Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
"Pendahuluan: Transfusi darah pada hakekatnya adalah suatu proses pemindahan darah dari seorang donor ke resipien. Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan menimbulkan reaksi pada resipien maka sebelum pemberian transfusi darah dari donor kepada resipien, perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta uji silang serasi antara darah donor dan darah resipien. Walaupun golongan darah donor dan pasien sama, ternyata dapat terjadi ketidakcocokan(inkompatibilitas) pada uji silang serasi.Sehingga perlu dilakukan analisis penyebab ketidakcocokan pada uji silang serasi antara darah donor dan pasien.
Cara kerja : Hasil pemeriksaan terhadap 1.108 sampel darah pasien yang dirujuk ke laboratorium rujukan unit transfusi darah daerah (UTDD) PMI DKI dari bulan Januari-Desember 2003 dikumpulkan, kemudian dikaji penyebab terjadinya inkompatibilitas pada uji silang serasi.
Hasil dan diskusi: Dari 1.108 kasus yang dirujuk, 677 (61.10%) kasus menunjukkan adanya inkompatibilitas pada uji silang serasi. Sisanya 431 (38.90 %) menunjukan adanya kompatibilitas (kecocokan) pada uji silang serasi. Dari 677 kasus inkompatibel, 629 (92.90%) kasus disebabkan karena pemeriksaan antiglobulin langsung (DAT-Direct Antiglobulin Test) yang positif. Sisanya yaitu 48 (7.10%) kasus disebabkan karena adanya antibodi pada darah pasien yang secara klinik berpengaruh terhadap transfusi darah dari donor ke pasien. Kasus inkompatibel yang menunjukan hasil positif pada uji antiglobulin langsung (DAT=Direct Antiglobulin Test )sebanyak 629 kasus (92.90%), dengan perincian hasil positip DAT terhadap IgG pada ditemukan sebanyak 493 kasus (78.38%), hasil positip DAT terhadap komplemen C3d sebanyak 46 kasus (7.31%), dan hasil positip DAT terhadap kombinasi IgG dan C3d sebanyak 90 kasus (14.31%)."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soenardi Moeslichan
"Rasa syukur kita ini akan bertambah nikmat manakala kita menyadari eksistensi diri di alam jagat raya ini. Manusia adalah salah satu dari sejumlah makhluk bumi, dan seorang manusia adalah seorang warga penduduk bumi yang diperkirakan akan mencapai 6,2 milyard pada tahun 2000 nanti. Mereka saling berinteraksi dan saling merindukan kedamaian (walaupun masih terjadi peperangan antar manusia disana-sini yang masih sulit untuk didamaikan).
Menyadari betapa kecil kehadiran manusia di bumi ini, manusia akan lebih merasakan betapa kecilnya lagi manakala dianugerahi kemampuan berfikir, bahwa bumipun hanya merupakan sebagian kecil eksistensinya dalam tata surya alam ini. Allahu Akbar.
Dengan manusia sebagai titik tumpu setelah teropong megamakro digunakan untuk mengagumi kebesaran jagad raya dalam makrokosmos berbalik teropong itu diarahkan ke dalam dunia mikro terhadap komposisi tubuh manusia. Kita akan dapat temukan berbagai fenomena menakjubkan yang dapat dilihat dan dipelajari. Salah satu diantaranya adalah darah.
Benda cair yang berwarna merah ini tersusun dari berbagai materi biologis yang juga saling berinteraksi. Interaksi yang serasi diperankan oleh masing-masing unsur untuk mempertahankan homeostasis tubuh agar terpelihara tubuh yang sehat. Mereka diproduksi .di dalam sumsum tulang. Sumsum tulang ini seakan-akan suatu pabrik yang memproduksi berbagai jenis sel darah, setiap hari tiada hentinya. Diperhitungkan sekitar 200 bilion sel darah merah, 10 bilion sel darah putih dan 400 bilion butir trombosit diproduksi setiap hari. Betapa besar kapasitas pabrik dalam tubuh kita ini. Keindahan semakin dirasakan karena terbukti masing-masing materi bioiogis ini saling berinteraksi yang sangat unik di dalam dunianya. Apabila karena sesuatu hal interaksi dan produksi tersebut terganggu maka terjadilah penyakit yang mengancam kehidupan individu tersebut.
Darah masih merupakan materi biologis yang belum dapat di sintesis di luar tubuh, atas dasar itu apabila pada suatu saat terjadi kekurangan darah atau komponennya, biasanya seseorang memerlukan bantuan darah dari orang lain yang disebut transfusi darah. Tetapi dalam transfusi darah yang bertujuan menyelamatkan jiwa sesama manusia tersebut, dapat mengundang pula berbagai risiko yang merugikan kesehatan tubuh, bahkan dapat berakibat kematian. Atas dasar itu praktek transfusi darah yang benar haruslah dilandasi oleh suatu disiplin ilmu yang disebut Ilmu Transfusi Darah (Transfusion Medicine).
Berbagai keindahan dan pesona darah yang mendasari ilmu ini mengundang kekaguman, dan kadang-kadang enak dinikmati, karena itu saya ingin berbagi rasa dengan para hadirin dengan menyajikan sekelumit tentang transfusi darah yang berkaitan dengan profesi saya sebagai dokter anak, kemudian ikut memikirkan kemungkinan permasalahannya dalam suatu sajian yang berjudul Kajian Pediatrik Terhadap Transfusi Darah.
Para hadirin yang berbahagia,
Seperti dikemukakan sebelumnya darah adalah materi biologis, berbentuk cair berwarna merah. Didalamnya terkandung bagian yang bersifat korpuskuler dan sebagian lainnya bersifat tarutan. Bagian korpuskuler ini disebut sebagai butiran darah yang terdiri dari sel darah merah (erythrocyte), sel darah putih (leukocyte) dan butir trombosit (platelet), Ketiga jenis butiran darah ini terutama dibuat di dalam sumsum tulang dari sejenis sel yang disebut sel stem. Sel stem ini seolah-olah suatu benih yang mampu terus-menerus bertahan dengan memperbanyak diri serta berdeferensiasi. Hal ini dimungkinkan karena di dalam sumsum tulang terdapat strama yang memberkan lingkungan mikro (micraenvironment) seakan-akan suatu lahan tanah yang subur bagi pertumbuhan sel stem.
Katau diperhatikan lebih seksama, sel darah merah itu berbentuk diskus bikonkaf yang fleksibel, diameternya 8 um, dan didalamnya berisi cairan hemoglobin. Hemoglobin inilah yang memberi warna merah darah kita. Bentuk sel darah merah yang fleksibel memungkinkan sel darah merah melalui saluran sirkulasi mikro yang berdiameter lebih kecil."
Lengkap +
Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0121
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
New Delhi: WHO, 1998
362.178 4 WOR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Evira Putricahya, authot
"Human platelet antigen (HPA) merupakan salah satu antigen yang berpengaruh dalam keberhasilan transfusi trombosit, selain human leukocyte antigen (HLA). Ketidakcocokkan HPA akan menyebabkan platelet transfusion refractoriness (PTR). Berdasarkan penelitian sebelumnya, diketahui bahwa HPA alel 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 15 sering dikaitkan dengan proses terjadinya PTR. Penelitian bertujuan untuk mengetahui frekuensi gen pada HPA alel 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 15 pada populasi Indonesia dan membuat panel data HPA alel 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 15 dari donor, khususnya donor lestari, untuk peningkatan pelayanan transfusi trombosit di Indonesia. Genotyping dilakukan dengan menggunakan metode polymerase chain reaction- sequence specific primer (PCR-SSP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada populasi Indonesia, frekuensi gen HPA 1a dan 1b sebesar 0,97% dan 0.03%; frekuensi gen HPA 2a dan 2b sebesar 0,94% dan 0,06%; frekuensi gen HPA 3a dan 3b sebesar 0,52% dan 0,48%; frekuensi gen HPA 4a dan 4b sebesar 0,95% dan 0,05%; frekuensi gen HPA 5a% dan 5b% sebesar 0,97% dan 0,03%; frekuensi gen HPA 6a dan 6b sebesar 0,95% dan 0,05%; dan frekuensi gen HPA 15a dan 15b sebesar 0,51% dan 0,49%.

Human platelet antigen (HPA) is one of the antigens that influences the success of platelet transfusion, in addition to human leukocyte antigen (HLA). Human Platelet Antigen mismatch leads to platelet transfusion refractoriness (PTR). Based on previous research, it is known that the HPA alleles of 1, 2, 3, 4, 5, 6, and 15, are linked to the PTR process. This aims of this research are to determine the genotypes of HPA alleles 1, 2, 3, 4, 5, 6, and 15, and also to estimate the frequency of those alleles in Indonesia. The results will be put into the data panel, for improvement in platelet transfusion services for sustainable donors. Polymerase Chain Reaction-Sequence Specific Primers (PCR-SSP) was used in this research for allele detection. The result shows the frequency of those alleles are as follows; the frequency of HPA gene 1a and 1b are 0.97 and 0.03; HPA gene 2a and 2b are 0.94 and 0.06, HPA gene 3a and 3b are 0.52 and 0.48, HPA gene 4a and 4b are 0.95 and 0.05, GPA gene 5a and 5b are 0.97 and 0.03, HPA gene 6a and 6b are 0.95 and 0.05, and HPA gene 15a and 15b are 0.51 and 0.49.;Human platelet antigen (HPA) is one of the antigens that influences the success of
platelet transfusion, in addition to human leukocyte antigen (HLA). Human
Platelet Antigen mismatch leads to platelet transfusion refractoriness (PTR).
Based on previous research, it is known that the HPA alleles of 1, 2, 3, 4, 5, 6, and
15, are linked to the PTR process. This aims of this research are to determine the
genotypes of HPA alleles 1, 2, 3, 4, 5, 6, and 15, and also to estimate the
frequency of those alleles in Indonesia. The results will be put into the data panel,
for improvement in platelet transfusion services for sustainable donors.
Polymerase Chain Reaction-Sequence Specific Primers (PCR-SSP) was used in
this research for allele detection. The result shows the frequency of those alleles
are as follows; the frequency of HPA gene 1a and 1b are 0.97 and 0.03; HPA gene
2a and 2b are 0.94 and 0.06, HPA gene 3a and 3b are 0.52 and 0.48, HPA gene 4a
and 4b are 0.95 and 0.05, GPA gene 5a and 5b are 0.97 and 0.03, HPA gene 6a
and 6b are 0.95 and 0.05, and HPA gene 15a and 15b are 0.51 and 0.49.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S52929
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Transfusi darah autologous (TDA) adalah jenis transfusi darah paling aman baik untuk operator maupun pasien. Sedangkan teknik donasi pre operatif merupakan salah satu teknik TDA yang telah berhasil menurunkan permintaan darah homologous dengan sukses. Transfusi darah homologous (TDH) lebih banyak mempunyai risiko terjadinya komplikasi seperti penularan penyakit, reaksi anafilaktik, reaksi hemolitik dsb. Penelitian ini merupakan suatu uji paralel, membandingkan kelompok yang memperoleh TDA dengan kelompok yang memperoleh TDH pada operasi tulang belakang. Parameter yang digunakan adalah nilai hemoglobin(Hb) dan hematokrit(Ht) pre operasi (pasca donasi pada TDA), nilai Hb dan Ht pasca transfusi dan jumlah hari perawatan pasca operasi. Penelitian ini juga untuk mengetahui keberhasilan penggunaan TDA dilihat dari jumlah pasien yang akhirnya menggunakan TDH tambahan. Sampel adalah 74 pasien orthopaedi yang akan menjalani operasi tulang belakang dengan diagnosis fraktur, spondilitis TB, scoliosis, spinal stenosis dan spondilolisthesis. Pada kelompok TDA usia pasien 33,9 ± 14 tahun, sedangkan pada TDH 29,1 ± 11,5 tahun. Berat badan pemakai TDA 55,3 ± 11,1 kg dan pemakai TDH 52,8 ± 9,7 kg. Jumlah donasi pre operatif pada pemakai TDA 798,6 ± 170 cc. Ada 12 pasien (32,4%) yang jumlah donasi pre operatifnya tidak sesuai dengan permintaan. Pada kelompok pemakai TDA, ada delapan pasien (21,6%) yang akhirnya memerlukan tambahan TDH rata-rata 550 cc. Ada tiga pasien (8,1%) dari pemakai TDA mendapatkan transfusi yang tidak sesuai dengan indikasi (perdarahan < 15% dari total blood volume). Nilai Hb dan Ht pre operasi (pasca donasi) pada pemakai TDA secara bermakna (p=0,001) lebih rendah daripada pemakai TDH. Nilai Hb pasca transfusi pada pemakai TDA secara tidak bermakna (p=0,30) lebih rendah daripada pemakai TDH. Jumlah hari perawatan pasca operasi secara bermakna (p=0,000) lebih tinggi pada pemakai TDH dibanding pemakai TDA. Dapat disimpulkan bahwa : ada 21,6% dari pemakai TDA dengan teknik donasi pre operatif yang akhirnya memrlukan TDH tambahan; tidak ada perbedaan yang bermakna Hb, Ht pre operasi dan pasca transfusi pada pemakai TDA dan TDH; jumlah hari perawatan pasca operasi secara bermakna lebih tinggi pada pemakai TDH dibanding pemakai TDA. (Med J Indones 2004; 13: 17-23)

Autologous Blood Transfusion (ABT) is the safest type of blood transfusion for the operator and the patient. The preoperative donation technique had already been reduced the homologous blood requirements successfully. Homologous Blood Transfusion (HBT) brings more risks in complications such as transmission of diseases, anaphylactic reactions, haemolitic reactions etc. This was a parallel study, comparing one group receiving ABT and a second group receiving HBT where in both groups were performed spine surgery. The parameter used was the hemoglobin(Hb) and hematocrit(Ht) content preoperatively (after donation of ABT) and after transfusion, total days in hospitalization after surgery. Another purpose of this study was also to achieve understandings in using ABT by considering the total patients who finally required additional HBT. There were 74 patients with diagnosis of spine fracture, tuberculous spondylitis, scoliosis, spinal stenosis and spondylolisthesis. In the ABT group the average age was 33,9 ± 14 years old and the HBT group was 29,1 ± 11,5 years old. Both groups consisted of 21 males and 16 females. Body weight of the ABT group was 55,3 ± 11,1 kg and the HBT group 52,8 ± 9,7 kg. Amount of donations preoperatively in ABT was 798,6 ± 170 cc. There were 12 patients (32,4%) where the donated blood amount preoperatively did not match up the requests. There were eight patients (21,6%) in the ABT group that required additional HBT of about 550 cc. Three patients (8,1%) of the ABT group received transfusion that did not match the indications (blood loss < 15% of the total blood volume). The Hb and Ht content preoperatively (after donation) of the ABT group significantly was less than the HBT group (p= 0,001). Hb content after transfusion in the ABT group was not significantly less than the HBT group (p = 0,30). Hospitalization days after surgery were significantly higher in the HBT group (p = 0,000). In conclusions : there was 21,6% of the ABT group with the preoperative donation technique that finally required additional HBT. Also there was no difference in the Hb and Ht content preoperatively and post transfusion in the ABT and HBT group, whereas hospitalization days after surgery were higher in the group receiving HBT than in the group receiving ABT. (Med J Indones 2004; 13: 17-23)"
Lengkap +
Medical Journal of Indonesia, 13 (1) January March 2004: 17-23, 2003
MJIN-13-1-JanMar2004-17
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Myhre, Byron A.
New York: John Wiley & Sons, 1974
615.650 7 MYH q
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Diana Susanto
"Heparin-induced thrombocytopenia (HIT) adalah salah satu efek samping penggunaan heparin, yang dicurigai bila terdapat penurunan trombosit ≥50% pada hari ke-5 sampai ke-10 pascaheparinisasi dan dapat disertai komplikasi tromboemboli. Mekanisme HIT melibatkan pembentukan antibodi terhadap kompleks PF4-heparin (anti-PF4). Pemeriksaan diagnostik HIT terdiri dari uji fungsional dan immunoassay. Pemeriksaan immunoassay, yang mendeteksi anti- PF4 dengan metode ELISA memiliki sensitivitas tinggi dan paling sering digunakan untuk deteksi HIT. Angka kejadian HIT sangat bervariasi karena banyak faktor yang mempengaruhi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi kejadian HIT dan proporsi pasien yang memiliki anti-PF4 pada pemberian terapi heparin di RSCM. Penelitian ini melibatkan 120 pasien rawat inap yang mendapat drip heparin atas indikasi profilaksis atau pengobatan, dengan dosis minimal 10.000 U/24 jam. Pasien yang memenuhi kriteria masukan dan tolakan dilakukan pencatatan data usia, jenis kelamin, diagnosis klinis, riwayat pemakaian heparin 3 bulan terakhir, dan dosis heparin yang dipakai. Pada hari ke-7 dan ke-10 pascaheparinisasi (H7 dan H10) dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan hitung trombosit dan anti-PF4. Diagnosis HIT didasarkan atas penurunan hitung trombosit ≥50% pada H7 atau H10 yang disertai adanya antibodi anti-PF4.
Hasil uji ketelitian within-run dan uji ketepatan pemeriksaan anti-PF4 mendapatkan CV 7,73% dan penyimpangan (d) 2,5-17,4%. Pada 19 dari 120 subjek (15,8%) ditemukan anti-PF4, tetapi kejadian HIT tidak ditemukan. Berdasarkan klasifikasi risiko terjadinya HIT menurut American College of Chest Physician (ACCP), terdapat 46/120 subjek (38,3%) berisiko rendah, 65/120 subjek (54,2%) berisiko tinggi, 8/120 subjek (6,7%) berisiko sangat tinggi, dan 1 orang tidak terklasifikasi. Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara temuan anti-PF4 dengan penurunan trombosit ≥50% (p=0,588). Hal ini diduga karena kurangnya jumlah subjek penelitian yang diperlukan. Antibodi anti-PF4 lebih sering ditemukan pada subjek perempuan dan dengan riwayat heparinisasi.
Proporsi ditemukannya anti-PF4 berturut-turut lebih banyak pada pasien pascabedah vaskular dan ortopedi, trombosis arteri dan vena, kemudian pasien medis yang mendapat profilaksis heparin. Tidak ada perbedaan bermakna proporsi anti-PF4 positif pada subjek dengan atau tanpa riwayat heparinisasi (p=0,293), perbedaan dosis heparin (p=0,141), dan populasi risiko HIT rendah, tinggi, dan sangat tinggi (p=0,662). Empat dari 19 subjek yang memiliki anti-PF4 positif mengalami penurunan trombosit 20-46% pada H7 dan H10.

Heparin-induced thrombocytopenia (HIT) is an adverse effect of heparin, that suspected when platelet count fall ≥50% in 5 to 10 days following heparin initiation and may be accompanied with thromboembolic complications. Mechanism of HIT is mediated by the formation of PF4-heparin complex antibody. There are 2 kind of diagnostic test for HIT, functional assay and immunoassay. Immunoassays, that detect anti-PF4 antibody using ELISA method, have high sensitivity and considered the most frequent assay for detecting HIT. The incidence of HIT varies due to many factors.
The aim of this research is to find the proportion of HIT events and also the proportion of anti-PF4-heparin antibody positive in patients with full-dose heparin in Cipto Mangunkusumo hospital. One hundred and twenty participants, who were our hospital in-patients given heparin infusion with minimal dose of 10.000U/24 h for profilactic or treatment indication, participated in this research. Patients met the inclusion and exclusion criteria were noted for age, gender, clinical diagnosis, heparin exposure in the last 3 months, and heparin dose. On day 7 and 10 after heparin initiation, blood sample were collected for platelet count and anti-PF4 antibody assay. Diagnosis of HIT was based on platelet count fall ≥50% on day 7 or 10 after heparin initiation accompanied with anti-PF4 antibody in the circulation.
Within run precision and accuracy tests for anti-PF4 assay showed a CV of 7,73% and deviations of -2,5 – 17%. Nineteen of 120 subjects (15,8%) had anti-PF4 antibodies, but HIT was not found. Based on the risk classification of HIT from American College of Chest Physician (ACCP), 46 subjects (38,3%) categorized as low risk to HIT, 65 (54,2%) high risk, 8 (6,7%) very high risk, and 1 as unclassified. Statistics showed there was no significant relationship between anti-PF4 antibodies in the circulation with platelet count fall of ≥50% (p=0,588). This was probably due to inadequate sample size for this study. Anti-PF4 antibodies were detected more frequent in females and subjects with past heparin exposure.
The proportion of positive anti-PF4 antibodies were highest in postoperative vascular or orthopedic surgery patients, followed by arterial or venous thrombosis patients, then medical patients using profilactic dose of heparin. There were no significant difference of positive anti-PF4 antibodies in subjects with vs without past heparin exposure (p=0,293), in subjects using 10.000U/24h vs >10.000U/24h heparin dose (p=0,141), and in subjects with low vs high vs very high risk of HIT (p=0,662). Four of 19 subjects having anti-PF4 antibodies had platelet count fall 20-46% on day 7 and day 10.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Srihartaty
"ABSTRAK
Latar belakang. Pelayanan transfusi darah merupakan penunjang pelayanan kesehatan yang sangat penting, karena hingga saat ini masih terdapat beberapa kondisi kesehatan yang hanya dapat diatasi dengan pemberian transfusi darah. Salah satu strategi World Health Organization (WHO) dalam pelayanan darah yang aman adalah transfusi darah atas indikasi medis secara rasional. Febrile non-haemolytic transfusion reaction (FNHTR) telah dilaporkan sebagai reaksi transfusi yang paling umum terjadi dengan insidensi 6,8% setelah transfusi produk komponen packed red cell (PRC). Data di Pusat Thalassemia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dari 73% pasien yang mendapat PRC leucoreduction, 15% di antaranya mengalami reaksi transfusi, sedangkan dari 14% pasien yang mendapat PRC biasa, 65% di antaranya mengalami reaksi transfusi. Di Indonesia, PRC yang tersedia umumnya adalah produk PRC leucoreduction dengan metoda buffy-coat depleted. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penurunan jumlah leukosit dan sitokin pada produk PRC dari metoda buffy-coat depleted dibandingkan dengan metoda modifikasi bed-side leucocyte filtration. Metodologi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada subjek berupa 30 produk PRC yang dibuat dengan metoda buffy-coat depleted dan 30 produk PRC yang dibuat dengan metoda modifikasi bed-side leucocyte filtration pada <48 jam masa penyimpanan. Pada semua produk dilakukan pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan sitokin pirogen IL-6 dan TNF-α. Hasil. Satu (3,33%) subjek kantong komponen PRC yang dibuat dengan metoda buffy-coat depleted memenuhi standar leukoreduction (<5x108 leukosit/unit), dan 29 (96,7%) subjek kantong komponen PRC yang dibuat dengan metoda modifikasi bed-side leucocyte filtration pada waktu < 48 jam penyimpanan memenuhi standar leukodepleted (<5x106 leukosit/unit). Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar IL-6 dan TNF-α pada kedua kelompok komponen PRC ( p > 0,05 ). Simpulan. Terdapat penurunan jumlah leukosit komponen PRC yang dibuat dengan metoda modifikasi bed-side leucocyte filtration pada < 48 jam masa penyimpanan PRC sangat signifikan dibandingkan dengan metoda buffy-coat depleted. Hal ini disebabkan oleh peranan filter polyurethane yang selektif menyaring leukosit sedangkan penurunan jumlah leukosit pada metoda buffy-coat depleted dipengaruhi oleh kecepatan dan waktu putaran sentrifus serta pemisahan lapisan buffy coat dari komponen PRC. Tidak bermaknanya perbedaan kadar sitokin pirogenik IL-6 dan TNF α pada kedua kelompok PRC dikarenakan masa penyimpanan PRC < 48 jam tidak menyebabkan akumulasi sitokin pirogenik IL-6 dan dan TNF-α.

ABSTRACT
Background. Blood transfusion is an essential part of health services, that can safe lifes. One of the World Health Organization (WHO) strategy on safe blood. White blood cells/leukocytes are present in all cellular blood components that are prepared by standard technique. Febrile non-haemolytic transfusion reaction (FNHTR) has been reported as a common transfusion reaction with the incidence of 6,8% after Packed Red Cell (PRC) transfusion. Data in Thalassemia Center DR. Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta, from 73% of patients who received PRC leucoreduced component, 15% of them had a transfusion reaction, whereas 14% of patients who received PRC component, 65% of them had a transfusion reaction. In Indonesia, the common PRC component available is a leucoreduced PRC developed by buffy-coat depleted method. The study is aim to evaluate the effectiveness of leucocyte reduction and cytokine on the PRC components developed by buffy-coat depleted method compare to the PRC products developed by modified bed-side leucocyte filtration method. Methodology. The study is a cross sectional study on the subject of 30 PRC components developed by buffy-coat depleted method and 30 PRC component developed by modified bed-side leucocyte filtration method in < 48 hour of storage. Haematology testing and pyrogenic cytokine of IL-6 and TNF-α titer was analyzed on all subjects.
Result. There was only one (3.33%) subject of PRC developed by buffy-coat depleted method showed to be leucoreduced (<5x108 leucocyte/unit), mean while there was 29 (96,7%) subject of PRC developed by modified bed-side leucocyte filtration method showed to be leukodepleted (<5x106 leucocyte/unit).No significant difference of IL-6 and TNF-α titer on both of PRC components. (p > 0,05 ).
Conclusion. Reduction of leucocyte on the PRC components developed by modified bed-side leucocyte filtration is more effective compare to that on the PRC components developed by buffy-coat depleted method. The adhesion principle of leucocyte into polyurethane filter was more effective in reducing the number of leucocyte compare to centrifugation principle. The leucocyte filtration that was run on the PRC components with the storage time of < 48 hour did not caused the accumulation of pyrogenic cytokine such as IL-6 and TNF-α."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabutar, David Hasudungan
"[ABSTRAK
Latar belakang : Salah satu reaksi transfusi lambat yang bersifat fatal adalah TA GVHD (Transfusion Associated Graft Versus Host Disease). Kejadian TA GVHD pada pasien immunocompromised diperkirakan sebesar 0,1- 1,0% dengan angka kematian sekitar 80- 90%.7 Upaya radiasi komponen darah seluler saat ini merupakan cara yang paling efisien dan dapat diandalkan untuk mencegah TA-GVHD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh efek berbagai dosis radiasi terhadap sel darah merah selama penyimpanan. Metodologi : Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik pada 72 sediaan sel darah merah yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sediaan sel darah merah dibagi menjadi 4 grup, yaitu grup yang mendapat dosis 2500,3000,5000 cGy dan kontrol. Dilakukan pengujian OFT dan kadar kalium pada hari pertama, ketiga dan kelima penyimpanan.
Hasil : Terjadi peningkatan kadar kalium yang bermakna secara statistik mulai dari hari pertama setelah dilakukan radiasi pada semua dosis. Tidak ditemukan perbedaan bermakna ketahanan membran sel darah merah terhadap semua dosis radiasi selama penyimpanan sampai hari kelima.
Simpulan : Radiasi pada dosis 2500-5000 cGy dapat menyebabkan peningkatan kadarkalium dan tidak menyebabkan perubahan fragilitas sel darah merah yang disimpan selama 5 hari setelah radiasi. Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai mutu sediaan sel darah merah selama penyimpanan setelah dilakukan radiasi seperti melihat tingkat hemolisis (hemolisis rate).

ABSTRACT
Background: One of the delayed transfusion reactions that are fatal is TA GVHD (Transfusion Associated Graft Versus Host Disease). TA incidence of GVHD in immunocompromised patients is estimated at 0.1 to 1.0% with a mortality rate of approximately 80-90% .7 Efforts irradiation of cellular blood components is currently the most efficient way and a reliable way to prevent TA-GVHD. This study aims to determine the effect of various doses of irradiation effects on red blood cells during storage.
Method: This study used a descriptive analytic design at 72 red blood cell preparations that meet the inclusion and exclusion criteria. The preparation of red blood cells were divided into 4 groups, ie the group that received 2500,3000,5000 cGy dose and control. OFT testing and potassium levels on the first day, the third and fifth storage.
Results: An increase in potassium levels was statistically significant from the first day after irradiation at all doses. Found no significant differences in red blood cell membrane resistance to all doses of irradiation during storage until the fifth day. Conclusion: Irradiation at doses of 2500-5000 cGy can cause increased pottasium level and does not cause changes fragility of red blood cells stored for 5 days after irradiation. The need for further research on the quality of the preparation of red blood cells during storage after irradiation as seen levels of hemolysis (hemolysis rate).;Background: One of the delayed transfusion reactions that are fatal is TA GVHD (Transfusion Associated Graft Versus Host Disease). TA incidence of GVHD in immunocompromised patients is estimated at 0.1 to 1.0% with a mortality rate of approximately 80-90% .7 Efforts irradiation of cellular blood components is currently the most efficient way and a reliable way to prevent TA-GVHD. This study aims to determine the effect of various doses of irradiation effects on red blood cells during storage.
Method: This study used a descriptive analytic design at 72 red blood cell preparations that meet the inclusion and exclusion criteria. The preparation of red blood cells were divided into 4 groups, ie the group that received 2500,3000,5000 cGy dose and control. OFT testing and potassium levels on the first day, the third and fifth storage.
Results: An increase in potassium levels was statistically significant from the first day after irradiation at all doses. Found no significant differences in red blood cell membrane resistance to all doses of irradiation during storage until the fifth day. Conclusion: Irradiation at doses of 2500-5000 cGy can cause increased pottasium level and does not cause changes fragility of red blood cells stored for 5 days after irradiation. The need for further research on the quality of the preparation of red blood cells during storage after irradiation as seen levels of hemolysis (hemolysis rate)., Background: One of the delayed transfusion reactions that are fatal is TA GVHD (Transfusion Associated Graft Versus Host Disease). TA incidence of GVHD in immunocompromised patients is estimated at 0.1 to 1.0% with a mortality rate of approximately 80-90% .7 Efforts irradiation of cellular blood components is currently the most efficient way and a reliable way to prevent TA-GVHD. This study aims to determine the effect of various doses of irradiation effects on red blood cells during storage.
Method: This study used a descriptive analytic design at 72 red blood cell preparations that meet the inclusion and exclusion criteria. The preparation of red blood cells were divided into 4 groups, ie the group that received 2500,3000,5000 cGy dose and control. OFT testing and potassium levels on the first day, the third and fifth storage.
Results: An increase in potassium levels was statistically significant from the first day after irradiation at all doses. Found no significant differences in red blood cell membrane resistance to all doses of irradiation during storage until the fifth day. Conclusion: Irradiation at doses of 2500-5000 cGy can cause increased pottasium level and does not cause changes fragility of red blood cells stored for 5 days after irradiation. The need for further research on the quality of the preparation of red blood cells during storage after irradiation as seen levels of hemolysis (hemolysis rate).]"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>