Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anamika Anjani Wiyasih
"Penulisan ini dibuat untuk menjabarkan serta mengetahui pemberitaan yang merugikan perempuan korban perkosaan melalui adanya mitos perkosaan dengan menganalisis makna bahasa yang terdapat dalam pemberitaan tersebut. Penulisan ini menggunakan metode analisis isi dengan pemikiran Roland Barthes untuk mengkaji mitos-mitos perkosaan dalam media massa. Hasil penulisan ini ditemukan bahwa terdapat lima mitos perkosaan yang ada dari data hasil penelitian sebelumnya, yaitu data hasil penelitian O’Hara (2012), Heaney (2012), Diani (2013) dan Kasenda (2014). Mitos perkosaan merupakan bentuk dominasi patriarkat yang menyalahkan perempuan sebagai korban perkosaan. Mitos perkosaan tersebut antara lain, "perempuan meminta untuk diperkosa", "perempuan yang sedang mabuk bersedia untuk terlibat dalam setiap aktivitas seksual", "pemerkosa adalah orang abnormal, gila atau sakit", "perempuan berbohong tentang perkosaan yang menimpanya" dan "korban perkosaan adalah perempuan yang cantik dan menarik".

This paper is designed to describe and to know the news that harm women victims of rape through the rape myths by analyzing the meaning of language contained in the article. This paper using content analysis by Roland Barthes’s idea to examine the rape myths in the mass media. The results of this study was found that there are five existing rape myths from the previous studies, the research data of O’Hara (2012), Heaney (2012), Diani (2013), and Kasenda (2014). Rape myths is a form of patriarchal domination that blaming the women as victims of rape. The rape myths are "women asking for rape", "women who are drunk are willing to engage in any sexual activity", "rapists are abnormal, crazy or sick", "women lie about rape", "rape victims are beautiful and interesting women".
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizqi Ghiffari
"Dalam tulisan ini, Penulis membahas mengenai secondary victimization yang disebabkan oleh narasi judul dalam situs berita daring yang memberitakan tindak kejahatan. penulis melakukan analisis terhadap pemberitaan media Tribunnews yang dalam narasi judulnya berpotensi menyebabkan Secondary victimization. Salah satu bentuk Secondary victimization yang ditemukan sebagai akibat dari narasi judul yang kurang tepat adalah victim blaming. Fenomena victim blaming yang terjadi menjadikan korban disalahkan atas peristiwa yang menimpanya. Pandangan bahwa korban ikut serta menjadi penyebab peristiwa yang menimpanya dapat berdampak negatif dan memperburuk keadaan psikologis korban. Kondisi ini diperparah dengan adanya clickbait dalam narasi judul berita tersebut. Adanya Clickbait dalam judul berita tersebut dapat menyebabkan amplifikasi sehingga memperburuk dampak dari secondary victimization yang terjadi. Perilaku masyarakat Indonesia juga menjadi permasalahan karena masyarakat Indonesia cenderung hanya membaca judul berita dari sebuah pemberitaan tindak kejahatan. Akibatnya, terjadi pemaknaan yang kurang tepat terhadap informasi dalam berita secara keseluruhan.

In this paper, the author discusses secondary victimization caused by narrative headline of online sites that write crime news. The author conducted an analysis towards Tribunnews' news which has the potential to cause secondary victimization by their narrative headline. One form of secondary victimization that was found as a result of the inaccurate narrative was victim blaming. The phenomenon of victim blaming has caused victims to be blamed for the incident that happened to them. The view that the victims participate as the cause of the incident that happened to them also have a negative impact and worsen the psychological state of the victim. This condition is exacerbated by the existence of clickbait in narrative headline news. The existence of clickbait in the headline can cause amplification, which exacerbates the impact of secondary victimization. The behavior of the Indonesian people is also a problem because Indonesians tend to only read headlines from a crime news. As a result, there is less precise meaning of a whole information in the news content.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irawati Puteri
"Skripsi ini menganalisis Putusan No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn yang
menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara kepada korban perkosaan yang melakukan aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Hakim yang mengadili perkara tidak cukup memperhitungkan bahwa, korban adalah seorang anak, mengalami kehamilan akibat perkosaan inses, dan tidak dapat mengakses aborsi yang legal karena keterbatasan pengetahuan dan sumber daya. Hakim hanya menggunakan
batu uji berupa ketentuan prosedural mengenai aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan turunannya. Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah posisi perempuan korban perkosaan dalam pengaturan aborsi di Indonesia dan implikasinya dari perspektif teori hukum feminis. Penulis menggunakan metode normatif empiris dan teori hukum feminis
dengan konsekuensi metodologis melihat permasalahan ini dari perspektif perempuan. Korban perkosaan terbentur kebuntuan legalitas formal untuk dapat mengakses aborsi yang aman. Korban perkosaan memiliki kecenderungan mengalami trauma pasca perkosaan sehingga sulit berinteraksi dan melaporkan perkosaan yang terjadi, cenderung tidak mengetahui gejala dan usia kehamilan, sehingga terlambat melakukan visum et repertum dan laporan yang dibutuhkan. Selain itu, fenomena victim blaming meletakkan kehamilan akibat perkosaan
sebagai takdir yang harus dijalani dan dipertanggungjawabkan oleh korban. Berdasarkan hasil penelitian, pengaturan tentang aborsi di Indonesia belum dapat mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman korban perkosaan. Terdapat batas usia kehamilan dan persyaratan birokratis untuk dapat melakukan aborsi. Selain itu, belum terdapat rumah sakit yang dapat menyelenggarakan aborsi secara legal. Sehingga diperlukan perubahan pengaturan usia kehamilan, pemangkasan prosedur birokratis, dan penetapan rumah sakit tertentu sebagai penyelenggara fasilitas layanan kesehatan yang dapat melakukan aborsi secara sehat, aman, dan legal.
This thesis analyzes Decision No. 5/Pid.Sus.Anak/2018/PN Mbn which gave 6 months imprisonment for a victim of rape who had an abortion that was not in accordance with prevailing laws. The Panel of Judges have failed to consider the facts that she is a child who had a pregnancy due to incest rapes and she could not access legal and safe abortion since she had limited knowledge and resources. The Panel of Judges limitedly used the formality and procedural provisions regarding
abortion as regulated in Law Number 36 of 2009 on Health and its derivative regulations. The main problem in this thesis is the position of women rape victim in the regulation of abortion in Indonesia and its implications from feminist legal theory perspective. The author uses empirical normative method and feminist legal theory by looking at this problem from women's perspective as the methodological consequence. Rape victim is hampered by a formal legality impasse to be able to
access safe abortion. In fact, rape victim has a tendency to experience trauma after the rape. Rape victim is often founded to be difficult to interact with. It is hard for a rape victim to report the rape that has been occured, the rape victim tend to not aware of the symptoms and age of pregnancy, therefore it is often too late to conduct visum et repertum and reports as required. In addition, the phenomenon of victim
blaming puts pregnancy due to rape as a destiny that must be accounted by the victim. Those whole things lead the victim to experience re-victimization and obstacles in proving the crime of rape that has befallen her. Research results find that, regulations of abortion in Indonesia have not been able to accommodate the needs and experience of rape victim. There are limitation based on age of
pregnancy and bureaucratic requirements to be able to conduct an abortion. In addition, there has been no hospital yet that can carry out legal abortion. It is necessary to amend the age of pregnancy limitation, trim the bureaucratic procedures, and establish certain hospitals as health services providers that can conduct healthy, safe, and legal abortion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library