Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Goodman, Lawrence R
Philadelphia: Saunders Alsevier, 2007
617.54 GOO f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Martin Raja Sonang
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang : Tuberkulosis (TB) menempati urutan pertama sebagai penyebab pertama kematian akibat infeksi di Indonesia. Angka kesakitan TB di Indonesia semakin bertambah dengan semakin banyaknya kasus multi drug resistant(MDR) TB. Pemeriksaan foto toraks merupakan bagian penegakkan diagnosis TB paru, terutama untuk menegakkan diagnosis MDR TB pada saat awal kunjungan penderita TB. Sampai saat ini belum ada data di Indonesia mengenai perbandingan karakteristik lesi foto toraks MDR TB dengan lesi foto toraks drug sensitive (DS) TB. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan gambaran karakteristik lesi foto toraks MDR TB dengan lesi foto toraks DS TB. Bahan dan cara kerja : Penelitan ini dilakukan dengan studi retrospektif menggunakan data sekundefr dari rekam medic penderita yang berobat ke poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta selama periode Januari 2013 sampai Desember 2015. Pembacaan ulang foto toraks kunjungan pertama dalam semua rekam medik pasien MDR TB dan DS TB, dilakukan di bagian radiologi RSUP Persahabatan dan dibaca oleh spesialis radiologi konsultan toraks. Penilaian foto toraks meliputi morfologi, lokasi dan derajat lesi. Hasil : Gambaran foto toraks 183 penderita MDR TB dan 183 penderita DS TB memiliki lesi terbanyak berupa konsolidasi (57,4% vs 20,8%), kavitas (57,9% vs 6%), infiltrat (36,6% vs 66,7%). Kedua kelompok memiliki lesi terbanyak di lapangan atas paru kanan. Gambaran lesi bronkiektasis ditemukan terbanyak di MDR TB yaitu : 13,7% di lapangan tengah paru kanan. Kemlompok MDR TB memiliki kecenderungan derajat lesi luas lebih dominan dibandingkan DS TB(69% vs 27%). Kesimpulan : Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa lesi konsolidasi multiple dan kavitas multiple multiple lebih dominan pada MDR TB dibandingkan DS TB dan gambaran bronkiektasis unilobuler hanya ditemui pada MDR TB terutama di lapangan tengah paru kanan. MDR TB memiliki derajat lesi luas dibandingkan dengan DS TB
ABSTRACT Background: Tuberculosis (TB) is still rhe first cause of death due to infection in Indonesia. TB morbidity rate in Indonesia will had increasing with more cases of multi-drug resistant (MDR) TB. Chest x-ray is part of the diagnosis tools of establishing pulmonary TB, particularly for diagnosis of MDR TB at the early visit of TB patients. Until now there is no data especially in Indonesia regarding the comparison between chest x-ray lesion characteristics of MDR lung TB with chest x-ray lesions of drug-sensitive (DS) lung TB. Objective: The aims of this study to compare between lesions characteristic on chest x fray of MDR lung TB and lesions characteristicon chest x ray.of DS lung TB. Materials and methods: This research was conducted a retrospective study using seconday data from patients medical records medic in pulmonology department in Persahabatan Hospital Jakarta within period January 2013 to December 2015. Chest x-ray of the first admission of new cases of MDR lung TB and DS lung TB DS, were reviewed by thorax radiology specialist consultant carried out in radiology department of Persahabatan hospital. Assesment of chest x-ray include morphology, lesion location and degree of the lesions. Results: The comparison between chest x-ray lesions of 183 patiens with MDR TB and of chest x-ray lesions 183 patiens with DS TB of predominantly as multilobular consolidation (57.4% vs 20.8%), the multilobuler multiple cavity (57.9% vs 6%), multilobular infiltrates (36.6% vs 66,7%). Both groups had preferable location on the upper of the right lung. Bronchiectasis lesions had found most in MDR lung TB are : 13.7% mainly located in the middle of the right lung. MDR TB has a tendency estensive lesions was more dominant than the DS TB (69% vs 27%). Conclusion. the multiple consolidation and multiple cavity were more dominant in MDR lung TB compared to DS lung TB and unilobuler bronchiectasis lesion only found on MDR lung TB, especially in middle of the right lung. MDR TB on chest x-ray have extensive lesions more dominant than DS TB.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Novitasari
Abstrak :
Pendahuluan: Estimasi usia dan jenis kelamin yang akurat memiliki peran penting dalam upaya identifikasi individu yang tidak dikenal terutama pada kasus-kasus forensik, baik pada individu yang masih hidup maupun sudah meninggal. Tulang belakang segmen dada dan iga merupakan tulang yang tidak banyak diteliti dalam penentuan usia dan jenis kelamin, namun tulang-tulang tersebut sering ditemukan pada saat pemeriksaan identifikasi dilakukan. Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dan analitik dengan desain potong lintang menggunakan 300 sampel radiografi toraks dari pasien rawat jalan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, terdiri dari 150 laki-laki dan 150 perempuan dengan rentang usia antara 18 hingga 65 tahun. Pengukuran dilakukan pada tulang belakang segmen dada ke-1 hingga ke-12 dan tulang iga ke-2 hingga ke-7. Penelitian ini disetujui oleh komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan korelasi yang lemah dan sangat lemah pada tulang belakang segmen dada yang signifikan (p<0,05) dan korelasi yang sangat lemah namun tidak signifikan (p>0,05) pada tulang iga terhadap estimasi usia kronologis. Terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran lebar, tinggi, diagonal pada seluruh tulang belakang segmen dada dan semua iga yang diperiksa, dimana 14 parameter yang bermakna pada tulang belakang segmen dada ke-2, ke-3 dan ke-8; tulang iga ke-2, ke-3, dan ke-7; serta Y total secara bersama-sama memberikan nilai akurasi 70,7% terhadap estimasi jenis kelamin. Kesimpulan: Radiografi toraks untuk menilai tulang belakang segmen dada dan iga-iga merupakan metode yang sangat berguna untuk upaya identifikasi usia dan jenis kelamin. Namun, penelitian lebih lanjut tetap diperlukan untuk mendapatkan estimasi yang lebih akurat.
Introduction: Accurate age and sex determination holds important role in determining the identity of unknown individuals in forensic science for both living and remains. Vertebrae are one of the least studied bones for chronologica age and sex identification; however, eventhough its presence at a death scene is the most common of all. Methodology: This research was an observational descriptive and analytic study using cross-sectional research design with 300 chest radiograph as its sample in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, with 150 males and 150 females taken for T1-T12 thoracic vertebras and second-seventh ribs. All the procedures for this study were approved by the ethical committee of Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Results: In this study, weak and very weak significant correlation was calculated from thoracic vertebras calculation and very weak correlation but no significant of ribs related to chronological age. There were significant correlation between width, height, and diagonal size in all thoracic vertebras and all ribs, which have 14 significant parameters of 2nd, 3rd and 8th thoracic vertebras; 2nd, 3rd and 7th ribs; and total height of thoracic vertebras with an accuracy value of 70.7% for sex determination. Conclusion: Chest radiograph of thoracic vertebrae and ribs is a useful method for sex and chronological age identification of unknown bodies; however, further studies are still needed to develop examinations with higher accuracy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Santoso Sugandi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Opasitas total hemitoraks kanan atas disebabkan dapat disebabkan oleh pneumonia, atelektasis dan massa. Ketiga etiologi tersebut sering ditemukan pada kondisi emergensi di mana ketiganya memiliki penanganan berbeda-beda, yaitu berupa antibiotik pada kasus pneumonia bronkoskopi emergensi pada kasus atelektasis, dan penataksanaan CT Scan toraks pada kasus massa paru. Penegakan diagnosis penyebab opasitas hemitoraks kanan atas tersebut dapat dilakukan melalui pemeriksaan CT Scan toraks dengan spesifisitas tinggi. Pemeriksaan radiografi toraks yang merupakan modalitas pencitraan pertama juga dapat membantu membedakan ketiga diagnosis ini dengan menilai tanda-tanda perubahan volume rongga toraks, salah satunya adalah jarak sela iga. Meskipun demikian, perubahan jarak sela iga ini masih bersifat kualitatif dan belum ditemukan penelitian mengenai titik potong yang dapat digunakan untuk menentukan penyebab opasitas total hemitoraks kanan atas. Tujuan : Meningkatkan nilai diagnostik radiografi toraks sebagai modalitas pemeriksaan awal pada kasus opasitas total hemitoraks kanan atas sehingga diagnosis dan tatalaksana yang diberikan semakin cepat dan akurat. Metode: Menggunakan desain korelatif dan komparatif studi potong lintang dengan data sekunder, sampel minimal 48 pasien. Analisis data berupa pengukuran korelasi rasio sela iga antara hemitoraks kanan dibanding kiri pada radiografi toraks dan CT Scan, penentuan titik potong menggunakan metode receiver operating curve (ROC) , serta penentuan tingkat sensitivitas dan spesifitasnya. Hasil: Perhitungan rasio sela iga pada radiografi toraks pada posisi AP maupun PA memiliki korelasi dengan CT Scan toraks dengan korelasi yang lebih kuat ditemukan antara radiografi toraks posisi AP dan CT Scan toraks. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rasio sela iga midposterior kedua dan ketiga di antara kelompok atelektasis dengan pneumonia dan kelompok atelektasis dengan massa. Tidak terdapat perbedaan rasio sela iga antara kelompok pneumonia dan massa (kelompok non-atelektasis). Penggunaan titik potong sebesar 0,9 pada sela iga dua dapat membedakan kelompok atelektasis dan non-atelektasis dengan sensitivitas sebesar 77,8% dan spesifisitas sebesar 73,7%. Apabila titik potong 0,9 tersebut digunakan pada sela iga dua dan tiga, maka kelompok atelektasis dan non-atelektasis dapat dibedakan dengan sensitivitas sebesar 52,63% dan spesifisitas sebesar 93,75%. Kesimpulan : Pengukuran rasio sela iga pada radiografi toraks dapat digunakan untuk membedakan opasitas total hemitoraks kanan atas yang disebabkan oleh atelektasis dan non-atelektasis. Dengan membedakan kelompok atelektasis atau non atelektasis, maka pasien dapat lebih cepat untuk dilakukan tindakan yang invasif berupa bronkoskopi emergensi atau menjalani penanganan yang noninvasif seperti antibiotik pada konsolidasi pneumonia ataupun pemeriksaan lebih lanjut pada kasus massa.
ABSTRACT
Background: Right upper hemithorax total opacities can be caused by pneumonia, ateletasis, and mass. These etiologies have some distinct treatments such as antibiotic for pneumonia, emergency bronchoscopy for ateletasis, and lung CT Scan for mass. Differentiation between these three causes can be made by chest CT Scan with high spesificity . Chest radiography which act as the first line modality can also help in differentiating between these etiologies by looking for the sign of hemithorax volume changes such as intercostal space. However, intercostal space changes is still measured qualitatively and there still no research about intercostal space cut-off for differentiating the caused of right upper hemithorax total opacities Purpose : Increasing diagnostic value of chest radiography which is the first line imaging in right upper hemithorax total opacities, to provide a better and faster treatment. Methods: This study is a corellative and comparative cross sectional study with secondary data and 48 minimal subject. The data were analysed by measuring the ratio between right and left intercostal spaces in chest radiography and CT Scan, determining the cut-off using receiver operating curve (ROC), and also determining the sensitivity and specificity. Result: The intercostal space ratio in AP and PA positions of chest radiography has correlation with the intercostal space ratio in chest CT Scan, which is found higher in AP position. There is a significant difference between intercostal ratio in second and third intercostal at midposterior position between atelectasis and pneumonia group, and also between atelectasis and mass group. There is no significant difference between intercostal ratio in pneuimonia and mass group. By using 0,9 as a cut off in the second midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 77,8% and 73,7% respectively. By using 0,9 as a cut of in both of second and third midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 52,63% and 93,75% respectively Conclusion: Intercostal space ratio measurement in chest radiography can be used to differentiate right upper hemithorax total opacities, especially by atelectasis and non atelectasis. By defferentiating between atelectasis and non atelectasis groups, the patient can get a faster invasive treatment such as emergency bronchoscopy or proceed to non invasive therapy such as antibiotic in pneumonia or chest CT Scan in mass.
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Daniel Tenda
Abstrak :
Latar Belakang: Seiring berjalannya pandemi COVID-19, diperlukan tes diagnostik yang lebih baik, cepat, andal, mudah dan tersedia secara luas. Foto rontgen dada digunakan sebagai pemeriksaan awal untuk menegakkan diagnosis kerja. Kecanggihan Artificial Intelligence (AI) diketahui dapat meningkatkan presisi diagnosis Pneumonia pada foto rontgen dada. Salah satu program AI yang sedang marak digunakan adalah CAD4COVID-Xray. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan melihat perbedaan performa skoring AI dibanding skoring Brixia pada foto rontgen dada untuk mendiagnosis dan menentukan derajat keparahan pneumonia COVID-19. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong-lintang pada 300 pasien terduga dan terkonfirmasi pneumonia COVID-19. Rontgen dada dinilai secara kuantitatif menggunakan program CAD4COVID dan semi-kuantitatif menggunakan sistem skoring Brixia. Analisa performa diagnostik dinilai menggunakan estimasi AUC dan perbandingannya, serta perbandingan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dan akurasi. Hasil: AI probability score (AUC 0,542, IK95% 0,471-0,613), AI ALA score (AUC 0,442, IK95% 0,375-0,510) dan overall CXR score (AUC 0,461, IK95% 0,393-0,528) tidak memiliki kemampuan diskriminasi hasil RT-PCR SARS CoV-2 pada subjek terduga COVID-19. AI probability score (AUC = 0,888, IK95% 0,820- 0,956), AI ALA score (AUC = 0,875, IK95% 0,789-0,953) dan overall CXR score (AUC = 0,878, IK95% 0,808-0,948) memiliki kemampuan diskriminasi sangat baik untuk menentukan derajat keparahan penyakit subjek terkonfirmasi COVID-19. AI probability score (Sn 87,2%, Acc 85,6%) dan AI ALA score (Sn 82,6%, Acc 80,4%) lebih sensitif dan akurat dibandingkan overall CXR score (Sn 75,6%, Acc 78,4%) untuk mendiskriminasi derajat keparahan penyakit pneumonia COVID-19. Simpulan: AI probability score, AI ALA score dan overall CXR score tidak memiliki kemampuan membedakan hasil RT-PCR SARS CoV-2 pada subjek terduga COVID-19. AI probability score, AI ALA score dan overall CXR score memiliki kemampuan yang sangat baik untuk membedakan derajat keparahan penyakit subjek terkonfirmasi COVID-19. AI probability score dan AI ALA score lebih sensitif dan akurat dibandingkan overall CXR score untuk membedakan derajat keparahan penyakit pneumonia COVID-19. ......Background: As the COVID-19 pandemic progresses, a better, faster, reliable, easy and widely available diagnostic tests are needed. Chest X-rays are currently used as an initial examination to confirm a working diagnosis. Advancement of Artificial Intelligence (AI) is known to increase diagnosis precision of pneumonia on chest X-rays. One of the AI programs that is widely being used during the COVID-19 pandemic is CAD4COVID-Xray. Objective: This study aims to determine and compare the performance of AI scoring system using colour heat-map compared to Brixia scoring system on chest X-rays to diagnose and determine the severity of COVID-19 pneumonia. Methods: This study is a cross-sectional study, involving 300 suspected and confirmed COVID-19 pneumonia patients. Chest X-rays were assessed quantitatively using the CAD4COVID program and semi-quantitatively using the Brixia scoring system. Performance analysis is assessed using AUC estimation and its comparison, as well as comparisons of sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and accuracy. Results: AI probability score (AUC 0.542, 95% IK 0.471-0.613), AI ALA score (AUC 0.442, 95% IK 0.375-0.510) and overall CXR score (AUC 0.461, 95% CI 0.393-0.528) did not have the ability to discriminate RT-PCR results of subjects with suspicion of COVID-19. AI probability score (AUC = 0.888, 95% CI 0.820- 0.956), AI ALA score (AUC = 0.875, 95% IK 0.789-0.953) and overall CXR score (AUC = 0.878, 95% CI 0.808-0.948) had excellent strength of agreement to determine disease severity in subjects with confirmed COVID-19. AI probability score (Sn 87.2%, Acc 85.6%) and AI ALA score (Sn 82.6%, Acc 80.4%) are more sensitive and accurate than overall CXR score (Sn 75.6%, Acc 78 ,4%) to determine the severity of COVID-19 pneumonia. Conclusions: AI probability score, AI ALA score and overall CXR score did not have the ability to discriminate RT-PCR results of subjects with suspicion of COVID-19. AI probability score, AI ALA score and overall CXR score had excellent strength of agreement to determine disease severity in subjects with confirmed COVID-19. AI probability score and AI ALA score are more sensitive and accurate than overall CXR score to determine the severity of COVID-19 pneumonia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Wulan Sari
Abstrak :
Latar belakang: Infeksi COVID-19 menyebabkan terjadinya pandemik diseluruh dunia. Pemeriksaan rRT-PCR merupakan pemeriksaan yang di rekomendasikan dari WHO untuk penegakkan diagnosis dari COVID-19. Faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan rRT-PCR untuk diagnosis COVID-19, membuat pemeriksaan penunjang berupa radiografi toraks dan CT-scan toraks juga sangat dibutuhkan guna membantu diagnosis COVID-19. CT-scan toraks lebih sensitif untuk membantu mengarahkan diagnosis COVID-19 namun kurang praktis dalam hal desinfeksi dan dekontaminasi serta transportasi pasien ke ruang CT-scan, dan limitasi ketersediaannya pada fasilitas kesehatan. Di sisi lain, radiografi toraks dengan sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan CT-scan, namun memiliki beberapa keunggulan terkait ketersediaan alat serta tidak tidak terkendala masalah transportasi dan dekontaminasi. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder pemeriksaan radiografi dan CT-scan toraks pasien-pasien dengan hasil rRT-PCR positif yang tersedia di PACS Departemen Radiologi RSCM mulai bulan Maret 2020 hingga Juli 2021, dengan total 41 sampel. Kemudian dilakukan analisis dengan konkordansi dan Kohen Kappa. Hasil: Pada analisis Kappa Cohen, terdapat kesesuaian sedang (0,55) antara penebalan pleura, kesesuaian lemah antara gambaran opasitas ground glass (GGO) (0,32), konsolidasi (0,38), efusi pleura (0,36) , distribusi lesi perifer (0,39), fokus lesi yang multifokal (0,32), zona paru yang terkena (atas 0,32, tengah 0,24, bawah 0,36), dan keterlibatan paru bilateral (0,27) serta tidak terdapat kesesuaian antara gambaran opasitas retikuler (0,06) dan lesi sentral (-0,10) pada radiografi dan CT-scan toraks. Pada analisis Konkordansi terdapat kesesuaian kuat antara gambaran GGO(80,5%), penebalan pleura (90,2%), efusi pleura (92,6%), lokasi lesi di perifer(82,9%), kesesuaian sedang antara konsolidasi (68,2%), lesi multifokal (73,1%), Zona bawah(78%), zona tengah (65,8%) dan keterlibatan paru bilateral (70,7%) dan lemah antara lesi di zona bawah (63,4%) serta tidak ada konkordansi antara opasitas retikuler (48,7%) dan lesi di sentral (51,2%) pada radiografi dan CT-scan toraks. ...... Background: COVID-19 infection causes a worldwide pandemic. The rRT-PCR examination is recommended by WHO for the diagnosis of COVID-19. Factors that affect the accuracy of the rRT-PCR examination for the diagnosis of COVID-19, making supporting examinations of chest radiography and chest CT-scan also needed to help diagnose the COVID-19 infection. Chest CT scan is more sensitive to help direct the diagnosis of COVID-19 but is less practical in terms of disinfection and decontamination and transportation of patients to CT-scan rooms, and limited availability in health facilities. On the other hand, chest radiography has a lower sensitivity than CT scan, but has several advantages related to the availability of tools and transportation and decontamination problems. Methods: This study uses secondary data from chest radiographic and chest CT-scans examinations of patients with positive rRT-PCR results available at the PACS of the RSCM Radiology Department from March 2020 to July 2021, with a total of 41 samples. The analysis was carried out by using Kappa Cohen and concordance. Results: In Kappa Cohen's analysis, there was moderate agreement (0.55) between pleural thickening, weak agreement between ground glass opacity (GGO) images (0.32), consolidation (0.38), pleural effusion (0.36), lesion distribution peripheral (0.39), multifocal lesion foci (0.32), affected lung zones (upper 0.32, middle 0.24, below 0.36), and bilateral lung involvement (0.27) and no agreement between reticular opacity (0.06) and central lesion (-0.10) on chest radiograph and CT scan. In the Concordance analysis there was a strong concordance between the appearance of GGO (80.5%), pleural thickening (90.2%), pleural effusion (92.6%), the location of the lesion in the periphery (82.9%), moderate concordance between consolidation ( 68.2%), multifocal lesions (73.1%), lower zone (78%), middle zone (65.8%) and bilateral lung involvement (70.7%) and weak between lesions in the lower zone (63, 4%) and there was no concordance between reticular opacities (48.7%) and central lesions (51.2%) on chest radiographs and CT scans. Conclusion: From all the lesion assessments on chest radiographs and chest CT-scans, reticular opacity lession and the central location of the lesion had no agreement between chest radiographic findings and chest CT scan. The other lesions had moderate to weak agreement on chest radiographs and chest CT scans
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmania Diandini
Abstrak :
Latar Belakang dan Tujuan: Prevalensi tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat kedua terbanyak setelah India dan peran diagnosis cepat serta akurat sangatlah penting. Sejak tahun 2014 pemeriksaan laboratorium berbasis amplifikasi asam nukleat GenXpert MTB/RIF telah diadopsi dalam pedoman nasional penanggulangan TB paru BTA negatif karena dalam 2 jam dapat lebih akurat mendeteksi basil tahan asam dibandingkan dengan apusan sputum BTA konvensional. Harga yang mahal dan ketersediaan yang terbatas membuat perlunya alternatif lain untuk pemeriksaan ini. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan gambaran radiografi toraks GenXpert MTB/RIF pada pasien tersangka TB paru BTA negatif. Metode: Uji komparasi dengan pendekatan potong lintang membandingkan gambaran radiografi toraks tipikal, atipikal dan bukan TB pada 44 subyek dengan hasil GenXpert MTB/RIF positif dan negatif 22 subyek per kelompok. Analisis berdasarkan adanya komorbiditas HIV, DM, terapi imunosupresan jangka panjang juga dilakukan. Hasil: Terdapat kesesuaian antara gambaran radiografi toraks dengan hasil pemeriksaan genXpert MTB/RIF pada subyek dengan BTA sputum negatif, dengan nilai kappa 0,59 moderate, sensitivitas 81,8 dan spesifisitas 77,3, yang menguat pada kelompok tanpa komorbiditas kappa 0,71l; sensitivitas 87,5, spesifisitas 83,3, serta berkurang pada kelompok dengan komorbiditas kappa 0,464; sensitivitas 81,8 ; spesifisitas 71,4. Lesi radiografi toraks pada kelompok subyek dengan genXpert positif terbanyak adalah infiltrat lapangan atas paru 77,3, nodul 40,9, kavitas 36,4, secara statistik signifikan dengan p<0,05. Kesimpulan: Jika dibandingkan dengan GenXpert MTB/RIF, radiografi toraks memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang baik, sehingga dapat dijadikan alternatif modalitas diagnosis yang lebih murah, terutama di daerah perifer Indonesia. ...... Background and Purpose: Indonesia rsquo s tuberculosis prevalence is currently ranked second highest in the world after India. Therefore, the role of fast and accurate diagnosis is very important. After 2014, a nucleic acid amplification test GenXpert MTB RIF is implemented for negative sputum smear tuberculosis, due to its ability to diagnose tuberculosis within 2 hours with higher accuracy compared to conventional smear. Due to its high cost and lack of availability, an alternative for diagnostic tools should be sought. This study objective is to compare chest radiography using WHO ISTC criteria based on typical and atypical lesion, with GenXpert MTB RIF on subjects who are suspected tuberculosis, with negative sputum smear. Methods: Comparative cross sectional study to compare chest radiography using WHO ISTC criteria based on typical and non typical TB among 44 subjects suspected tuberculosis infection with negative sputum smear, among groups with positive and negative GenXpert each 22 subjects. Analysis is also performed on subjects with and without comorbidities HIV, DM, long term immunosuppressive therapy. Results: We found moderate agreement with kappa value 0,59 moderate, sensitivity 81,8 and specificity 77,3, and showing increased value in group without comorbidities kappa 0,71l sensitivity 87,5, specificity 83,3, and decreased value in group with comorbidities kappa 0,464 sensitivity 71,4 specificity 75. Radiographic lesions most frequently found in positive GenXpert group are upper field infiltrate 77,3, nodules 40,9, and cavities 36,4, with greater proportion compared with negative group, and statistically significant p<0,05. Conclusion: Compared with GenXpert MTB RIF, chest radiography shows good sensitivity and specificity, so it is still potential as cost effective diagnostic modality especially in peripheral areas in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Foto thorax merupakan salah satu penunjang diagnostik tuberkolosis (TB). Lesi pada foto thorax seperti infiltrat, fibrosis, kalsifikasi, karvitas, effusi pleura maupun kombinasi lesi sering dijumpai pada penyakit radang kronik paru, terutama TB. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas gejala klinis dan lesi foto thorax. Penelitian ini bersifat restrospektif dari catatan medik poliklinik dan bangsal RSUD Bantul tahun 2010. Ada 100 sampel, terdiri dengan klinis TB dan 50 tanpa klinis TB, usia 18-50 tahun dengan foto thorax dan pemeriksaan sputum BTA. Metode penelitian ui diagnostik ini didasarkan pada baku emas sputum BTA. Hasil menunjukkan gejala klinis TB terbanyak adalah batuk berdarah dan sesak napas. Foto thorax didapatkan 33 pasien dengan lesi infiltrat, 18 pasien kombinasi lebih dari 3 lesi 87,5%, 13,3%. Disimpulkan sensitifitas gejala klimis, infiltrat-fibroinfiltrat 83,3%, 24,4% dan kombinasi lebih 3 lesi cukup tinggi (>70%) sedangkan spesifisitasnya rndah (<70%).
610 MUM 10:2(2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irmasari Chumairah
Abstrak :
Latar belakang: Infeksi COVID-19 pertama kali terjadi di Wuhan, China pada 19 Desember 2019 hingga ditetapkan sebagai pandemik global oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. Di Indonesia kasus pertama yang terkonfirmasi ditemukan pada tanggal 2 Maret 2020 dan sejak saat itu kasus COVID-19 semakin meningkat hingga mencapai 2.983.830 pada 21 Juli 2021. Pada kondisi melonjaknya kasus COVID-19 di dunia khususnya Indonesia telah menjadikan modalitas radiografi toraks sebagai salah satu penunjang diagnosis maupun sebagai parameter perkembangan kondisi klinis pasien. Negara Italia dan Inggris menggunakan radiografi toraks sebagai lini pertama di triage untuk penentuan tatalaksana awal, karena pemeriksaan RT-PCR memakan waktu cukup lama. Selain itu, pasien kritis yang tidak dapat dimobilisasi untuk pemeriksaan CT scan toraks dipilih untuk dilakukan pemeriksaan radiografi toraks menggunakan portable X-ray. Kondisi tersebut membuat negara Italia mengembangkan sistem skoring toraks Brixia untuk memantau perkembangan klinis pasien yang dirawat di rumah sakit. Karena sistem skoring toraks Brixia belum pernah digunakan sebagai prediktor untuk memperkirakan perjalanan penyakit pada pasien COVID-19, maka penelitian ini akan menilai skoring tersebut sebagai prediktor perkembangan klinis pasien COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol menggunakan 48 data sekunder berupa sistem skoring toraks Brixia dari radiografi toraks yang diambil dari Picture archiving and communication system (PACS), serta data klinis dalam jangka waktu dua minggu pertama berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya pada pasien COVID-19 terkonfirmasi di RSCM periode Maret 2020 – Juli 2021. Hasil: Rerata skoring toraks brixia antara kelompok klinis perburukan dan perbaikan tidak bermakna signifikan (p > 0,05), sehingga tidak dapat menilai titik potong skoring toraks Brixia. Namun didapatkan perbedaan rerata yang signifikan (p < 0,05) antara skoring toraks Brixia dengan kondisi akhir klinis hidup dan meninggal, yaitu didapatkan rentang skor di awal perawatan 7,8 – 16,6 dapat mengarah ke kondisi klinis kritis bahkan kematian di akhir perawatan. Selain itu juga didapatkan perbedaan rerata (p < 0,05) antara interval onset gejala dengan kelompok gejala klinis perburukan dan perbaikan pada pasien COVID-19. Kesimpulan: Sistem skoring toraks Brixia tidak dapat dijadikan prediktor dalam menentukan perkembangan klinis perburukan atau perbaikan pada pasien COVID-19, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai parameter tunggal dalam tatalaksana pasien. Namun secara tidak langsung skoring ini dapat memprediksi kondisi akhir ke arah hidup atau meninggal dikaitkan juga dengan interval onset gejala. Hal ini terjadi karena kondisi klinis perburukan maupun perbaikan disebabkan oleh proses perjalanan penyakit yang masih berlangsung sesuai onset gejala, serta daya imunitas individu yang bervariasi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>