Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 384 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harun Al Rasyid
Abstrak :
Teknologi fuel cell (selbahanbakar) merupakan salah satu teknologi yang menggunakan bahan bakar dari energi baru terbarukanya itu hidrogen. Teknologi ini dianggap bersih dan ramah lingkungan. Efisiensi konversi yang tinggi danemisi polutannya sangat rendah sehingga dampak lingkungan yang rendah juga membuatnya menjadi kandidat yang tepat untuk menggantikan teknologi konvensional ada. Aplikasidariteknologi fuel cell, antara lain untuk transportasi/ otomotif, pembangkitlistrikstasionerdan fuel cell portabel.Untuk teknologi fuel cell jenis proton exchange membrane (PEM) sebagai pembangkit listrik, khususnya di Indonesia masih belum berkembang. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis tekno ekonomi dari pembangkit listrik fuel cell jenis PEM dengan melihat karakteristik kerja dan efisiensi sistem, khususnya peralatan disisi keluaran seperti konverter dan inverter terhadap beban rumah tangga(beban yang dipakai lampu) dari beberapa profil beban seperti profil beban statis dan fluktuatif. Hasil uji kinerja sistem pembangkit listrik fuel cell memperlihatkan karakteristik dari fuel cell, yang berupa kurva polarisasi perubahan tegangan terhadap perubahan arus beban.Dari Kurva polarisasi V-I didapatkan nilai polarisasi aktivasi (α) pada saat pembebanan fluktuatif lebih besar dibandingkan pada saat pembebanan statis, sedangkan nilai polarisasi ohmic (r) pada saat pembebanan fluktuatif lebih kecil dibandingkan pada saat pembebanan statis. Hal ini memperlihatkan proporsi energi listrik yang timbul saat perubahan laju reaksi pada pembebanan fluktuatif lebih besar dibandingkan pada pembebanan statis. Sehingga reaksi yang terjadi lebih cepat dan mengakibatkan tegangan akan lebih cepat turun. Dari segi keekonomian biaya energi pembangkit listrik fuel cell jenis PEM untuk kapasitas 500W dan 2 kW masih cukup besar yaitu Rp/kWh10.117,2 dan Rp/kWh 5.330,4. Tetapi untuk kapasitas 5kW ternyata jauh lebih rendah yaitu sebesar Rp/kWh3.048,7. Hal ini di karenakan selain biaya investasi yang menjadilebihkecil,biaya bahan bakar juga menjadi lebih kecil. Biaya bahan bakar bisa jauh lebih murah dikarenakan konsumsi gas hidrogen berdasarkan arus beban yang dipakai pada kapasitas 5kW hanya dua kali lipat jumlahnya dibandingkan kapasitas 500W, sedangkan produksi listrik yang dihasilkan sepuluh kali lipat. ...... Fuel cell technology utilizes fuels from renewable sources i.e. hydrogen. Therefore, this technology is considered clean and environmentally friendly. High conversion efficiency with very low pollutant emission makes this technology a favorable candidate to substitute the existing conventional energy conversion technology. Applications of fuel cell technology include power for transportation/automotive, stationary fuel cell, and portable fuel cell. PEM type fuel cell technology as a power generation has not been developed in Indonesia. Therefore, it is necessary to analyze techno-economic of the PEM fuel cell technology by examining its operation characteristics and system efficiency particularly conversion equipment at output side such as converter and inverter for household load (lighting) at various load profile i.e, static and fluctuated loads. Performance analysis that is presented in V-I polarization curve shows the fuel cells characteristics. From this curve, polarization activation value (α) at fluctuated loads is higher than that of static loads, whereas polarization ohm value (r) is lower at static loads than fluctuated loads. This result demonstrates electricity produced at fluctuated loads is higher compared to that at static load. Consequently, chemical reactions are faster that affect voltage to drop faster. Cost of energy for PEM fuel cell is still considerably high for 500 W and 2 kW that are Rp/kWh10.117,2 and Rp/kWh 5.330,4. While for 5 kW fuel cell system, COE is far lower that is Rp/kWh3.048,7. This is due to cost of investment and fuels decrease significantly. Cost of fuel can be reduced substantially because oxygen consumption at a 5 kW fuel cell system is only double than that of the 500 W system, whereas electicity production is 10 times higher.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T42385
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Morrison, John H.
New York: Reinhold, 1966
571.6 MOR f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suprapto Ma`at
Abstrak :
Di dalam buku ini diuraikan tentang teknik dasar beserta cara-cara mengatasi berbagai problema yang sering dihadapi dalam bekerja dengan kultur sel. Kesukesan buku ini didukung oleh pengalaman penulis memperoleh pelatihan teknik kultur sel di CSL (Commonwealth Serum Laboratories) Melbourne, pelatihan aplikasi kultur sel untuk produksi virus di AVRI (Animal Virus Research Institute) Pirbright, Woking Surrey England, serta sebagai Kepala Subbidang produksi vaksin Penyakit Mulut dan Kuku dengan teknik kultur sel PUSVETMA Surabaya tahun 1979-1984.
Surabaya: Airlangga University Press, 2011
616.027 7 SUP t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Wahyudianto
Abstrak :
Penelitian ini membahas analisa kapasitas reverse link sistem makro/mikroselular CDMA dengan menggunakan pengaturan perbandingan daya yang diterima pada base station (BS) makrosel/mikrosel dan pemiringan sudut antena mikrosel (tilted antenna). Pada sistem model yang diusulkan ditempatkan masing-masing sebuah mikrosel pada setiap makrosel. Pada sistem tersebut makrosel dan mikrosel bekerja pada band frekuensi yang sama, tetapi level dayanya diatur berbeda untuk mendapatkan perbandingan yang optimum. Penggunaan band frekuensi yang sama oleh makrosel dan mikrosel menyebabkan terjadinya interferensi sehingga mempengaruhi kapasitas sistem. Pada sistem makro/mikroselular CDMA terdapat empat jenis interferensi, yaitu interferensi dari makrosel-mikrosel, interferensi dari mikrosel-makrosel, interferensi dari makroselmakrosel dan interferensi dari mikrosel-mikrosel. Dari hasil yang diperoleh penggunaan teknik pengaturan perbandingan daya (power ratio control) yang optimum menghasilkan kapasitas user makrosel lebih besar dibandingkan dengan teknik penyamaan daya yang diterima sama (equal power received) pada BS makrosel/mikrosel. Penggunaan pemiringan sudut antena mikrosel pada teknik pengaturan perbandingan daya dapat meningkatkan kapasitas sistem.
The reverse link capacity of macro/microcellular code-division multiple-access (CDMA) is obtained analytically in this research, which is using power ratio control technique and tilted microcell antenna. In the proposed system model, we placed a microcell at every macrocell. The macrocell and microcell are operating in the same frequency band. The different power received of both macrocell and microcell base stations are controlled to obtain the optimum power ratio. The use of the same frequency band of both macrocell and microcell causing the interference which is decreasing capacity of the system. In macro/microcellular CDMA systems, there exist four kinds of other cell interference. For example, the macrocell-tomicrocell interference, the microcell-to-macrocell interference, the macrocell-tomacrocell interference and the microcell-to-microcell interference. It is shown that the system capacity with power ratio control increase remarkably than the system with equal power receive of BS macrocell/microcell. Also, the optimum tilt angle of microcell antenna adds more capacity.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
T10047
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waworuntu, Osmaliana Osman
Abstrak :
ABSTRAK Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi yang semakin pesat, kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya juga semakin meningkat. Salah satu dampaknva adalah peningkatan limbah yang dihasilkan baik jumlahnya maupun jenisnya. Bila limbah tidak dikelola dengan baik, akan mengakibatkan terjadinya pencemaran. Pada akhirnya akan berpengaruh terhadap keselamatan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga akan mengganggu kesinambungan lingkungan hidup. Oleh sebab itu perlu adanya upaya penanganan untuk mengatasi masalah pencemaran. Salah satu sumber yang dapat menimbulkan pencemaran adalah limbah rumah tangga. Limbah yang berasal dari rumah tangga. terdiri dari bermacant-macam jenis. ada yang dapat digunakan kembali dan ada yang tidak. Lebih dari itu. ada limbah yang tergolong sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti sisa obat-obatan, sisa pembasmi hama dan baterai kering bekas. Baterai kering yang biasa digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. merupakan sarana yang dapat menyimpan energi kimia dan mengubahnya menjadi energi listrik. Komponen baterai kering adalah logam dan zat-zat kimia lain, maka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian No.: 148/MISK/1985. baterai kering dapat digolongkan ke dalam kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Di DKI Jakarta, setiap rumah tangga rata-rata mengkonsumsi 10 buah baterai kering ukuran besar (UM1), 5 buah baterai berukuran sedang (UM2) dan 10 buah baterai berukuran kecil (UM3) dalam satu tahun. Diperkirakan setiap tahun. puluhan juta buah baterai kering digunakan untuk berbagai keperluan. Dengan demikian setiap tahun terdapat puluhan juta baterai kering bekas yang dapat mencemari lingkungan, karena sampai saat ini belum ada sistem pengelolaan pembuangannya. Untuk mengatasi pencemaran, khususnya yang diakibatkan oleh baterai kering bekas, perlu diciptakan sistem pengelolaannya. Pengelolaan yang dimaksud adalah suatu upaya yang dilakukan agar baterai kering bekas tidak dibuang atau digunakan secara tidak aman bagi manusia dan lingkungan hidup. Untuk itu perlu diperoleh gambaran mengenai sikap yang meliputi pemahaman masyarakat mengenai pencemaran lingkungan pada umumnya, khususnya perlakuan terhadap baterai kering bekas. Di samping partisipasi masyarakat, maka keberhasilan upaya pengelolaan ditentukan pula oleh adanya sarana baik berupa sarana non fisik seperti peraturan dan sistem pengelolaannya maupun sarana fisik. Oleh sebab itu, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui sikap dan perilaku masyarakat Jakarta terhadap baterai kering bekas, sehingga terlihat gambaran tentang kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi bila disusun suatu sistem pengelolaan dan peraturan tentang baterai kering bekas. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengkaji kedudukan baterai kering daiam peraturan-peraturan lingkungan hidup khususnya tentang pengelolaan limbah B3. mendapatkan gambaran mengenai pemahaman masyarakat tentang pencemaran lingkungan, mendapatkan gambaran mengenai perlakuan dan anggapan tentang perlakuan masyarakat terhadap baterai kering bekas. serta mendapatkan gambaran tentang kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pengelolaan baterai kering bekas. Penelitian dilakukan di 6 (enam) lokasi di wilayah DKI Jakarta dengan responden 180 orang ibu rumah tangga dari tiga kelompok permukiman. yang dalam kegiatan ini disebut sebagai permukiman bala'ah (PB) permukiman menengah (PM) dan permukiman atas (PA). Data primer diperoleh di lapangan dengan metoda survei. sedangkan data sekunder diperoleh dari tulisan baik berupa hasil-hasil penelitian, makalah ataupun peraturan-peraturan. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif deskriptif. Dari penelitian ini diperoleh kesimpuIan bahwa baterai keying bekas termasuk dalarn kriteria jenis limbah B3, namun secara tersurat belum termasuk dalam daftar limbah B3 pada peraturan-peraturan yang menyangkut pengelolaan limbah B3 yaitu SK Menteri Perindustrian No. 148/MSK/4/1985 tentang pengamanan Bahan Beracun dan Berbahaya di Perusahaan Industri; PP 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun: dan PP 13/1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 19/1994. Mengenai pemahaman masyarakat tentang pencemaran lingkungan diperoleh gambaran bahwa 93,3% responden mengetahui bahwa pencemaran akan mengganggu kesehatan manusia, dan 6,7% yang menyatakan tidak tahu merupakan responden yang tinggal di kelompok PB.
ABSTRACT Along with the rapid growth of population and economic development. human activities in accomplishing their needs also increase. One of the consequences is that people produce more waste, in larger amount and variety. Waste. if not properly managed will cause pollution and finally it will endanger human life and other creatures. One of the source of environment pollution is household waste. Such waste consists of various kinds of things, some of them can he reused but some cannot. There is even toxic and dangerous waste (B3) such as chemical waste, insecticide, and used dry cells. Dry cell in daily use is a device that saves chemical energy and to turn it into electrical energy. Since the component of dry cells, are made from metal and other chemical substances. it is categories as B3. according to the Industrial Minister's Decree No.:148/MISK/1985. is categorized into B3. Each household in DKI Jakarta consumes 10 big dry cells (size UM I). 5 medium dry cells (size UM2). and 10 small dry cells (size 13M3) every year. Il is estimated that millions of dry cells are used for various needs every year. There for there are the same number of used dry cells pollute the environment and so far there is no waste management system of used dry cell has been designed. To solve the pollution problem especially as the result of used dry cells, a waste management system should be developed. Such system needs to be done as an effort to avoid the environment pollution. A view on people's perception toward environment pollution in general is acquired when deals with used dry cells. To accomplish such effort is determined by not only public participation. but also an appropriate physical and non-physical facilities such as a rule and its management system. Base on the above matter, this survey is meant: a. to understand the attitude and behavior of the community towards the B3 waste, which can be the source of environment pollution, especially to get the picture of what people understand about the environment pollution. b. to understand how the people deal with the B3 waste, to understand the people's idea on their own attitude towards the B3 waste. c. and to get the picture on the willingness of the community to participate in the effort to control the B3 waste. The survey has been conducted in 6 locations within DKI Jakarta. on 180 housewives from 3 district groups. Primary data was obtained in the field. where as secondary data was gathered from papers and regulation. This collected data was analyzed in a descriptive qualitative. The research concluded that used dry cells are categorized as hazardous waste. Although the regulations of B3 waste management (Minister of Industry's Decree No 148/M/SK/1985 on Protection of Industry's Hazardous Waste: Government Regulations (PP)/19/1994 on Hazardous Waste Management: PP/12/1995 on the Modification of PP/19/1994) have not legally included it into the list of hazardous waste. The result of the survey about people's perception on the environment is that most of the respondent (93.3%) know that pollution will affect human health. while the others (18.3%) do not know and even assume that there is danger to human life. Further study found that some people (37.8%) assume that. if the waste is thrown away far from their place. it will not cause any pollution to them. the pollution stuff that people know includes dust. exhaust fumes. plastic and other waste. Only a small part (5,3%) mentioned that used dry cell is one of the pollutant.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ofa Suzanti Betha
Abstrak :
Kitin merupakan salah satu polimer alam yang banyak tersedia dialam sesudah selulosa. Kitin dan turunannya telah banyak digunakan diberbagai bidang diantaranya pertanian, tekstil, khususnya farmasi dan kesehatan. Limbah kulit udang yang merupakan sumber bahan baku pengolahan kitin menghasilkan kualitas kitin yang lebih baik apabila diolah dengan cara biologi dibandingkan cara kimia. Pengolahan kitin secara biologi menggunakan asam laktat untuk demineralisasi dan enzim protease hasil fermentasi bakteri untuk proses deproteinasi. Telah dilakukan penelitian terhadap kemampuan sel amobil Lactobacillus acidophilus FNCC116 dan Bacillus licheniformis F11.4 dalam proses demineralisasi dan deproteinasi limbah kulit udang dalam ekstraksi kitin dengan tujuan untuk efisiensi proses fermentasi. Proses amobilisasi kedua jenis bakteri ini dilakukan dengan menggunakan metoda penjerapan sel di dalam matrik natrium alginat 2% yang selanjutnya direaksikan dengan CaCl2 0,2M. Proses demineralisasi limbah kulit udang menggunakan sel amobil Lactobacillus acidophilus FNCC116 30% dan medium yang terdiri dari 6% glukosa, 1,5% yeast, 0,003% MnSO4, 0,003% FeSO4.7H2O, 0,02% MgSO4.7H2O mampu menghasilkan asam laktat sampai 2,24% dan mampu menurunkan kadar abu dalam kulit udang sampai dengan 1,18%. Sel amobil Bacillus licheniformis F11.4 pada fermentasi menggunakan medium yang terdiri dari 0,5% yeast, 0,5% NaCl 0,05% MgSO4.7H2O 0,1% CaCl2.2H2O mampu menghasilkan enzim protease dengan aktivitas tertinggi sebesar 25,18 U/ml. Proses deproteinasi limbah kulit udang menggunakan sel amobil Bacillus licheniformis F11.4 30% mampu menurunkan kadar protein dalam kulit udang sampai 2,73% dengan aktivitas protease tertinggi 50,61 U/ml. Hasil penelitian ini menunjukkan, sel amobil Lactobacillus acidophilus FNCC116 dan Bacillus licheniformis F11.4 mampu menurunkan kadar abu dan kadar protein kulit udang dalam tahapan pengolahan kitin secara biologi.
Chitin, a homopolimer, is the most abundant renewable natural resources after cellulose. Chitin and its derivatives hold many applications in agriculture, textile, pharmacy and medic. Chitin that extracted from waste shrimp shells by biological fermentation has better quality than chemical procees. Demineralization of chitin by biological procees use lactic acid as product of fermentation. Deproteinization of chitin use proteolytic activity of enzyme that produce by bacteria in fermentation. Lactobacillus acidophilus FNCC116 and Bacillus licheniformis F11.4 has been immobilized by entrapment methods and 2% sodium alginate in 0,2 M CaCl2 as the matric. The ability of immobilized Lactobacillus acidophilus FNCC116 cell in fermentation was tested. The fermentation that was carried out in medium which consist of 6% glukosa, 1,5% yeast extract, 0,003% MnSO4 0,003% FeSO4.7H2O, 0,02% MgSO4.7H2O and has been producted 2,24% lactic acid. Demineralization of waste shrimp shell with 30% immobilized Lactobacillus acidophilus FNCC116 cell has successfully decreased ash content tol 1,18% and produced lactic acid maximum 2.24%. Immobilized Bacillus licheniformis F11.4 cell in fermentation produced protease enzyme with maximum activity 25.18 U/ml. Deproteinization of waste shrimp shell with 30% immobilized Bacillus licheniformis F11.4 cell can decreased protein content to 2,73% and reached highest protease activity 50,61 U/ml. Immobilization of Lactobacillus acidophilus FNCC116 cell and Bacillus licheniformis F11.4 cell promised an efficient method in bioproceesing of chitin recovery.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
T26781
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Halim Sadikin
Abstrak :
Keadaan hipoksia menyebabkan peningkatan Hypoxia Inducible Factor (HIP) sebagai respon terhadap menurunnya kadar oksigen. Selain menyebabkan peningkatan HIP, hipolsia juga menyebabkan peningkatan pembentukan dan penglepasan Reactive Oxygen Species (ROS) dari dalam mitokondria. yang kemudian akan meregulasi respons terhadap 02 yang rendah. Akibat peningkalan pembentukan ROS, kcmungkinan dapat teijadi stres oksidatif Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengamati pengaruh hipoksia sistemik terhadap ekspresi gen HIF I-a dan stres oksidatif pada jaringan hati tikus yang diindiksi hipoksia sistemik selama I, 3, 7 dan 14 hari yang dibandingkan dengan kelompok normoksia sebagai kontrol. Induksi hipoksia sistemik dilakukan dengan memaparkan tikus jantan Sprague-Dawley terhadap lingkungan dengan oksigen l0% dan nitrogen 90% dalam sungkup hipoksiai Kada: protein, glutatzion (GSH) dan malondialdehid (MDA) diperiksa dari homogenat hati likus. Kadar protein dihitung dengan mengukur serapan pada 1 280 nm dan dibandingkan dengan serapan larutan standar Bovine Serum Albumin. Kadar malondialdehid (MDA) ditetapkan dengan metode Wiils dan kadar glutation (GSH) diukur dengan rnetode Ellman. Analisis ekspresi gen HIF 1-a dilakukan dengan metode Wesrern Blot dengan menggunakan anti HH? l-oi sebagai antibodi primer, anti IgG mouse sebagai antibodi sekunder dan pewamaan menggunakan aminoerhyl carbazole. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar MDA hati meningkat mulai hari ke-l hipoksia dan bertahan sampai I4 hari, walaupun tidak bemiakna secara statistik Kadar GSH hati menunjukkan penutunan yang bermakna seiring dengan lamanya hipoksizi Hasil Weslerrz Blot menunjukkan adanya HIP I-a pada normoksia, hipoksia 1 hari dan 3 hari. Dapat disimpulkan bahwa terjadi stres oksidatif di jaringan hati seiring dengan lamanya hipoksia.
Hypoxia condition increases the level of hypoxia-inducible factor (HIF) as response to oxygen deprivation. Hypoxia also increases production and releases of reactive oxygen species (ROS) from mitochondria Excessive production of ROS can lead to oxidative stress, due to its reactivity with macromolecules within cell, ie lipid. The objective of this study is to observe the effects of induction of systemic hypoxia on expression of HIP 1-c. gene and its relation oxidative stress in rat liver tissue. The experiment was conducted on 25 male Sprague-Dawiey rats, which were divided into 5 groups : normoxic, hypoxia for l day, 3 days, 7 days and 14 days. Induction of systemic hypoxia was carried by exposing the rats in a hypoxic chamber with environment 10% 02 and 90% N2. To asses the oxidative stress condition, malondialdehyde (MDA) and glutation (GSH') concentration in liver was measured using Wills? and Ellman?s method, respectively. Expression of HIP 1-ot gene was analyzed using Westem Blot. The result showed that MDA concentration is higher in all hypoxic group with no statistically significance difference. The GSH level decreased significantly until day 14. It seemed that oxidative stress occurred at day 14. HIF 1-a was expressed in normoxic condition, hypoxia day l and day 3. It was concluded that oxidative stress was more likely to occur at day 14 of hypoxia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32318
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Suciati
Abstrak :
Keadaan hipoksia dapat membuat sel melakukan adaptasi melalui ekspresi berbagai macam gen. Banyak gen tersebut adalah gen yang diinduksi oleh suatu faktor transkripsi yang disebut HIF-I HlF-la adalah subunit yang diregulasi oleh kadar oksigen untuk aktifitas faktor transkripsi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola mRNA HIF 1u dan ekspresi protein HIF-ln pada organ ginjal dari tikus yang mengalami kondisi hipoksia secara sistemik yang terbagi menjadi 5 kelompok berdasarkan lamanya perlakuan (kelompok kontrol, hipoksia 13, 7 dan 14 hari masing-masing 6 ekor tikus) menggunakan Hypoxic Chamber dengan kadar 02 8% dan Nitrogen 92%. Pola mRNA HIF-la dilihat berdasarkan basil RT-PCR dengan membandingksn rasio kelompok nonnoksia dan kelompok hipoksia. Ekspresi protein HIF-1a dilakukan dengan metode Western Blot dengan menggunakan anti HIF-la sebagai antibodi primer. Hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan ekspresi mRNA HIF-la dibandingkan kontrol pada kelompok hipoksia 1 hari dan diikuti peningkatan pada kelompok hipoksia 3 hari dan mulai mengalami penurunan kembali pada kelompok 7 hari. Sementara protein HIF-la. memperlihatkan terdapatnya peningkatan ekspresi protein HIF-la yang mulai mengalami penurunan pada kelompok hipoksia 14 hari. Dapat disimpulkan bahwa regulasi H1F-1a terjadi pada tahap transkripsi dan tahap pasca translasi.
Hypoxia could make cell to adapt trough gene expression. Many of these gene induced by the transcription factor called HIP-1. HIF-I tz is the subunit which regulated by oxygen level to activated the transcription factor. The aim of this study is to know the pattern of Hypoxia Inducible Factor-Ia (HIP-la) mRNA and HIF-Ia protein Expression of Renal Rat in Systemic Chronic Hypoxia which divided to 5 groups based on the duration of hypoxia (control, I, 3, 7, and I4 days of hypoxia with 6 rats each group ) using hypoxia chamber with 8% oxigen and 92% Nitrogen. The pattern was measure with RT-PCR which combine the ratio of control group and the hypoxic group. The protein expression measure with Western Blot method using anti HIF-l a as 1? antibody. The result shows that HIP-lo. mRNA expression decrease in 1" day of hypoxia, elevated and reach a peak at 3 days of hypoxia and start to decrease since then. While the HIP-lo. protein shows an increase expression until I4 days of hypoxia which start to decrease. It can be concluded that HIF-la regulation occurs in transcription level and post translation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32319
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Farida Soenarto
Abstrak :
Latar belakang: Halotan, anestetika inhalasi yang poten semakin banyak ditinggalkan karena efek aritmogeniknya. Penelitian di tingkat selular kebanyakan dilakukan pada penyandang hipertermia maligna (MH), membuktikan bahwa halotan mengaktivasi reseptor ryanodin (RyR) pada otot rangka, menyebabkan penglepasan berlebihan Ca2+ dari retikulum sarkoplasmik (SR) ke sitosol, memicu hiperkontraktur otot rangka. Diasumsikan halotan mempunyai efek serupa pada otot jantung. Belum banyak penelitian mengenai efek pemberian Mg2+ terhadap perubahan konsentrasi Ca2+ akibat halotan, meskipun Mg2+ dikenal sebagai obat antiaritmik. Mg2+ diduga menurunkan konsentrasi Ca2+ sitosol dengan cara meningkatkan ambilan kembali ke dalam SR melalui aktivitas SERCA. Metode penelitian: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vitro, dengan subjek sel kultur miosit jantung tikus. Miosit yang dimuat dengan indikator Indo1 dibagi menjadi lima kelompok. Sel kontrol tidak dipajankan dengan halotan. Kelompok sel lainnya dipajankan dengan halotan berkonsentrasi 2 mM (setara dengan 1 - 3 MAC) selama 5 menit. Pada kelompok 1, setelah dipajankan dengan halotan, pajanan dihentikan dan diperiksa besar emisinya (penghentian menit ke- 0). Selanjutnya pemeriksaan emisi dilakukan setelah penghentian pajanan diteruskan selama 5, 10, 15 dan 20 menit. Sel kelompok 2 dan 3 diberi MgSO4 11 M dan 22 mM setelah pajanan halotan, kelompok 4 dan 5 diberi MgSO4 11 mM dan 22 mM sebelum pajanan halotan. Perubahan konsentrasi Ca2+ sitosol diketahui dengan pemindaian laser menggunakan mikroskop konfokal, dihitung dari perubahan besar emisi pada sel terpajan dengan analisis pixel. Hasil: Halotan meningkatkan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung secara bermakna. Pemberian MgSO4 sebelum pajanan halotan tidak mencegah peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosol. Pemberian MgSO4 setelah pajanan halotan tidak bermakna menurunkan konsentrasi Ca2+ sitosol, namun ditemukan kecenderungan turunnya konsentrasi Ca2+ sitosol dengan penambahan dosis MgSO4, setara dengan efek penghentian pajanan halotan selama 10 menit. Lima belas menit setelah penghentian pajanan halotan, konsentrasi Ca2+ turun secara bermakna. Dua puluh menit setelah pajanan halotan dihentikan, konsentrasi Ca2+ sitosol telah kembali ke nilai awal. Simpulan: Halotan meningkatkan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung. Mg2+ tidak bermakna menurunkan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung dan tidak mencegah peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung akibat pajanan halotan. Setelah penghentian pajanan halotan selama 15 menit, konsentrasi Ca2+ sitosol turun secara bermakna.
Background: Halothane, a potent inhalational anesthetic, has been recognized to cause arrhythmia, probably due to activation of ryanodine receptor (RyR), triggering Ca2+ release from sarcoplasmic reticulum (SR) to the cytosol. The similar mechanism had been known in skeletal muscle of malignant hyperthermia (MH) patients. Mg2+ hypothetically prevents Ca2+ release by inhibition of RyR and increasing Ca2+ reuptake to SR by SERCA activity. Although Mg2+ had been used as an antiarrhythmic agent, the effect on reducing halothane-induced high intracellular Ca2+ concentration is not well studied. Method: This experimental in vitro study was done on cultured cell of rat cardiomyocytes. Cells divided into 6 groups. 5 groups were exposed to halothane for 5 minutes (at concentration of 2 mM, equal to 1-3 MAC) and one was not. Of the 5 halothane-exposed groups, group 1 received no additional treatment, but observed immediately after discontinuation of halothane exposure, then 5, 10, 15 and 20 minutes after discontinuation. Group 2 and 3 were given 11 mM and 22 mM MgSO4 after halothane exposure, respectively. Group 4 and 5 had the corresponding MgSO4 treatment prior to exposure. The change in cytosolic Ca2+ was observed by a confocal microscope and measured by pixel analysis for the emission. Results: Halothane increased cytosolic Ca2+ concentration in rat cardiac myocytes, in which was not substantially altered by MgSO4 given before or after the exposure. There was a trend of decreasing Ca2+ concentration with higher dose of Mg2+. MgSO4 of 22 mM decreased cytosolic Ca2+ concentration to the same extent as discontinuation of halothane for 10 minutes. The cytosolic Ca2+ concentration significantly decreased 15 minutes after discontinuation of halothane exposure and the cytosolic Ca2+ concentration returned to the basal level 20 minutes after discontinuation of halothane exposure. Conclusion: Halothane increases cytosolic Ca2+ concentration in rat cardiac myocytes. Neither pre- nor post-halothane exposure administration of MgSO4 substantially alters this phenomenon. Cytosolic Ca2+ concentration was significantly reduced 15 minutes after discontinuation of halothane exposure.
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivitri Dewi Prasasty
Abstrak :
[ABSTRAK
E-cadherin adalah protein ekstraseluler transmembran dan calciumdependent pada adhesi sel-sel. E-cadherin memiliki fungsi penting dalam pembentukan penghubung protein adheren pada jembatan interselular seperti mukosa usus dan sawar darah otak (blood brain barrier, BBB). Peptida yang berasal dari sekuens lestari EC1 memiliki aktivitas yang berpotensi untuk memodulasi jembatan adheren di sawar darah otak. Peptida telah menunjukkan kemampuan mereka untuk menghantarkan molekul obat di sawar darah otak dan mengatasi penghalang biologis seperti: enzim metabolisme, tight junction dan efflux pump yang mencegah transportasi obat dari sirkulasi sistemik ke otak. Dalam modulasi sawar darah otak, peptida menghambat interaksi cadherincadherin. Peptida selektif diperlukan untuk meningkatkan modulasi E-cadherin. Struktur EC1 domain digunakan dalam merancang peptida selektif untuk memodulasi E-cadherin. Dalam struktur tingkat atom, spektroskopi NMR cair adalah instrument yang sangat reliabel dalam mengelusidasi struktur, konformasi dan dinamika. Dalam studi ini, kami telah berhasil menerapkan teknik NMR tiga dimensi untuk menentukan residu EC1 yang berlabel isotop 1H, 13C, dan 15N. Sebanyak 90% asam amino dalam EC1 telah berhasil ditentukan. Hasil penentuan asam amino EC1 tersebut kemudian digunakan sebagai sidik jari untuk menemukan pergeseran resonansi kimia yang mungkin terjadi sebagai tanda adanya interaksi ikatan antara asam amino EC1 dengan molekul peptida. Metode titrasi peptida HAV6 (Ac-SHAVSS-NH2) dan ADTC5 (Ac-CDTPPVC-NH2) telah digunakan untuk mengetahui situs ikatan asam amino EC1 spesifik dengan peptida. Hasilnya menunjukkan bahwa residu Ile-4 dan Asp-103 pada domain EC1 menunjukkan perubahan yang paling besar dibandingkan dengan residu lainnya. Berdasarkan nilai CSP (Chemical Shift Perturbation), residu ini diinvestigasi lebih lanjut untuk melihat interaksinya dengan peptida. . Kami menggunakan struktur domain E-cadherin 1 dari database PDB struktur kristal difraksi sinar X sebagai model protein. Struktur peptida didesain menggunakan program pemodelan struktur 2D dan 3D. Komputasi docking digunakan untuk mencari konformasi dengan probabilitas tertinggi dalam berikatan dengan residu protein. Dengan mentransformasi nilai CSP ke dalam studi docking, residu Ile-4 dan Asp-103 menunjukkan adanya perbedaan dalam konformasi dan ikatan kimia yang terlibat serta afinitas terbaik dengan peptida HAV6 dan ADTC5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai model untuk mendesain peptida kecil dengan kemampuan affinitas lebih tinggi dengan EC1 untuk meningkatkan penghantaran obat melalui jalur mukosa usus dan sawar darah otak.
ABSTRACT
E-cadherin is an extracellular protein transmembrane and calciumdependent of cell-cell adhesion. E-cadherin has an important function in formation of adherens junction in the intercellular junction of biological barriers such as the intestinal mucosa and the blood brain barrier (BBB). Peptides derived from the conserved region of EC1 have highly potential activity to modulate the adherens junctions in BBB. Peptides have shown their ability to deliver the drug molecules across the BBB and overcome drug delivery issues in BBB such as metabolism enzymes, tight junction and efflux pump that prevent drug transport from the systemic circulation into the brain. In modulating the BBB, peptides inhibit cadherin-cadherin interactions. The selective peptides are necessary required to improve E-cadherin modulation. Elucidation of EC1 domain structure would provide information in designing the peptides selectively to modulate E-cadherin. In atomic level structure, solution NMR spectroscopy is a valuable tool to examine the changes in structure, conformation and dynamics. In this study, we have successfully applied the three-dimensional NMR techniques to determine the 1H, 13C, and 15N backbone assignments of EC1 in the 13C-15N-labeled EC1 solution structure study. Approximately 90% of EC1 residues have been successfully assigned. The EC1 backbone assignment then was used as a fingerprint to find the resonance chemical shift of possible EC1-peptide binding sites by titrating the peptide in solution. Titration using HAV6 (Ac-SHAVSSNH2) peptide and ADTC5 (Ac-CDTPPVC-NH2) into 15N-labeled-EC1 solution have been undertaken by two-dimensional NMR to resolve the binding site of the EC1-peptide complex by monitoring perturbations in the backbone amides. Our study to investigate the detail mechanism and interaction sites has been done. Residue Ile-4 and Asp-103 of EC1 domain showed the most changes over other residues based on CSP value. These residues were further investigated its specific interaction with the peptides. . We used human E-cadherin 1 domain X-ray structure from PDB as a protein model in docking. Peptide structures were drawn with the 2D and 3D structure builder program. Computational docking was used to search the high probability conformers to bind the protein residue. By transforming CSP value to docking study we could find that residue Ile-4 and Asp-103 showed distinct conformations with favorable binding modes, chemical bonds involved and the best affinities with HAV6 and ADTC5 peptides. Furthermore, the result will be used as model to design small peptides that have higher binding capability to the EC1 for improving drug delivery through the intestinal mucosa and the blood brain barrier.;;E-cadherin adalah protein ekstraseluler transmembran dan calciumdependent pada adhesi sel-sel. E-cadherin memiliki fungsi penting dalam pembentukan penghubung protein adheren pada jembatan interselular seperti mukosa usus dan sawar darah otak (blood brain barrier, BBB). Peptida yang berasal dari sekuens lestari EC1 memiliki aktivitas yang berpotensi untuk memodulasi jembatan adheren di sawar darah otak. Peptida telah menunjukkan kemampuan mereka untuk menghantarkan molekul obat di sawar darah otak dan mengatasi penghalang biologis seperti: enzim metabolisme, tight junction dan efflux pump yang mencegah transportasi obat dari sirkulasi sistemik ke otak. Dalam modulasi sawar darah otak, peptida menghambat interaksi cadherincadherin. Peptida selektif diperlukan untuk meningkatkan modulasi E-cadherin. Struktur EC1 domain digunakan dalam merancang peptida selektif untuk memodulasi E-cadherin. Dalam struktur tingkat atom, spektroskopi NMR cair adalah instrument yang sangat reliabel dalam mengelusidasi struktur, konformasi dan dinamika. Dalam studi ini, kami telah berhasil menerapkan teknik NMR tiga dimensi untuk menentukan residu EC1 yang berlabel isotop 1H, 13C, dan 15N. Sebanyak 90% asam amino dalam EC1 telah berhasil ditentukan. Hasil penentuan asam amino EC1 tersebut kemudian digunakan sebagai sidik jari untuk menemukan pergeseran resonansi kimia yang mungkin terjadi sebagai tanda adanya interaksi ikatan antara asam amino EC1 dengan molekul peptida. Metode titrasi peptida HAV6 (Ac-SHAVSS-NH2) dan ADTC5 (Ac-CDTPPVC-NH2) telah digunakan untuk mengetahui situs ikatan asam amino EC1 spesifik dengan peptida. Hasilnya menunjukkan bahwa residu Ile-4 dan Asp-103 pada domain EC1 menunjukkan perubahan yang paling besar dibandingkan dengan residu lainnya. Berdasarkan nilai CSP (Chemical Shift Perturbation), residu ini diinvestigasi lebih lanjut untuk melihat interaksinya dengan peptida. . Kami menggunakan struktur domain E-cadherin 1 dari database PDB struktur kristal difraksi sinar X sebagai model protein. Struktur peptida didesain menggunakan program pemodelan struktur 2D dan 3D. Komputasi docking digunakan untuk mencari konformasi dengan probabilitas tertinggi dalam berikatan dengan residu protein. Dengan mentransformasi nilai CSP ke dalam studi docking, residu Ile-4 dan Asp-103 menunjukkan adanya perbedaan dalam konformasi dan ikatan kimia yang terlibat serta afinitas terbaik dengan peptida HAV6 dan ADTC5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai model untuk mendesain peptida kecil dengan kemampuan affinitas lebih tinggi dengan EC1 untuk meningkatkan penghantaran obat melalui jalur mukosa usus dan sawar darah otak., E-cadherin adalah protein ekstraseluler transmembran dan calciumdependent pada adhesi sel-sel. E-cadherin memiliki fungsi penting dalam pembentukan penghubung protein adheren pada jembatan interselular seperti mukosa usus dan sawar darah otak (blood brain barrier, BBB). Peptida yang berasal dari sekuens lestari EC1 memiliki aktivitas yang berpotensi untuk memodulasi jembatan adheren di sawar darah otak. Peptida telah menunjukkan kemampuan mereka untuk menghantarkan molekul obat di sawar darah otak dan mengatasi penghalang biologis seperti: enzim metabolisme, tight junction dan efflux pump yang mencegah transportasi obat dari sirkulasi sistemik ke otak. Dalam modulasi sawar darah otak, peptida menghambat interaksi cadherincadherin. Peptida selektif diperlukan untuk meningkatkan modulasi E-cadherin. Struktur EC1 domain digunakan dalam merancang peptida selektif untuk memodulasi E-cadherin. Dalam struktur tingkat atom, spektroskopi NMR cair adalah instrument yang sangat reliabel dalam mengelusidasi struktur, konformasi dan dinamika. Dalam studi ini, kami telah berhasil menerapkan teknik NMR tiga dimensi untuk menentukan residu EC1 yang berlabel isotop 1H, 13C, dan 15N. Sebanyak 90% asam amino dalam EC1 telah berhasil ditentukan. Hasil penentuan asam amino EC1 tersebut kemudian digunakan sebagai sidik jari untuk menemukan pergeseran resonansi kimia yang mungkin terjadi sebagai tanda adanya interaksi ikatan antara asam amino EC1 dengan molekul peptida. Metode titrasi peptida HAV6 (Ac-SHAVSS-NH2) dan ADTC5 (Ac-CDTPPVC-NH2) telah digunakan untuk mengetahui situs ikatan asam amino EC1 spesifik dengan peptida. Hasilnya menunjukkan bahwa residu Ile-4 dan Asp-103 pada domain EC1 menunjukkan perubahan yang paling besar dibandingkan dengan residu lainnya. Berdasarkan nilai CSP (Chemical Shift Perturbation), residu ini diinvestigasi lebih lanjut untuk melihat interaksinya dengan peptida. . Kami menggunakan struktur domain E-cadherin 1 dari database PDB struktur kristal difraksi sinar X sebagai model protein. Struktur peptida didesain menggunakan program pemodelan struktur 2D dan 3D. Komputasi docking digunakan untuk mencari konformasi dengan probabilitas tertinggi dalam berikatan dengan residu protein. Dengan mentransformasi nilai CSP ke dalam studi docking, residu Ile-4 dan Asp-103 menunjukkan adanya perbedaan dalam konformasi dan ikatan kimia yang terlibat serta afinitas terbaik dengan peptida HAV6 dan ADTC5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai model untuk mendesain peptida kecil dengan kemampuan affinitas lebih tinggi dengan EC1 untuk meningkatkan penghantaran obat melalui jalur mukosa usus dan sawar darah otak.]
2014
D1955
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>