Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ni Nengah Susanti
Abstrak :
Di Indonesia kebanyakan pasien kanker serviks datang pada stadium lanjut (62%) yang merupakan 66% dari penyebab kematian ginekologik. Pemeriksaan Pap Smear merupakan salah satu cara untuk mendeteksi secara dini kanker serviks sehingga penanganan kanker serviks dapat dilakukan sebelum menyebar ke luar rahim. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan faktor-faktor yang menyebabkan mereka terlambat memeriksakan diri di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penelitian ini memadukan metoda kuantitatif dan kualitatif. Data primer diambil dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dan membaca catatan dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berhubungan seeara statistik dengan keterlambatan pasien kanker serviks memeriksakan diri adalah pengetahuan, sikap, ketersediaan pelayanan Pap Smear dan dorongan suami. Biaya dan dorongan petugas kesehatan tidak berhubungan secara statistik tetapi penting khususnya penghasilan untuk membayar biaya pemeriksaan. Ketersediaan pelayanan Pap smear merupakan variabel yang dominan mempengaruhi variabel dependen. Berdasarkan wawancara mendalam dapat disimpulkan bahwa memang tidak tersedianya pelayanan Pap Smear disamping kurangnya pengetahuan yang menjadi penyebab informan terlambat memeriksakan diri dengan alasan tidak ada satupun petugas kesehatan atau orang lain yang menyampaikan informasi mengenai Pap Smear dan kanker serviks. Mempertimbangkan hasil penelitian maka disarankan kepada semua pihak yang terkait untuk meningkatkan upaya penanganan kanker serviks melalui KIE secara terkoordinir lintas sektoral kepada masyarakat umumnya, terutama kepada wanita masa reproduksi dan lansia agar memperhatikan pelayanan deteksi dini (Pap Smear).
An Analysis on the Delay of Cervix Cancer Patient in Examining Their selves in The National Hospital of Dr. Cipto Mangunkusumo, JakartaIn Indonesia most of the cervix cancer patients come to see doctors after advanced stadium (62 %) which 66 % ended with gynecological death. The smear test is a method to detect the cervix cancer earlier before spreading outside the uterus. The purpose of this research is to identify factors related to the delay of the health examination in The National Hospital of Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. This research combines quantitative and qualitative methods by using questionnaire, in-depth interview and examine medical records to supplement the primary data. The research result indicates variables related statistically with the cancer patient delay are; knowledge, attitudes, the availability of the Pap smears service, and the husband's support. Financial problem and encouragement from the health providers are not related statistically but it is important especially the income. The availability of Pap smear service plays as a dominant variable in affecting the dependent variable. Based on depth interview it is concluded that the unavailability of Pap smear services despite the lack of knowledge has caused the informant did not use the early detection service (Pap smear) with reason there was no health provider or other people gave information about the Pap smear and cervix cancer. Considering the research result, it is suggested that all related parties improve the handling of the cervix cancer through Communication, Information and Education (KIE), which is coordinated through cross sector way to the public, especially KIE should be focused on women during their reproductive term and the elder women so that they will pay more attention to early detection service (Pap smear).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T8395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Liona Agusdin
Abstrak :
Kanker serviks merupakan salah satu kanker tersering yang dialami, wanita di dunia. Diperkirakan terdapat 440.000 kasus baru setiap tahunnya dan sekitar 80% terjadi di negara berkembang. Negara - negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, sub-Sahara Afrika, dan Amerika Latin, tercatat sebagai negara dengan prevalensi kanker serviks yang tinggi. Contohnya di India, kasus baru kanker serviks setiap tahunnya adalah 90.000, sementara di Zimbabwe antara tahun 1990-1992 insiders kanker serviks mencapai 47.6 per 100.000. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada tahun 1998 dilaporkan 39,5% penderita kanker adalah kanker serviks. Di negara industri maju kanker serviks relatif lebih jarang, dibandingkan dengan kejadian kanker -payudara, paru-paru, kolon, rektum, dan prostat. Perbedaan yang sangat jelas antara negara berkembang dengan negara maju ini adalah karena adanya skrining kanker serviks yang telah dilaksanakan secara luas di negara maju tersebut. Sekitar 50% wanita di negara maju telah menjalani tes pap paling sedikit 1 kali dalam periode 5 tahun, namun di negara berkembang hanya 5% wanita. Di beberapa negara seperti Amerika, Kanada, dan hampir seluruh negara di Eropa, 85% wanitanya telah menjalani Tes pap paling sedikit satu kali. Shining kanker serviks telah menurunkan insidens kanker serviks yang invasif. Penurunan insidens ini sangat berkaitan dengan jumlah populasi yang menjalani skrining dan jangka waktu antara dua skrining (skrining interval). Pada populasi dengan cakupan skrining yang luas, insidens kanker serviks turutl sampai 70-90%, sementara pada populasi yang tidak menjalani skrining, insidens kanker serviks terus berada pada kondisi awal seperti saat skrining belum diberlakukan di negara maju. Indonesia yang merupakan negara berkembang, telah diterapkan tes pap sebagai shining kanker serviks namun seperti yang juga dialami oleh negara berkembang lainnya penerapan tes pap sebagai skrining kanker serviks masih mendapat berbagai kendala, antara lain luasnya wilayah, dan juga masih kurangnya tenaga ahli sitologi. Alternatif yang lebih sederhana serta mampu laksana dengan cakupan yang luas sehingga diharapkan temuan Iasi prakanker serviks lebih banyak adalah dengan tes IVA (WA). Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan yang sensitif, namun spesifisitasnya rendah. Spesifisitas yang rendah berarti bahwa positif palsu tes WA masih tinggi. Sebuah penelitian mendapati bahwa 40% pasien yang dirujuk untuk kolposkopi karena hasil WA positif, temyata hasil kolposkopinya normal. Ini berarti masih banyak pasien dengan hasil WA positif yang kemudian harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut dimana sebenarnya pasien tersebut tidak perlu menjalani pemeriksaan tersebut atau tidak perlu mengeluarkan biaya lebih apabila spesifisitas tes WA ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan spesifisitas WA dalam skrining Iasi prakanker adalah dengan melakukan penapisan dua tahap. Penapisan tahap kedua setelah didapatkan hasil WA yang positif, dapat menggunakan berbagai Cara, seperti dengan tes pap, dengan Servikografi, maupun dengan tes DNA HPV Dengan penapisan dua tahap ini, diharapkan spesifisitas WA dapat lebih baik . Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa Tes pap dapat dijadikan pemeriksaan tahap kedua dalam upaya meningkatkan-spesifisitas tes WA dalam skrining Iasi prakanker serviks. Saat ini telah dikembangkan metode tes pap yang baru yang dikenal dengan Thin prep pap test. Latar belakang dikembangkannya metode ini adalah karena tes pap konvensional memiliki negatif palsu berkisar antara 6-55% dan meningkat jika pembuatan slide atau sediaan tidak baik. Dengan menggunakan Thin Prep kualitas spesimen yang dihasilkan lebih balk jika dibandingkan dengan preparat tes pap konvensional. Prep meningkatkan kualitas spesimen dengan cam mengurangi darah, mukus, inflamasi, dan artifak lainnya yang dapat menggangu pembacaan sediaan. Karena kualitas spesimen yang dihasilkan lebih balk, maka Thin Prep lebih efektf juga dalam mendeteksi lesi intraepitelial skuamosa derajat rendah dan juga lesi-lesi yang lebih beat pada berbagai populasi pasien dibandingkan dengan Tes pap konvensional. Thin prep pap test meningkatkan deteksi Iasi prakanker 65% pada populasi skrining dan 6% pada populasi risiko tinggi jika dibandingkan dengan Tes pap konvensional. Tes WA dengan kelebihannya yang mudah untuk dilakukan , murah, dan mempunyai sensitivitas yang tinggi, namun memiliki positif palsu yang tinggi, apabila dikombinasikan dengan tes pap dimana sensitivitas dan spesifisitasnya cukup baik maka diharapkan sistem skrining dua tahap ini dapat diberlakukan sebagai sistem skrining kanker serviks di Indonesia. Rumusan Masalah Apakah tes pap digabungkan dengan tes WA positif dapat meningkatkan spesifisitas dan menurunkan positif palsu tes WA ?
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Finekri A. Abidin
Abstrak :
Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di negaranegara berkembang. Setiap tahun diperkirakan terdapat 400.000 kasus kanker serviks baru diseluruh dunia dan 80% Ilya ada di negara-negara berkembang dan minimal 200.000 wanita meninggal karena penyakit tersebut. Di Indonesia sampai saat ini insiden kanker belum diketahui, tetapi diperkirakan kejadian kanker kira-kira 90-100 penderita baru per 100.000 penduduk pertahun atau sekitar 180.000 kasus baru per tahun dan kanker ginekologik merupakan jumlah terbanyak, sedangkan dari kanker ginekologik tersebut adalah kanker serviks yang paling banyak dijumpai pada wanita. Di RSCM Bari tahun 1986 sampai 1990 ditemukan 1821 penderita kanker serviks dari 2360 kasus kanker ginekologik atau 77%. Di bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM lebih dari 60% kasus kanker serviks sudah berada dalam stadium lanjut dengan angka ketahanan hidup sangat rendah. Diketahui bahwa pengobatan pada tahap pra kanker seperti displasia dan karsinoma in situ memberi kesembuhan 100%, sedangkan pada kanker serviks stadium I angka ketahanan hidup 5 tahunnya adalah 70-80 %, sedangkan stadium II dan 111 masing-rnasing adafah 50-60 % dan 30-40 %2 Dengan penapisan massal sitologi serviks dijumpai penurunan angka kejadian dan angka kematian akibat kanker serviks. Di negara maju telah berhasil menekan jumlah kasus kanker serviks baik jumlah rnaupun stadiumnya. Pencapaian tersebut berkat adanya program skrining dengan pap smir. Sknining di negara maju sudah dilakukan pada 50% wanita dewasa, sedangkan di negara berkembang hanya 5%. Padahal kematian penderita kanker serviks yang berusia 60 tahun ke alas disebabkan tidak pemahnya penderita melakukan skrining pada 3 tahun terakhir. Di Indonesia penerapan skrining dengan pap smir masih tersangkut dengan banyak kendala, antara lain luasnya wilayah negara, kurangnya sarana laboratorium dan tenaga ahli patologi anatomi dan ahli ginekologi, serta biaya transportasi yang cukup mahal. Untuk itu dibutuhkan alternatif skrining yang lebih sederhana, marnpu laksana, murah dan cakupan Iuas serta dapat dilakukan tenaga kesehatan lain seperti bidan sehingga diharapkan temuan lesi prakanker serviks secara dini lebih banyak, hal tersebut ada pada pemeriksaan dengan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). IVA dapat dilakukan pada pelayanan kesehatan yang sederhana. Sayangnya walaupun pemeriksaan ini sensitif tetapi spesifisitasnya rendah hanya 64,1% ,sehingga menyebabkan wanita tanpa adanya lesi prakanker akan mendapat terapi yang tak perlu. Upaya untuk mempertahankan keungguln yang ada pada WA ini dalam deteksi dini Iesi prakanker adalah melakukan penapisan dengan 2 tahap secara serial, dengan menggabungkan pemeriksaan WA dengan hasil positif dilanjutkan pemeriksaan Servikografi, sehingga didapatkan spesifitas yang tinggi. Dan penelitian di Afrika Selatan, didapat penapisan dua tahap tersebut lebih efektif dari pada hanya dilakukan satu tahap pemeriksaan. Penggabungan kedua pemeriksaan ini dapat mengurangi pengeluaran biaya secara keseluruhan dalam penapisan kanker servik di daerah-daerah terpencil. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang akan diteliti melalui penelitian ini adalah : Belum diketahuinya sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan Servikografi pada wanita dengan WA positif sebagai usaha penapisan dua tahap dala.in deteksi dini lesi prakanker di Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Herbert
Abstrak :
Latar Belakang : Upaya untuk menurunkan kejadian kanker serviks dengan menemukan lesi pra-kanker serviks di negara-begara berkembang masih belum menunjukkan basil yang memuaskan. Kendala yang dihadapi antara lain adalah belum adanya program nasional yang berkesinambungan serta sumber daya yang terbatas, termasuk peralatan untuk melakukan pemeriksaan papsmear. Di banyak daerah ketidaktersediaan alkohol 95% sebagai larutan fiksasi menjadi salah satu alasan tidak dilakukannya pemeriksaan papsmear. Salah satu inovasi yang dapat dilakukan pada daerah dengan sumber daya terbatas adalah dengan menghilangkan keharusan tersedianya alkohol 95% sebagai larutan fiksasi dan menggantinya dengan melakukan rehidrasi menggunakan NaCl 0,9% pada sediaan papsmear yang telah dikeringkan di udara terbuka. Tujuan : Menguji mutu sediaan papsmear yang dibuat dengan metode "sediaan kering". Bahan dan Cara Kerja : Penelitian dilakukan di laboratorium sitologi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUT-RSCM Jakarta. Dibuat dua buah slide papsmear dari setiap pasien yang datang untuk melakukan pemeriksaan papsmear. Pada kelompok pertama sediaan diproses secara konvensional menggunakan alkohol 95% sebagai larutan fiksasi, sedangkan kelompok kedua sediaan papsmear dikeringkan di udara terbuka kemudian dilakukan rehidrasi menggunakan NaCl 0,9% sebelum dilakukan pewarnaan. Dilakukan perbandingan mutu sediaan ditinjau dad segi densitas seluler, adanya artefak akibat pengeringan di udara terbuka, serta ada tidaknya gangguan akibat latar belakang eritrosit dan latar belakang sel radang. Hasil : Didapatkan 210 pasang sediaan yang dapat dievaluasi. Teknik kering mempunyai adekuasi sediaan yang sama baiknya dengan teknik konvensional. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua kelompok ditinjau dad segi densitas seluler, adanya artefak akibat pengeringan di udara terbuka, serta ada tidaknya gangguan akibat latar belakang eritrosit dan latar belakang sel radang. Kesimpulan : Papsmear sediaan kering dapat dipakai sebagai alternatif pembuatan sediaan sitologi serviks saat larutan alkohol 95% tidak tersedia sebagai larutan fiksasi.
Background : In many developing countries there are still many obstacles in establishing optimal result on performing early detection of cervical cancer. Among those are lack of continous national programs and also limited resources. In many area, availability of alcohol 95% as a fixating agent is often less and emerge as one reason why people did not perform papsmear examination routinely. Rehydration of air-dried ("dry-prepared") papsmear could replace alcohol 95% as a simple method in preparing cervical cytologic examination. Objective : To evaluate the quality of dry-prepared papsmear Material and Methods : The study was held in Cytology laboratory , Department of Obstetry and Gynecology, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. We took one pair papsmear slides from every patient who was going to perform papsmear examination. One slide was processed with dry-prepared method, i.e. the slide was air-dried and then rehydrated with saline before staining, and another slide was processed conventionally (fixated with alcohol 95%) as a control. We compared the quality of both slides in terms of its celuler density, occurrence of air-dried artifacts, and the presence of obscuring blood and inflamatory cells. Result : Two hundred and ten slides were available for evaluation. The dry-prepared papsmear had a similar adequacy compared with the conventional one. There were no differences found in terms of celluler density, occurrence of air-dried artifact, and the presence of obscuring blood and inflamatory cells. Conlusion : Dry-prepared papsmear can be one alternative method in processing cervical cytologic examination when alcohol 95% was not available.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syarif
Abstrak :
Kanker serviks masih merupakan permasalahan kesehatan perempuan di dunia, terutama dinegara berkembang. WHO melaporkan terdapat sekitar 500.000 kasus baru setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, kanker serviks merupakan jenis kanker yang paling sering pada perempuan. Lebih dari separuh penderita kanker serviks datang sudah dalam stadium lanjut, yang memerlukan fasilitas khusus untuk pengobatan. Disamping mahal, pengobatan terhadap kanker stadium lanjut juga memberikan basil yang tidak memuaskan dengan harapan hidup 5 tahun yang kurang dari 35%.' Meningkatnya stadium kanker memperburuk ketahanan hidup lima tahun penderitanya. Mengingat beratnya akibat yang ditimbulkan oleh kanker serviks dipandang dari segi harapan hidup, angka kesembuhan, lamanya penderitaan, serta tingginya biaya pengobatan, maka perlu program penapisan yang efektif dalam deteksi dini kanker serviks memang sangat diperlukan. Penapisan kanker serviks di negara maju sudah dilakukan pada 50% perempuan dewasa, sedangkan di negara berkembang hanya 5%.' Padahal kematian penderita kanker serviks yang berusia 60 tahun ke atas disebabkan tidak pemahnya penderita melakukan penapis pada 3 tahun terakhir. Di Indonesia penerapan penapis dengan pap smir masih tersangkut dengan banyak kendala, antara lain luasnya wilayah negara, kurangnya sarana laboratorium dan tenaga ahli patologi anatomi/sitologi serta biaya yang cukup mahal yang masih harus ditanggung sendiri oleh mereka yang ingin melakukan penapis dengan metode pap smir. Hal yang sama juga dialami oleh negara-negara lain yang sedang berkembang. Karena itu dibutuhkan altematif penapis yang lebih sederhana, mampu laksana, murah sehingga memungkinkan tercapainya cakupan yang Iebih luas serta dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter seperti bidan atau perawat. Dengan demikian dapat diharapkan Iebih banyak kasus ditemukan masih dalam tahap lesi prakanker serviks. Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) merupakan salah satu metode penapisan yang teiah cukup banyak diteliti dan menunjukkan akurasi pemeriksaan yang cukup baik untuk mendeteksi lesi prakanker serviks. IVA dapat dilakukan pada pelayanan kesehatan yang sederhana. Sayangnya walaupun pemeriksaan ini cukup sensitif namun temyata angka positif palsunya cukup tinggi yang berdampak pada nilai spesifrsitas serta nilai duga positifnya. Hal ini dapat menyebabkan cukup banyak kasus dengan WA positif yang sebenamya normal namun harus dikirirn untuk pemeriksaan lanjutan seperti kolposkopi atau mendapatkan terapi. Salah satu upaya menurunkan angka kejadian positifpalsu ini adalah melakukan penapisan dengan 2 tahap secara serial. Dengan metode ini dilakukan suatu pemeriksaan lain yang lebih spesifik sebagai penapis lanjutan apabila ditemukan kasus dengan WA positif. Salah satu metode pemeriksaan yang sudah direkomendasikan pada banyak penelitian sebagai triase pada metode penapisan dengan pap smir adalah tes HPV (Human Papiloma Virus) dengan metode Hybrid Capture H (HC II). Tes HPV dianjurkan sebagai prosedur tingkat kedua bagi kasus dengan basil pap smir borderline atau abnormal. Penggunaan tes ini dikaitkan bahwa perkembangan yang ada menunjukkan HPV saat ini merupakan penyebab utama kanker serviks. Karena efektifitas tes HPV sebagai penapis pada kasus dengan WA positif belum diketahui, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui data mengenai hal tersebut. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah : Belum diketahuinya akurasi tes HPV dengan Hybrid Capture II sebagai penapis pada kasus WA positif dalam upaya deteksi dini lesi prakanker serviks di Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony Handoko
Abstrak :
Human papillomavirus (HPV) adalah sekelompok virus DNA yang bersifat epiteliotropik. Virus ini menginfeksi kulit dan mukosa serta bersifat spesifik hanya pada manusia. Dahulu HPV dianggap hanya merupakan satu tipe virus sebagai penyebab infeksi, tetapi dengan berkembangnya penelitian dalam bidang biomolekular, dengan metode hibridisasi dan polymerise chain reaction (PCR) ternyata ditemukan banyak tipe HPV.2 Hingga saat ini telah diidentifikasi sekitar 200 tipe HPV yang dapat bermanifestasi menjadi berbagai bentuk gambaran klinis dan lokasi, mulai dari Iasi kulit jinak, misalnya warts, kondilomata akuminata, hingga keganasan anogenital, yaitu karsinoma serviks.3 Terdapat 2 kelompok tipe HPV yaitu tipe high-risk HPV dan tipe low-risk HPV, sesuai hubungannya dengan keganasan.4 Sampai saat ini terdapat sekitar 15 tipe high-risk HPV dan tipe ini ditemukan pada 90 - 95% kasus karsinoma serviks, terutama tipe high-risk HPV 16, selain tipe 18, 31, 33, dan 35.3.4. Infeksi HPV ditularkan melalui kontak langsung dengan partikel virus, antara lain melalui hubungan seksual, sehingga infeksi HPV genital dapat dianggap sebagai salah satu penyakit infeksi menular seksual. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wanita yang aktif seksual, berisiko tinggi terkena infeksi HPV genital, dan risiko ini akan semakin meningkat bila mempunyai banyak pasangan seksual, frekuensi hubungan seksual yang tinggi, serta melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia dini. Karena pekerjaan yang dijalankan, maka para wanita penjaja seks (WPS) dianggap merupakan kelompok berisiko tinggi untuk terkena infeksi high-risk HPV genital dan karsinoma serviks di kemudian hari. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2004 oleh Mak R dkk terhadap WPS di Belgia, terdapat prevalensi infeksi high-risk HPV sebesar 55,9%. Dengan tersedianya fasilitas laboratorium yang mampu melakukan metode hibridisasi untuk mendeteksi kelompok HPV dan metode PCR untuk penentuan tipe HPV, serta terkumpulnya sampel yang cukup, maka diharapkan dapat diperoleh data mengenai proporsi kepositivan high-risk HPV beserta tipenya pada kalangan WPS. Hal ini akan sangat berguna mengingat karsinoma serviks merupakan salah satu jenis keganasan tersering pada wanita, sehingga penting dilakukan deteksi dini terhadap infeksi high-risk HPV genital yang dapat berkembang menjadi keganasan serviks di kemudian hari. Keterbatasan penelitian ini pada metode hibridisasi, yaitu menggunakan probe yang berisi 13 tipe high-risk HPV serta metode PCR yang hanya menggunakan primer untuk menentukan 5 tipe high-risk HPV, yaitu tipe 16, 18, 31, 33, dan 35.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinuhaji, Immanuel
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang. Karsinoma serviks merupakan tumor ganas tersering di Indonesia dan kedua di dunia. Human papilloma virus (HPV) dianggap sebagai faktor etiologik. Diperlukan waktu lama dari mulai terinfeksi menjadi karsinoma serviks sekitar 10-20 tahun. Insiden karsinoma serviks usia muda meningkat diduga karena perubahan perilaku seksual. Proses integrasi virus dirangsang oleh terbukanya genom virus pada regio open reading frame E1/E2 sehingga terjadi gangguan fungsi E2 menyebabkan ekspresi onkoprotein E6 dan E7 berlebih sehingga terjadi inaktifasi p53 dan pRb menyebabkan faktor transkripsi E2F terlepas, dan sel masuk ke fase S. Inaktifasi pRb atau aktifasi E2F menyebabkan ekspresi p16INK4A berlebih. Deteksi antibodi p16INK4A menunjukkan positifitas yang selektif pada sel yang terinfeksi HPV risiko tinggi. Tujuan: Untuk mengetahui apakah karsinoma serviks pada usia muda berhubungan dengan infeksi HPV yang dapat dilihat dengan peningkatan ekspresi p16INK4A. Bahan dan cara. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif, menggunakan studi analitik deskriptif potong lintang, dengan mengumpulkan kasus-kasus Karsinoma sel skuamosa berusia muda (≤ 30 tahun), dan pembanding usia tua (45-55 tahun) masing-masing 30 kasus. Dilakukan pulasan imunohistokimia p16INK4A terhadap semua kasus. Hasil. Indeks ekspresi p16INK4A pada kedua kelompok menunjukkan hasil sedang-kuat pada sebagian besar kasus. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi p16INK4A kelompok usia muda dan ekspresi p16INK4A usia tua (uji Mann-Whitney p=0,591). Kesimpulan.Tidak terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi p16INK4A pada usia tua dan muda.
ABSTRACT
Background. Cervical carcinoma is the most common malignant tumor in Indonesia and the second in the world. Human papilloma virus is considered as etiologic factor. It takes a long time from HPV exposure to cervical carcinoma about 10-15 years. The incidence of cervical carcinoma in young age increases due to changes in sexual behavior. The integration process is stimulated by the opening of the virus genome in the region of the viral E1/E2 open reading frame resulting impaired function of E2 led to E6 and E7 oncoprotein overexpression, inactivation of p53 and pRb, detachement transcription factor E2F, and cell entry into S-phase. pRb inactivation or E2F activation cause p16INK4A overexpression. The detection of p16INK4A showed selective positifitas in cells infected with high-risk HPV. Objective: To determine whether the carcinoma of the cervix at a young age associated with HPV infection that can be seen by the increased expression of p16INK4A. Materials and method. This is cross-sectional descriptive analytic study, with the collected cases of squamous cell carcinoma young age (≤ 30 years), compare with old age (45-55 years) 30 cases respectively. The immunohistochemical staining was conducted againts p16INK4A protein. Results. There were no statistical significant between the expression of p16INK4A in young age groups and old age (Mann-Whitney test p=0.591). Conclusion. Expression p16INK4A in young and old age there was no statistical significant difference.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novianti Qurnia Putri
Abstrak :
Latar belakang: Kanker serviks adalah salah satu keganasan ginekologi yang paling umum di dunia, termasuk Indonesia. Kanker serviks menyebabkan 18,279  kematian per tahun di Indonesia dan menyebabkan beban fisik, mental, dan sosial ekonomi bagi pasien dan keluarga. National Comprehensive Cancer Network (NCCN) telah menerbitkan pedoman pengobatan pasien kanker serviks yang  selalu diperbarui (up-to-date) dengan tujuan agar pengobatan lebih terkoordinasi  dan efisien. Pedoman ini telah diadaptasi oleh Indonesia, namun keefektifannya belum dipertanyakan. Metode: Kami melakukan peninjauan sistematis sesuai dengan PRISMA  statement untuk menilai efektivitas kesesuaian pedoman. Pencarian dengan  strategi pada database PubMed, ProQuest, Scopus, dan Wiley menghasilkan tiga studi yang memenuhi semua kriteria, selanjutnya dinilai dengan skala NewcastleOttawa dan secara kualitatif. Hasil: Kami menemukan bahwa proporsi kesesuaian pedoman mulai dari 42% hingga 47% dengan faktor-faktor yang mendasarinya seperti jarak ke fasilitas  kesehatan, stadium kanker serviks, penggunaan asuransi, ras, dan faktor sosial  ekonomi lainnya. Kami juga menemukan bahwa terdapat kesintasan hidup lima tahun yang lebih baik dari pasien kanker serviks pada kelompok yang sesuai dibandingkan kelompok yang tidak sesuai. Selain itu, ditemukan lokalisasi dan  kualitas hidup yang lebih baik dari pasien kanker serviks pada kelompok yang sesuai terhadap pedoman. Ketiga studi menggunakan pedoman NCCN sebagai kontrol, sehingga studi-studi tersebut dapat digunakan. Kesimpulan: Tindakan harus diambil dengan tindakan multidisiplin untuk memastikan bahwa setiap pasien kanker serviks memiliki akses pengobatan yang sesuai terhadap pedoman. ......Background: Cervical cancer is the one of the most common gynecology malignancy in the world, including Indonesia. It has accounted for 18,279 deaths per year in Indonesia and caused physical, mental, and socioeconomic burden for patients and caregivers. National Comprehensive Cancer Network (NCCN) has published up-to-date guideline in-order to make more coordinated and efficient treatment for cervical cancer patients. This guideline has been adapted by Indonesia, however its effectivity is yet to be questioned, Methods: we conducted systematic review according to PRISMA statement to assess effectivity of guideline adherence. Searching with strategy on PubMed, ProQuest, Scopus, and Wiley databases resulted in three studies that met all criteria, thus assessed further with Newcastle-Ottawa scale and assessed qualitatively. Results: We found that proportion of guideline adherence ranging from 42% to 47% with factors underlying such as distance to health facility, cervical cancer stage, subscription to insurance, race, and other socioeconomic traits. We also found that there is better five-year survival of cervical cancer patients on guideline-adherent group versus non-guideline-adherent group. In addition, there is better cancer localization and life quality of patient in guideline-adherent group. All three studies were using NCCN guideline as control, thus applicable. Conclusion: Actions should be taken by multidisciplinary action to ensure that every cervical cancer patient has access to guideline-adherent therapy.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Munandar
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker leher rahim dapat ‘disembuhkan’ pada stadium awal, namun pada stadium lanjut memilik prognosis yang buruk. Efektifitas dari pemberian kemoradiasi konkuren berbasis platinum sebagai modalitas standar pada kanker leher rahim stadium lanjut lokal masih suboptimal dan memiliki efek samping yang relatif besar. Oleh karena itu dibutuhkan terapi yang lebih efektif. Terapi dengan anti EGFR sebagai target biomolekuler telah memberikan gambaran efektifitas yang baik pada berbagai kanker yang memiliki ekspresi EGFR berlebih. Kanker leher rahim diketahui sebagai salah satu kanker yang memiliki ekpresi EGFR berlebih yang berhubungan dengan prognosis yang buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas dari Nimotuzumab, suatu antibodi monoklonal anti EGFR, yang dikombinasikan dengan radioterapi pada kanker leher rahim stadium lanjut. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian fase II dengan satu kelompok perlakuan. Sebagai kriteria inklusi adalah pasien dengan kanker leher rahim stadium III. Sebagai fase induksi dilakukan pemberian Nimotuzumab 200 mg intravena setiap minggu selama 9 minggu, dikombinasikan dengan radiasi eksternal daerah pelvis 2 Gy/hari, 5 kali seminggu selama 5 minggu dilanjutkan dengan radiasi brakhiterapi intrakaviter 7 Gy setiap minggu selama 3 minggu. Penelitian ini menilai tingkat respon, waktu hingga terjadinya progresi, dan aspek keamanan dari pengobatan yang dinilai dari efek samping. Hasil: Dari 44 pasien, 31 pasien telah menjalani evaluasi dari repon terapi menggunakan CT Scan pada minggu 18-22 sejak dimulainya pengobatan (CT Scan konfirmasi pada fase pasca induksi). Tingkat respon objektif atau Objective Response Rate (ORR) adalah 71% (CR 32.3%, PR 38.7%) dan tingkat kontrol penyakit atau Disease Control Rate (DCR) adalah 77.4%. Nilai ORR tampak lebih tinggi pada pasien dengan ekpresi EGFR tinggi dibandingkan dengan pasien yang memiliki ekpresi EGFR rendah atau sedang. Dari 44 pasien, 12 pasien mengalami progresifitas dari penyakit dengan waktu rata-rata hingga terjadinya progresifitas adalah 6.9 bulan. Efek samping derajat 3 terdapat pada 2 orang pasien, dan tidak terdapat pasien dengan efek samping derajat 4. Kesimpulan: Terapi kombinasi Nimotuzumab dan radiasi menujukkan efek yang menguntungkan dan dapat ditoleransi untuk mengobati kanker leher rahim stadium lanjut. ...... Background: Cervical cancer is curable for early stages, but advanced stage diseases has poor prognosis. The efficacy of concurrent cisplatin-based chemo radiotherapy as the standard therapeutic modality for locally advanced cervical cancer remains suboptimal and is frequently cause severe adverse event. Therefore more effective therapeutic strategies are required. EGFR targeted therapy have demonstrated efficacy in many cancers overexpressing EGFR. Cervical cancer has been known to over expressing EGFR which correlates with poor prognosis. This study is aimed to assess the efficacy of Nimotuzumab, a monoclonal antibody anti EGFR, combined with radiation in advanced stage cervical cancer. Methods: This is a phase II single arm study. Patients with stage III cervical cancer were included. Nimotuzumab intravenously 200 mg weekly for 9 weeks combined with external pelvic radiation 2 Gy/day, 5 times a week for 5 weeks and pelvic intracavitary radiation 7 Gy a week for 3 weeks for induction phase. Response rate, time to progression, and safety were assessed in this study. Result: This is the first phase result. Out of 44 ITT patients, 31 patients were evaluable for response by CT-scan at week 18-22 (confirmatory CT-scan at post induction phase). Objective response rate (ORR) was 71% (CR 32.3%, PR 38.7%) and disease control rate was 77,4%. The ORR tend to be higher in patient with high EGFR expression compared to those with negative or mild to moderate EGFR expression. Out of 44 ITT patients, 12 patients had progressive disease with mean time to progression of 6.9 months. Grade III adverse event were observed in 2 patients, while no grade IV adverse events occurred during the study. Conclusion: Combination of Nimotuzumab and radiation showed a beneficial effect and well-tolerated for treating advanced cervical cancer.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Candra Dewi
Abstrak :
ABSTRAK
Menikah usia dini dan berganti pasangan seksual merupakan faktor resiko penting kejadian lesi prakanker serviks yang kemudian berubah menjadi kanker serviks. Kabupaten Karawang dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan salah satu pilot project program deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan hubungan antara usia pertama menikah dan jumlah pasangan seksual terhadap hasil tes IVA dengan design cross sectional menggunakan data sekunder sebanyak 520 sampel di 4 puskesmas pada tahun 2011 – 2012. Berdasarkan analisis multivariat tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara usia pertama menikah dan jumlah pasangan seksual dengan hasil tes IVA positif setelah dikontrol variabel kovariat.
ABSTRACT
The age at first intercourse and multi sexual patners are the important risk factors for cervical pre-cancerous lession. Karawang District was selected as research sites because it is one of the pilot projects for early detection of cervical cancer using VIA Method. This study is aimed to verify the relationship of age at first marriage and multi sexual patners with VIA Test Result with cross sectional study using secondary data from medical records. Total sampel taken was 520 from 4 public health centre in the last two years from 2011 – 2012. Based on multivariate analysis, it is indicated that there is not significant correlation for age at first marriage and multi sexual partners with VIA test res
2013
T38428
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>