yang dinilai memiliki kesiapan, baik melalui merek, paten, kualitas, dan juga kemampuan manajerial. Namun demikian, beberapa dekade ini telah menunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan dari Tiongkok, yang merupakan negara berkembang, mengalami internasionalisasi yang pesat. TKA ini berusaha melihat motivasi-motivasi yang melatarbelakangi internasionalisasi perusahaan-perusahaan Tiongkok, dan juga mengelompokkan motivasi-motivasi di balik internasionalisasi perusahaan Tiongkok sesuai dengan perspektif analisis yang digunakan oleh artikel, yaitu perspektif mikro dan perspektif makro. Dari perspektif mikro, terdapat dua motivasi utama yaitu motivasi peningkatan efisiensi dan berkurangnya risiko yang mendorong perusahaan untuk melakukan internasionalisasi. Sedangkan dari perspektif makro, terdapat motivasi ekonomi dan politik yang berdasarkan kepentingan dari negara serta motivasi institusional sebagai efek dari institusi. Berdasarkan proses pemetaan motivasi internasionalisasi perusahaan Tiongkok, TKA ini mengidentifikasi bahwa faktor utama yang paling berpengaruh dalam menentukan negara dan sektor tujuan investasi adalah motivasi dari pespektif makro. Kesimpulan ini didapatkan berdasarkan analisis dari sisi historis, data empiris, serta kepentingan, di mana nampak bahwa peran dan juga kepentingan yang dimiliki oleh negara lebih mendominasi dibandingkan sektor privat.
ABSTRACT Internationalization is a process in which a firm proceed to internationalize, either by investing or by expanding operations overseas. Previously, the internationalization process was a phenomenon that occurred to firms developed country companies that were considered to have readiness and capabilities to operate abroad. However, these decades have shown how firms from China, a developing country, are experiencing rapid internationalization. The paper seeks to see the motivations behind the internationalization of Chinese firms, and also classifies the motivations behind the internationalization of Chinese companies according to the analytical perspective used by the articles, namely the micro and macro perspective. From a micro perspective, there are two main motivations, namely the motivation to increase efficiency and the reduced risk which drive companies to internationalize. Whereas from a macro perspective, there are economic and political motivations based on the interests of the state as well as institutional motivation as an effect of the institution. Based on the process of mapping the internationalization motivation of Chinese companies, this article identified that the main factor in determining the country and investment destination sector are the motivations of the macro perspective. This conclusion is based on an analysis from the historical side, empirical data, and interests, where it appears that the roles and interests of the state are more dominant than the private sector.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
London New York: Routledge, 2016
343.087 CHI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bucknall, Kevin B.
Sydney: Allen &Unwin, 1989
337.51 BUC c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chang, Lu
Beijing : Wai wen chu ban she, 2008
SIN 337.3051 CHA z (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Fitriani
Abstrak :
ABSTRACT
Chinas contemporary) trans-regional initiative. to establish the. Belt and Road Initiative (BRI) -previously known as One Beit One Road (OBOR) -has attracted a lot of attention; not only because the initiative involves more than 60 countries across Asia, Africa and south Europe, but also because it represents a re-emerging China that is being considered a challenger to the post-second World War liberal world order led by the United States. The initiative has also been perceived JS a Chinese strategy to enhance its influence beyond its traditional reaim by tJking advantage of its economic prowess. Indonesia was among the first countries introduced to the OBOR and whose territory is at the heart of the OBOR route. The country, however, has been prudent in the face of Chinese offers since it has perceived the initiative as both an opportunity and challenge in economic as well as strategic dimensions. In addition, the Chinese BRI grand initic1tive may create regional pro­blems due to hotspots in the South China Sea and the inclination of some regional states to support China rather than strengthen the Association of the Southeast Asian Nations (ASEAN). Thus, while it is important to weicome the initiative, critical assessments of the project are indeed necessary in order to understand its impact on the geo-economy and geo-politics of involved regions cind on future relations between the involved countries and China.
lnstituto para el Desarrollo Industrial y ei Crecimiento Economico, A.C., 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>