Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 264 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Nurmala Dewi
Abstrak :
Indonesia telah diprediksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika memiliki tren peningkatan suhu sekitar 0.03 °C setiap tahunnya sehingga diperkirakan akan meningkatkan risiko penyakit terkait panas di Indonesia. Peningkatan suhu diprediksi akan menimbulkan kerugian ekonomi karena penurunan kesehatan seperti meningkatnya tekanan darah atau penyakit terkait panas lainnya dan peningkatan angka kematian. Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan tekanan panas dan faktor individu terhadap tekanan darah pekerja sektor konstruksi proyek Depo Light Rail Transit (LRT) Jabodebek. Penelitian ini menggunakan analisis analitik dengan desain crosssectional dan menggunakan analisa data univariat, bivariat dan multivariat. Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus uji hipotesis proporsi dua populasi dan diambil dengan metode pengambilan sampel secara acak sederhana berjumlah 185 pekerja. Variabel dalam penelitian ini adalah tekanan darah, tekanan panas dan faktor individu. Tekanan panas diukur menggunakan alat Thermal Environment Monitor QuestTemp 34o dan anemometer. Sedangkan tekanan darah diukur menggunakan Spygmomanometer (Merk Omron tipe HEM-7130). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan panas (OR= 4,356; 95% CI: 2,003 – 9,474), usia (OR= 4,611; 95% CI: 1,598 – 13,304), status hidrasi (OR= 3,942; 95% CI: 1,031 – 15,077), riwayat keluarga mengalami hipertensi (OR= 4,038; 95% CI: 1,329 – 12,269) dan merokok (OR= 11,020; 95% CI: 3,593 – 33,801) berhubungan signifikan dengan tekanan darah pekerja. Untuk mencegah kejadian tekanan darah tinggi, perusahaan disarankan segera melakukan pengendalian lingkungan kerja dan meningkatkan program promosi kesehatan agar risiko penyakit terkait panas dapat diantisipasi khususnya kepada pekerja yang berisiko (mengalami tekanan panas, berusia ≥ 40 tahun, dehidrasi, memiliki riwayat keluarga mengalami hipertensi dan merokok). ...... The Meteorology, Climatology, and Geophysics Agency predicted that Indonesia would have a trend of increasing temperatures of around 0.03 °C every year, so it is estimated that it will increase the risk of heat-related diseases in Indonesia. An increase in temperature is predicted to cause economic losses due to declining health, such as increased blood pressure or other heat-related diseases and increased mortality. The purpose of this study was to determine the relationship between heat stress and blood pressure of workers in the construction sector of the Depo project Light Rail Transit (LRT) Jabodebek. This cross-sectional study analyses WBGT and blood pressure data from construction workers. The number of samples in this study was calculated using the hypothesis test formula for the proportion of two populations and was taken with a simple random sampling method totaling 185 workers. The variables in this study were blood pressure, heat pressure and individual factor. Thermal pressure was measured using a QuestTemp 34o Thermal Environment Monitor tool and an anemometer. While blood pressure is measured using a sphygmomanometer (Omron brand type HEM-7130). The results showed that heat stress (OR= 4,356; 95% CI: 2,003 – 9,474), age (OR= 4,611; 95% CI: 1,598 – 13,304), hydration status (OR= 3,942; 95% CI: 1,031 – 15,077), genetic factor (OR= 4,038; 95% CI: 1,329 – 12,269), and smoking (OR= 11,020; 95% CI: 3,593 – 33,801) relationship with blood pressure of workers. The company is suggested to immediately control the work environment and improving health promotion programs to anticipate the risk of heat-related diseases especially for workers who are at risk (heat stress, dehydration, age, family history of hypertension and smoking).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lila Pratiwi
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2011
T42721
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hartono Partoharsodjo
Jakarta: Elex Media Komputindo, 1989
005.13 HAR t (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yayok Witarto
Abstrak :
Tujuan : Mengetahui korelasi antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma berdasarkan gradasi merokok Tempat : PT. NATIONAL GOBEL - Cimanggis - Jawa Barat. Metodologi : Studi korelasi, pada 108 orang laki-laki berusia 20 - 55 tahun, perokok dan bukan perokok, yang terpilih secara simple random sampling. Data yang dikumpulkan meliputi data umnm, kebiasaan mcrokok, konsumsi suplemen vitamin C, asupan makanan serta kadar vitamin C plasma dan MDA plasma. Hasil : Kebiasaan merokok terdapat pada 45.4% subyek penelitian. Berdasarkan Indeks Brinkman, 37,1% termasuk perokok ringan, 8,3% perokok sedang dan tidak didapatkan perokok berat. Nilai median kadar vitamin C plasma 0.51( ,04 - 1.36 ) mg/dl dan nilai median kadar MDA plasma 0,63 ( 0,22 - 4,74 ) nmol/ml. Didapatkan hubungan bermakna antara asupan energi, protein, serat, merokok dan konsumsi suplemen vitamin C dengan kadar vitamin C plasma serta hubungan bermakna antara konsumsi suplemen vitamin C dengan kadar MDA plasma. Didapatkan korelasi negatif antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma pada bukan perokok, perokok ringan dan perokok sedang namun korelasi tersebut tidak bermakna ( r-0,014; p=0,916; r--0,170; p=0,295; 1=a-0,317; Korelasi negatif, kuat dan bermakna antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma didapatkan pada perokok yang mengkonsumsi suplemen vitamin C (r=-0,943; p = 0,005 ). Kesimpulan : Didapatkan korelasi negatif antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma berdasarkan gradasi merokok, namun korelasi tersebut tidak bermakna. Walaupun tidak bermakna, ada kecenderungan korelasi semakin menguat sesuai peningkatan gradasi merokok. Korelasi negatif, kuat dan bermakna antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma didapatkan pada perokok yang mengkonsumsi suplemen vitamin C. ......Objective: To identify the correlation between plasma level of vitamin C and plasma level of MDA based on smoking gradation. Place : PT. National Gabel - Cimanggis - Bogor. Methods : The simple random sampling was used for correlation study of 108 subjects, smokers and non smokers, age between 20 - 55 years. Data collections including: general data, smoking habit, consumption of vitamin C supplement, food intake and plasma level of vitamin C and MDA. Result : The smokers found a total of 45.4% of the subjects. Using Brinkman's index, the gradation of light smokers were 37.1%, moderate smokers were 82% and there was no heavy smoker. Median value of vitamin C level in plasma was 0.51(0.04 - 1.36) mg/dl and for MDA level in plasma was 0.63 (0.22 -- 4,74) nmol/ml. Significant relationship was found between energy intake, protein, fiber, smoking habit and consumption of vitamin C supplement with plasma level of vitamin C. Significant relationship was found between consumption of vitamin C supplement with plasma level of MDA. Negative correlation was found between plasma level of vitamin C with plasma level of MDA of non smokers, light smokers and moderate smokers but not significant ( r -0.014, p=0.15; r=-0.170, p:'J.295; r=-0.317,p=0406). Smokers who consumed vitamin C supplement was found a negative, strong and significant correlation between plasma level of vitamin C and plasma level of' MDA( r = - 0.943, p = 0.005 ). Conclusion : Negative correlation was found between plasma level of vitamin C and plasma level of MDA based on smoking gradation, but not significant. Although not significant, there was a tendency of stronger correlation if smoking gradation increase. Smokers who consumed vitamin C supplement was found a negative, strong and significant correlation between plasma level of vitamin C and plasma level of MDA.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 11353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Handayani
Abstrak :
ABSTRAK
Perbaikan gizi merupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena erat hubungannya dengan peningkatan derajat kesehatan, pertumbuhan jasmani, dan kecerdasan. Protein hewani diketahui memiliki kelebihan dibandingkan protein nabati, karena mengandung asam-asam amino esensial yang lebih lengkap den seimbang, lebih mudah dicerna dan diabsorpsi, sehingga nilai biologisnya lebih tinggi. Widya Karya Pangan dan Gizi III tahun 1983 (1), yang membahas keadaan gizi di Indonesia, mengusulkan angka kecukupan protein hewani sebesar 10 g/kapita/hari. Namun, pada pendataan Biro Pusat Statistik (BPS) 1985 (2) didapatkan konsumsi protein hewani masyarakat sebesar 8,22 g/kapita/hari atau 11,80 % konsumsi protein total. Jumlah ini masih jauh di bawah kebutuhan yang dianjurkan, yakni 20 % konsumsi protein total. Pada Widya Karya Pangan dan Gizi 1988 (3) target konsumsi protein hewani sebesar 15 g/kapita/hari atau merupakan 30 % seluruh kebutuhan protein yaitu sebesar 50 g/kapita/hari.

Data BPS 1985 menunjukkan bahwa 59,65 % protein hewani yang dikonsumsi berasal dari ikan, 34,94 % nya berasal dari ikan asin {21 % dari protein hewani berasal dari ikan asin).

Ikan diketahui mengandung protein yang mempunyai kualitas setara protein daging hewan lain, mengandung asam lemak tak jenuh lebih tinggi daripada daging, berserat halus, dan mudah dicerna. Oleh karena itu untuk meningkatkan konsumsi protein hewani, ikan asin merupakan salah satu pilihan. Ikan asin selain digemari masyarakat, secara ekonomis relatif terjangkau, dan produksinya memadai.

Di Indonesia pembuatan ikan asin dilakukan secara tradisional, yang pada umumnya dibuat dari ikan segar dengan menambahkan garam dapur (NaCl) sebanyak 25-30 % berat ikan, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Di dalam proses pengolahan kadangkala ditambahkan garam sendawa sebagai pengawet (4). Garam sendawa mengandung kalium nitrat dan natrium nitrit, yang merupakan prekursor nitrosamin yang dikenal bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat terbentuk sebagai hasil reaksi antara nitrit dan senyawa amin pada daging ikan dan hewan lain {5-9). Reaksi nitrosasi dapat terjadi baik in vitro maupun in vivo (5-10). Hadiwiyoto dan kawan-kawan membuktikan bahwa penggunaan garam sendawa yang berlebih pada 'cured meat' menimbulkan senyawa nitrosamin dan reside nitrit (4). Christiansen dan kawan-kawan, dikutip dari Hadiwiyoto, membuktikan genggunaan 2000 'part per million' (ppm) garam nitrat pada sosis mengakibatkan terbentuknya senyawa nitrosamin (4). Penelitian Yu dan kawan-kawan (6,7) serta Tannenbaum dan kawan-kawan (11) menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish' yang juga dibuat secara tradisional dengan penggaraman dan pengeringan di bawah sinar matahari.

Beberapa penelitian menghubungkan konsumsi ikan asin dengan keganasan nasofaring (KNF). Penelitian Poirier dan kawan-kawan di 3 daerah dengan resiko tinggi KNF (Tunisia, Cina Selatan, den Greenland), menemukan adanya nitrosamin pada sampel makanan yang diawetkan, termasuk 'Cantonese-style salted fish'. Penelitian Yu den kawan-kawan menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish', dan adanya hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dengan timbulnya KNF di Hong Kong dan Guang-xi, Cina. Penelitian terhadap etnik Cina yang bermukim di California dan Malaysia juga menemukan hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dan timbulnya KNF. Pada penelitian eksperimental dengan tikus percobaan oleh Yu dan kawan-kawan yang diberi 'Cantonese-style salted fish' menimbulkan karsinoma daerah nasal atau paranasal {12). Penelitian lain {13) menyatakan adanya kaitan antara virus Epstein-Barr (VEB) dan konsumsi ikan asin merupakan penyebab utama timbulnya KNF.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Femmy Nurul Akbar
Abstrak :
Latar Belakang. Salah satu terapi standar hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi interferon alfa (IFN) dan ribavirin (RIB). Namun terapi kombinasi tersebut dapat menimbulkan efek samping anemia. Anemia menyebabkan dosis ribavirin harus diturunkan atau dihentikan sementara yang mengakibatkan penurunan keberhasilan terapi hepatitis C kronik. Oleh karena itu perlu diketahui prevalensi dan faktor risiko anemia pada pasien yang menjalani terapi kombinasi agar anemia dapat diantipasi dan diawasi lebih cermat pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Penelitian semacam ini belum pernah dipublikasi di Indonesia. Tujuan. Mengetahui prevalensi dan faktor risiko terjadinya anemia pada pasien hepatitis C kronik yang menjalani terapi interferon alfa dan ribavirin serta mengetahui frekuensi pasien anemia yang mengalami penurunan dan penghentian ribavirin. Metodologi. Pasien hepatitis C kronik yang mendapat pengobatan berupa terapi kombinasi interferon alfa-ribavirin oleh staf divisi Hepatologi FKUIIRSCM diikutsertakan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah tepi pada minggu ke 8 terapi kombinasi. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, genotip, dosis ribavirin dan, kadar hemoglobin awal terapi. Hasil. Enam puluh satu subyek penelitian terdiri dari pria 47 (77%), wanita 14 (23%) dan usia rerata 38,9 tahun, 23 (71,9 %) subyek mempunyai genotip 1 dan 4, dan 44 (72,1 %) subyek mendapat dosis ribavirin 1000 mg. Prevalensi anemia sebesar 52,5 % (32 subyek). Dari analisis multivariat hanya kadar hemoglobin awal terapi yang rendah yang berhubungan bermakna dengan anemia.. Jumlah pasien anemia yang mengalami penurunan dosis ribavirin adalah 8 dari 32 pasien anemia. Kesimpulan. Prevalensi anemia pada terapi kombinasi 52,5 %. Kadar hemoglobin awal terapi < 14 gldl merupakan faktor risiko terjadinya anemia sehingga pengawasan lebih ketat dan intervensi terhadap anemia dapat dilakukan pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Meskipun umur ? 50 tahun, dan wanita belum terbukti sebagai faktor risiko anemia namun harus tetap menjadi perhatian. Delapan subyek (25 %) Ban 32 pasien anemia memerlukan penurunan dosis ribavirin dan tidak ada yang mengalami penghentian ribavirin.
Background. Interferon alfa and ribavirin combination therapy is one of effective standard therapy for chronic hepatitis C. However, anemia is a common side effect of this therapy. Therefore, patients have to reduce or discontinue ribavirin therapy and this can reduce the effectivity of the therapy. Hence, it is important to know the prevalence of anemia and to determine the factors associated with anemia. Objective. To determine the prevalence of anemia and some risk factors associated with anemia caused by combination therapy in chronic hepatitis C, also to know frequencies of anemia patients who received dose reduction or discontinuation ribavirin therapy. Method. Sixty one patient of chronic hepatitis C received combination therapy from staff of Hepatology Division FKUIfRSCM were included in the study. Data were obtained by anamnesis, physical examination, and measured complete blood count on 8`h week of therapy. This study was conducted by using cross sectional design. Result. Subjects were 47 males (77%), females 14 (23%) with mean age 38.9 years. Twenty three subjects had genotype 1 and 4 (71.9%) and 44 subject (72.1) received 1000 mg ribavirin. Prevalence of anemia was found to be 52.5 % (32 subjects). It was concluded that risk factors of anemia are: age > 50 years, females, low pretreatment hemoglobin concentration (<14 gldl) were risk factors of anemia. On multivariate analysis only pretreatment hemoglobin concentration < 14 g/dl was determined to be the risk factor of anemia There were 8 subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on Bch week of therapy. Conclusion. Prevalence anemia was 52,5 % and pretreatment hemoglobin concentration <14 gldl were found to be the risk factors of anemia. Although age > 50 years and female were not yet found to be risk factors of anemia, we should be careful of these risk factors. Therefore patient with these risk factors should be carefully monitored and intervention to prevent anemia should be considered. Eight subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on 8`h week of therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Indrawati
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar belakang : Pekerja yang bekerja di lingkungan panas mempunyai resiko tinggi mengalami gangguan ginjal akibat dehidrasi kronis. Gangguan ginjal dapat dicegah jika kelainan dapat dideteksi dan diterapi sejak awal dimana resiko kesakitan dan kematian juga akan berkurang. Pemeriksaan yang biasa dilakukan dalam praktek sehari-hari pada saat ini adalah dengan kreatinin. Namun pemeriksaan kreatinin baru menunjukkan kelainan pada penurunan LFG lanjut. Cystatin C dikatakan bisa mendeteksi gangguan ginjal lebih awal sebelum kadar kreatinin meningkat sehingga dapat segera dilakukan tindakan pencegahan untuk menghindari kerusakan ginjal lebih lanjut. Metode penelitian:` Penelitian dilakukan dengan desain Cross sectional. Dilakukan pada 94 pekerja laki-laki yang dipilih secara random sampling. Data dikumpulkan dengan wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium. Kadar cystatin c serum diukur dengan metode Immunonephelometri, kreatinin diukur dengan metode enzymatik, kemudian dihitung estimasi Laju Filtrasi Glomerulus berdasar Cystatin C dan kreatinin dengan metode CKD EPI. Hasil penelitian dilakukan analisa univariate dan bivariate. Hasil: Didapatkan prevalensi Gangguan Fungsi Ginjal dari Pemeriksaan Cystatin C pada Pekerja terpapar panas dengan Laju Filtrasi Glomerulus normal sebesar 17 %. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia dan gangguan ginjal (p=0,000) dengan OR 13,22. Terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan gangguan ginjal (p = 0,043) dengan OR 6,67. Kesimpulan: LFG dengan Cystatin C dapat mendeteksi lebih dini gangguan ginjal sebelum kreatininnya meningkat dengan prevalensi 17% sehingga dengan upaya promotif dan preventif yang dilakukan diharapkan dapat mencegah gangguan ginjal lebih lanjut.;
ABSTRACT
Background: Workers who work in hot environments have a high risk of having renal disorders due to chronic dehydration. Renal disorders can be prevented if the abnormality can be detected and treated early in the beginning where the risk of morbidity and mortality is lower, as well. The common test conducted in daily practice today is the creatinine clearance test. However, creatinine clearance test shows abnormalities only in an advance reduced GFR. Cystatin C is known to be able detecting renal disorders in early stage before the creatinine level increases so that precautions can be taken to prevent a more advance renal damage. Study Method: This study used a cross sectional design. It was conducted to 94 workers whom selected with random sampling. Data was collected by interview, physical examination, and laboratory tests. Serum level of Cystatin C was measured by the method of immunonephelometry. Creatinine was measured by enzymatic method and subsequently, Glomerular Filtration Rate was estimated based on cystatin and creatinine using CKD EPI method. Univariate and bivariate analysis was performed to the results. Result: The study suggest that there is prevalence of renal disorders based on Cystatin C test in heat-exposed workers with normal glomerular filtration rate by 17%. There is a significant association between age and renal disorder (p = 0,000) with OR 13.22. There is a significant relation between period of employment with renal disorder (p = 0,001) with OR 6.57. Conclusion: Cystatin-based GFR is able to detect renal disorder at early stage before the creatinine level increases with prevalence of 17% so that further renal damage is expected to be able prevented with promotion and prevention attempts. ;Background: Workers who work in hot environments have a high risk of having renal disorders due to chronic dehydration. Renal disorders can be prevented if the abnormality can be detected and treated early in the beginning where the risk of morbidity and mortality is lower, as well. The common test conducted in daily practice today is the creatinine clearance test. However, creatinine clearance test shows abnormalities only in an advance reduced GFR. Cystatin C is known to be able detecting renal disorders in early stage before the creatinine level increases so that precautions can be taken to prevent a more advance renal damage. Study Method: This study used a cross sectional design. It was conducted to 94 workers whom selected with random sampling. Data was collected by interview, physical examination, and laboratory tests. Serum level of Cystatin C was measured by the method of immunonephelometry. Creatinine was measured by enzymatic method and subsequently, Glomerular Filtration Rate was estimated based on cystatin and creatinine using CKD EPI method. Univariate and bivariate analysis was performed to the results. Result: The study suggest that there is prevalence of renal disorders based on Cystatin C test in heat-exposed workers with normal glomerular filtration rate by 17%. There is a significant association between age and renal disorder (p = 0,000) with OR 13.22. There is a significant relation between period of employment with renal disorder (p = 0,001) with OR 6.57. Conclusion: Cystatin-based GFR is able to detect renal disorder at early stage before the creatinine level increases with prevalence of 17% so that further renal damage is expected to be able prevented with promotion and prevention attempts. , Background: Workers who work in hot environments have a high risk of having renal disorders due to chronic dehydration. Renal disorders can be prevented if the abnormality can be detected and treated early in the beginning where the risk of morbidity and mortality is lower, as well. The common test conducted in daily practice today is the creatinine clearance test. However, creatinine clearance test shows abnormalities only in an advance reduced GFR. Cystatin C is known to be able detecting renal disorders in early stage before the creatinine level increases so that precautions can be taken to prevent a more advance renal damage. Study Method: This study used a cross sectional design. It was conducted to 94 workers whom selected with random sampling. Data was collected by interview, physical examination, and laboratory tests. Serum level of Cystatin C was measured by the method of immunonephelometry. Creatinine was measured by enzymatic method and subsequently, Glomerular Filtration Rate was estimated based on cystatin and creatinine using CKD EPI method. Univariate and bivariate analysis was performed to the results. Result: The study suggest that there is prevalence of renal disorders based on Cystatin C test in heat-exposed workers with normal glomerular filtration rate by 17%. There is a significant association between age and renal disorder (p = 0,000) with OR 13.22. There is a significant relation between period of employment with renal disorder (p = 0,001) with OR 6.57. Conclusion: Cystatin-based GFR is able to detect renal disorder at early stage before the creatinine level increases with prevalence of 17% so that further renal damage is expected to be able prevented with promotion and prevention attempts. ]
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Opim S.
Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995
005.362 SIT p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Romadhanayanti
Abstrak :
L-asam askorbat adalah antioksidan alami dan penangkap radikal yang melindungi komponen seluler terhadap kerusakan oksidatif oleh radikal bebas dan oksigen aktif. Namun, L-asam askorbat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya dan oksigen di udara menyebabkan hilangnya aktivitas dan juga tidak larut dalam minyak, sehingga memiliki penggunaan terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan senyawa etil askorbil eter dari L-asam askorbat yang berasal dari buah belimbing wuluh hasil reaksi eterifikasi yang kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Penelitian ini terlebih dahulu dilakukan penetapan kadar L-asam askorbat baik dalam filtrat dan serbuk hasil pengeringan dari filtrat buah belimbing wuluh. Dari hasil analisis didapat kadar L-asam askorbat dalam filtrat dan hasil pengeringannya masingmasing sebesar (33,29 ± 0,513) % b/v dan (27,31 ± 0,124) % b/b. Kondisi analisis ini dilakukan dengan menggunakan fase gerak asetonitril-air (4:6 v/v), kecepatan alir 1,0 ml/menit, panjang gelombang 248 nm dengan kolom C-18. Dari hasil analisis kualitatif didapat waktu retensi dari senyawa etil askorbil eter yang didapat dari hasil reaksi eterifikasi dari standar L-asam askorbat adalah 2,706 menit dan dari L-asam askorbat yang terkandung dalam serbuk hasil pengeringan dari filtrat buah belimbing wuluh adalah 2,505 menit dan 2,719 menit. Lalu secara kuantitatif didapat bahwa kadar dari senyawa etil askorbil eter dari standar asam askorbat adalah (21,36 ± 0,555) % b/b dan dari serbuk hasil pengeringan dari filtrat buah belimbing wuluh adalah (10,29 ± 0,082) % b/b. ......L-Ascorbic acid is a natural antioxidant and radical scavenger that protects cellular components of oxidative damage by free radicals and active oxygen. However, L-ascorbic acid is easily oxidized by heat, light and oxygen in the air led to the loss of activity and also does not dissolve in the oil, so it has a limited use. The aim of study was to obtain ethyl ascorbyl ether of L-ascorbic acid compound from carambola wuluh fruit that was result of etherification and then analyzed qualitative and quantitative with chromatography liquid high performance. The research was initiated with determination of the levels of Lascorbic acid in filtrate and the result of dried from carambola wuluh fruit filtrate. From the analysis of L-ascorbic acid levels in the filtrate and dried result were obtained, respectively (33.29 ± 0.513)% w/v and (27.31 ± 0.124)% w/w. The condition analysis was performed using mobile phase acetonitrile-water (4:6 v /v), flow rate 1.0 ml/min, wavelength 248 nm with the C-18 column. The results of qualitative analysis were obtained the retention time of ethyl ascorbyl ether compounds of etherification from the L-ascorbic acid standard was 2.706 minutes and from L-ascorbic acid in the powder from dried result of carambola wuluh fruit filtrate was 2.505 minutes and 2.719 minutes. Then quantitatively obtained that the levels of ethyl ascorbyl ether from standard L-ascorbic acid was (21.36 ± 0.555)% w/w and the powder from dried result of carambola wuluh fruit filtrate was (10.29 ± 0.082)% w/w.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1814
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Sadeli
Abstrak :
ABSTRAK
In order to maintain issued of environmental safe and clean, Indonesian government has been tried very hard to reduce toxicity, especially in water cooling systems by prohibiting chromate to be used.

A part from inhibitor chromate, the industries still use some inhibitors such as zinc phosphate, polyphosphonat etc, but the dangers of these inhibitors still unsolved. To anticipated of this condition, in this time has been made an advances of development of unpoisonous inhibitor called Ascorbic Acid (vitamin C).

The investigation started with behaviour of Ascorbic Acid in near neutral aqueous solution regarding corrosion of stainless steel. The experiment result indicated that inhibition of Ascorbic Acid gave effectiveness of 75 - 83 %. with intervals of 60 - 100 ppm. This effectiveness values can be said that Ascorbic Acid very promising to be used for inhibitor corrosion. Furthermore research must take place to get more information about inhibition of Ascorbic Acid, so that Ascorbic Acid can be used commercially in industries.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>