Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bachry Soetjipto
Abstrak :
Di dalam Undang-undang Nomar 4 T ahun 1 998 tentang "Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Alas Undang-Undang teutang Kepailitan" telah diatur secara tegas mengenai pemberesan harta pailit, jika debitor dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga. Dua opsi pemberesan harta pailit yang dibcrikan undang-undang ada dua Pertama, pemberesan harta pailit dengan penjualan di muka umum melalui mekanisme pelelangan umum. Kedua, pemberesan hafta pailit melalui mekanisme penjualan di bawah tangan, dengan seizin Hakim Pengawas. Pemberesan harta pailit melalui mekanisme pelelangan umum, pada dasarnya merupakan alternatif yang tepat dan cepat dalam era globalisasi dan reformasi dewasa ini, karena penjualan secara lelang bersifat objektif kompetitif, transparan, built in control dan otentik. Objektif, karena setiap peserta lelang memiliki bak dau kewajiban yang sama, tidak ada prioritas diantara peserta lelang. Kompetitif, karena mekanisme penawaran menciptakan persaingan bebas diautara para peserta lelang. Transparan, karena lelang dilaksanakan secara terbuka dan sebelumnya dilakukan pengumuman lelang di mass media cetak. Built in Control, artinya lelang dilaksanakan di bawah pengawasan publik, karena lelang dilakukan di depan umum. Otentik, karena dari setiap pelaksanaan lelang diterbitkan Risalah Lelang yang rnerupakan Akta Otentik. Dengan Risalah Lelang secara hukum Pembeli/Pemenang Lelang dapat mempertahankan haknya dan dapat dijadikan sebagai alat bukti kepemilikan setelah dilakukan balik nama. Pada akhirnya, dengan penjualan hafta pailit melalui mekanisme pelelangan umum diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek pelelangan tersebut. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia dewasa ini, institusi hukum yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pelelangan umum, adalah Kantor Lelang Negara, yang nomenklaturnya sekarang berubah menjadi Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara, atau disingkat KP2LN.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18947
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Triana Budiarti
Abstrak :
Hukum Kepailitan merupakan cara penyelesaian utang piutang yang cepat agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi para kreditur. Hukum Kepailitan di Indonesia diatur dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nornor 87). Menurut undang-undang tersebut, persyaratan untuk dinyatakan pailit adalah apabila debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Utang harus dapat dibuktikan secara sederhana. Dengan demikian, harus ada ukuran atau kriteria utang sebagai landasan agar pembuktian utang secara sederhana tersebut dapat dilakukan. Akan tetapi, kriteria tersebut tidak ditemukan dalam undang-undang kepailitan. Di pihak lain, tradisi peradilan di Indonesia menganut sistem civil law. Dalam sistem ini asas precedent tidak berlaku secara mutlak, sehingga pntusan hakim terdahulu dalam perkara yang serupa tidak mengikat hakim kemudian. Para hakim di pengadilan civil law memutuskan perkara berdasarkan pada peraturan perundang-undangan terulis. Apabila peraturan perundang-undangan itu tidak mengatur secara jelas, hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran (interpretasi). Akibat tidak adanya definisi utang, maka kebebasan interpretasi tersebut dapat menimbulkan terjadinya berbagai pengertian utang, yang pada akhirnya menyebabkan tidak adanya kepastian hukurn. Keadaan ini dapat berdampak terhadap berkurangnya investor asing di Indonesia. Oleh karena itu, dalam upaya memberi kepastian hukum, harus ada rumusan utang dalam hukum kepailitan di Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T16257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Prakoso Johannes
Abstrak :
Untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan niaga dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Gugatan pembatalan ini dikenal dengan nama gugatan actio pauliana. Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan harus terbukti beritikad tidak baik sehingga merugikan kreditor. Tesis ini akan membahas terkait tinjauan umum hukum kepailitan di Indonesia, hukum actio pauliana dalam hukum kepailitan di Indonesia, dan analisis terkait putusan actio pauliana dalam kasus kepailitan PT Metro Batavia (Putusan Nomor 61 PK/Pdt.Sus-Pailit/2015 Jo. Nomor 389 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 Jo. Nomor 02/Pdt. Sus. ActioPauliana/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst). Tesis ini memakai penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Berdasarkan hasil penelitian, hukum kepailitan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ('UU Kepailitan'). Ketentuan actio pauliana diatur dalam Pasal 41 sampai Pasal 49 UU Kepailitan. Putusan pengadilan niaga dan kasasi yang menolak gugatan actio pauliana dari tim kurator PT Metro Batavia (dalam pailit) telah tepat karena aset yang menjadi obyek sengketa bukan milik PT Metro Batavia (dalam pailit). Putusan Peninjauan Kembali (PK) yang mengabulkan gugatan actio pauliana tidak tepat karena novum yang menjadi pertimbangan majelis hakim Peninjauan Kembali (PK) tidak membuktikan kepemilikan suatu aset. ......In the interest of the bankruptcy assets, annulment may be requested to the commercial court for all legal acts of the debtor who has been declared bankrupt which prejudice the interests of the creditors, which were conducted before the declaration of bankruptcy was rendered. The annulment is known as the actio pauliana lawsuit. The debtor and the party with whom the legal acts was carried out must be proven to have a bad faith that prejudice the creditors. This thesis will discuss about general review of bankruptcy law in Indonesia, actio pauliana in Indonesia’s bankruptcy law, and analysis related to actio pauliana decision in Metro Batavia’s company (in bankruptcy). This thesis use normative legal research with statute approach and case approach. Based on research results, bankruptcy law in Indonesia is regulated in Law Number 37 of 2004 on bankruptcy and suspension of obligation for payment of debts ('Bankruptcy Law'). The actio pauliana is regulated in article 41 to article 49 of Bankruptcy Law. The decision of the commercial court and cassation which rejected the actio pauliana lawsuit from the curator team of Metro Batavia’s company (in bankruptcy) was appropriate because the assets of the dispute did not belong to Metro Batavia’s company (in bankruptcy). The judicial review decision that grants the actio pauliana lawsuit is faulty because the new evidences (novum) that are used for consideration by the panel of judges do not prove the ownership of an asset.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54823
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulasi Rongiyati
Abstrak :
Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah berdampak ke berbagai sektor perekonomian, khususnya menurunnya kemampuan perusahaan-perusahaan untuk membayar kembali hutang-hutang mereka kepada kreditor. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran kreditor untuk dapat menuntut pelunasan piutangnya kepada debitor. Para kreditor memandang perlu ada solusi hukum yang mampu menjamin kepentingan kreditor berkaitan dengan jaminan pelunasan akan investasi yang telah mereka tanamkan, yaitu melalui lembaga kepailitan. Perangkat hukum kepailitan yang dimiliki Indonesia dianggap tidak memadai lagi dengan kondisi masyarakat, khususnya dunia usaha yang berkembang sekarang ini- UU Kepailitan lama dianggap kurang memberikan perlindungan kepada kreditor dalam mengupayakan pelunasan piutangnya, khususnya karena proses kepailitan harus dilakukan melalui prosedur hukum acara perdata sebagaimana perkara perdata lainnya yang berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang lama. Hal lain yang menjadi sorotan adalah sikap ketidakpercayaan mereka dalam memandang dunia peradilan Indonesia yang penuh dengan KKN. Oleh karena itu IMF sebagai kreditor terbesar bagi Indonesia, meminta pemerintah Indonesia segera melakukan revisi terhadap UU Kepailitan dan pembentukan Pengadilan Niaga sebagaimana tertuang dalam nota kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan IMF. Tuntutan dan desakan IMF ini telah mendorong Pemerintah untuk segera melakukan amandemen terhadap Faillissement Verordening, melalui Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 4 tahun 1998. Pada intinya substansi amandemen UU kepailitan lebih ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada kreditor dengan mengacu pada asas cepat, sederhana, transparan, dan efektif. Dalam tataran implementasi, penerapan UU Kepailitan di lapangan belum seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya beberapa kelemahan dalam subtansi pengaturannya antara lain ketidakjelasan pengaturan yang pada akhirnya menimbulkan multi interpretasi. Disamping itu keberadaan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus yang berwenang menangani perkara kepailitan belum didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36602
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidi Galenso Syarief
Abstrak :
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Pernyataan pailit mengakibatkan debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan kepailitan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji status hukum putusan pengadilan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atas upaya perdamaian pada kasus kepailitan, serta putusan pengadilan telah memenuhi asas kepastian hukum, sederhana, cepat dan murah apabila dibandingkan dengan upaya perdamaian yang dilakukan di luar Pengadilan dalam rangka memenuhi asas kemanfaatannya. Pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum untuk memperoleh data sekunder sebagai data utamanya. Hasil dari penelitian ini adalah (1) Status hukum putusan pengadilan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atas upaya perdamaian pada kasus kepailitan adalah tetap berlaku dan sah menurut hukum, karena perdamaian dalam kepailitan bukan untuk mengakhiri sengketa atau mencegah suatu sengketa, karena perkara kepailitan tidak termasuk dalam jurisdiksi contentius sebagaimana halnya perkara gugatan perdata biasa, akan tetapi termasuk dalam jurisdiksi voluntair karena merupakan permohonan putusan pernyataan pailit. Dalam kepailitan tidak ada sengketa, oleh karenanya perdamaian dalam kepailitan (i) dilakukan setelah perkaranya diputus (putusan pernyataan pailit telah diucapkan) dan tidak dilakukan sebelum perkara diajukan ke Pengadilan ataupun setelah para pihak didamaikan menurut ketentuan Pasal 130 HIR, dan (ii) bertujuan menyelesaikan kewajiban utang debitor pailit kepada para kreditornya secara sebaik-baiknya; dan (2) Putusan pengadilan telah memenuhi asas kepastian hukum, sederhana, cepat dan murah apabila dibandingkan dengan upaya perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan dalam rangka memenuhi asas kemanfaatannya. Studi Kasus kepailitan BTID yang disidangkan kembali di Pengadilan Niaga berdasarkan akte perdamaian diluar pengadilan setelah adanya putusan pailit ditingkat Kasasi, MA, yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah terobosan dalam hukum acara/ prosedur Kepailitan yang memberikan solusi yang memenuhi asas-asas diatas dan yang terkandung dalam HIR ps.130 dan Hukum Perdata dimana kesepakatan adalah Undang-undang bagi para pihaknya. ......Bankruptcy is a process in which a debtor who has financial difficulties to pay its debts declared bankrupt by the court, the Commercial Court in this case, because the debtor is unable to pay its debts. Bankruptcy debtor void resulting in loss of the right to control and take care of his wealth are included in the bankruptcy, since the bankruptcy declaration. The purpose of this study was to determine and assess the legal status according to the court ruling legislation applicable to a reconciliation effort in a bankruptcy case, and the court decision meets the principle of legal certainty, simple, quick and inexpensive when compared to the reconciliation effort that undertaken outside court in order to satisfy the benefit principle. The approach to the problem of this research, are the legislation approach (statute approach) and the case approach. This research is a normative legal research, indeed, a research that done through a literature research in a way of document study on legal materials to obtain the secondary data as the main data. The results of this research is (1) the legal status of the court decision according ruling legislation that applicable to the reconciliation effort on the bankruptcy case is still valid and lawful, because reconciliation in bankruptcy is not to end a dispute or to prevent a dispute, yet the bankruptcy court did not included in contentius jurisdiction like ordinary civil lawsuits, but included in voluntair jurisdiction because it is a decision of the bankruptcy petition. In bankruptcy there is no dispute, therefore reconciliation in bankruptcy (i) is conducted after the case is decided (the decision of bankruptcy has been spoken) and not before the case filed to the Court or after the parties reconciled in accordance with the provisions of Article 130 of HIR, and (ii) aimed at finalizing the debt obligations of insolvent debtors to their creditors as proper as possible; and (2) The court's decision meets the principle of legal certainty, simplicity, quick and inexpensive when compared to the reconciliation effort made outside the court only in order to satisfy the benefit principle. Bankruptcy case study of BTID which was retrial at the Commerce Court based on the Reconciliation Agreement outside the court just right after there was a bankruptcy final and binding court decision (inkrahct van gewijsde) by the Supreme Court was a breakthrough in the Bankruptcy trial procedure, that has given the solution which fulfills the above principles and stipulated in the HIR article.130, and Private Law as well, where the Agreement is the Act for the Parties.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34943
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusin Yanasriksa Halintari
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai tindakan actio pauliana oleh Kurator sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 461 K/Pdt.Sus-Pailit/2019. Putusan tersebut dilatarbelakangi oleh perbuatan hukum yang dilakukan oleh RSW yang merupakan istri sah dari Debitor Pailit DH, dengan membebani obyek yang merupakan harta bersama dalam perkawinan dengan Hak Tanggungan untuk pelunasan utangnya dengan PT Bank PMRSA. Perkawinan keduanya dilangsungkan setelah Debitor Pailit dinyatakan pailit sebagaimana dalam suatu Putusan Pengadilan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status harta bersama yang didapatkan setelah putusan pernyatan kepailitan dan dimasukkan sebagai boedel pailit akibat tindakan actio pauliana dari Kurator, serta perlindungan hukum yang dapat diberikan kepala PT Bank PRMSA selaku pihak ketiga tersangkut. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yang merupakan suatu penelitian dengan mengacu kepada norma-norma atau asas-asas hukum untuk selanjutnya dibuat suatu interpretasi terhadap suatu peraturan hukum. Adapun tipologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksplanatoris, yang menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam dari suatu gejala. Hasil analisa menyatakan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh RSW terhadap harta bersamanya dengan Debitor Pailit adalah melanggar ketentuan dalam UU PKPKU, sehingga tindakan actio pauliana yang dilakukan oleh Kurator adalah tepat, serta perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada PT Bank PRMSA adalah dengan memberikannya kesempatan untuk tampil sebagai Kreditor Konkuren atau dapat mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap piutang yang dimilikinya kepada Debitor Pailit.
This research discusses the actions taken by the Curator in the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 461 K/Pdt.Sus-Pailit/2019. The decision was caused by legal action conducted by RSW as the legal wife of DH as a bankrupt debtor related to marital property with a Mortgage to pay off its debt to PT Bank PMRSA. The marriage was held after the bankrupt debtor is declared bankrupt in a court decision. The purpose of this research was to determine the status of marital property obtained after the decision to declare bankruptcy and was included as a bankruptcy property due to actio pauliana by the curator, also the legal protection that the head of PT Bank PRMSA as the third party in this matter. To answer these problems, normative juridical legal research methods are used, which is a study by referring to legal norms or principles to further make an interpretation of a legal rule. The research typology used in this research is explanatory research, which describes or explains more deeply of a symptom. The results of the analysis show that the legal actions taken by RSW against the assets together with the Bankrupt Debtor violate the provisions in the PKPKU Law, so the actions of actio pauliana taken by the Curator are appropriate, and the legal protection that can be given to PT Bank PRMSA is by giving it the opportunity to appear as a creditor. Concurrent or may request compensation for account receivables calculated from the Bankrupt Debtor.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Maesa
Abstrak :
Berbagai persoalan yang berkembang dalam berbagai perkara-perkara kepailitan yang terjadi di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan, terutama apabila menyangkut kepailitan terhadap perusahaan asing dalam bentuk holding company. Perusahaan grup semakin mendominasi kegiatan usaha dan memiliki peran penting dalam pembangunan. Konstruksi perusahaan grup terpisah secara hukum namun berada dalam satu kesatuan ekonomi. Permohonan PKPU oleh anak perusahaan terhadap holding company yang berakhir pailit dalam satu perusahaan grup merupakan hal yang tidak biasa. Permohonan PKPU tersebut terjadi pada kasus kepailitan AcrossAsia Limited sebagai holding company yang berkedudukan di Hong Kong dan dipailitkan oleh anak perusahaannya yaitu PT. First Media Tbk. Apakah permohonan PKPU tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah hukum kepailitan, bagaimana tanggung jawab holding company yang pailit terhadap anak perusahaan dalam satu perusahaan grup, dan apa saja hambatan dalam penerapan cross-border insolvency dalam hukum kepailitan terkait adanya putusan pengadilan asing. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, sejarah, dan pendekatan analisis. Kepailitan terhadap holding company oleh anak perusahaan merupakan penyalahgunaan kekuasaan holding company dan trik bisnis yang memanfaatkan instrumen hukum kepailitan untuk menghindari kewajiban terhadap pihak ketiga. Hukum kepailitan di Indonesia perlu merumuskan insolvensi tes terhadap permohonan pailit debitor, hal tersebut diperlukan agar tidak terjadi kepailitan terhadap perusahaan yang masih solven. Dalam pengaturan cross-border insolvency, UU Kepailitan Indonesia belum mengakomodasi aturan mengenai cross-border insolvency dalam UNCITRAL Model Law. Hal tersebut menyulitkan proses eksekusi harta debitor pailit di luar negeri dan pemerintah Indonesia juga perlu melakukan perjanjian bilateral maupun multilateral dengan negara lain dalam hal pengakuan putusan pengadilan asing. ......Various problems that develop in various cases of bankruptcy that occurred in Indonesia still has many weaknesses, particularly when it concerns of foreign companies bankruptcy in the form of holding company. The domination of Company group business activity increasingly raising and have an important role in development. The construction of group company is legally separated but it is in one economic entity. The Suspension of Debt Payment Obligation PKPU petition by subsidiaries against its holding company that ends in insolvency in one of the group company is uncommon. The PKPU petition occurred in the bankruptcy case of AcrossAsia Limited as a holding company with legal domiciled in Hong Kong and bankrupted by its subsidiary PT. First Media Tbk. Is the PKPU petition of its case is in accordance with the principle of bankruptcy law, how is the responsibility of the insolvent holding company to its subsidiary in the one of the group company, and what 39 s are the obstacles in implementing of the cross border insolvency in bankruptcy law related to the foreign court resolution. The legal research method that used is legal normative research, with the statute, case, historical and analytical approach. The bankruptcy of a holding company by its subsidiary is an abuse of holding company powers and business tricks that take an advantage of bankruptcy legal instruments to avoid liability to the third parties. Bankruptcy law in Indonesia needs to formulating insolvency test to the debtor bankruptcy petitioner, due it is necessary to avoid bankruptcy against the company that is still solvent. In a cross border insolvency regulations, the Indonesian Bankruptcy Law has not accommodated the rules of UNCITRAL Model Law on cross border insolvency. This matter makes complicating the execution process of the bankrupt debtor assets abroad and Indonesian government also needs to enter into bilateral and multilateral agreements with other countries in the recognitions of foreign courts resolution.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48872
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felton Hartato
Abstrak :

Notaris dalam membuat akta lalai karena tidak memperhatikan lebih lanjut objek yang dibuat. Seorang istri dari debitur pailit mengagunkan tanah yang merupakan harta pailit sehingga perlu untuk diteliti lebih dalam. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis jangka waktunya serta akibat hukum dari kelalaian seorang notaris dalam membuat akta yang objeknya merupakan harta pailit. Metode penelitan yang digunakan adalah penelitian normatif dengan sumber data yaitu data sekunder. Kemudian diambil kesimpulan bahwa tidak ada berakhirnya atau jangka waktu tanggung jawab seorang debitur dalam suatu kasus kepailitan. Menurut Undang Undang Kepailitan setelah diputus pailit, harta debitur menjadi termasuk dalam harta pailit dan kemudian dapat di eksekusi. Apabila harta yang dimilikinya dapat menutupi semua utang yang dimilikinya, maka seorang debitur telah melaksanakan kewajibannya setelah adanya penetapan eksekusi dari pengadilan. Namun apabila harta pailit yang dimiliki belum dapat melaksanakan seluruh hutang yang dimilikinya, maka suatu saat apabila debitur menjalankan hidupnya dan melaksanakan usahanya kemudian mengalami kesuksesan dan telah memiliki harta kembali, maka kurator atau kreditur lainnya dapat melakukan pembukaan kasus pailit kembali guna memperoleh pembayaran dari hutangnya yang dulu dengan tanpa jangka waktu tertentu. Artinya sampai seumur hidup debitur hutang tersebut tetap tercatat. Serta dalam kasus yang diambil, dijelaskan bahwa istri dari debitur pailit, dengan sengaja mengagunkan sebidang tanah yang merupakan bagian dari harta pailit yang merupakan atas nama istri debitur pailit. Akan tetapi, karena tidak adanya perjanjian kawin, maka harta tersebut menjadi harta bersama. Maka, yang terjadi terhadap akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh notaris tersebut adalah batal demi hukum karena terjadinya Actio Pauliana.


Notary in making the deed negligent because it does not pay further attention to the object being made. A wife of a bankrupt debtor pledges the land which is bankrupt property so it needs to be investigated more deeply. The purpose of this study is to analyze the responsibility of the bankrupt debtor and the time period and legal consequences of the notary's failure to make a deed whose object is bankrupt property. The research method used is normative research with data sources, namely secondary data. Then conclusions are drawn that there is no end or duration of responsibility for a debtor in a bankruptcy case. According to the Bankruptcy Law after being declared bankrupt, the debtor's assets are included in the bankrupt assets and can then be executed. If the assets they have can cover all their debts, a debtor has fulfilled his obligations after the execution of the court is determined. However, if the bankruptcy assets that have not been able to carry out all the debt it has, then one day if the debtor runs his life and conducts his business then experiences success and has had the assets back, then the curator or other creditors can open a bankruptcy case again in order to obtain payment from his debts which are first with no specific period. This means that for the lifetime of the debtor the debt remains recorded. And in the case taken, it was explained that the wife of the bankrupt debtor deliberately pledged a piece of land that was part of the bankrupt property which was in the name of the bankrupt debtor's wife. However, due to the absence of a marriage agreement, the property becomes joint property. So, what happened to the deed of granting the mortgage right made by the notary was null and void by law because of the Actio Pauliana.

2020
T54812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Tarnama Kevin
Abstrak :
Personal Guarantee (Penjamin Pribadi) merupakan bentuk jaminan yang diberikan oleh individu (pihak ketiga) untuk menjamin kewajiban pembayaran utang Debitor utama kepada Kreditor. Namun, ketika Debitor utama tidak dapat lagi membayar utangnya tersebut, maka Personal Guarantee lah yang bertanggung jawab. Berdasarkan Pasal 1832 KUHPerdata, penjamin dapat diklasifikasikan sebagai debitor dikarenakan penjamin telah melepaskan hak istimewanya dengan menyatakan ketersediaannya tanggung renteng dengan debitur utama untuk melunasi utangnya. Penjamin mempunyai tanggung jawab untuk melunasi utang debitur tanpa perlu menunggu debitur lalai atau berhenti melaksanakan kewajibannya. Secara tidak langsung, penjamin telah mengambil peran sebagai debitor dan karenanya penjamin dapat diklasifikasikan sebagai debitor serta konsekuensinya adalah penjamin dapat dipailitkan dengan adanya putusan pengadilan. Namun, untuk dapat dipailitkan penjamin tersebut harus memenuhi syarat sebagaimana Pasal 2 ayat 1 UUK, penjamin harus memiliki kreditur lain yang minimal 1 utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil dari analisis ini mengatakan bahwa Personal Guarantee dapat bertanggung jawab terhadap hutang Debitor selama syarat-syaratnya terpenuhi. ......Personal Guarantee is a form of guarantee provided by an individual (third party) to guarantee the main debtor's debt payment obligations to creditors. However, when the main Debtor can no longer pay the debt, then the Personal Guarantee is responsible. Under Article 1832 of the Civil Code, a guarantor can be classified as a debtor because the guarantor has relinquished his privileges by stating his availability to be jointly and severally responsible with the main debtor to pay off his debts. The guarantor has the responsibility to pay off the debtor's debt without the need to wait for the debtor to default or stop carrying out his obligations. Indirectly, the guarantor has taken on the role of a debtor and therefore the guarantor can be classified as a debtor and the consequence is that the guarantor can go bankrupt with a court decision. However, in order to be bankrupt, the guarantor must meet the requirements as stated in Article 2 paragraph 1 of the UUK, the guarantor must have another creditor whose at least 1 debt has matured and can be collected. This analysis was carried out using normative juridical methods. The results of this analysis say that the Personal Guarantee can be responsible for the Debtor's debts as long as the conditions are met.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michaell Yose Andersen
Abstrak :
Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Keberadaan BUM Desa tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Namun terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam pengaturan tentang BUM Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tersebut yakni terkait dengan konstruksi yuridis dari BUM Desa sebagai suatu subyek hukum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dikarenakan dikarenakan penelitian ini mencoba untuk mengkaji norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan BUM Desa serta terkait dengan kepailitan badan usaha yaitu Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa: Pertama, BUM Desa merupakan badan usaha yang tidak berbadan hukum, namun dalam perkembangannya BUM Desa dapat menjadi badan usaha yang berbadan Hukum. Kedua, BUM Desa dapat diajukan Pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepalitian dan PKPU. ......Village Owned Enterprises (BUM Desa) are business entities whose capital is wholly or partly owned by the village through direct investment originating from separated village assets aimed at the welfare of the community. The existence of BUM Desa is regulated in Law Number 6 of 2014 concerning Villages. However, there is a legal deficiency or vacuum in the regulation regarding BUM Desa in Law Number 6 of 2014 which is related to the juridical construction of BUM Desa as a legal subject in Indonesia. . This study uses a normative juridical research method because this research tries to examine the legal norms contained in the applicable laws and regulations related to BUM Desa and related to bankruptcy of business entities, namely Law Number 6 of 2014 concerning Villages and Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The results of the research that has been carried out can be concluded that: First, BUM Desa is a business entity that is not a legal entity, but in its development BUM Desa can become a legal entity. Second, BUM Desa can be filed for bankruptcy based on Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations (Bankruptcy Law and PKPU.)
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>