Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Audrey Graciela Naftali
Abstrak :
Media sosial telah memfasilitasi penggunanya dengan ruang untuk berkomunikasi dengan orang lain dan mengungkapkan pendapat mereka kepada publik. Dengan media sosial, cancel culture semakin marak terjadi. Pasalnya, opini dari individu mudah tersebar menggunakan fitur status di media sosial. Pemanfaatan status untuk mempengaruhi orang lain itulah yang terjadi dalam peristiwa Dewa Kipas. Status Ali yang menjadi viral mengakibatkan aksi kolektif berupa cancelling dari netizen Indonesia terhadap Levy Rozman (@GothamChess). Menariknya, fenomena ini membawa dampak yang signifikan bagi pihak-pihak yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi terjadinya cancel culture yang dilakukan oleh netizen Indonesia di media sosial dan menganalisis implikasi dari tindakan dominasi netizen Indonesia dalam peristiwa Dewa Kipas. Metode kualitatif dengan analisis wacana digunakan untuk mengkaji studi kasus ini. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa konteks budaya Indonesia yang kuat berperan besar dalam tindakan cancel culture tersebut. ......Social media has facilitated its users with a space to communicate with other people and express their opinion to the masses. With social media, cancel culture is being reinforced. The reason is because opinions from individuals are being spread easily using status features on social media. The utilization of status to influence other people is what happened with Dewa Kipas incident. Ali’s status that went viral led to collective action of canceling from Indonesian netizens towards Levy Rozman (@GothamChess). Interestingly, this phenomenon brought significant impact to the parties involved. This paper aims to Investigate the occurrence of Indonesian netizens’ cancel culture on social media and analyze the implication of Indonesian netizens’ predominance action in Dewa Kipas incident. Qualitative method with discourse analysis is being used to analyse the case. Through this research, it is found that Indonesians’ strong cultural context played a big role in the canceling act.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nur Azzizah
Abstrak :
Budaya digital membuka ruang baru yang memungkinkan munculnya bentuk-bentuk partisipasi yang cenderung lebih beragam. Kebebasan dalam partisipasi digital ini tidak luput dari berbagai permasalahan, terutama ketika hal tersebut mendorong munculnya kekerasan digital. Salah satu fenomena yang tersangkut dalam problematika partisipasi digital tersebut adalah cancel culture. Studi-studi terdahulu tentang cancel culture melihat fenomena ini melalui dua sisi, yaitu kapasitas cancel culture untuk mewujudkan keadilan sosial melalui penyediaan keadilan alternatif bagi kelompok marginal, dan cancel culture sebagai fenomena yang bersifat disintegratif karena menciptakan permasalahan baru di ruang digital. Penelitian ini berargumen bahwa dualitas ini terkait dengan ambivalensi dualitas partisipasi digital yang berpontensi untuk menciptakan ruang pemberdayaan, namun pada saat yang bersamaan dapat menciptakan kekerasan berbasis digital. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat dua bentuk cancel culture yakni reflektif dan nonreflektif. Dualitas tersebut dipengaruhi bentuk literasi digital yang dimiliki pengguna. Literasi digital berhubungan dengan bentuk tindakan dan partisipasi digital yang dilakukan pengguna. Literasi digital kritis ditandai dengan kesadaran tentang kapasitas transformasi sosial melalui ruang digital. Pengguna dengan literasi digital kritis akan melakukan cancelling yang bertujuan mengangkat suara marginal. Sebaliknya, pengguna dengan literasi digital tidak kritis akan melakukan cancelling yang justru menjurus pada kekerasan digital. ......Digital culture opens up new spaces that allow the emergence of participation that tend to be more diverse. Freedom in digital participation is not problem-free, especially when it encourages digital violence. One of the phenomena involved in the digital participation problem is cancel culture. Previous studies on cancel culture view this phenomenon through two sides: the capacity of cancel culture to realize social justice through the provision of alternative justice for marginalized groups and cancel culture as a disintegrative phenomenon that creates new problems in the digital space. This study argues that this duality is related to the ambivalence of the duality of digital participation, which can create space for empowerment, but at the same time, it can create digital-based violence. This study found two forms of cancel culture, namely reflective and non-reflective. This duality is influenced by digital literacy the user has. Digital literacy is related to the forms of digital actions and participation that users take. Critical digital literacy is characterized by awareness of the capacity for social transformation through the digital space. Users with critical digital literacy will cancel in support of marginal voices. Canceling conducted by users with uncritical digital literacy will lead to digital violence.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Arif Ramiza
Abstrak :
Cancel cultur merupakan fenomena sosial berupa pembatalan secara sosial seseorang akibat suatu hal dari diri orang tersebut yang dipandang ofensif oleh masyarakat. Tindakan ini umumnya dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk protes agar seseorang yang terkena pembatalan meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Cancel culture telah ada dalam masyarakat sejak lama, namun seiring berkembangnya teknologi, fenomena ini juga berkembang dari segi skala dan intensitas pembatalannya, juga seberapa seringnya pembatalan tersebut terjadi. Perkembangan tersebut terjadi karena teknologi internet dan media sosial yang mempermudah penyebaran informasi sehingga hal-hal kecil dapat menjadi sesuatu yang viral.Cancel culture yang semakin berkembang ini berpotensi menimbulkan suatu masalah yang besar bagi target pembatalan, seperti tercemarnya nama baik korban, kehilangan pekerjaan, dan tersebarnya data pribadi. Target pembatalan yang menderita permasalahan-permasalahan seperti itu dapat dikatakan sebagai korban cancel culture. Walaupun terdapat masalah-masalah tersebut, di dalam hukum pidana Indonesia belum ada suatu peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi target pembatalan. Oleh karena itu, diperlukan suatu perlindungan di bidang hukum untuk memberikan batasan dalam cancel culture dan mencegah terjadinya masalah-masalah tersebut sebelum cancel culture semakin berkembang di masyarakat. Dengan perlindungan hukum ini, hak-hak dari target pembatalan tetap terjamin oleh hukum untuk tidak dilanggar. ......Cancel culture is a social phenomenon in a form of socially cancelling somebody because of something from that person that society sees as offensive. The society generally does this action as a form of protest so that the person that is getting cancelled sends an apology and will not repeat their action. Cancel culture has been in the society for a long time, but as the technology is developing, this phenomenon is also developing in terms of the scale and intensity of the cancellation, also how often the cancellation happens. That development happens because of the technology of internet and social media that ease information transmission which causes small things able to become something viral. This development of cancel culture is potential of creating big problems for cancellation targets, such as defamation, job loss, dissemination of personal data. Cancellation targets that suffer those problems can be said as cancel culture victims. Even though those problems exist, Indonesian criminal law does not have any rule that gives legal protection for cancellation targets. Therefore, legal protection is needed for giving restriction to cancel culture and preventing those problems from happening before the cancel culture develops even more in society. With this legal protection, the rights of cancellation targets are guaranteed by law to not be violated.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kintara Ayudarma
Abstrak :
Cancel Culture atau dikenal sebagai aksi boikot merupakan fenomena memboikot seseorang akibat mengucapkan atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang ada di masyarakat. Aksi boikot ini banyak terjadi di media sosial dan mayoritas menargetkan seorang selebriti. Fenomena Cancel Culture ramai terjadi di berbagai negara, termasuk di Tiongkok. Penelitian ini membahas tentang pemanfaatan fenomena Cancel Culture oleh pemerintah Tiongkok untuk mengendalikan industri hiburan dan dampaknya bagi perkembangan industri hiburan di Tiongkok. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan budaya. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan pelanggaran yang terjadi di dalam industri hiburan Tiongkok umumnya berkaitan dengan nilai-nilai budaya dalam masyarakat Tiongkok. Pemerintah menggunakan aksi pemboikotan untuk mengatur kembali industri hiburan sekaligus mengingatkan kembali masyarakat atas nilai-nilai budaya yang dianut Tiongkok. ......Cancel Culture or known as boycott action is a phenomenon of boycotting someone due to their saying or taking actions that are contrary to the norms that exist in society. These actions happen a lot on social media and the majority target is celebrities. The Cancel Culture phenomenon is happening in various countries, including China. This research article discusses the use of the Cancel Culture phenomenon by the Chinese government to control the entertainment industry and its impact on the development of the entertainment industry in China. This study article used the qualitative research method with a cultural approach. And also collected data through literature studies. The results show that infractions that occur in the Chinese entertainment industry are generally related to cultural values ​​in Chinese society. The government uses boycotts to reorganize the entertainment industry, as well as reminding back the people of China of their cultural roots.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library