Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Parade, Magdalena
"Ruang lingkup dan cara penelitan: Telah dilakukan penelitian status sefalometri subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa di Jakarta. Penelitian ini merupakan studi deskriptif untuk mengetahui data sefalometri pada subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa dan studi analisis untuk membandingkan status sefalometri antara subetnik Tapanuli dengan subetnik Jawa. Penelitian dilakukan terhadap 4 kelompok yaitu 50 orang pria subetnik Tapanuli, 50 orang wanita subetnik Tapanuli, 50 orang pria subetnik Jawa, 50 orang wanita subetnik Jawa. Status sefalometri yang diamati mencakup data panjang kepala maksimal, lebar kepala maksimal, jarak bizygomatik, jarak bigonion, indeks sefalikus dan indeks mandibula. Oleh karena bentuk kepala merupakan salah satu ciri khas untuk ras atau subetnik, maka dapat dilakukan penilaian melalui sefalometri. Pengukuran kepala dilakukan dengan protokol baku antropometri dengan menggunakan alat bantu berupa Antropometer (Martin). Data sefalometri hasil pengukuran dan penghitungan lalu di klasifkasikan menurut kriteria yang sesuai dan standard antropometri. Analisis statistik dengan uji Z dilakukan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan status sefalometri antara pria dan wanita kedua subetnik serta antara subetnik Jawa dan Tapanuli.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada subetnik Tapanuli dan Jawa ukuran panjang kepala, lebar kepala, bizygomatik, bigonion pada pria lebih besar secara bermakna dari wanita. Sebaliknya indeks sefalikus dan Indeks yugomandibular pria Tapanuli ditemukan tidak berbeda dari wanita Tapanuli. Panjang kepala dan bigonion pria Tapanuli lebih besar secara bermakna dari pria Jawa. Wanita Tapanuli memiliki panjang kepala dan bigonion yang lebih besar secara bermakna dari wanita Jawa. Lebar kepala, bizygomatik pria Tapanuli tidak berbeda bermakna dari pria Jawa dan wanita Tapanuli memiliki lebar kepala dan bigonion yang tidak berbeda bermakna dari wanita Jawa. Indeks sefalikus pria Tapanuli sama dengan pria Jawa, Indeks sefalikus wanita Tapanuli tidak sama dengan wanita Jawa. Demikian juga dengan Indeks yugomandibular pria dan wanita Tapanuli sama dengan pria dan wanita Jawa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T5757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Rosalina, Author
"Bertambah majunya teknik perawatan dan material di bidang ortodonsi, memungkinkan perawatan ortodonsi dilakukan dalam tiga arah yaitu anteroposterior, vertical, dan lateral. Oleh karena itu diagnosis harus ditegakkan pada ketiga arah tersebut, sehingga pemilihan teknik perawatan dan materialpun tepat, dan di dapat basil perawatan yang sesuai dengan harapan.
Maloklusi dalam arah vertikal dapat terjadi dalam bentuk gigitan dalam dan gigitan terbuka. Kesulitan mengoreksi gigitan dalam telah lama diketahui. Selama ini terdapat banyak perbedaaan pendapat mengenai etiologi gigitan dalam dan juga bagaimana merawatnya.
Pengurangan gigitan dalam biasanya dilakukan pada tahap awal perawatan ortodontik yang dapat dicapai dengan cara intrusi insisif ekstrusi molar, proklinasi insisif atau kombinasi dari semuanya. Intrusi gigi insisif lebih disukai pada pasien dengan muka anterior bawah yang lebih besar dari rata-rata. Dengan menghindari ekstrusi molar maka dimensi vertikal wajah tidak berubah, ruang interoklusal tidak hilang serta memperbalki estetika karena insisal gigi depan dapat ditempatkan ke posisi yang harmonis dengan garis bibir. Posisi tepi insisal pada akhir perawatan idealnya kira-kira 3 mm di bawah garis bibir pada regio anterior.2
Pada teknik Begg intrusi gigi depan dicapai dengan pembuatan tekukan penjangkaran pada kawat busur, dan diletakkan di mesial tube M, kurarig lebl antara gigi P2 dan Mi , yang biasanya disertai pemakaian karet pada kasus malaklusi klas I dan klas II div I. Pemberian tekukan penjangkaran untuk mengintrusi gigi depan, yang disertai pemakaian karet klas II untuk menggeser gigi depan, tidak terlepas dari aksi dan reaksi antara gigi molar dan gigi depan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lolita Dian Evayani
"[Latar Belakang : Katup velofaringeal memiliki peranan penting dalam mengontrol aliran udara saat pasien berbicara. Penutupan katup velofaringeal yang tidak sempurna menimbulkan masalah pada saat pasien berbicara. Terdapat beberapa modalitas dalam menilai insufisiensi velofaringeal, antara lain menggunakan mirror test dan radiografi sefalometri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas mirror test dan radiografi sefalometri sebagai modalitas pemeriksaan adanya insufisiensi velofaringeal pada pasien celah langit-langit pasca dilakukannya rekonstruksi celah langit-langit. Metode : Merupakan penelitian cross-sectional analitik dengan desain khusus untuk suatu uji diagnostik dan dikelompokan dalam tabel 2x2 dengan pemeriksaan gold standard nasoendoskopi. Data diambil dari pasien berusia 5 – 11 tahun pasca rekonstruksi celah langit-langit dan mengikuti terapi bicara di Program SEHATI RSAB Harapan Kita Jakarta. Hasil : Radiografi sefalometri memiliki sensitivitas lebih tinggi (100%) dibandingkan mirror test, namun demikian nilai spesifitas sefalometri lebih rendah (33.3 %) dibandingkan mirror test. Sedangkan false negative dari radiografi sefalometri adalah 66.66 %. Kesimpulan : Radiografi sefalometri memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan mirror test. Sehingga radiografi sefalometri dapat digunakan sebagai modalitas pemeriksaan insufisiensi velofaringeal bersama dengan mirror test yang selama ini telah digunakan sebagai modalitas awal pemeriksaan insufisiensi velofaringeal. , Background :Velopharyngeal valve has an important role in controlling the flow of air when the patient is speaking. Incomplete velopharyngeal closure cause problems when patient is speaking. There are several modalities in assessing velofaringeal insufficiency, among others, using the mirror test and cephalometric radiographs. The purpose of this study was to determine the sensitivity and specificity of the test mirror and cephalometric radiographic as the modality of the insufficiency velopharyngeal examination in patients with cleft palate after performing cleft palate reconstruction. Methods: A cross-sectional analytic study with a specific design for a diagnostic test and grouped in a 2x2 table with the gold standard endoscopic examination. Data taken from patients aged 5-11 years post-reconstruction of cleft palate and speech therapy in SEHATI Program in Harapan Kita Hospital Jakarta. Results: Cephalometric radiographs have higher sensitivity (100%) compared to the mirror test, however cephalometric values lower specificity (33.3%) compared to the mirror test. While the false negative of cephalometric radiographs was 66.66%. Conclusion: Cephalometric radiographs have a higher sensitivity than the mirror test. Cephalometric radiographs can be used as a modality examination velofaringeal insufficiency along with mirror test which has been used as the initial modality examination velofaringeal insufficiency.]"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Perbedaan nilai sefalometri lateral antara ras Australo-Melanesia dan Deutero-Malay. Sefalometri telah digunakan secara luas untuk mempelajari bentuk fasial yang membantu diagnosis dan rencana perawatan ortodonti. Analisis sefalometri secara benar menggunakan nilai referensi dari populasi yang sama dengan pasien ortodonti sesuai dengan kelompok etnik, jenis kelamin dan usianya. Tujuan: Untuk menganalsis perbedaan nilai pengukuran radiografis sefalometri lateral antara ras Australo-Melanesia dan Deutero-Malay pada subjek yang telah melewati masa pertumbuhan yaitu usia 16 sampai 20 tahun dan memiliki oklusi normal. Metode: Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan potong silang. Subjek penelitian sebanyak 200 orang, terdiri dari 100 laki-laki dan 100 perempuan ras Australo-Melanesia dan Deutero-Malay. Hasil: Uji Mann Whitney U pada variabel yang penyebaran datanya tidak normal menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) pada sudut SNA dengan nilai kisaran 84° pada ras Australo-Melanesia dan 83° pada ras Deutero-Malay. Perbedaan bermakna juga ditemukan pada nilai jarak bibir bawah ke garis estetis 3mm pada ras Australo-Melanesia dan 1mm pada ras Deutero-Malay. Uji t independen pada variabel yang penyebaran datanya normal menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) pada sudut FM dengan rata-rata dan standar deviasi 27,45±4,49° pada ras Australo-Melanesia dan 28,14±6,24° pada ras Deutero-Malay dengan sudut I atas ke APg 36,28±4,72° pada ras Australo-Melanesia dan 32,69±6,24° pada ras Deutero-Malay. Simpulan: Australo-Melanesia memiliki maksila yang lebih protrusi terhadap basis kranialis, bidang mandibula yang lebih datar, gigi insisivus atas lebih proklinasi, dan bibir bawah terletak lebih di depan bidang estetik dibandingkan dengan Deutero-Malay.
Cephalometric is extensively used to study the facial morphology that supports orthodontic diagnosis and treatment planning. Correct cephalometric analyses need reference values obtained from the same ethnic, gender and age population of orthodontic patients. Objective: To compare the difference of lateral cephalometric values between. Australo-Melanesian and Deutero-Malay race in 16 to 20 years of age subjects with normal occlusion. Methods: An observational with cross sectional design study on 200 subjects (100 males and 100 females) from Australo-Melanesian and Deutero-Malay race was performed. Lateral cephalometric radiographs were taken, traced and analyzed. Results: Mann Whitney U test showed significant differences on SNA angle with median 84° for Australo-Melanesian race and 83° for Deutero-Malay race. Lower lip distance to aesthetic line 3mm for Australo-Malanesian race and 1mm for Deutero-Malay race also showed significant difference. Independent t-test showed significant differences in FM angle with mean 27.45±4.49° for Australo-Melanesian race and 32.69±6.24° for Deutero-Malay race. Conclusion: The Australo-Melanesian race had more protruded maxilla to cranial base, more flat mandibular plane, more proclined upper incisors, and more frontal lower lip to aesthetic line compared to Deutero-Malay race."
Universitas Trisakti, 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilah Shafa Khairunnissa
"Latar Belakang: Radiografi sefalometri lateral dan foto ekstra oral merupakan dua pemeriksaan awal yang umum dilakukan pada perawatan ortodonti. Parameter vertikal skeletal pembentuk wajah pada radiografi sefalometri lateral dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan pola pertumbuhan wajah vertikal, dan foto ekstra oral dapat digunakan untuk menentukan tipe wajah. Kedua proyeksi ini diharapkan memiliki keselarasan dalam penentuan diagnosis. Tujuan: Mengetahui hubungan beberapa parameter vertikal skeletal pada sefalometri lateral terhadap indeks fasial pada maloklusi skeletal kelas I. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian dengan desain potong lintang (cross-sectional) menggunakan sampel berupa data sekunder rekam medik. Hasil: Dari 70 rekam medik pasien maloklusi skeletal kelas I di Klinik Integrasi dan Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, didapatkan korelasi yang positif dengan koefisien korelasi pada sudut gonial sebesar 0,590; sudut gonial inferior sebesar 0,312; sudut SN.MP sebesar 0,574; sudut FMPA sebesar 0,638; dan sudut MMPA sebesar 0,516 dengan nilai p pada kelima sudut <0,5. Pada sudut gonial superior didapatkan nilai p>0,5 dengan koefisien korelasi sebesar 0,072. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tentang Hubungan Beberapa Parameter Vertikal Skeletal pada Sefalometri Lateral terhadap Indeks Fasial, sudut gonial, SN.MP, FMPA, dan MMPA memiliki korelasi positif kuat, sudut gonial inferior memiliki korelasi positif sedang, dan sudut gonial superior tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik.

Background: The two most common initial examinations performed in orthodontic treatment are lateral cephalometric radiographs and extra-oral photographs. Vertical skeletal facial parameters on lateral cephalometric radiographs can be used as indicators to determine vertical facial growth patterns, and extra-oral photographs can be used to determine the facial type. Both of these projections are expected to have harmony in determining the diagnosis. Objective: This study aims to describe the correlation of several vertical skeletal parameters in lateral cephalometry to facial index on class I skeletal malocclusion. Methods: Cross-sectional study is done using the secondary data found in patient’s medical record. Results: From 70 medical records of class I skeletal malocclusion patients at the Integration and Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, a positive correlation was obtained with a correlation coefficient on gonial angle of 0.590; inferior gonial angle of 0.312; SN.MP angle of 0.574; FMPA angle of 0.638; and the MMPA angle is 0.516 with p values at the five angles <0.5. At the superior gonial angle, p>0.5 was obtained with a correlation coefficient of 0.072. Conclusion: Based on research on the Correlation of Several Vertical Skeletal Parameters in Lateral Cephalometry to Facial Index, gonial, SN.MP, FMPA, and MMPA angle have a strong positive correlation, inferior gonial angle has a moderate positive correlation, and superior gonial angle has no statistically significant correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurensia Limas
"Latar Belakang: Kualitas pencitraan 3 dimensi salah satunya bergantung pada resolusi voxel dan diduga dapat mempengaruhi proses identifikasi titik anatomis. Belum banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat pengaruh variasi ukuran voxel terhadap ketepatan diagnosis sehingga belum terdapat suatu protokol dalam pemilihan ukuran voxel yang dapat digunakan dalam memanfaatkan CBCT sebagai perangkat diagnostik dalam bidang kedokteran gigi. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai reprodusibilitas identifikasi titik anatomis pada gambar volumetrik hasil pemindaian CBCT dengan mempertimbangkan parameter pemindaian yang mempengaruhi kualitas gambar (ukuran voxel) sehingga pemindaian dapat dilakukan dengan dosis radiasi yang optimal sesuai dengan prinsip ALARA. Metode: Objek penelitian berupa satu buah tengkorak kering yang dipindai dengan CBCT i-CAT 17-19 (Imaging Science, Amerika Serikat) pada ukuran voxel 0,4 mm dan 0,25 mm. Hasil pemindaian ditampilkan dengan perangkat lunak OsiriX dalam bentuk MPR. Identifikasi 9 titik anatomis sefalometri oleh 34 orang ortodontis pada bidang sagital, aksial dan koronal secara berurut sebanyak 2 kali untuk tiap gambar dengan selang waktu 1 minggu. Koordinat titik-titik anatomis tersebut dicatat dan reprodusibilitas masing-masing titik pada kedua gambar diuji dengan menghitung simpangan koordinat yang ditentukan oleh subjek penelitian terhadap ODM dan kemudian diuji t berpasangan. Hasil: Hasil uji t berpasangan pada kedua kelompok data berdasarkan resolusi voxel menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna simpangan koordinat yang di tentukan oleh subjek penelitian terhadap rerata koordinat yang didapat dari penelitian ini kecuali pada titik Pog dalam arah medio-lateral. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan reprodusibilitas dalam menentukan titik anatomis sefalometri pada gambar 3D yang direkonstruksi dengan ukuran voxel 0,25 mm dan 0,4 mm.

Background: 3D imaging quality was assumed to be influenced by its voxel resolution. Up to now, there has only been few studies on how voxel sizes influence the accuracy of diagnosis, hence there is no concensus of voxel sizes protocol to utilize CBCT as a diagnostic imaging in dentistry, especially in the field of Orthodontics. This study was aimed to assess the influence of voxel sizes to the reproducibility of cephalometric landmarks obtained from a CBCT in order to achieve optimum radiation dose according to  the ALARA principle. Methods: One dried skull was scanned by CBCT machine (i-CAT 17-19; Imaging Science, USA) with 0.4 mm and 0.25 mm voxel sizes. The images were saved in DICOM format to be observed and traced by 34 orthodontists using OsiriX software. Landmark identification was undertaken twice by each subject on MPR view using 3D landmark definition. Deviation of each landmark was calculated to the observers’ mean for each data set. Reproducibility of each landmark was identified on those two data sets and was tested using paired t-test. Result: This study showed that there were no significant differences on those two data sets of coordinate deviation from the observers’ mean except only for Pog (medio-lateral). Conclusion: Voxel size did not seem to influence the landmark identification reproducibility in 3D cephalometric obtained from CBCT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Khairiyah
"Pendahuluan: Pengukuran parameter sefalometri lateral adalah bagian penting dalam perencanaan perawatan ortodonti. Pengukuran metode konvensional dilakukan secara manual, namun teknik ini memakan waktu. Metode digital dapat dilakukan menggunakan aplikasi yang saat ini semakin banyak dikembangkan dan disebarluaskan seperti aplikasi OrthoCeph yang dapat digunakan secara semi-otomatis dan aplikasi WebCeph secara otomatis dan semi otomatis. Dokter gigi dapat menggunakan aplikasi tersebut pada smartphone ataupun web agar lebih efisien dengan memastikan adanya keakuratan antara pengukuran pada radiografi sefalometri metode digital dan metode konvensional sebagai gold standard. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan pengukuran parameter sefalometri lateral (skeletal, dental, dan jaringan lunak) antara metode digital (OrthoCeph dan WebCeph) dengan konvensional. Metode: Radiografi sefalometri lateral dari 36 subjek penelitian didapatkan sesuai kriteria inklusi. Terdapat 14 parameter skeletal, dental, dan jaringan lunak sefalometri lateral yang dianalisis. Uji paired t-test digunakan untuk menguji perbedaan antar metode. Interclass correlation coefficient (ICC) dan Bland-Altman plot digunakan untuk menguji reliabilitas antar metode. Hasil: tidak terdapat perbedaan secara statistik antara metode digital OrthoCeph dan konvensional pada sebagian besar parameter pengukuran parameter sefalometri lateral, antara lain SNB, ANB, SNOP, SNMP, LINB Angular, dan II (p≥0,05). Terdapat perbedaan secara statistik pada parameter SNA, UINA Angular, UINA Linear, LINB Linear, S-Line Ls dan Li (p<0,05). Terdapat perbedaan secara statistik antara metode digital WebCeph dan konvensional pada seluruh parameter (p≥0,05) kecuali E-Line Li (p<0,05). Terdapat perbedaan secara statistik antara metode OrthoCeph dengan WebCeph pada seluruh parameter (p<0,05). Sebagian besar parameter menunjukkan kesepakatan baik hingga hampir sempurna antar metode (ICC≥0.61). Kesimpulan: Sebagian besar parameter menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penggunaan OrthoCeph dan WebCeph masih diperlukan penyempurnaan.

Introduction: Measurement of lateral cephalometric parameters is an important part of orthodontic treatment planning. Conventional measurement methods are performed manually, but this technique is time-consuming. Digital methods can be performed using applications that are currently being increasingly developed and disseminated, such as the OrthoCeph application which can be used semi-automatically and the WebCeph application both automatically and semi-automatically. Dentists can use these applications on smartphones or the web to be more efficient by ensuring accuracy between measurements on digital cephalometric radiography and conventional methods as the gold standard. Objective: This study aims to determine and analyze the differences in lateral cephalometric parameter measurements (skeletal, dental, and soft tissue) between digital methods (OrthoCeph and WebCeph) and conventional methods. Method: Lateral cephalometric radiographs from 36 research subjects were obtained according to inclusion criteria. There are 14 skeletal, dental, and soft tissue lateral cephalometric parameters that were analyzed. Paired t-test was used to test the differences between methods. Interclass correlation coefficient (ICC) and Bland-Altman plot were used to test the reliability between methods. Results: There were no statistically significant differences between the digital method OrthoCeph and conventional method in most lateral cephalometric parameter measurements, including SNB, ANB, SNOP, SNMP, LINB Angular, and II (p≥0.05). There were statistically significant differences in the SNA, UINA Angular, UINA Linear, LINB Linear, S-Line Ls, and Li parameters (p<0.05). There were statistically significant differences between the digital method WebCeph and conventional method in all parameters (p≥0.05) except for E-Line Li (p<0.05). There were statistically significant differences between the OrthoCeph method and WebCeph in all parameters (p<0.05). All parameters showed good to almost perfect agreement between methods (ICC≥0.61). Conclusion: Most parameters show significant differences. The use of OrthoCeph and WebCeph still requires refinement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astien Amalia Hidayah
"Latar Belakang: Sella turcica merupakan anatomi yang penting untuk diteliti dikarenakan deformitas bentuknya dapat menjadi petunjuk utama adanya kelainan skeletal. Hal ini dapat mempengaruhi fungsi fossa hipofisis dikarenakan letaknya yang berada di tengah fossa hipofisis dan dapat menghambat pertumbuhan tulang pada regio kraniofasial seperti maksila, mandibula, palatal dan frontonasal.
Tujuan: untuk mengetahui bentuk variasi morfologi sella turcica pada kelompok umur tertentu di RSKGM FKG UI.
Metode: Radiograf sefalometri lateral digital pada pasien dengan rentang usia 17 tahun ke atas sebesar 258 sampel ditracing dan bentuk morfologi sella turcica dinilai.
Hasil: Frekuensi morfologi sella turcica tertinggi yaitu morfologi normal sebesar 52,3%, diikuti dengan morfologi irregular sella turcica sebesar 13,2%, morfologi bridging sella turcica sebesar 10,9%, morfologi oblique dan pyramidal sebesar 9,7%, dan morfologi double contour sebesar 4,3%.
Kesimpulan: Bentuk variasi morfologi sella turcica di RSKGM FKG UI yang paling sering ditemukan adalah morfologi normal.

Background: Sella turcica is an anatomy that is important to study because its deformity form can be indication key of the presence of skeletal abnormalities. This may affect the  function of the pituitary fossa due to its location in the center of the pituitary fossa and can inhibit bone growth in the craniofacial region such as the maxilla, mandible, palatal, and frontonasal.
Objective: To determine the shape of the morphological variation of sella turcica in certain age groups in RSKGM FKG UI.
Methods: Lateral cephalometric digital radiographs in patients with an age range of 17 years and over by 258 samples traced and the morphological forms of sella turcica assessed.
Results: The most frequence morphology of sella turcica is the normal morphology which is 52,3%, followed by the irregular morphology of sella turcica is 13,2%, the morphology of sella turcica is 10,9%, oblique and pyramidal morphology is 9,7%, and the morphology of double contour is 4,3%.
Conclusion: The most shape of the morphological variation of sella turcica that can be found in RSKGM FKG UI is normal morphology.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Latif
"ABSTRAK
Tujuan: Untuk menganalisis perbedaan sefalometri morfologi wajah di antara orang dewasa dengan UCLA, UCLP, BCLA dan BCLP yang tidak dioperasi dibandingkan dengan kelompok kontrol (non-cleft). Bahan dan metode: Penelitian retrospektif ini menganalisis sefalogram dari subjek dengan UCLA (n= 160), UCLP (n=59), BCLA (n=21) dan BCLP (n=13) dibandingkan kelompok kontrol/non-cleft (n= 52). Sefalogram dipindai pada 16-bit scanner flat bed (EPSON Expression 10000XL) pada resolusi 300 dpi. Semua sefalogram yang diubah menjadi digital oleh seorang pengamat komersial memakai software (Viewbox 3 dhal Software, Kiffisia, Yunani). Sefalometri dianalisis sesuai dengan protokol modifikasi Eurocleft. Perbedaan sefalometri morfologi wajah di antara mereka dianalisis secara statistik. Hasil: Posisi maksila (s-n-ss/SNA), posisi mandibula (S-N-Pg) dan hubungan rahang sagital (ss-n-sm/ANB) berbeda secara signifikan antara kelompok kontrol dan semua kelompok cleft (nilai p antara 0.001 dan 0.042); kelompok cleft sudutnya lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Posisi maksila dan mandibula arah antero posterior berbeda antara kelompok UCLA dan UCLP, juga antara kelompok BCLA dan BCLP. Inklinasi gigi insisif atas terhadap palatal plane (ILS/NL) dan sudut interincisal tidak berbeda secara signifikan antara kelompok kontrol dan semua kelompok cleft. Kesimpulan: Pada kelompok cleft dewasa yang tidak dioperasi, rahang atas menunjukkan secara morfologis lebih ke depan (s-n-ss / SNA) daripada kelompok kontrol. Morfologi wajah kelompok cleft dewasa yang tidak dioperasi tampaknya dapat tumbuh normal pada arah anteroposterior. Setiap jenis cleft memiliki karakteristik sefalometri morfologi sendiri.

ABSTRACT
Objective: To analyze cephalometric facial morphology among adult, unoperated UCLA, UCLP, BCLA. BCLP and the control group (non-cleft). Materials and methods: This retrospective study analyzed the cephalograms of 160 subjects with UCLA, 59 with UCLP, 21 with BCLA, 13 with BCLP and 52 the control (non-cleft group). The cephalograms were scanned on a 16-bit flatbed scanner (EPSON Expression 10000XL) at a resolution of 300 dpi. All cephalograms were digitized by one observer with commercially available software (Viewbox 3 dHal Software, Kiffisia, Greece). The lateral cephalograms were analyzed according to a modified Eurocleft protocol. Differences in cephalometric facial morphology among them were analyzed statistically. Results: Maxillary prominence (s-n-ss/SNA), mandibular prominence (S-N-Pg) and sagittal jaw relationship (ss-n-sm/ANB) differed significantly between the control group and all cleft groups (p-values between 0.001 and 0.042), being larger in the cleft groups. Maxillary and mandibular prominence differed between UCLA and UCLP and either BCLA and BCLP. Upper incisor inclination to palatal plane (ILS/NL) and the interincisal angle did not differ significantly between the control and all cleft groups. There was also no significant difference between the unilateral cleft groups and between the bilateral cleft groups. Conclusions: In the adult unoperated cleft groups, the maxilla showed more prominent (s-n-ss/SNA) than the control group. The facial morphology of adult untreated cleft groups seems potentially normal development in anteroposterior direction. Each type of cleft has its own characteristic cephalometric morphology"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia , 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Galuh Rahmawati Hendra P
"Latar Belakang: Postur kepala yang baik adalah kepala tegak dengan kerja otot minimal dan mencapai efisiensi mekanis maksimal pada sistem saraf pusat. Ketidakseimbangan otot di tulang servikal dan sistem stomatognatik mempengaruhi postur kepala dan menyebabkan malrelasi maksila-mandibula. Usia 10-12 tahun merupakan periode emas perawatan ortodontik. Penilaian postur kepala perlu dipertimbangkan dalam perawatan ortodontik. Sudut NSL/OPT mewakili fleksi-ekstensi dari postur kepala dan sudut ANB digunakan dalam penentuan relasi maksila-mandibula. Penelitian mengenai hubungan antara sudut NSL/OPT dan sudut ANB belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Tujuan: Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan antara sudut NSL/OPT dengan sudut ANB pada anak usia 10-12 tahun ras Deutro Melayu. Metode Penelitian: Penelitian dilakukan di Klinik Gigi Anak dan Radiologi RSKGM FKG UI dengan jumlah responden 33 anak usia 10-12 tahun, sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pada anak dilakukan pengambilan foto radiografi sefalometri lateral. Selanjutnya dilakukan penentuan sudut NSL/OPT dan ANB pada foto menggunakan software ImageJ. Analisis hubungan antara sudut NSL/OPT dengan sudut ANB menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil: Nilai rerata yang didapatkan sudut NSL/OPT adalah 97,9 dan nilai rerata sudut ANB adalah 3,15. Uji korelasi didapatkan r 0,067 dengan p-value 0,713, menunjukkan hubungan sangat lemah antara sudut NSL/OPT dengan sudut ANB, dan tidak signifikan. Kesimpulan: Penelitian hubungan sudut NSL/OPT dengan sudut ANB secara sefalometri pada anak usia 10-12 tahun ras Deutro Melayu di Jakarta, hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan linear yang sangat lemah, dan secara substansi dapat disimpulkan sudut postur kepala tidak dapat dihubungkan dengan sudut ANB.

Background: Good head posture is an upright head with minimal muscle work and maximum mechanical efficiency in the central nervous system. Muscular imbalance in cervical spine and stomatognathic system affects head posture and maxillary-mandibular malrelation. Age 10-12 years is the golden period of orthodontic treatment. Assessment of head posture needs to be considered in orthodontic treatment. The NSL/OPT angle represents flexion-extension of the head posture, and the ANB angle is used to determine the maxillary-mandibular relationship. bnResearch on the relationship between the NSL/OPT angle and the ANB angle in children aged 10-12 years of the Deutro Malay race has never been found before. Purpose: to analyze the relationship between the NSL/OPT angle and the ANB angle in children aged 10-12 years of the Deutro Malay race. Methods: This research was conducted at the IKGA and Radiology Clinic RSKGM FKG UI with a total of 33 respondents aged 10-12 years, according to inclusion and exclusion criteria. Lateral cephalometric radiographs were taken. The NSL/OPT and ANB angles were determined on the photos using ImageJ software. Data analysis using Pearson correlation test. Results: The mean value for the NSL/OPT angle is 97.9 and ANB angle is 3.15. The correlation test r 0.067 with p-value 0.713, indicating a very weak relationship between the NSL/OPT angle and the ANB angle, and not significant. Conclusion: The results showed that there was a very weak linear relationship, and in substance it can be concluded that the angle of head posture cannot be related to ANB angle."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>