Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ansori
Abstrak :
Bayi umur 4 - 6 bulan mulai mendapatkan makanan pendamping ASI (MP-AS1) secara bertahap, disamping masih tetap mendapat ASI. Pada masa ini kekebalan anak yang didapat secara pasif dari ibunya mulai menurun, sementara bayi mulai mendapatkan makanan yang kurang mencukupi dari kebutuhannya. Beberapa basil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi KEP pada bayi lebib dari 15% berdasarkan indeks status gizi (BB/U). Hal ini menunjukkan bahwa masalah gizi pada bayi merupakan hal yang serius yang perlu segera ditangani. Penelitian ini menganalisis data sekunder dari Penelitian " Pola menyusui, Usia penyapihan dan Pemberian MP-ASI dalam Kaitannya dengan Status Gizi Batita (6 - 36 bulan) Di Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Mir Sumatera Selatan Tabun 2001". Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh tentang kekuatan hubungan umur pertama kali pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi. Pada penelitian ini desain yang digunakan adalah cross sectional (potong lintang). Sampel adalah bayi umur 6 - 12 bulan yang mendapatkan ASI. Analisis yang digunakan adalah univariat, bivariat dan multivariat_ Hasil penelitian didapatkan bahwa prevalensi KEP sebesar 20,7%, rata-rata umur pemberian MP-ASI 3,8 bulan, sedangakan bayi yang diberi MP-ASI < 4 bulan sebesar 31,0%. Asupan energi dari rata-rata 764 kkal sedangkan asupan protein 16 gr. Dari basil analisis multivari.at didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara umur pertama kali pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi umur 6 - 12 bulan. Bayi yang mendapatkan MP-ASI pada umur < 4 bulan kemungkinan akan mengalami risiko gizi kurang 5,2251 kali dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan MP-ASI pads mnur 4 - 6 bulan setelah dikontrol oleh asupan energi. Ternyata asupan energi berperan sebagai confounder, atau mempunyai pengaruh dalam meningkatkan hubungan umur pertama kali pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi. Untuk meningkatkan status gizi bayi maka perlu dilakukan peningkatan pelaksanaan monitoring pertumbuhan melalui kegiatan UPGK di posyandu, selain itu kepada ibu menyusui hams diupayakan untuk tidak memberikan makanan prelakteal dan memberikan MP-ASI dini, karena bila sudah mendapat makanan prelakteal dan IvfP-ASI yang diberikan pada umur < 4 bulan bisa merugikan bayi. Petugas kesehatan berperan penting dalam memberikan pendidikan/konseling terhadap ibu hamil tentang manajemen laktasi. Agar bayi dapat memenuhi kebutuhan gizinya perlu dikembangkan makanan lokal melalui pelatihan pembuatan makanan lokal yang memenuhi syarat gizi dan cita rasa.
The Relationship between the First Age of Introducing Complementary Feeding with Nutritional Status of Babies aged 6 - 12 Months at Pedamaran Subdistrict Ogan Komering Ilir District South Sumatera in 2001Babies aged 6 -12 months begins to get complemernary feeding gradually while still breast feeded. In this age, baby immunity which was received passively from his mother decreases, while he begins to receive an inadequate food. Several researches show that protein energy malnutrition (PEM) prevalence to babies is more than 15% based on nutritional status index (Weight/Age). This shows that baby nutrition remains serious matter to overcome. The research analyzes secondary data obtained from the previous research titled "Breast feeding pattern, weaning age and complementary feeding in relation to the nutrition status of baby under three years ( 6 - 36 months) at Pedamaran Subdistrict, Ogan Komering Ilir District, South Sumatera in 2001". This research purpose is to obtain the relational strength between the first age of introducing complementary feeding and nutritional status of babies 6 - 12 months. This research uses cross sectional design, through univariat, bivariat, and multivariate analyses. Samples are baby aged 6 - 12 months who received Breast milk The research result shows that Protein Energy Malnutrition (PEM) prevalence is 20,7%, mean of ages introducing complementary feeding is 3,8 months, mean of babies of age of introducing complementary feeding < 4 months is 31,0%, mean of energy intake is 764 kkal, and mean of protein intake is 16 gr. Multivariate analysis shows that there is significant relationship between first age of introducing complementary feeding and nutritional status of infant age 6 -12 months. Babies who received complementary feeding <4 months possible might experience with under nutrition (Weight/Age) risk more than 5,2251 than babies who received complementary feeding at 4 - 6 months of age after controlled by energy intake. Apparently, energy intake plays as confounder role, or has influence to increase the relationship between first age of complementary feeding and nutritional status of infants. In order to improve baby nutritional status, there should be monitoring improvement through UPGK program at Posyandu. In addition, mother is expected not to administer prelacteal food and able to administer exclusive breast-feeding, because babies given prelacteal and administered of introducing complementary feeding at the age <4 months, they will be harmful. On the other hand there should be information given both to health officers and pregnant mothers about lactation management . In order to baby nutrient necessity, there should be it needs local/ordinary foods development through the training of local food production which fulfills nutrition condition and flavor.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T582
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aminuddin
Abstrak :
Krisis ekonomi yang berlangsung sejak tahun 1997 di Indonesia mengakibatkan bertambahnva jumlah orang miskin, Jaya bell masyarakat menurun, harga bahan pokok melambung, munculnya ancaman kelaparan dan kerawanan gizi terutama pada kelompok anak Balita.
Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencegah agar masyarakat miskin tidak makin terpuruk , Program tersebut meliputi: peiayanan kesehatan dasar bagi anggota keluarga miskin; pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin, nifas dan balita; perbaikan gizi ibu hamil, menyusui dan balita serta pengembangan model JPKM.
Studi longitudinal program JPSBK pada 5 propinsi di Indonesia memperlibatkan adanya kecenderungan perbaikan status gizi dan penurunan infeksi pada balita. Dalam rangka mengetahui dampak program JPSBK terhadap status gizi anak BADUTA maka Pusat Studi Gizi dan Pangan (PSGP) Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI melakukan penelitianpada 2 Kabupaten yakni Maros Propinsi Sulawesi Selatan dan Tangerang Propinsi Banten. Data yang dianalisis dalam rangka pembuatan Iesis ini adalah bagian dari penelitian yang diiaksanakan di Kabupaten Tangerang.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak program JPSBK terhadap status gizi dan prevalensi penyakit infeksi anak BADUTA dengan desain penelitian Time Series (trend)_ Sedangkan yang menjadi sampel daiam penelitian ini adalah bayi dan anak yang berumur 6 - 23 buaan.
Dari hasil analisis dengan menggunakan indikator < -2 z- score untuk PBIU,BBIPB dan BBIU ditemukan anak baduta Gakin malnutrisi setelah setahun program 3PSBK masing-masing berturut-turut 43,3°/x; 14% dan 45,1% . Untuk poia asupan makanan meningkat pads. BADUTA GAKIN dan non GAKIN setelah setahun program JPSBK. Prevalensi penyakit infeksi meningkat pada kasus diare dan demam tetapi menurun untuk kasus ISPA. Pada BADUTA non GAKIN prevalensi diare dan ISPA menurun tetapi meningkat pads kasus demain. Variabel yang bermakna dalam penalitian ini hanya pola asupan makanan, penyakit Diare dan ISPA.
Dari basil yang diperoleh dalam penekitian ini maka disarankan untuk mencontoh model program JPSBK untuk menanggulangi status gizi anak Baduta yang sifatnya darurat.
Impact of Infectious Diseases and Quality of Nutrition Intake Method Concerning to Nutrition status of Children Under Two Years Age Before and After One Year of Social - Health Safety Net Program (SHSNP) at Tangerang District Banten Province in Year 2000
During Indonesia economic crisis since 1997 has made impact to increase the numbers of poor, decrease the purchasing power of people, to rise the prices of primary goods then starvation and malnutrition comes up among children under five years old.
Social - Health Safety Net Program (SHSNP) is one of action of government to prevent the poor people should not be more savers. This program included primary health services for poor family, maternal and child services, mother nutrition, breastfeeding and develops SHSNP model
Longitudinal study of this program at five provinces in Indonesia has shown the improvement of nutrition status and decrease of infectious diseases on children under five years old or BALITA. Recording to find out the effect of this program to the improvement of nutrition status on children under five years old, Direktorat Bina Gizi Masyarakat or Directorate of Cultivate of Community Nutrition Ministry of Health, Republic of Indonesia has studied at 2 (two) Districts; Maros on South Sulawesi Province and Tangerang on Banten Province. The data that analyzed in this study is part of research that has run on Tangerang District.
This study focuses on the effect of SHSNP to nutrition status and prevalence of infectious diseases on children under two years old or BADUTA Design of this study is quasi experimental. Babies and children with age 6 - 23 months are become sample in this study.
The result of this study by using indicator < -2 z- score Height/Age, Weight/Height and Weight/Age, and after one year it was founded children with malnutrition, each of them are 43,3 %, 14,0 % and 45,1%. The nutrition intake method increase an BADUTA GAKIN and Non-BADUTA GAKIN after one year of this program. Infectious disease prevalence of diarhoea and fever increase, but respiratory tract infection decrease. BADUTA Non GAKIN has decreasing of diarrhea and
respiratory infection, but fever increase. The significant variables are food intake, diarrhea and respiratory tract infection.
This study has recommendation to imitate Social - Health Safety Net Program (SHSNP) to take care the emergency nutritional status on children under two years age (BADUTA).
2001
T690
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermansyah
Abstrak :
Penyakit Kurang Energi Protein (KEP) merupakan bentuk kekurangan gizi yang terutama terjadi pada anak-anak umur dibawah lima tahun (balita) dan merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia yang perlu ditanggulangi. Masalah gizi memiliki dimensi yang luas, tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan Iingkungan. Faktor pencetus munculnya masalah gizi dapat berbeda antara wilayah ataupun antara kelompok masyarakat, bahkan akar masalah ini dapat berbeda antara kelompok usia balita. Kondisi krisis ekonomi yang terus berkelanjutan sampan saat ini, akan menyebabkan daya beli pada masyarakat secara umum menjadi menurun, karena disatu pihak relatif banyak yang kehilangan sumber mata pencaharian sementara dipihak lain adanya peningkatan harga barang dan jasa. Hal ini dapat mengakibatkan dampak buruk terhadap kesehatan dan gizi masyarakat terutama keluarga miskin. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian KEP anak umur 6 - 59 bulan terutama pads keluarga miskin di daerah IDT Kota Sawahlunto. Faktor-faktor yang diteliti adalah konsumsi energi, konsumsi protein, pemberian kolostrum, pemberian ASI, pemberian makanan tambahan (PMT), diare, ISPA, berat badan lahir umur anak, jenis kelamin anak, pendidikan ibu, pekerjaan ibu clan jumlah anggota keluarga. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional) dengan pendekatan kuantitatif. Responden dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang mempunyai anak umur 6 - 59 bulan di daerah IDT Kota Sawahlunto dan tergolong dalam kelompok keluarga miskin. Analisis data dilakukan analisis multivariat regresi logistik dengan jumlah sampel sebanyak 430 orang. Hasil pengolahan dan analisis data didapatkan bahwa prevalensi KEP anak umur 6 - 59 bulan pada keluarga miskin di daerah IDT Kota Sawahlunto adalah sebesar 21,6%. Kemudian anak dengan konsumsi energi kurang berisiko untuk menderita KEP 29,42 kali (95% CI : 9,266 - 93,387) dibandingkan anak yang memperoleh konsumsi energi cukup dan anak dengan konsumsi protein kurang berisiko untuk menderita KEP 2,99 kali (95% CI : 1,043 - 8,585) dibandingkan anak yang memperoleh konsumsi protein cukup. Sementara itu anak dengan pola menyusui secara Non Eksklusif berisiko untuk menderita KEP 6,69 kali (95% CI : 2,490 - 17,968) dibandingkan anak yang memiliki pola menyusui secara Eksklusif, anak yang mengalami sakit Diare berisiko untuk menderita KEP 7,74 kali (95% CI: 2,383 - 25,126) dibandingkan anak yang tidak sakit Diare dan anak yang mengalami sakit ISPA berisiko untuk menderita KEP 17,71 kali (95% Cl : 6,167 -- 50,830) dibandingkan anak yang tidak sakit ISPA Selanjutnya anak dengan berat badan lahir rendah berisiko untuk menderita KEP 4,3 I kali (95% CI : 1,342 -- 13,867) dibandingkan anak yang mempunyai berat badan lahir normal serta anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga besar berisiko untuk menderita KEP 6,39 kali (95% CI : 2,350 -- 17,372) dibandingkan anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga kecil. Disimpulkan bahwa kejadian KEP anak umur 6 - 59 bulan terutama pada keluarga miskin di daerah IDT Kota Sawahlunto berhubungan erat dengan faktor konsumsi energi, ISPA, Diare, pemberian ASI, jumlah anggota keluarga, berat badan lahir serta konsumsi protein.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T 2747
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marina Arifin
Abstrak :
Status gizi memegang peran penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktifitas, menurunkan daya tahan serta meningkatkan kesakitan dan kematian. PMT JPS-BK merupakan salah sate kegiatan pelayanan program JPS-BK dalam rangka mencegah semakin memburuknya status kesehatan dan gizi masyarakat terutama keluarga miskin yang diakibatkan adanya krisis ekonomi. Adapun tujuan dari PMT tersebut adalah mempertahankan dan meningkatkan status gizi anak balita keluarga miskin. PMT IPS-BK pada anak balita telah dilaksanakan semenjak tahun 1999 di Kabupaten Indragiri Hilir, namun hingga saat ini prevalensi gizi kurang dan gizi buruk tetap tinggi yaitu gizi buruk sebesar 5,0 % tahun 2001 dan gizi kurang 1,9 % tahun 2001. Disamping itu angka ini lebih tinggi dari angka propinsi Riau pada tahun yang sama sehingga perlu dilakukan penelitian hubungan antara PMT JPS-BK dan faktor-faktor lain dengan status gizi anak balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan status gizi balita sebelum dan sesudah Pemberian Makanan Tambahan program JPS-BK setelah dikontrol dengan variabel penyakit infeksi, konsumsi energi dan konsumsi protein. Desain penelitian yang digunakan adalah one group pre and postest. Dimana perbedaan status gizi dilihat dan sebelum dan sesudah PMT JPS-BK. Sampel penelitian adalah anak balita usia antara 12 - 59 bulan yang mempunyai data penimbangan berat badan sebelum dan sesudah PMT JPS-BK. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 165 anak balita. Hasil penelitian memperlihatkan prevalensi gizi kurang sebelum PMT JPS-BK sebanyak 70 anak (42,4 %) dan sesudah PMT JPS-BK menurun menjadi 60 anak (36,4 %). Berdasarkan hasil uji 11rMc1Vemar terdapat perbedaan yang bermakna antara status gizi sebelum dan sesudah PMT JPS-BK. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penurunan prevalensi gizi kurang tidak begitu besar sehingga penelitian ini menyarankan agar program PMT JPS-BK lebih berhasil, maka pemberian makanan perlu dilakukan dengan model ibu asuh sehingga petugas dapat memantau dan mengawasi PMT yang dikonsumsi anak. Disamping itu PMT yang diberikan diharapkan sesuai dengan komposisi zat gizi yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan. Daftar bacaan : 52 (1971- 2003)
The Relationship between Providing Supplement Foods (PSF) JPS-BX and Other Factors of Infants Nutrition Status (12 - 59 months) in Indragiri Hilir Regency in the Year 2002 Nutrition status has a significant role in improving the quality of human resources. Insufficiency of nutrition could restrain physical improvements and intellectual developments, decrease productivity, decrease immunity, and increase illness and causality. PSF JPS-BK is one of the JPS-BK service program activities in the prevention of health status and society nutrition degeneration, specially the impoverished families which caused by the economic crisis. Whereas, the objectives of the PSF is to maintain and improve nutrition status of infants of impoverished families. PSF JPS-BK of infants has been undertaken since 1999 in lndragiri Hilir Regency, but until now the nutrition prevalence of less nutrition and bad nutrition are still high in which bad nutrition is 5,0 % in 2001 and less nutrition is 1,9 % in 2001. Beside that, this number is higher from the number of Riau Province in the same year, thus a study of the relationship of PSF JPS-BK and other factors of infants nutrition status needs to be undertaken This study is to find out the differences of infants nutrition status before and after Providing Supplement Foods in JPS-BK program subsequent to being controlled with infection illness variable, energy consumptions, and protein consumptions. The research design which is used is one group pre- and post test. Whereas the differences of nutrition status is observed before and after PSF JPS-BK. The samples are infants aged between 12 - 59 months which has weight measurement data before and after PSF WS-BIC The amounts of samples in this study are 165 infants. The result of the study shows that the less nutrition prevalence before PSF JPSBK is 70 children (42,2 %) and after PSF JPS-BK decrease to 60 children (36,4 %). Based on the McNemar test result, there is a significant difference between nutrition status before and after PSF JPS-BK. From the result of this study, it can be concluded that the decrease of less nutrition prevalence is not quite high, thus this study recommends that in order for the PSF JPS-BK program to be successful, providing of foods need to be undertaken through foster mother model so that the officers could monitor and supervise the PSF consumptions by the children. Furthermore, the provided PSF is expected to be in accordance to the composition of nutrition elements, which is established by the Health Ministry. Bibliography Iist : 52 (1971-- 2003)
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafik
Abstrak :
Kemarau panjang yang terjadi pada tahun 1997 berdampak pada kekeringan yang berkepanjangan dan turut berkonstribusi timbulnya krisis ekonomi, moneter dan krisis pangan. Dampak ini sangat dirasakan oleh kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah terutama keluarga miskin. Untuk mencegah terjadinya peningkatan angka penderita gizi kurang pada balita keluarga miskin, maka pemerintah melaksanakan bantuan khusus pelayanan kesehatan dan gizi melalui Program Jaring Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Salah satu bentuk bantuan tersebut adalah Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) kepada Baduta (umur 6-23 bulan) dari keluarga miskin. Program PMT -P Baduta ini telah berjalan sejak tahun 1998, namun sampai saat ini belum diketahui sampai dimana keberhasilan program tersebut. Penelitian bertujuan untuk menganalisis sejauhmana keberhasilan program PMT-P baduta keluarga miskin dihubungkan dengan faktor-faktor yang berperan dalam pelaksanaannya di Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan. Disain penelitian ini adalah cross sectional. Sampel terdiri dan 111 baduta keluarga miskin dan 45 kader yang terlibat langsung dalam pelaksanaan PMT-P. Pengolahan data menggunakan analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan PMT-P di Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan belum berhasil, bila dilihat dari indikator kenaikan berat badan baduta baru mencapai 47,7 % pencapaian cakupan baru 26,7 %. Ada hubungan bermakna antara prosedur pemberian dan tempat pemberian dengan kenaikan berat badan baduta (p<0,05), demikian juga terhadap pencapaian cakupan ada hubungan bermakna dengan variabel pencapaian sasaran, pendataan sasaran dan pendanaan. Dana PMT-P dari pusat masih kurang, banyak sasaran baduta keluarga miskin yang belum mendapat paket PMT-P, sementara itu prevalensi KEP masih cukup tinggi. Maka untuk mencegah KEP balita bertambah dan menjadi lebih buruk perlu dukungan dana yang berasal dari pemerintah daerah baik dukungan dana PMT -P maupun dana operasionalnya dalam rangka membangun surnber daya manusia sejak dini dan mencegah terjadinya lost generation.
Prolonged dry period in 1997 had impacted on extended drought and had contributed to the raise of economics, monetary, and food crises. These impacts were strongly felt among middle-low economic community especially those who were poor. To prevent the increasing prevalence of malnourished children among poor families, Government implemented a special aid in health and nutrition care through Social Safety Net in Health (JPS-BK). One form of the aid was Food Supplementation Program Recovery Type (PMT-P) targeted to children under two years old (6-23 months old) of poor families. This PMT-P program had been running since 1998, however until now there was no information about the success of the program. This study aimed to analyze how success was the PMT -P program in Rajabasa Subdistrict, District of South Lampung, as well as its contributing factors the program and, in turn, fulfill local community's demand. Design of the study is cross sectional. Subjects were 111 under two children of poor families and 45 cadres who directly involved in the implementation of PMT-P program. Data were analyzed univariately and bivariately. The study results show that the implementation of PMT-P program in Rajabasa Subdistrict was not successful as indicated by the increase of body weight which was only 47.7%, and very low coverage of 26.7%. There was significant relationship between supplementation procedure and place of supplementation with body weight increase (p
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apoina Kartini
Abstrak :
ABSTRAK Titik berat Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PIP II) dan prioritas Repelita VI adalah pada bidang ekonomi seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM ditentukan oleh kualitas fisik dan non fisik yang saling berkaitan. Salah satu upaya meningkatkan kualitas SDM, khususnya kualitas fisik, adalah peningkatan kesegaran jasmani di kalangan masyarakat, terutama di kalangan pelajar. Penelitian Pusat Kesegaran Jasmani dan Rekreasi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1993) menyimpulkan bahwa lebih dari 40 persen murid SD di delapan propinsi di Indonesia mempunyai tingkat kesegaran jasmani yang rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi tentang tingkat kesegaran jasmani murid SD di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah dan hubungannya dengan jenis kelamin, umur, status gizi menurut antropometri, status anemi, dan kondisi ekonomi orangtua. Penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan rancangan belah lintang (cross sectional). Data yang digunakan adalah data sekunder yang merupakan basil penelitian `Kemitraan Indonesia untuk Perkembangan Anak? (Mitra) tahun 1995 di Kabupaten Karanganyar. Sampel dari penelitian ini adalah 539 murid di 51 SD di Kabupaten Karanganyar, yang terbagi menjadi dua kelompok umur, yaitu kelompok umur 8-9 tahun dan kelompok umur 11-13 tahun. Pengukuran tingkat kesegaran jasmani dilakukan dengan Harvard Step Test yang telah dimodifikasi. Hasil penelitian menunjukkan 19,4 persen murid laki-laki dan 49,6 persen murid perempuan mempunyai tingkat kesegaran jasmani yang rendah (`kurang' sampai `sangat kurang'). Didapatkan 26,1 persen murid SD yang mempunyai status gizi kurang berdasarkan indeks BB/TB, dan murid yang menderita anemia sebanyak 17,1 persen. Terdapat perbedaan bermakna rata-rata skor kesegaran jasmani antara murid laki-laki dan murid perempuan (p<0,05), dimana rata-rata skor kesegaran jasmani murid laki-laki lebih tinggi dibandingkan murid perempuan., Didapatkan perbedaan bermakna rata-rata skor kesegaran jasmani antara murid kelompok umur 8-9 tahun dan murid kelompok umur 11-13 tahun (p<0,05), dimana rata-rata skor kesegaran jasmani murid kelompok umur 8-9 tahun lebih tinggi dibandingkan murid kelompok umur 11-13 tahun. Tidak ada perbedaan bermakna rata-rata skor kesegaran jasmani di antara tiga kategori status gizi berdasarkan indeks BB/TB (p>0,05). Bila digunakan indeks TB/U dan BBIU didapatkan perbedaan bermakna rata-rata skor kesegaran jasmani di antara empat kategori status gizi (p<0,05), dimana rata-rata skor kesegaran jasmani tertinggi justru pada status gizi buruk. Terdapat perbedaan bermakna rata-rata skor kesegaran jasmani antara murid yang anemia dan murid yang tidak anemia (p<0,05), dimana rata-rata skor kesegaran jasmani murid yang anemia lebih tinggi dibandingkan murid yang tidak anemia. Tidak didapatkan perbedaan bermakna rata-rata skor kesegaran jasmani di antara tiga kategori kondisi ekonomi orangtua murid (p>0,05). Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa masih banyak murid SD di Kabupaten Karanganyar yang mempunyai tingkat kesegaran jasmani rendah, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk mengatasinya. Upaya-upaya tersebut antara lain dapat dilakukan dengan melaksanakan program pendidikan kesegaran jasmani/olahraga di sekolah-sekolah yang lebih mengarah pada peningkatan aktifitas fisik murid, dan diadakannya program peningkatan status gizi murid, terutama untuk murid yang mempunyai status gizi `kurang', misalnya dengan pemberian makanan tambahan (PMT-AS).
ABSTRACT Factors Associated With Physical Fitness Among Primary School Children In Karanganyar District, Central Java, 1995Human resources development is one of the main objectives of the Indonesian second longterm development (PJP 10. The quality of human resources is determined by human physical and non physical quality. One of the effort to improve the quality of human resources, especially physical quality, is improvement the physical fitness. Research from Centre of Physical Fitness and Recreation, Education Department and Culture Republic of Indonesia (1993) concludes that more than 40 percents elementary student for eight provinces in Indonesia have low physical fitness level. The aim of this study is to get information on physical fitness level among elementary school children in Karanganyar District, Central Java and the relationship with sex, age, nutritional status (anthropometrics), anemia status, and parents' economic status. The study was conducted in 51 elementary scholls in Karanganyar District, Central Java in a cross sectional manner. Secondary data from "Mitra" Project (1995) was used. The total sample was 539 students aged 8-13. The children's physical fitness level were examined by the Harvard Step Test that has been modified. The study showed that 19,4 percents boy student and 49,6 percents girl student have low physical fitness level. There are 26,1 percents students that have Protein Energy Malnutrition (PEM) is based on Weight/Height (WIH), and there are 17,1 percents students suffer from anemia. Statistic analysis with t-test showed that there was significantly difference for average score of physical fitness between boy student and girl student (p< 0,05). There was significantly difference of average score for physical fitness between student 8-9 years and 11-13 years. Statistic analysis with Analysis of Variance (Anova) test showed that there was no significantly difference average score for physical fitness between three nutritional status categories based on WIH (p>0,05). Based on Height/Age (H/A) and Weight/Age (W/A) index, there were significantly difference for average score of physical fitness between four nutritional status categories (p<0,05). Statistic analysis with t-test showed that there was significantly difference for average score of physical fitness between student gets anemia and without anemia (p<0,05). Statistic analysis with Anova showed that there was no significantly difference for average score of physical fitness between three economic condition categories from the parents (p>0,05). The study showed that a lot of elementary school children in Karanganyar District have low physical fitness level. So that needed some efforts to overcome about it, The efforts can be done by doing sport education at school that aimed for student physical activity improvement, being improvement program of student nutritional status, especially for student that has low nutritional status for example by giving additional food (PMT-AS).
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarashvati Adi Sasongko
Abstrak :
ABSTRACT
There is a growing interest in physical fitness lately, for physical fitness is believed to be important throughout life, to develop and maintain functional capability, to meet the demands of living and to promote optimal health (ACSM, 1968.). Physical fitness implies health plus, that is the extent to which a child or an adult is free from illness and free to work or play with maximum vigor and endurance (HALSEY & FOSTER, 1973). The interest in the physical fitness of children has also been increasing since the past decade (BARR-OR, 1989).

As a matter of fact, being physically fit is relative to the tasks in which the individual must engage. For physical fitness is mostly related to muscular work, it should be noted that some degree of muscular activity is indeed required in all kinds of work, even the most intellectual occupations. Therefore, its importance is undoubtedly true in all walks of life (ASTRAND & RODAHL, 1987).

In order to attain the desired physical performance, i.e. being fit, the human body, a biological machine, needs food for fuel. It is thus logical to expect that nutrition may well play a role in physical performance (THITGEY, CATALDO, ROLFES, 1987). Some studies have indeed supported the assumption. SATYANARAYANA et al (1977) demonstrated the relationship between body size and work output in male industrial workers. Several other studies on young boys and adolescents showed similar relationship. The subjects, recorded as having been malnourished in their early childhood, failed to perform as expected (SATYANARAYANA et al, 1979; SPURR, et al, 1983). It is then generally considered that individuals with low body weight and height may not have reached their full genetic potential as a consequence of inadequate food intake in early childhood, leading to lower capacity to perform their daily tasks.

While some findings have shown the adverse effect of under nutrition on the physical performance of the individuals later in life, little is known as to how far nutrition influences physical fitness during childhood. The idea is, the earlier the adverse effect is detected, and the sooner actions can be made. Unfortunately, data about this subject are scanty. Some experts, however, have put forward the emphasis on the well-being of a specific group - the school children, in particular those at elementary schools (ADAMS et al, 1961; AGARWAL et al, 1987).

It has been long recognized that the elementary school period is the most decisive stage in a person's life as it is at this particular time that many important norms are implanted on the learners. Moreover, the elementary school years are nutritionally significant because this period is a preparation for the rapid growth of adolescence (Mc WILLIAMS, 1974; WENCK, BAREN, DEWAN, 1984).

In the case of nutrition and physical fitness of elementary school children, the whole school community - parents, teachers, and school children -- is concerned. This is in line with the Alma Ata Declaration which states that people have the right and duty to participate individually and collectively in the planning and implementation of their healthy care (WHO, 1978). This concept has been adopted by the Indonesian government and it is reflected in the Indonesian National Health System (MINISTRY ON HEALTH R.I., 1982). The WHO-based declaration reflects the growing conviction that an individual choice of healthy lifestyle is the key factor and that emphasis should be placed on the positive actions that individuals and communities could take to maintain and promote health (STROOT, 1989). As a rule, healthy lifestyle is best to be taught during the elementary school period; but actions, nevertheless, can be expected when base-line information has been available. Only then it is hoped that parents will be convinced that "academic" performance, which has sometimes been overemphasized, would?
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ecky Bachtar
1990
T58500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Syafiq
Abstrak :
BACKGROUND
Childhood living conditions have long been recognized to have a long term impact on nutritional and health status (Truswell, 1976, Shannon and Chen, 1988, Lundberg, 1993). The pattern of the urban nutrition condition is probably different compared to the nutrition condition in rural areas. Family income, environment (water supply, sewerage facilities, health services etc) besides cultural background and education could limit growth of the children (Solomons and Gross, 1987, Gross and Monteiro, 1989).

Nutritional problems among schoolchildren will negatively affect their learning skills which is very important in succeeding formal educational processes in school (Pollit, 1990, Lopez et al., 1993). Gross (1989) proposed schoolchildren as one of non-traditional nutritional risk groups which seem to exist in the urban area.

It is noted that one of the important changes in Indonesia is a structural change in the future population structure whereby the number of school-age-children
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titih Huriah
Abstrak :
Tahapan perkembangan yang paling penting pada masa balita adalah periode usia bawah tiga tahun. Pada masa ini perilaku ibu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi akan berpengaruh terhadap status gizi balita. Tujuan dari penelitian adaiah teridentifikasinya hubungan antara perilaku ibu dcngan status gizi balita. Desain yang digunakan adalah potong lintang, dengan besar sampel yang diteliti 100 orang. Pengumpulan data mcngenai status gizi dilakukan dengan penimbangan berat badan anak kemudian membandingkan dengan indeks BB/U. Sedangkan untuk perilaku ibu melalui kuesioner dan penilaian asupan makanan balita. Analisa statistik dilakukan dengan uji Chi Square, dan untuk melihat faktor yang paling dominan mempengaruhi status gizi batita digunakan uji regresi logistik ganda pemodelan faktor resiko dengan metode enter. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku ibu dengan status gizi balita (p value = 0,050). Hasil analisis multivariat mcnunjukkan bahwa variabei tingkat pendidikan sebagai faktor confounding dalam hubungan antara periiaku ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi dan status gizi balita. Variabel yang paling dominan mempengaruhi status gizi balita adalah tingkat pendidikan ibu. Saran yang diajukan adalah agar dilakukan peningkatan pengetahuan gizi khususnya mengenai perilaku ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi kepada para ibu dari para kader dengan melakukan berbagai pelatihan.
The most important development period at less than five years old is children under three years (toddler). In this period, mother behavior to fulfill requirement of nutrition will give an impact on the-status of nutrition of the toddler. The purpose of this research was to identify the relationship between mother behavior and the status of nutrition of the toddler. This study used cross sectional design which was the samples of 100 children. Data collection on status of nutrition was examining by scale of child body weight and then compare with the index of BB/U. The mother behavior was by a questioner and assessment of toddler food intake. Chi square was used to examine the relationship between mother behavior and status of nutrition of the toddler. To determine the dominant factor influence status of nutrition of the toddler used double logistic regression test, model of risk factor by enter method. The result of this study was shows that there are significant relation between mother behavior and status of nutrition of the toddler (p value = 0,050). Multivariate analysis result indicated that the mother education level as a confounding factor on relation between mother behavior to fulfill requirement of nutrition and status of nutrition of the toddler. The conclusion of this study was the mother's education level is dominant variable that influence status of nutrition of the toddler. The suggestion was in order to increase knowledge of nutrition especially regarding mother behavior in fulfill requirement of nutrition by various training for all mothers and health social workers.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
T18051
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>