Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yovanka Naryai Manuhutu
Abstrak :
PENDAHULUAN : Cedera kepala menjadi penyebab kematian paling umum pada usia kurang dari 40 tahun di negara maju dan berkembang, luaran setelah cedera kepala masih menjadi masalah dan sulit diprediksi. GCS telah ditetapkan sebagai prediktor luaran cedera kepala akibat trauma maupun non-trauma, namun prediktor luaran cedera kepala lain saat ini telah banyak dipakai salah satu adalah biomarker neuroinflamasi yaitu Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) yang masih jarang diteliti. METODE : Penelitian prospektif ini didasarkan pada kasus cedera kepala sedang dan berat yang dilakukan operasi kraniotomi di multisenter rumah sakit pada November 2019-November 2020. Uji chi-square digunakan untuk mengetahui kemaknaan statistik dari hubungan antara demografi (usia dan jenis kelamin), gejala klinis serta hubungan RNL dan GCS sebagai prediktor luaran pada penelitian ini. Dilakukan analisis ROC untuk mendapatkan cut off RNL. HASIL : Dari 54 pasien cedera kepala sedang dan berat (GCS 7-13) pada November 2019-November 2020 didapatkan dominasi laki-laki 41 (75,9%) pasien dan perempuan 13 (24,1) pasien, usia (mean±SD) 27,6±15,3, GCS preoperasi (median; min-maks) 13 (7-13), gejala klinis pupil anisokor 33 (61,1), kejang 5(9,3), hemiparesis 1 (1,86), GCS pascaoperasi hari kelima dan ketujuh (median; min-maks) 14 (6-15). RNL Preoperasi 7,4 (1,9-26,2) dan untuk nilai cut off RNL 9,8 dengan spesisfisitas dan sensitifitas 87% yang signifikan dengan nilai p=<0,001. KESIMPULAN: Terdapat hubungan bermakna secara statistik RNL dan GCS preoperasi. Dimana dimana dengan nilai RNL yang rendah memiliki luaran fungsional yang baik sebaliknya pada pasien dengan RNL yang tinggi dengan luaran fungsional yang buruk. ......INTRODUCTION: Traumatic brain injury (TBI) is the most common cause of death on population less than 40 years old in developed and developing countries. The clinical outcome after TBI is still an issue and difficult to predict. GCS has been used to predict outcome after either traumatic or non-traumatic brain injury. But several other outcome factors also can predict outcome after TBI, such as neutrophil to lymphocyte ratio (NLR) as one of neuroinflammation biomarkers. METHOD : This prospective study included moderate and severe TBI patients were performed craniotomy in a multicenter hospital, from November 2019 to November 2020. Chi-square analytic test was used to determine the relationship between demographics (age and sex), clinical symptoms, RNL and GCS as a predictors outcome of moderate and severe TBI. RESULT : 54 patients moderate and severe TBI (GCS 7-13) consist of 41 (75.9%) male and 13 (24.1%) female patients, age (mean±SD) 27.6±15.3, preoperative GCS (median; min-max) 13 (7-13), with asymmetric pupil 33 (61.1%), seizures 5 (9.3%), hemiparesis 1 (1.86%), and GCS postoperative on the fifth and seventh day (median; min-max) 14 (6 - 15). Preoperative NLR was 7.4 (1.9-26.2) and the cut off for NLR as a predictor for improved GCS was at 9.8 with a specificity and sensitivity of 87% with signification of p=<0.001. CONCLUSSION : There was a statistically significant relationship between preoperative RNL and GCS. Whereas with a low RNL value has a good functional outcome in contrast to patients with high RNL with poor functional outcome.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beauty Rose Mawargany
Abstrak :
Latar belakang: Cedera kepala merupakan kegawatan di bidang Neurologi yang sering menyebabkan kematian dan kecacatan. Prognosis yang dapat dibuat diawal terjadinya cedera kepala akan membantu klinisi dalam memberikan tatalaksana yang tepat. Penelitian faktor prognostik pada cedera kepala dengan luaran skor GOSE yang dilakukan dalam tiga waktu pemantauan yang berbeda belum pernah dilakukan di RSUPN. Cipto Mangunkusumo. Metode penelitian: Penelitian ini merupakan uji prognostik dengan disain kohort prospektif dan retrospektif untuk mengetahui faktor prognostik luaran GOSE pasien cedera kepala sedang dan berat pada hari 90 sebagai luaran primer, juga luaran pada hari 14 dan 30. Populasi yaitu pasien cedera kepala di RSUPN. Cipto Mangunkusumo selama bulan Oktober 2019- Maret 2021. Analisis data bivariat dengan chi-square dilanjutkan analisis multivariat dengan regresi logistik. Hasil: Dari 139 sampel cedera kepala sedang dan berat didapatkan data demografik yaitu 81.3% sampel merupakan laki-laki dan usia rerata 40±44. Didapatkan sebaran klinis, SKG 3-8 16 sampel (11.5%), hipotensi 20 sampel (14.4%), Hipoksia sebanyak 11 sampel (7.9%), Anemia sebanyak 13 sampel (9.4%), hiperglikemi sebanyak 30 sampel ( 21.6%), skor ISS > 24 sebanyak 6 sampel (4.3%), skor Rotterdam > 4 sebanyak 56 sampel (45.2%). Pupil tidak reaktif bilateral 3.6%, reaktif unilateral 7.2%, reaktif bilateral 89.2% Untuk luaran GOSE hari 90 sebagai luaran primer yaitu luaran baik 60.4% dan luaran buruk 39.6%. Luaran hari 30 luaran baik 46.8% dan luaran buruk 53.2%. Luaran fase awal yaitu hari 14 luaran baik 31.7% dan luara buruk 68.3%. Analisis multivariat didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran pada hari 14 yaitu usia di atas 60 tahun dan skor Rotterdam > 4. Analisis multivariat luaran hari 30 tidak didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran GOSE. Pada hari 90 didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran GOSE yaitu hipotensi < 100 mmHg. Kesimpulan: Didapatkan faktor prognostik pada hari 14 yaitu usia dan skor Rotterdam dan faktor prognostik pada hari 90 yaitu hipotensi. ......Background: Brain injury is an emergency in Neurology that often causes death and disability. Prognosis that can be made early in the occurrence of head injury will assist clinicians in providing appropriate management. The study of prognostic factors in head injury with GOSE score outcome that was conducted in three different monitoring times had never been done in RSUPN. Cipto Mangunkusumo. Research method: Prognostic test with a prospective and retrospective cohort design to determine the prognostic factors for GOSE outcome in moderate and severe brain injury patients on day 90 as the primary outcome, as well as outcomes on days 14 and 30. The population was brain injury patients at the RSUPN. Cipto Mangunkusumo during October 2019-March 2021. Bivariat analysis with chi-square was followed by multivariate analysis with logistic regression. Results: 139 samples of moderate and severe brain injury, demographic data were obtained, 81.3% of the sample were male and the mean age was 40±44. Obtained clinical distribution, SKG 3-8 16 samples (11.5%), hypotension 20 samples (14.4%), Hypoxia in 11 samples (7.9%), Anemia in 13 samples (9.4%), hyperglycemia in 30 samples (21.6%), ISS score > 24 for 6 samples (4.3%), Rotterdam score > 4 for 56 samples (45.2%). Bilateral unreactive pupils 3.6%, unilateral reactive 7.2%, bilaterally reactive 89.2% For the 90 day GOSE outcome as the primary outcome, 60.4% good outcome and 39.6% bad outcome. The 30 day output is 46.8% good and 53.2% bad. The output of the initial phase was on day 14, good outcome was 31.7% and bad outcome was 68.3%. Multivariate analysis found that the factors that significantly affected the outcome on day 14 were age over 60 years and Rotterdam score > 4. Multivariate analysis on day 30 did not find any significant factor influencing the outcome of GOSE. On day 90, it was found that a significant factor affecting the outcome of GOSE was hypotension < 100 mmHg. Conclusion: In patients with moderate and severe brain injury, there were different prognostic factors for monitoring GOSE outcomes on days 14, 30 and 90.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffri Harisman
Abstrak :
Latar belakang: Status epileptikus non konvulsif (SENK) dapat ditemukan pada cedera kepala sedang-berat (CKS-B). Timbulnya kejang pascatrauma dapat memperberat cedera otak yang sudah terjadi, sehingga dapat mempengaruhi luaran. Gejala klinis SENK tidak spesifik, sehingga membutuhkan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dalam penegakkan diagnosis. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka kejadian SENK, faktor yang mempengaruhi, gambaran demografi (usia, jenis kelamin dan luaran), gejala klinis, gambaran pencitraan dan EEG pada pasien CKS-B dengan SENK. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan sampel terdiri dari data primer, yaitu semua CKS-B dari bulan Juli-Desember 2019 secara consecutive sampling dan data sekunder, yaitu subjek CKS-B dengan klinis kecurigaan SENK dari bulan Januari 2017-Juni 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM), Jakarta. Penegakkan diagnosis SENK dilakukan melalui kriteria modified salzburg consensus criteria for non convulsive status epilepticus (mSCNC). Hasil penelitian: Sebanyak 39 sampel CKS-B masuk ke dalam penelitian yang terdiri dari 14 data primer dan 25 data sekunder. Sebanyak 19 dari 39 sampel terdiagnosis SENK. Proporsi insiden SENK pada CKS-B dari Juli-Desember 2019 sebesar 21,4% (3 dari 14 sampel). Pada kelompok SENK didapatkan usia lebih tua, laki-laki lebih banyak dari perempuan (3:1) dan kecelakaan lalu lintas sebagai mekanisme utama. Manifestasi klinis SENK, antara lain penurunan kesadaran (23,1%), agitasi psikomotor (12,8%), delirium (5,1%) dan gangguan persepsi (5,1%). Lobus frontal dan SAH merupakan daerah lokasi cedera dan patologi terbanyak. Hanya didapatkan 2 sampel dengan kriteria definit SENK dan selebihnya possible SENK. Sebagian besar bangkitan SENK berasal dari lobus temporal. Analisis multivariat menunjukkan lokasi cedera lobus temporal bermakna berhubungan dengan kejadian SENK (p = 0,036, OR 11,45 (95% IK 1,17- 111,6). Kesimpulan: Proporsi insiden SENK pada CKS-B di RSUPNCM sebesar 21,4%. Penurunan kesadaran merupakan gejala klinis SENK terbanyak. Lobus temporal merupakan faktor yang berhubungan terhadap kejadian SENK.
Background: Non convulsive status epilepticus (NCSE) can be accounted by moderatesevere traumatic brain injury (TBI). Posttraumatic seizure can aggravate the previous injury and produce poor outcome. Electroecephalography (EEG) was employed as diagnostic tool because unspecified clinical symptoms. This study was aimed to find incidence proportion, associated risk factors, demographic profiles (age, gender, outcome), clinical symptoms, imaging and EEG patterns of NCSE in moderate-severe TBI patients. Method: Cross-sectional design was applied ini this study. Data is consist of primary data which include all moderate-severe TBI since July-December 2019 by consecutive sampling and secondary data which include moderate-severe TBI since January 2017- June 2019 with highly suspicious NCSE symptoms in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. EEG was employed as diagnostic tool by using modified salzburg consensus criteria for non convulsive status epilepticus (mSCNC) as a criteria. Result: Of 39 samples, 19 moderate-severe TBI samples (14 primary data, 25 secondary data) were diagnosed as NCSE. Incidence proportion of NCSE from July- December 2019 is 21,4% (3 from 14 samples). Older age, man gender, traffic accident and worse outcome are the most common NCSE demographic profiles. Loss of consciousness (23,1%) is a main symptom, followed by psychomotor agitation (12,8%), delirium (5,1%) dan perception disturbance (5,1%). Frontal lobe and SAH are consecutively as the most common injury location and pathologic finding. Only 2 samples have definite NCSE diagnosis and the remaining as possible NCSE. Most of NCSE discharges were originated from temporal lobe. Temporal lobe injury location has significance relation toward SENK occurance (p = 0,036, OR 11,45 (95% CI 1,17- 111,6). Conclusion: Incidence proportion of NCSE in moderate-severe TBI is 21,4%. Loss of consciousness is the most finding symptoms. Temporal lobe is a factor relates to NCSE occurance.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Aldilla
Abstrak :
Latar belakang. Laktat awalnya dianggap sebagai produk berbahaya dari metabolisme anaerobik, namun bukti terbaru menunjukkan laktat dapat melindungi neuron dan memperbaiki luaran. Dalam studi ini, kami mencari korelasi antara kadar laktat darah dan luaran pascaoperasi pasien dengan cedera otak traumatika (traumatic brain injury, TBI). Metode. Studi kohort prospektif ini mengambil sampel dari pasien dengan TBI terisolasi yang menjalani operasi di Departemen Bedah Saraf RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari April 2020 hingga Juni 2021. TBI dikategorikan menjadi ringan (GCS 13-15), sedang (GCS 9-12), dan berat (GCS 3-8). Kadar laktat darah diambil dari vena perifer sebelum dan pada hari ke-3 pascaoperasi. Luaran klinis dievaluasi berdasarkan perubahan (D) GCS pada hari ke-7 pascaoperasi dengan preoperasi, lalu dibagi menjadi 3 kelompok: membaik, tidak berubah, dan memburuk. Hasil. Dari 72 subjek dalam penelitian ini, ditemukan terdapat korelasi yang signifikan (p = 0,019, r = 0,275) antara kadar laktat preoperatif dengan D GCS, dimana semakin tinggi kadar laktat preoperatif maka D GCS akan semakin positif. Berdasarkan analisis dengan kurva receiver operating characteristics (ROC) dan Chi-square, ditemukan bahwa subjek dengan kadar laktat >=2,35 mmol/L memiliki kemungkinan 1,64 kali lebih besar untuk mengalami peningkatan GCS pascaoperasi. Kesimpulan. Laktat dapat dijadikan suatu faktor prognostik luaran baik pascaoperasi pasien TBI. ......Background. Lactate was initially thought to be a harmful product of anaerobic metabolism, but recent evidence suggests it can protect neurons and improve outcomes. Therefore, we sought a correlation between blood lactate levels and the postoperative outcome of patients with traumatic brain injury (TBI). Method. This prospective cohort study took samples from patients with isolated TBI who underwent surgery at the Department of Neurosurgery, Cipto Mangunkusumo National Hospital from April 2020 to June 2021. Blood lactate levels were taken from peripheral veins before surgery and on the 3rd postoperative day. The clinical outcome was evaluated based on the change (D) of GCS from before surgery and on the 7th postoperative day, then categorized into 3 groups: improved, unchanged, and worsen. Results. From 72 subjects in this study, significant correlation (p = 0.019, r = 0.275) was found between preoperative lactate levels and D GCS, where the higher preoperative lactate levels, the more positive D GCS would be. Based on the analysis using ROC curve and Chi-square, subjects with lactate levels >=2.35 mmol/L were 1.64 times more likely to experience an increase in postoperative GCS. Conclusion. Lactate can be used as a favorable prognostic factor in TBI patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Samanta
Abstrak :
Latar Belakang. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius yang dapat menyebabkan kematian, kecacatan fisik dan kecacatan mental. Cedera kepala dapat menyebabkan sel astrosit rusak sehingga mengeluarkan protein S 100B yang dapat dideteksi didalam darah perifer, sehingga dapat dipakai untuk memprediksi tingkat keparahan cedera kepala yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara kadar protein S 100B dengan tingkat keparahan cedera kepala. Metode. Desain penelitian adalah potong lintang untuk mengetahui kadar protein S 100B pada pasien cedera kepala akut onset kurang dari 24 jam. Subyek penelitian sejumlah 85 pasien yang datang berobat ke Instalasi Gawat Darurat RSCM sejak bulan maret ? juni 2015. Dilakukan penilaian GCS, lamanya tidak sadarkan diri, lamanya amnesia pasca trauma dengan bantuan alat TOAG, pemeriksaan CT Scan dan pemeriksaan serum protein S 100B. Hasil. Didapatkan kadar rerata protein S 100B serum 0,77 μg/L, rerata durasi amnesia 21,22 jam, rerata nilai GCS 13. Terdapat perbedaan kadar protein S 100B pada CKR (rerata 0,4175) dibandingkan dengan pada CKS dan CKB (1,0722) (p=0,020), nilai titik potong kadar protein S 100B pasien yang meninggal 0,765 μg/L (p= 0,002). Simpulan. Kadar rerata protein S 100B pada cedera kepala ringan lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein S 100B pada cedera kepala sedang dan berat, semakin tinggi kadar protein S 100B akan semakin tidak baik keluaran pasien cedera kepala. ...... Background. Traumatic brain injury is still a serious community health problem can cause death, physical and mental disability. Protein S 100B release from destructive astrocyte from brain injury and detected in the peripheral blood, so that protein S 100B can serve as predictor of severity traumatic brain injury. This research aimed to find association between protein S 100B with traumatic brain injury severity. Method. This was a cross sectional study focusing to protein S 100B value from acute traumatic brain injury patients with onset < 24 hours. Eighty five patients were recruited from emergency room RSCM. GCS value, duration of post traumatic amnesia with TOAG tools, duration loss of consciousness, brain CT scan and concentration serum protein S 100B were record. Results. The mean concentration serum Protein S 100B were 0.77, mean PTA duration were 21,22 hours, and the mean GCS were 13. There is a significant differentiation value of concentration protein S 100B from mild trumatic brain injury compare moderate and severe traumatic brain injury (p=0,020), cut off point for death patients was 0,765 μg/L. Conclusion. The mean serum Protein S 100 B from mild trumatic brain injury lower than moderate and severe traumatic brain injury higher consentration of protein S 100B have bad outcome.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library