Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmat Umar
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Beberapa komplikasi sulit yang timbul setelah tindakan sternotomi mediana yang menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas pasien. Hal ini dapat dicegah dengan aproksimasi sternum yang stabil, Berbagai macam teknik jahitan fiksasi untuk aproksimasi sternum menggunakan wire. Peneliitian ini membandingkan biomekanik teknik jahitan figure of eight trans-sternal dan peristernal. Metode: Penelitian eksperimental pada sternum kambing sebanyak 36 sampel, dilakukan sternotomi mediana, kemudian dilakukan fiksasi sternum menggunakan wire, 18 sampel dilakukan fiksasi jahitan figure of eight peristernal dan 18 sampel trans-sternal. Dinilai dengan uji komparasi tiga dimensi: lateral distraction, transversal shear dan longitudianal shear dengan beban 125N, 150N, 200N, 250N, 300N, 400N. pergeseran diukur dalam mm setiap tingkat pembebanan. Dilakukan analisis statistik dengan uji independent sample t-test. Hasil: Pada uji lateral distraction dan longitudinal shear didapatkan perbedaan bermakna pada pemberian beban ringan 125N, 150N dan 200N, pada beban 300N dan 400N tidak ada perbedaan bermakna. Uji transversal shear tidak ada perbedaan bermakna pada kedua teknik jahitan. Pada hasil uji tarik kedua teknik jahitan mengalami pergeseran lebih dari 2mm pada pembebanan 250 N. Kesimpulan: Stabilitas sternum pada teknik jahitan figure of eight peristernal sama dibanding jahitan figure of eight trans-sternal.
ABSTRACT
Backgrounds There are troublesome complications following median sternotomy which are lead to major causes of morbidity and mortality of patients. This can be prevented by stable sternal approximation, Various suturing fixation method for sternal approximation using wire. To compare the biomechanics of the figure of eight trans sternal and the peristernal suturing method. Methods Experimental study on goat sternum 36 samples, performed sternotomi mediana, then performed sternum fixation using wire, 18 samples performed suturing fixation of figure of eight peristernal and 18 sample trans sternal. Assessed by a three dimensional comparative test lateral distraction, transversal shear and longitanium shear with loads of 125N, 150N, 200N, 250N, 300N, 400N. Shifts are measured in mm at each loading level. Statistical analysis was performed using independent sample t test. Results In lateral distraction and longitudinal shear tests, there were significant differences in the loading of light loads of 125N, 150N and 200N. The transverse shear test no significant difference in the two suturing techniques, In the bending test results both suturing method experience a shift of more than 2mm at 250 N loading. No other significant differrences in clinical outcomes. Conclusions The sternal stability of the peristernal figure of eight method is the same as that of the trans sternal figure of eight.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Goodman, Lawrence R
Philadelphia: Saunders Alsevier, 2007
617.54 GOO f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Martin Raja Sonang
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang : Tuberkulosis (TB) menempati urutan pertama sebagai penyebab pertama kematian akibat infeksi di Indonesia. Angka kesakitan TB di Indonesia semakin bertambah dengan semakin banyaknya kasus multi drug resistant(MDR) TB. Pemeriksaan foto toraks merupakan bagian penegakkan diagnosis TB paru, terutama untuk menegakkan diagnosis MDR TB pada saat awal kunjungan penderita TB. Sampai saat ini belum ada data di Indonesia mengenai perbandingan karakteristik lesi foto toraks MDR TB dengan lesi foto toraks drug sensitive (DS) TB. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan gambaran karakteristik lesi foto toraks MDR TB dengan lesi foto toraks DS TB. Bahan dan cara kerja : Penelitan ini dilakukan dengan studi retrospektif menggunakan data sekundefr dari rekam medic penderita yang berobat ke poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta selama periode Januari 2013 sampai Desember 2015. Pembacaan ulang foto toraks kunjungan pertama dalam semua rekam medik pasien MDR TB dan DS TB, dilakukan di bagian radiologi RSUP Persahabatan dan dibaca oleh spesialis radiologi konsultan toraks. Penilaian foto toraks meliputi morfologi, lokasi dan derajat lesi. Hasil : Gambaran foto toraks 183 penderita MDR TB dan 183 penderita DS TB memiliki lesi terbanyak berupa konsolidasi (57,4% vs 20,8%), kavitas (57,9% vs 6%), infiltrat (36,6% vs 66,7%). Kedua kelompok memiliki lesi terbanyak di lapangan atas paru kanan. Gambaran lesi bronkiektasis ditemukan terbanyak di MDR TB yaitu : 13,7% di lapangan tengah paru kanan. Kemlompok MDR TB memiliki kecenderungan derajat lesi luas lebih dominan dibandingkan DS TB(69% vs 27%). Kesimpulan : Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa lesi konsolidasi multiple dan kavitas multiple multiple lebih dominan pada MDR TB dibandingkan DS TB dan gambaran bronkiektasis unilobuler hanya ditemui pada MDR TB terutama di lapangan tengah paru kanan. MDR TB memiliki derajat lesi luas dibandingkan dengan DS TB
ABSTRACT Background: Tuberculosis (TB) is still rhe first cause of death due to infection in Indonesia. TB morbidity rate in Indonesia will had increasing with more cases of multi-drug resistant (MDR) TB. Chest x-ray is part of the diagnosis tools of establishing pulmonary TB, particularly for diagnosis of MDR TB at the early visit of TB patients. Until now there is no data especially in Indonesia regarding the comparison between chest x-ray lesion characteristics of MDR lung TB with chest x-ray lesions of drug-sensitive (DS) lung TB. Objective: The aims of this study to compare between lesions characteristic on chest x fray of MDR lung TB and lesions characteristicon chest x ray.of DS lung TB. Materials and methods: This research was conducted a retrospective study using seconday data from patients medical records medic in pulmonology department in Persahabatan Hospital Jakarta within period January 2013 to December 2015. Chest x-ray of the first admission of new cases of MDR lung TB and DS lung TB DS, were reviewed by thorax radiology specialist consultant carried out in radiology department of Persahabatan hospital. Assesment of chest x-ray include morphology, lesion location and degree of the lesions. Results: The comparison between chest x-ray lesions of 183 patiens with MDR TB and of chest x-ray lesions 183 patiens with DS TB of predominantly as multilobular consolidation (57.4% vs 20.8%), the multilobuler multiple cavity (57.9% vs 6%), multilobular infiltrates (36.6% vs 66,7%). Both groups had preferable location on the upper of the right lung. Bronchiectasis lesions had found most in MDR lung TB are : 13.7% mainly located in the middle of the right lung. MDR TB has a tendency estensive lesions was more dominant than the DS TB (69% vs 27%). Conclusion. the multiple consolidation and multiple cavity were more dominant in MDR lung TB compared to DS lung TB and unilobuler bronchiectasis lesion only found on MDR lung TB, especially in middle of the right lung. MDR TB on chest x-ray have extensive lesions more dominant than DS TB.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Novitasari
Abstrak :
Pendahuluan: Estimasi usia dan jenis kelamin yang akurat memiliki peran penting dalam upaya identifikasi individu yang tidak dikenal terutama pada kasus-kasus forensik, baik pada individu yang masih hidup maupun sudah meninggal. Tulang belakang segmen dada dan iga merupakan tulang yang tidak banyak diteliti dalam penentuan usia dan jenis kelamin, namun tulang-tulang tersebut sering ditemukan pada saat pemeriksaan identifikasi dilakukan. Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dan analitik dengan desain potong lintang menggunakan 300 sampel radiografi toraks dari pasien rawat jalan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, terdiri dari 150 laki-laki dan 150 perempuan dengan rentang usia antara 18 hingga 65 tahun. Pengukuran dilakukan pada tulang belakang segmen dada ke-1 hingga ke-12 dan tulang iga ke-2 hingga ke-7. Penelitian ini disetujui oleh komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan korelasi yang lemah dan sangat lemah pada tulang belakang segmen dada yang signifikan (p<0,05) dan korelasi yang sangat lemah namun tidak signifikan (p>0,05) pada tulang iga terhadap estimasi usia kronologis. Terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran lebar, tinggi, diagonal pada seluruh tulang belakang segmen dada dan semua iga yang diperiksa, dimana 14 parameter yang bermakna pada tulang belakang segmen dada ke-2, ke-3 dan ke-8; tulang iga ke-2, ke-3, dan ke-7; serta Y total secara bersama-sama memberikan nilai akurasi 70,7% terhadap estimasi jenis kelamin. Kesimpulan: Radiografi toraks untuk menilai tulang belakang segmen dada dan iga-iga merupakan metode yang sangat berguna untuk upaya identifikasi usia dan jenis kelamin. Namun, penelitian lebih lanjut tetap diperlukan untuk mendapatkan estimasi yang lebih akurat.
Introduction: Accurate age and sex determination holds important role in determining the identity of unknown individuals in forensic science for both living and remains. Vertebrae are one of the least studied bones for chronologica age and sex identification; however, eventhough its presence at a death scene is the most common of all. Methodology: This research was an observational descriptive and analytic study using cross-sectional research design with 300 chest radiograph as its sample in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, with 150 males and 150 females taken for T1-T12 thoracic vertebras and second-seventh ribs. All the procedures for this study were approved by the ethical committee of Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Results: In this study, weak and very weak significant correlation was calculated from thoracic vertebras calculation and very weak correlation but no significant of ribs related to chronological age. There were significant correlation between width, height, and diagonal size in all thoracic vertebras and all ribs, which have 14 significant parameters of 2nd, 3rd and 8th thoracic vertebras; 2nd, 3rd and 7th ribs; and total height of thoracic vertebras with an accuracy value of 70.7% for sex determination. Conclusion: Chest radiograph of thoracic vertebrae and ribs is a useful method for sex and chronological age identification of unknown bodies; however, further studies are still needed to develop examinations with higher accuracy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Erwin Santoso Sugandi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Opasitas total hemitoraks kanan atas disebabkan dapat disebabkan oleh pneumonia, atelektasis dan massa. Ketiga etiologi tersebut sering ditemukan pada kondisi emergensi di mana ketiganya memiliki penanganan berbeda-beda, yaitu berupa antibiotik pada kasus pneumonia bronkoskopi emergensi pada kasus atelektasis, dan penataksanaan CT Scan toraks pada kasus massa paru. Penegakan diagnosis penyebab opasitas hemitoraks kanan atas tersebut dapat dilakukan melalui pemeriksaan CT Scan toraks dengan spesifisitas tinggi. Pemeriksaan radiografi toraks yang merupakan modalitas pencitraan pertama juga dapat membantu membedakan ketiga diagnosis ini dengan menilai tanda-tanda perubahan volume rongga toraks, salah satunya adalah jarak sela iga. Meskipun demikian, perubahan jarak sela iga ini masih bersifat kualitatif dan belum ditemukan penelitian mengenai titik potong yang dapat digunakan untuk menentukan penyebab opasitas total hemitoraks kanan atas. Tujuan : Meningkatkan nilai diagnostik radiografi toraks sebagai modalitas pemeriksaan awal pada kasus opasitas total hemitoraks kanan atas sehingga diagnosis dan tatalaksana yang diberikan semakin cepat dan akurat. Metode: Menggunakan desain korelatif dan komparatif studi potong lintang dengan data sekunder, sampel minimal 48 pasien. Analisis data berupa pengukuran korelasi rasio sela iga antara hemitoraks kanan dibanding kiri pada radiografi toraks dan CT Scan, penentuan titik potong menggunakan metode receiver operating curve (ROC) , serta penentuan tingkat sensitivitas dan spesifitasnya. Hasil: Perhitungan rasio sela iga pada radiografi toraks pada posisi AP maupun PA memiliki korelasi dengan CT Scan toraks dengan korelasi yang lebih kuat ditemukan antara radiografi toraks posisi AP dan CT Scan toraks. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rasio sela iga midposterior kedua dan ketiga di antara kelompok atelektasis dengan pneumonia dan kelompok atelektasis dengan massa. Tidak terdapat perbedaan rasio sela iga antara kelompok pneumonia dan massa (kelompok non-atelektasis). Penggunaan titik potong sebesar 0,9 pada sela iga dua dapat membedakan kelompok atelektasis dan non-atelektasis dengan sensitivitas sebesar 77,8% dan spesifisitas sebesar 73,7%. Apabila titik potong 0,9 tersebut digunakan pada sela iga dua dan tiga, maka kelompok atelektasis dan non-atelektasis dapat dibedakan dengan sensitivitas sebesar 52,63% dan spesifisitas sebesar 93,75%. Kesimpulan : Pengukuran rasio sela iga pada radiografi toraks dapat digunakan untuk membedakan opasitas total hemitoraks kanan atas yang disebabkan oleh atelektasis dan non-atelektasis. Dengan membedakan kelompok atelektasis atau non atelektasis, maka pasien dapat lebih cepat untuk dilakukan tindakan yang invasif berupa bronkoskopi emergensi atau menjalani penanganan yang noninvasif seperti antibiotik pada konsolidasi pneumonia ataupun pemeriksaan lebih lanjut pada kasus massa.
ABSTRACT
Background: Right upper hemithorax total opacities can be caused by pneumonia, ateletasis, and mass. These etiologies have some distinct treatments such as antibiotic for pneumonia, emergency bronchoscopy for ateletasis, and lung CT Scan for mass. Differentiation between these three causes can be made by chest CT Scan with high spesificity . Chest radiography which act as the first line modality can also help in differentiating between these etiologies by looking for the sign of hemithorax volume changes such as intercostal space. However, intercostal space changes is still measured qualitatively and there still no research about intercostal space cut-off for differentiating the caused of right upper hemithorax total opacities Purpose : Increasing diagnostic value of chest radiography which is the first line imaging in right upper hemithorax total opacities, to provide a better and faster treatment. Methods: This study is a corellative and comparative cross sectional study with secondary data and 48 minimal subject. The data were analysed by measuring the ratio between right and left intercostal spaces in chest radiography and CT Scan, determining the cut-off using receiver operating curve (ROC), and also determining the sensitivity and specificity. Result: The intercostal space ratio in AP and PA positions of chest radiography has correlation with the intercostal space ratio in chest CT Scan, which is found higher in AP position. There is a significant difference between intercostal ratio in second and third intercostal at midposterior position between atelectasis and pneumonia group, and also between atelectasis and mass group. There is no significant difference between intercostal ratio in pneuimonia and mass group. By using 0,9 as a cut off in the second midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 77,8% and 73,7% respectively. By using 0,9 as a cut of in both of second and third midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 52,63% and 93,75% respectively Conclusion: Intercostal space ratio measurement in chest radiography can be used to differentiate right upper hemithorax total opacities, especially by atelectasis and non atelectasis. By defferentiating between atelectasis and non atelectasis groups, the patient can get a faster invasive treatment such as emergency bronchoscopy or proceed to non invasive therapy such as antibiotic in pneumonia or chest CT Scan in mass.
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Daniel Tenda
Abstrak :
Latar Belakang: Seiring berjalannya pandemi COVID-19, diperlukan tes diagnostik yang lebih baik, cepat, andal, mudah dan tersedia secara luas. Foto rontgen dada digunakan sebagai pemeriksaan awal untuk menegakkan diagnosis kerja. Kecanggihan Artificial Intelligence (AI) diketahui dapat meningkatkan presisi diagnosis Pneumonia pada foto rontgen dada. Salah satu program AI yang sedang marak digunakan adalah CAD4COVID-Xray. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan melihat perbedaan performa skoring AI dibanding skoring Brixia pada foto rontgen dada untuk mendiagnosis dan menentukan derajat keparahan pneumonia COVID-19. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong-lintang pada 300 pasien terduga dan terkonfirmasi pneumonia COVID-19. Rontgen dada dinilai secara kuantitatif menggunakan program CAD4COVID dan semi-kuantitatif menggunakan sistem skoring Brixia. Analisa performa diagnostik dinilai menggunakan estimasi AUC dan perbandingannya, serta perbandingan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dan akurasi. Hasil: AI probability score (AUC 0,542, IK95% 0,471-0,613), AI ALA score (AUC 0,442, IK95% 0,375-0,510) dan overall CXR score (AUC 0,461, IK95% 0,393-0,528) tidak memiliki kemampuan diskriminasi hasil RT-PCR SARS CoV-2 pada subjek terduga COVID-19. AI probability score (AUC = 0,888, IK95% 0,820- 0,956), AI ALA score (AUC = 0,875, IK95% 0,789-0,953) dan overall CXR score (AUC = 0,878, IK95% 0,808-0,948) memiliki kemampuan diskriminasi sangat baik untuk menentukan derajat keparahan penyakit subjek terkonfirmasi COVID-19. AI probability score (Sn 87,2%, Acc 85,6%) dan AI ALA score (Sn 82,6%, Acc 80,4%) lebih sensitif dan akurat dibandingkan overall CXR score (Sn 75,6%, Acc 78,4%) untuk mendiskriminasi derajat keparahan penyakit pneumonia COVID-19. Simpulan: AI probability score, AI ALA score dan overall CXR score tidak memiliki kemampuan membedakan hasil RT-PCR SARS CoV-2 pada subjek terduga COVID-19. AI probability score, AI ALA score dan overall CXR score memiliki kemampuan yang sangat baik untuk membedakan derajat keparahan penyakit subjek terkonfirmasi COVID-19. AI probability score dan AI ALA score lebih sensitif dan akurat dibandingkan overall CXR score untuk membedakan derajat keparahan penyakit pneumonia COVID-19. ......Background: As the COVID-19 pandemic progresses, a better, faster, reliable, easy and widely available diagnostic tests are needed. Chest X-rays are currently used as an initial examination to confirm a working diagnosis. Advancement of Artificial Intelligence (AI) is known to increase diagnosis precision of pneumonia on chest X-rays. One of the AI programs that is widely being used during the COVID-19 pandemic is CAD4COVID-Xray. Objective: This study aims to determine and compare the performance of AI scoring system using colour heat-map compared to Brixia scoring system on chest X-rays to diagnose and determine the severity of COVID-19 pneumonia. Methods: This study is a cross-sectional study, involving 300 suspected and confirmed COVID-19 pneumonia patients. Chest X-rays were assessed quantitatively using the CAD4COVID program and semi-quantitatively using the Brixia scoring system. Performance analysis is assessed using AUC estimation and its comparison, as well as comparisons of sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and accuracy. Results: AI probability score (AUC 0.542, 95% IK 0.471-0.613), AI ALA score (AUC 0.442, 95% IK 0.375-0.510) and overall CXR score (AUC 0.461, 95% CI 0.393-0.528) did not have the ability to discriminate RT-PCR results of subjects with suspicion of COVID-19. AI probability score (AUC = 0.888, 95% CI 0.820- 0.956), AI ALA score (AUC = 0.875, 95% IK 0.789-0.953) and overall CXR score (AUC = 0.878, 95% CI 0.808-0.948) had excellent strength of agreement to determine disease severity in subjects with confirmed COVID-19. AI probability score (Sn 87.2%, Acc 85.6%) and AI ALA score (Sn 82.6%, Acc 80.4%) are more sensitive and accurate than overall CXR score (Sn 75.6%, Acc 78 ,4%) to determine the severity of COVID-19 pneumonia. Conclusions: AI probability score, AI ALA score and overall CXR score did not have the ability to discriminate RT-PCR results of subjects with suspicion of COVID-19. AI probability score, AI ALA score and overall CXR score had excellent strength of agreement to determine disease severity in subjects with confirmed COVID-19. AI probability score and AI ALA score are more sensitive and accurate than overall CXR score to determine the severity of COVID-19 pneumonia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Wulan Sari
Abstrak :
Latar belakang: Infeksi COVID-19 menyebabkan terjadinya pandemik diseluruh dunia. Pemeriksaan rRT-PCR merupakan pemeriksaan yang di rekomendasikan dari WHO untuk penegakkan diagnosis dari COVID-19. Faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan rRT-PCR untuk diagnosis COVID-19, membuat pemeriksaan penunjang berupa radiografi toraks dan CT-scan toraks juga sangat dibutuhkan guna membantu diagnosis COVID-19. CT-scan toraks lebih sensitif untuk membantu mengarahkan diagnosis COVID-19 namun kurang praktis dalam hal desinfeksi dan dekontaminasi serta transportasi pasien ke ruang CT-scan, dan limitasi ketersediaannya pada fasilitas kesehatan. Di sisi lain, radiografi toraks dengan sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan CT-scan, namun memiliki beberapa keunggulan terkait ketersediaan alat serta tidak tidak terkendala masalah transportasi dan dekontaminasi. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder pemeriksaan radiografi dan CT-scan toraks pasien-pasien dengan hasil rRT-PCR positif yang tersedia di PACS Departemen Radiologi RSCM mulai bulan Maret 2020 hingga Juli 2021, dengan total 41 sampel. Kemudian dilakukan analisis dengan konkordansi dan Kohen Kappa. Hasil: Pada analisis Kappa Cohen, terdapat kesesuaian sedang (0,55) antara penebalan pleura, kesesuaian lemah antara gambaran opasitas ground glass (GGO) (0,32), konsolidasi (0,38), efusi pleura (0,36) , distribusi lesi perifer (0,39), fokus lesi yang multifokal (0,32), zona paru yang terkena (atas 0,32, tengah 0,24, bawah 0,36), dan keterlibatan paru bilateral (0,27) serta tidak terdapat kesesuaian antara gambaran opasitas retikuler (0,06) dan lesi sentral (-0,10) pada radiografi dan CT-scan toraks. Pada analisis Konkordansi terdapat kesesuaian kuat antara gambaran GGO(80,5%), penebalan pleura (90,2%), efusi pleura (92,6%), lokasi lesi di perifer(82,9%), kesesuaian sedang antara konsolidasi (68,2%), lesi multifokal (73,1%), Zona bawah(78%), zona tengah (65,8%) dan keterlibatan paru bilateral (70,7%) dan lemah antara lesi di zona bawah (63,4%) serta tidak ada konkordansi antara opasitas retikuler (48,7%) dan lesi di sentral (51,2%) pada radiografi dan CT-scan toraks. ...... Background: COVID-19 infection causes a worldwide pandemic. The rRT-PCR examination is recommended by WHO for the diagnosis of COVID-19. Factors that affect the accuracy of the rRT-PCR examination for the diagnosis of COVID-19, making supporting examinations of chest radiography and chest CT-scan also needed to help diagnose the COVID-19 infection. Chest CT scan is more sensitive to help direct the diagnosis of COVID-19 but is less practical in terms of disinfection and decontamination and transportation of patients to CT-scan rooms, and limited availability in health facilities. On the other hand, chest radiography has a lower sensitivity than CT scan, but has several advantages related to the availability of tools and transportation and decontamination problems. Methods: This study uses secondary data from chest radiographic and chest CT-scans examinations of patients with positive rRT-PCR results available at the PACS of the RSCM Radiology Department from March 2020 to July 2021, with a total of 41 samples. The analysis was carried out by using Kappa Cohen and concordance. Results: In Kappa Cohen's analysis, there was moderate agreement (0.55) between pleural thickening, weak agreement between ground glass opacity (GGO) images (0.32), consolidation (0.38), pleural effusion (0.36), lesion distribution peripheral (0.39), multifocal lesion foci (0.32), affected lung zones (upper 0.32, middle 0.24, below 0.36), and bilateral lung involvement (0.27) and no agreement between reticular opacity (0.06) and central lesion (-0.10) on chest radiograph and CT scan. In the Concordance analysis there was a strong concordance between the appearance of GGO (80.5%), pleural thickening (90.2%), pleural effusion (92.6%), the location of the lesion in the periphery (82.9%), moderate concordance between consolidation ( 68.2%), multifocal lesions (73.1%), lower zone (78%), middle zone (65.8%) and bilateral lung involvement (70.7%) and weak between lesions in the lower zone (63, 4%) and there was no concordance between reticular opacities (48.7%) and central lesions (51.2%) on chest radiographs and CT scans. Conclusion: From all the lesion assessments on chest radiographs and chest CT-scans, reticular opacity lession and the central location of the lesion had no agreement between chest radiographic findings and chest CT scan. The other lesions had moderate to weak agreement on chest radiographs and chest CT scans
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainun Erfina
Abstrak :
Pemeriksaan thoraks merupakan pemeriksaan radiologi diagnostik yang paling sering dan rutin dilakukan sehingga perlu adanya proteksi radiasi berupa optimisasi. Meninjau dari hal tersebut maka dilakukan audit dosis pada pemeriksaan thoraks di Rumah Sakit Sint Carolus. Dari hasil audit dosis yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa typical value pada pemeriksaan thoraks AP/PA berada di bawah DRL nasional, namun di atas DRL ARPANSA Australia. Sedangkan typical value pada pemeriksaan thoraks LAT jauh di bawah DRL ARPANSA. Untuk itu, penelitian ini dilakukan sebagai upaya dalam mengkaji typical value ICRP 135 tidak melebihi Diagnostic Reference Level (DRL) nasional dan mengidentifikasi kebutuhan optimisasi pada pemeriksaan thoraks di Rumah Sakit Sint Carolus. Kemudian dari hasil identifikasi mengindikasikan bahwa tindakan optimisasi diperlukan untuk kedua pemeriksaan thoraks. Dalam penelitian ini dilakukan metode optimasi dua tahap, yaitu variasi kVp dan filter menggunakan fantom in-house KUCING 2.0 dan variasi mAs menggunakan fantom anthropomorphic. Sedangkan evaluasi kualitas citra dilakukan dengan dua metode penilaian yakni objektif dan subjektif. Pada tahap pertama meliputi pengukuran dosis Incident Air Kerma (IAK) dengan penilaian kualitas gambar objektif berdasarkan parameter kualitas citra Figure of Merit (FOM). Dari tahap pertama, diperoleh nilai FOM optimal pada penggunaan filter tambahan 2 mm Al dan 73 kVp untuk AP/PA dan filter tambahan 2 mm Al dan 85 kVp untuk LAT. Selanjutnya, pada tahap kedua dilakukan pengukuran dosis melalui estimasi dosis dan evaluasi kualitas citra secara subjektif. Kemudian dari hasil survei oleh dokter radiologi yang berpengalaman di Rumah Sakit Sint Carolus diperoleh pemilihan 6 mAs untuk AP/PA dan 22 mAs untuk LAT. Dengan demikian, dari optimisasi yang telah dilakukan diperoleh penurunan typical value pada pemeriksaan thoraks AP/PA dengan kombinasi faktor eksposi optimalnya yakni 2 mm Al, 73 kVp, dan 6 mAs. Kemudian diperoleh kenaikan typical value pada thoraks LAT dengan kombinasi faktor eksposi optimalnya yakni 2 mm Al, 85 kVp, dan 22 mAs. ......Thorax examination is the most frequently and routinely performed diagnostic radiology examination, so it is necessary to have radiation protection in the form of optimization. In view of this, a dose audit was conducted on thorax examinations at Sint Carolus Hospital. The results of the dose audit indicate that the typical value of the AP/PA thorax examination is below the national DRL, but above the Australian ARPANSA DRL. While the typical value in LAT thorax examination is far below the ARPANSA DRL. For this reason, this study was conducted as an effort to assess the typical value of ICRP 135 does not exceed the national Diagnostic Reference Level (DRL) and identify optimization needs in thorax examinations at Sint Carolus Hospital. Then the identification results indicated that optimization actions were needed for both thorax examinations. In this study, a two-stage optimization method was performed, namely kVp and filter variations using the in-house phantom KUCING 2.0 and mAs variations using an anthropomorphic phantom. Meanwhile, image quality evaluation was conducted using two assessment methods, namely objective and subjective. The first stage includes measurement of Incident Air Kerma (IAK) dose with objective image quality assessment based on Figure of Merit (FOM) image quality parameters. From the first stage, the optimal FOM value was obtained using an additional filter of 2 mm Al and 73 kVp for AP/PA and an additional filter of 2 mm Al and 85 kVp for LAT. Furthermore, in the second stage, dose measurement was carried out through dose estimation and subjective image quality evaluation. Then from the survey results by experienced radiologists at Sint Carolus Hospital, a selection of 6 mAs for AP/PA and 22 mAs for LAT was obtained. Thus, from the optimization that has been carried out, a decrease in typical value is obtained in the AP/PA thoracic examination with the optimal combination of exposure factors, namely 2 mm Al, 73 kVp, and 6 mAs. Then an increase in typical value was obtained in LAT thorax with the optimal combination of exposure factors of 2 mm Al, 85 kVp, and 22 mAs.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia;Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismid Djalil Inonu Busroh
Jakarta: UI-Press, 2004
617.54 ISM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>