Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 388 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elisa Indriasari
Abstrak :
Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi beberapa dekade terakhir membawa implikasi terhadap hampir semua sektor bisnis, termasuk sektor perbankan. Salah satu teknologi perbankan yang saat ini mulai marak diimplementasikan di Indonesia adalah Internet Banking. Bagi nasabah, teknologi ini menawarkan kemudahan untuk bertransaksi dari mana saja dan kapan saja. Bagi bank, layanan ini dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi karena mengurangi antrian dan jumlah cabang konvensional. Namun dalam implementasinya, ternyata banyak kendala yang dihadapi oleh pihak manajemen bank. Perlu strategi operasi yang tepat agar inovasi berbasis teknologi ini dapat berjalan dengan baik meraih potential market dan dapat meningkatkan profitabilitas bank. Penelitian ini akan mengkaji: Pertama, Segmentasi pasar Internet Banking. Kedua, Operasionalisasi Iayanan Internet Banking di Bank lnternasional Indonesia (BII). Terutama berkaitan dengan kualitas sistem dan kinerja dukungan pelayanan nasabah (CS Support). Ketiga, Penggunaan sistem dinamis untuk menjelaskan faktor dan mekanisme yang mempengaruhi kinerja operasional layanan. Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka metodologi penelitian sistem dinamis. Identifikasi permasalahan dilakukan melalui survey online kepada populasi yakni pengguna Internet Banking dan pasar potensial Internet Banking. Disamping juga dilakukan interview kepada staff operasional dan staff pengembang layanan ini. Hasil dari survey yang dilakukan adalah informasi mengenai karakteristik dari pengguna dan pasar potensial Internet Banking di Indonesia, serta persepsi nasabah terhadap kualitas sistem, kinerja dukungan layanan nasabah, tingkat kepuasan dan rekomendasi nasabah tersebut terhadaplayanan ini. Hasil survey menunjukkan bahwa kualitas dan kinerja dukungan pelayanan nasabah sudah cukup baik, yakni 76,126% dan 76,84%. Tingkat kepuasan nasabah dan tingkat rekomendasi pengguna terhadap layanan juga cukup tinggi, yakni 74,176% dan 76,679%. Namun industri perbankan merupakan industri yang bergerak di bidang jasa dan harus senantiasa berorientasi kepada konsumen dengan meningkatkan kualitas layanan secara terus menerus. Berdasarkan simulasi menggunakan software business simulation penulis merekomendasikan heberapa alternatif kebijakan guna meningkatkan kinerja operasi BII Internet Banking.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3020
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Untung Nugroho
Abstrak :
Proses pemberian independensi bank sentral di Indonesia dimulai dengan ditandatanganinya letter of intent kepada IMF tanggal 15 Januari 1998 oleh Presiden Soeharto. Langkah ini kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keppres No.23/1998 tentang pemberian kewenangan kepada Bank Indonesia 031) yang memberikan kebebasan dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan di bidang pengendalian moneter, penentuan suku bunga, kurs, dan kebijakan devisa. Langkah itu diikuti dengan keputusan untuk tidak lagi memasukkan Gubernur BI di dalam Kabinet Reforrnasi Presiden Habibie, akhir Mei 1998. Akhirnya pada bulan Mei 1999 dikeluarkan UU No.23 Tahun 1999 tentang BI yang secara resmi memberikan status BI sebagai lembaga yang independen. Pemberian status independen kepada BI ternyata menimbulkan kontroversi karena independensi BI dinilai berlebihan bahkan muncul pendapat keberadaan BI seperti negara dalam negara. Gleh karena itu karya akhir ini berupaya untuk menjelaskan seberapa besar tingkat independensi BI saat ini (berdasarkan UU No.23 Tahun 1999) dibandingkan dengan independensi BI di masa lalu (berdasarkan UU No.13 Tahun 1968) serta membandingkannya dengan independensi bank sentral negara-negara lain. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, karya akhir ini akan melakukan pengujian terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa tingkat independensi BI berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 lebih besar dibandingkan dengan tingkat independensi BI berdasarkan UU No.13 Tahun 1968. Metode yang akan digunakan dalam pengukuran tingkat independensi BI adalah metode Cukiennan, yaitu dengan melakukan penilaian terhadap 16 variabel dari 4 aspek independensi yang terkandung dalam UU BI yaitu aspek : (1) prosedur pengangkatan dan masa jabatan dewan gubernur; (2) formulasi kebijakan dan anggaran; (3) tujuan bank sentral; dan (4) pembatasan pemberian kredit kepada pemerintah. Masing-masing variabel akan dinilai dari angka 0 sampai dengan angka 1, semakin besar nilai variabel menunjukkan adanya tingkat independensi yang semakin tinggi. Cukierman mengakui bahwa penggunaan independensi legal saja sebagai indikator tingkat independensi bank sentral memiliki kelemalian yaitu, pertama, independensi legal tidak lengkap dan tidak dapat menjelaskan kondisi riil batasan wewenang antara bank sentral dan penguasa politik di suatu negara, kedua, apabila independensi legal menjelaskan cukup tegas dalam prakteknya mungkin berbeda. Namun demikian independensi legal dapat digunakan sebagai indikator yang panting dengan alasan, pertama, independensi legal mengindikasikan tingkat independensi yang diberikan legislatif kepada bank sentral, kedua, hampir semua penelitian sistematis mengenai independensi bank sentral yang telah dilakukan para ahli mempercayakan semata-mata pada indikator independensi legal. Selain pengukuran secara kuantitatif, karya akhir ini juga akan menganalisis secara kualitatif terhadap beberapa variabel independensi BI berdasarkan UU No.23 Tabun 1999 dengan menggunakan, pertama, pendekatan teoritis yang digunakan oleh Amtenbrink yaitu dengan menganalisis independensi bank sentral dari 4 (empat) aspek yaitu aspek institusional, fungsional, organisasional, dan keuangan. Kedua, interpretasi secara sistematis terhadap beberapa issue dalam UU BI yang menjadi bahan perdebatan publik. Berdasarkan hasil pengukuran dengan metode Cukierman, tingkat independensi BI berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 memperoleh nilai 0.67 sedangkan berdasarkan UU No.13 Tahun 1968 hanya memperoleh nilai 0.21. Kenaikan tingkat independensi yang signifikan terutama disebabkan adanya peningkatan independensi dalam penentuan kebijakan moneter dan independensi dewan gubernur BI. Tingkat independensi BI berdasarkan UU No.13 Tahun 1968 relatif rendah dibandingkan negara berkembang atau negara maju Iainnya. Bahkan urutan Indonesia masih di bawah Philipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Namun demikian berdasarkan UU No.23 Tahun 1999, tingkat independensi BI hampir sama dengan tingkat independensi negara Jarman dan melampaui tingkat independensi negara Amerika Serikat yang dianggap negara pelopor dalam independensi bank sentralnya. Kenaikan independensi yang sangat signifikan dalam penentuan kebijakan moneter tercantum dalam Pasal 10 UU No.23 Tahun 1999 yang menyatakan bawwa BI menentukan laju inflasi sebagai sasaran kestabilan nilai rupiah. Sasaran ini harus diumumkan dan kemudian menjadi goal untuk dicapai. Menurut penjelasannya, sasaran ini ditentukan secara tahunan menurut tahun kalender dan dapat berbeda dengan asumsi laju inflasi yang digunakan pemerintah dalam menyusun rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Di sini dapat menimbulkan masalah bagaimana kalau terjadi perbedaan tingkat inflasi yang dijadikan sasaran kebijakan moneter BI dengan asumsi pemerintah. Perbedaan ini dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan dunia usaha serta menambah ketidakpastian pasar yang justru harus dijaga. Selain hal tersebut di atas, sistem yang memberikan kebebasan bank sentral menentukan sendiri sasaran yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapainya juga mengandung kelemahan yaitu dapat mengurangi rasa tanggung jawab bank sentral dan membuka kemungkinan kurang cermatnya lembaga tersebut rnenentukan sasarannya. Bank sentral dapat saja menentukan sasaran yang gampang dicapai, akan tetapi belum tentu sasaran yang ditentukan itu relevan bagi pasar. Alternatif yang terbuka adalah bahwa sasaran laju inflasi ditentukan oleh pemerintah. Ini tidak menghilangkan independensi BI hanya saja independensinya bukan dalam penentuan sasaran tetapi dalam cara atau teknik mencapai sasaran termasuk menentukan sasaran antara dan pemilihan sarana (instrumen moneter) yang digunakan untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Jadi BI bebas menentukan sasaran antara dan teknik bagaimana mencapai sasaran laju inflasi yang telah ditentukan pemerintah. Sistem ini telah diterapkan di Selandia Baru. Blinder mengatakan bahwa independensi bank sentral berarti bahwa lembaga ini bebas menentukan bagaimana cara mencapai sasaran yang telah ditentukan, dan keputusan-keputusan yang sudah dibuatnya sangat sukar bagi lembaga lain di dalam pemerintahan untuk mengubahnya. Akan tetapi kebebasan menentukan cara mencapai sasaran tidak berarti bank sentral menentukan sendiri sasaran tersebut. Sasaran ini ditentukan dalam sistem demokrasi oleh pejabat yang dipilih rakyat dan bank sentral menundukkan diri pada keinginan publik. Dalam sistem yang berlaku di Indonesia, presiden yang dipilih rakyat yang menentukan sasaran inflasi. Sistem penentuan sasaran moneter oleh presiden tetap memberikan kedudukan independen kepada bank sentral. Kebebasan yang diberikan kepada bank sentral bukan dalam menentukan sasaran moneter, tetapi dalam menentukan bagaimana cara mencapai sasaran tersebut. Fischer menyebutkan posisi bank sentral yang dernikian disebut sebagai instrument independence tetapi bukan goal independence. Dalam menentukan sasaran tunggal laju inflasi tersebut hendaknya BI dan pemerintah secara tegas menerapkan kerangka .kerja inflation targeting framework. Hal ini terutama untuk menciptakan kredibilitas bank sentral dengan mengumumkan target inflasi secara eksplisit dan diumumkan kepada publik sehingga masyarakat akan mengetahui sejauh mana usaha bank sentral mencapai target yang sudah diumumkan tersebut. Kredibilitas bank sentral ini penting karena akan mempengaruhi publik dalam membuat ekspektasi inflasi. Jika publik percaya bahwa bank sentral akan memegang janjinya untuk mencapai target inflasi, publik akan mengkalkulasi kegiatan usahanya berdasarkan tingkat inflasi yang sudah dijanjikan yang pada gilirannya akan membantu usaha bank sentral untuk menjaga kestabilan harga.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T4981
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supangkat, Teguh
Abstrak :
Sejak pertengahan tahun 1997, Indonesia mengalami krisis moneter yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Dengan adanya krisis tersebut, kinerja perbankan di Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang memburuk. Agar dapat bangkit dari kondisi krisis moneter yang berdampak pada terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, maka salah satu langkah awal yang dilakukan Pemerintah adalah perbaikan (reformasi) di sektor ekonomi, terutama restrukturisasi di bidang perbankan. Restrukturisasi di bidang perbankan ini dimaksudkan untuk memacu tingkat kesehatan bank melalui berbagai tindakan seperti pemulihan tingkat solvabilitas, profitabilitas dan menempatkan kembali fungsi bank sebagai lembaga intermediasi. Pemulihan solvabilitas bank (net worth) adalah langkah yang berhubungan dengan penambahan modal/ekuitas dan pembenahan terhadap kualitas aktiva produktif. Penilaian kinerja bank oleh lembaga pengawas bank di beberapa negara terdapat perbedaan namun sebagai konsep dasar adalah penilaian menggunakan CAMEL (Capital, Assets Quality, Managements, Earnings dan Liabilities). Penilaian faktor CAMEL dimulai dengan menghitung nilai kredit dari setiap komponen dari masing-masing faktor. Dalam faktor permodalan dikenal rasio CAR sebagai faktor penilai kecukupan modal bank, sedangkan faktor kualitas aktiva produktif menggunakan dua rasio perhitungan yaitu rasio kualitas aktiva produktif dan rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif. Penilaian manajemen atas dasar pertanyaan atau pernyataan yang meliputi 100 aspek pertanyaan, sedangkan faktor rentabilitas menggunakan dua rasio yaitu rasio ROA dan rasio BOPO serta faktor terakhir yaitu faktor likuiditas menggunakan dua rasio yaitu rasio LDR dan rasio antar bank. Untuk memperoleh nilai kredit, hasil kuantifikasi faktor CAMEL dikurangi atau ditambah dengan nilai kredit hasil pelaksanaan ketentuan tertentu yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan bank. Atas dasar jumlah nilai kredit ini, diberikan predikat tingkat kesehatan yaitu Sehat, Cukup Sehat, Kurang Sehat dan Tidak Sehat. Penilaian kinerja dengan model CAMEL masih belum menggambarkan kondisi bank secara keseluruhan, oleh karena itu dilakukan analisis dengan metode "stress testing" dan analisis sensitivitas terutama untuk melihat kecukupan modal bank. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa kinerja bank pada akhir tahun 1997 masih menunjukkan kondisi yang baik dengan CAR bank secara keseluruhan sebesar 9,19% dan 10 bank yang diteliti sebesar 9,1.1%. Setelah adanya krisis perbankan, kinerja bank pada umumnya menurun sangat drastis dan juga kinerja bank yang dilakukan rekapitalisasi baik dari segi permodalan, aktiva produktif, rentabilitas dan likuiditas. Modal bank rekapitalisasi mengalami penurunan dari Desember 1997 sebesar 9,11 menjadi negatif 37,99% bulan Desember 1998 dan juga modal bank secara keseluruhan negatif 15,68%. Selain itu kualitas aktiva produktif dan NPL bank yang diteliti memburuk dengan rasio KAP 39,95% dan rasio NPL 61,94%. Sementara itu untuk ROA bank secara keseluruhan negatif 18,76% dan bank rekapitalisasi negatif 39,72%. Dibandingkan dengan standar tingkat kesehatan (CAMEL) semua rasio baik untuk keseluruhan bank maupun bank rekapitalisasi di bawah standar tingkat kesehatan. Program rekapitalisasi yang dilakukan pemerintah berdampak pada perubahan kinerja bank yang tercermin dari adanya perubahan rasio CAR dari rasio negatif sebesar 77,6% menjadi positif 17,8%, rasio KAP dari rata-rata 50,4% menjadi 7,9%, rasio NPL dari rata-rata 62,3% menjadi 23,8%, rasio ROA dari rata-rata negatif 28,0% menjadi negatif 19,2% dan rasio LDR dari rata-rata sebesar 86,5% menjadi 39,6%. Namun demikian sampai dengan Desember 1999 kinerja bank rekapitalisasi yang diteliti, masih belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Dari segi permodalan masih terdapat 4 bank yang modalnya di bawah 8%, sampai dengan posisi bulan Desember 2000 kondisi CAR bank rekapitalisasi rata-rata sudah di atas standar yaitu 19,58% namun masih terdapat 3 bank yang dibawah 8%. Tiga bank yang dibawah standar ini adalah bank-bank swasta yang direkapitalisasi terlebih dahulu yang disebabkan antara lain klaim inter bank yang belum dapat diselesaikan, kondisi perkreditan yang terus memburuk dan belum selesainya program restrukturisasi kredit. Dari segi NPL untuk mencapai rasio 5% rata-rata baru mencapai 15,52% dan baru 2 bank rekapitalisasi yang telah memenuhi. Perilaku portofolio bank pada saat sebelum rekapitalisasi menunjukkan suatu perilaku portofolio yang normal dimana sumber dana sebagian besar ditempatkan pada porsi kredit yang diberikan pada tahun 1997 sebesar 18,8% dan tahun 1998 sebesar 85,1% yang berarti proses intermediasi dapat berjalan dengan baik. Namun pada periode 1999 dan 2000 ada perubahan perilaku portofolio bank, dimana penyediaan dan pada periode tersebut lebih banyak pada SBI dan Obligasi dengan komposisi 60,7% dan 63,6%, sedangkan porsi kredit untuk bank yang direkap sebesar 35,7% dan 26,2%. Dengan adanya struktur portofolio yang demikian maka proses intermediasi perbankan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari hasil analisis sensitivitas apabila dilakukan swap obligasi pemerintah dengan kredit berakibat pada perubahan CAR yang cukup drastis dari rata-rata CAR bulan Juni 2001 sebesar 18,37% turun menjadi 8,02%. Sedangkan apabila obligasi dilakukan trading 30% maka CAR berubah dari 18,37% menjadi 11,31% dan terdapat 4 bank yang tidak memenuhi CAR 8%. Hasil metode "stress testing" apabila ada perubahan pertumbuhan kredit CAR bank yang direkapitalisasi turun dari rata-rata 20,8% menjadi 12,06%, sedangkan apabila dibarengi dengan kenaikan suku bunga 2% maka CAR bank menjadi 9,27%. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, agar restrukturisasi dapat berjalan dengan baik diperlukan prasyarat kondisi ekonomi yang stabil agar kegiatan bank "sustainable" dan perlu didampingi penyehatan sektor riil. Prasyarat lain yaitu mencabut ketentuan-ketentuan yang "counter productive", perbaikan aspek legal dan sumber daya manusia yang kompeten. Terhadap bank yang belum dapat mencapai CAR 8% dapat ditempuh dengan cara merger namun perlu dilakukan penyehatan aset bank yang akan di merger terlebih dahulu terutama pemindahan kredit yang bermasalah dan penyelesaian klaim inter bank. Disisi lain diperlukan pengawasan bank yang lebih baik dengan ketentuan-ketentuan yang telah disesuaikan dengan standar internasional dan mengarahkan bank untuk menerapkan praktek good coorporate governance.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T7335
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy Ariyadi Suwandi
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan antara Bank Umum Swasta Nasional Devisa (BUSN Devisa) dan Bank Asing sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997 serta untuk mengetahui perubahan fungsi biaya bank antara sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997. Selain itu penelitian bertujuan juga untuk mengetahui perbedaan daya tahan terhadap krisis antara BUSN Devisa dan Bank Asing, serta mengevaluasi ketepatan penggunaan rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank.

Data yang digunakan adalah data sekunder dari Bank Indonesia untuk posisi akhir tahun 1996-2002. Sampel penelitian diambil sebanyak 34 bank sample yang terdiri dari 24 BUSN Devisa dan 10 bank asing. Untuk kelompok BUSN Devisa, sampel diambil sebanyak 24 bank dari populasi sebanyak 38 bank. Sementara itu, untuk bank asing diambil dari seluruh populasi bank yaitu 10 bank asing.

Analisis data dilakukan dengan cara
  1. menghitung rasio-rasio keuangan mencakup rasio likuiditas, solvabilitas,
  2. rentabilitas dan kualitas aktiva produktif;
  3. melakukan estimasi fungsi biaya bank dengan persamaan regresi tinier berganda;
  4. melakukan uji statistik untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan antara BUSN Devisa dan bank asing, perbedaan kinerja keuangan bank sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997, serta perbedaan fungsi biaya bank antara sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997. Uji statistik yang digunakan ada tiga yaitu (1) Mann-Whitney Test-, (2) Wilcoxon Signed Rank Test, dan (3) Uji Data Panel dengan Variabel Dummy.
Dari hasil perbandingan dengan melihat rasio-rasio tingkat kesehatan secara individual terlihat bahwa Bank Asing relative masih lebih baik dibandingkan dengan BUSN - Devisa, demikian pula jika dilihat secara keseluruhan tingkat kesehatannya maupun dan rasio biaya dibagi asset ternyata Bank Asing masih lebih baik dibandingkan BUSN - Devisa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa walaupun Bank Asing terkena dampak krisis seperti BUSN - Devisa namun pemulihannya relative lebih cepat dibandingkan BUSN - Devisa. Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa untuk beberapa rasio yaitu CAR, PPAP, ROA, BOPO terdapat perbedaan yang signifikan antara dua kelompok bank tersebut. Dad uji statistik diperoleh pula bahwa kecuali CAR dan rasio PPAP, hampir seluruh rasla keuangan yang diuji menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kinerja keuangan bank sampel sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997.

Berdasarkan hasil estimasi fungsi biaya bank dari 34 bank sampel selama 6 tahun dengan memasukkan variabel dummy, diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara fungsi biaya bank sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997. Variabel yang secara signifikan mempengaruhi biaya total bank adalah tabungan dan deposito.

Berdasarkan angka rasio keuangan kelompok Bank Asing diperoleh hasil bahwa dalam beberapa rasio keuangan tidak mengalami perubdaan yang drastis selama selama periode krisis. Hal ini disebabkan bank asing berstatus kantor cabang sehingga kantor pusat bank asing dapat mendukung dalam hal terdapat permasalahan likuiditas atau permodalan. Berdasarkan evaluasi kinerja keuangan bank sejak periode krisis ekonomi 1997 diperoleh simpulan bahwa diperlukan tambahan tolok ukur yang bersifat kualitatif dan kuantitatif untuk melengkapi rasio keuangan yang telali digunakan. Selama ini penilaian kondisi bank hanya didasarkan pada risiko kredit, sehingga perlu diperluas dengan memperhitungkan risiko pasar.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T7338
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Ferry
Abstrak :
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya antrian layanan begitu panjang pada sebuah bank. Faktor-faktor yang menjadi penyebab tersebut; seperti : model, struktur antrian dan jumlah pelayanan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian untuk meningkatkan pelayanan, terutama dalam memperpendek waktu layanan yang diberikan saat nasabah datang untuk melakukan transaksi di bank. Metode Penelitian yang digunakan adalah :
  • Pengamatan selama jangka waktu 20 (dua puluh) had kerja dimulai tanggal 25 Maret - 22 April 2002 atas transaksi yang terjadi di front line pada Bank BNI Cabang Q dari pukul 08.00 Wib sampai 16.00 Wib.
  • Pengumpulan data primer melalui penelitian lapangan sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan melakukan desk research.
Cara pengumpulan data dengan melakukan teknik-teknik standar yaitu dengan mengunakan data laporan dari mesin antrian di Bank BN1 Cabang Q. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam pengkajian dan analisis adalah teori antrian multy channel single phase yang perhitungannya dilaksanakan dengan menggunakan perangkat lunak komputer Quantitative Method modul waiting lines. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pelayanan 8 (delapan) teller pada tanggal sibuk ( tanggal 25 s.d 5 ) kurang optimal ditandai dengan terjadinya antrian nasabah yang cukup lama. Saran yang diberikan dalam rangka meningkatkan pelayanan ialah dengan melakukan penambahan maksimal 2 (dua) orang menjadi 10 (sepuluh) teller pada setiap jam 08.00 -- 11.00 Wib, namun tetap dapat menggunakan 8 (delapan) teller untuk jam 11.00 - 14.00 Wib, dan mengurangi jumlah teller menjadi 5 (lima) untuk jam 14.00 -- 16.00 Wib sehingga biaya akibat penambahan teller tidak terlalu besar.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7346
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Darmadi Sudibyo
Abstrak :
Kemiskinan yang mengakibatkan kerugian dalam berbagai segi kehidupan perlu penanganan secara tepat, agar keadaan tersebut dapat segera teratasi. Timbulnya kemiskinan tersebut diakibatkan karena belum adanya pemerataan pendapatan dalam masyarakat. Untuk itu agar ketimpangan tersebut dapat dikurangi maka diperlukan suatu kebijakan redistribusi pendapatan.

Salah satu kebijakan yang telah ditempuh di Indonesia dalam rangka redistribusi pendapatan adalah melalui Pelaksanaan Proyek Kredit Mikro (PKM) yang telah dimulai pada akhir tahun 1995 dan berakhir tahun 2000. PKM tersebut merupakan proyek bersama antara Bank Indonesia dengan Asian Development Bank.

Sumber dana PKM berasal dari pinjaman lunak _+ Asian Development Bank scbesar 60 % dan 40 % dari Bank Indonesia yang seluruhnya berjumlah _+ US $ 42,5 juta.

Berkenaan dengan itu, menarik kiranya dilakukan kajian terhadap pelaksanaan PKM dimaksud, untuk memperoleh gambaran mengenai : implikasi PKM terhadap pendapatan peserta proyek, apakah jenis kelamin dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan, seberapa besar dampak yang diberikan oleh PKM terhadap pendapatan midterm nasabah mikro, bagaimana mengatasi faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaan PKM, serta bagaimana perm Bank Indonesia dalam pemberdayaan BPR untuk mengembangkan pengusaha kecil dan mikro.

Metodologi penelitian yang digunakan terdiri dari Analisis Beda Rata-rata serta Model Regresi Log Linier. Model i.ni dapat digunakan untuk memproyeksikan peluang peningkatan pendapatan nasabah midterm mikro sehubungan dengan adanya PKM. Variabel-variabel penting yang diduga mempengaruhi pendapatan midterm nasabah ini adalah : pendapatan baseline nasabah mikro, pinjaman baseline (PKM), jenis kelamin serta tingkat pendidikan.

Sumber data berasal dari Biro Kredit Bank Indonesia, disamping itu somber data juga berasal dari kepustakaan melalui laporan dan jurnal ilmiah serta informasi lainnya yang relevan yang ada di Bank Indonesia.

Dari hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kenaikan pendapatan sebelum & scsudah mengikuti PKM sebesar 29,49 %, hasil tersebut telah memperhitungkan tingkat inflasi dan tingkat suku bunga.

Sesuai hasil individual tes yang dihasilkan diketahui bahwa jenis kelamin dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh pada pendapatan midtermnya.

Pengusaha Mikro mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. Karena memiliki keunggulan dalam kesempatan berusaha dan penyerapan tenaga kerja.

Terkait dengan peran Bank Indonesia dalam pemberdayaan BPR untuk pengembangan usaha kecil dan mikro dapat dilaksanakan melalui pengaturan di sektor perbankan (khususnya BPR) dalam hal penyaluran kredit.
2003
T7350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emmy Sulastri
Abstrak :
Tanggapan, masyarakat terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang selama ini lebih dikenal dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) demikian beragam dan seringkali bertentangan serta parsial. Istilah BLBI secara resmi baru dipergunakan oleh Bank Indonesia dalam bulan Maret 199E dan terdiri dari semua fasilitas Bank Indonesia yang tersedia bagi perbankan di luar KLBI. Pada awalnya BLBI merupakan pinjaman likulddas oleh bank dari Bank Indonesia- sehubungan dengan penarikan besar-besaran simpanan nasabah yang tidak dapat ditanggulangi oleh bank secara individual. Sebagian pinjaman ini kemudian dialihkan menjadi pinjaman bank kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagai lembaga khusus untuk penyehatan bank-bank yang sakit", setelah bank-bank tersebut dibekukan operasinya (BBO) atau diambil alih manajemen dan kepemilikannya (BTO) oleh BPPN, sedangkan BPPN meminjam dananya dari Bank Indonesia. Sementara itu dana antar bank sebagai sumber likuiditas utama sebagian besar macet karena rendahnya kepercayaan terhadap perbankan. Bagaimanapun juga sebagai pinjaman, BLBI harus dikembalikan. Dalam keadaan normal untuk mengembalikan pinjaman tersebut oleh bank harus diciptakan sumber penerimaan (di sisi aktiva). Sayangnya dalam keadaan krisis, di mana banyak sektor riil mengalami kesulitan mengelola usahanya penerimaan dari bunga pinjaman dan pengembatian angsuran praktis sangat kecil. Bank beroperasi dalam posisi negatif spread yaitu pembayaran bunga simpanan nasabah Iebih tinggi dari pada bunga yang diterima. Dunia usaha mengalami kesulitan membayar kembali pinjamannya terutama pinjaman dalam valuta asing yang membengkak nilainya karena melemahnya rupiah. Pemberian BLB1 tersebut menimbulkan tanggung jawab perdata bank penerima bahkan tanggung jawab perdata bagi organ perseroan sehubungan dengan ketidakmampuan bank melunasi pinjaman BLBI. Berkaitan dengan persoalan tersebut, tesis ini menyoroti dan mengevaluasi bagaimana peranan tanggung jawab perdata organ perseroan bank take over terhadap pelunasan BLBI_ Secara garis besar tesis ini membahas : (1). Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas bank. (2). Mekanisme pemberian dana bantuan Iikuiditas Bank Indonesia (BLBI) sehubungan dengan penerima BLBI sebagai Perseroan Terbatas yang harus pula tunduk pada ketentuan (UUPT). (3). Analisls Tanggung Jawab Perdata, Direksi, Komisaris, Pemegang Saham Bank Take Over PT. Bank Central Asia dan PT. Bank Danamon Indonesia terhadap pelunasan BLBI.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T7653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulmi
Abstrak :
Tidak dapat dipungkiri bahwa program penjaminan pemerintah terhadap dana masyarakat telah mampu menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Tumbuhnya kepercayaan masayarakat kepada perbankan terlihat dari mulai mengalirnya dana kepada perbankan, namun karena kondisi perekonomian dan sosial politik lainnya belum mendukung, bank-bank masih enggan untuk menyalurkan kredit kepada sektor riil. Akibatnya terjadi over likuid di pasar uang. Kondisi ini tidak mendukung terhadap ekonomi moneter di Indonesia. Salah satu piranti moneter yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk mengendalikan jumlah uang beredar adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kecenderungan peningkatan suku bunga SBI akhir-akhir ini adalah merupakan dampak upaya Bank Indonesia untuk mengurangi jumlah uang beredar. Dengan menaikkan suku bunga SBI diharapkan perbankan juga akan berupaya untuk menaikkan suku bunga agar lebih merangsang masyarakat untuk menempatkan uangnya di bank. Strategi Bank Indonesia tersebut tampaknya kurang/tidak memberikan hasil yang memuaskan. Kenaikan suku bunga SBI tidak secara baik diikuti oleh perbankan untuk menaikkan suku bunga baik deposito, antar bank maupun kredit. Kenaikan dan penurunan suku bunga SBI tidak direspon oleh suku bunga pasar secara simetris khususnya kredit. Pada periode suku bunga cenderung naik, perubahan suku bunga SBI hampir tidak direspon secara baik oleh perubahan suku bunga pasar. Sebaliknya pada periode suku bunga pasar cenderung turun, perubahan suku bunga pasar cenderung mengikuti perubahan suku bunga SBI. Dalam kondisi suku bunga turun, suku bunga kredit lebih rigid dibandingkan dengan suku bunga deposito dan Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Hal ini dapat dipahami karena secara teori bank-bank akan berperilaku memaksimumkan profit dan meminimumkan biaya. Kegagalan Bank Indonesia mengendalikan suku bunga pasar akhir-akhir ini antara lain disebabkan dari belum berjalannya fungsi intermediasi perbankan dengan baik. Reknit- masih tingginya non performing loan (NPL), meningkatnya risiko kredit yang dihadapi bank serta amortisasi kerugian merupakan salah satu sebab enggannya perbankan menyalurkan kredit. Di sisi lain terdapat 581 dengan suku bunga relatif tinggi tanpa risiko. Kondisi ini memberikan alternatif yang menguntungkan bagi bank-bank untuk menanamkan dananya pada SBI dan pada kredit.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T10467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryati Rizal
Abstrak :
Krisis ekonomi 1997 semakin menyadarkan bahwa fondasi perekonomian akan semakin kuat, bila perekonomian rakyat diperkuat. Karena sebagian besar rakyat Indonesia tinggal di pedesaan, maka konsekuensinya, perekonomian desa harus diperkuat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dibangun lembaga keuangan pedesaan yang mampu menjadi perantara keuangan pedesaan. Salah satu lembaga keuangan yang diharapkan dapat menjalankan fungsi tersebut di atas adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pembatasan wilayah operasional BPR yang hanya di pedesaan/kecamatan secara teoritis akan mendorong BPR menjangkau masyarakat desa, yang secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong aktivitas perekonomian desa. Dengan demikian, BPR dapat diharapkan sebagai lembaga keuangan yang mempunyai peran dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan, yang dalam jangka panjang akan memperkuat perekonomian desa/rakyat. Kemampuan BPR memenuhi harapan yang dibebankan, sangat ditentukan oleh kinerja dan peran BPR. Kinerja BPR yang semakin baik akan memungkinkan BPR meningkatkan perannya. Sebaliknya peran BPR yang semakin besar, dapat meningkatkan kinerjanya, karena tercapainya skala usaha yang lebih efisien. Untuk melihat bagaimana kenyataan sebenarnya, maka studi tentang peran dan kinerja BPR di Sumatera Barat ini dilakukan dengan menggunakan analisi deskriptif dan regresi baik dengan menggunakan data time series 1991-2002 maupun cross section 2001 dan 2002. Dengan menggunakan analisis deskriptif, hasil studi menunjukkan bahwa kinerja BPR di Sumatera Barat relatif baik di ukur dari angka CAR, ROA, ROE dan NPL. Angka-angka tersebut umumnya lebih baik dari standar yang ditetapkan BI. Peran BPR diukur dari share volume usaha, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kerdit yang disalurkan dan pengaruh terhadap penyaluran kredit maupun jumlah nasabah (rekening) yang berhasil dijangkau, juga sangat mengesankan. Misalnya saja pertumbuhan volume usaha, jumlah dana yang dihimpun dan nilai nominal kredit yang disalurkan selama periode 1991-2002 adalah beberapa kali lipat pertumbuhan volume usaha dan jumlah kredit yang disalurkan Bank Umum. Dengan menggunakan analisis regresi dapat ditarik beberapa kesimpulan: - BPR di Sumatera Barat telah menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik, karena dana yang dihimpun dan modal disetor mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap jumlah kredit yang disalurkan ke beberapa sektor ekonomi. - Perkembangan BPR di Sumatera Barat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian makro dan sebaliknya BPR mempunyai peran siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, karena perannya yang signifikan terhadap penyaluran kredit konsumsi, investasi dan modal kerja. - BPR di Sumatera Barat umumnya melakukan strategi internal financing, yaitu mengandalkan pembiayaan usaha terutama dari hasil laba operasional. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan peran BPR dipengaruhi oleh pertumbuhan kinerjanya. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikemukakan bahwa prospek usaha BPR di Sumatera Barat sangat baik. Kesimpulan ini makin diperkuat oleh fakta bahwa struktur perekonomian Sumatera Barat, sangat didominasi oleh kegiatan produksi pertanian dan jasa yang umumnya berskala kecil-menengah. Jenis-jenis usaha tersebut merupakan pasar yang sangat potensil bagi berkembangnya produk BPR. Meskipun kinerja, peran dan prospek BPR di Sumatera Barat, sangat baik, namun ada beberapa permasalahan yang dapat menjadi kendala. Salah satu masalah terbesar adalah komitmen pemilik/pengelola BPR. Pertama, masih banyak BPR yang belum memenuhi ketentuan, BI. Dua ketentuan yang paling banyak dilanggar adalah LDR dan permodalan. Sampai Desember 2002, dari 104 BPR, sekitar 39 BPR yang angka LDR-nya melebihi 115% atau melebih batas maksimum yang ditetapkan BI. Sementara itu masih ada 6 BPR yang sama sekali belum menyetorkan modal dan 32 BPR yang belum memenuhi ketentuan modal disetor. Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah inefisiensi pengelolaan. Masalah ini ditunjukkan dari masih kecilnya skala usaha BPR, dimana sampai Desember 2002, masih separuh BPR memiliki skala usaha lebih kecil dari Rp l miliar. Angka CAR rata-rata yang sangat tinggi juga memberikan indikasi inefisiensi pengelolaan, karena angka tersebut mengindikasikan cukup besarnya dana atau sumber daya keuangan BPR yang menganggur.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maswar Abdi
Abstrak :
ABSTRAK
Permasalahan yang dihadapi perbankan nasional tak pernah ada habisnya, bahkan terkesan cenderung bertambah banyak. Belum lagi satu masalah tuntas, sudah muncul masalah lain, sehingga relatif sulit untuk mengatasinya. Berbagai masalah yang muncul dalam dunia perbankan nasional, tidak terlepas dan pengaruh Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 88) yang membuka lebar-lebar izin pendirian bank. Dengan adanya deregulasi tersebut, dunia perbankan mengalami perkembangan yang pesat, bahkan terkesan tidak terkendali.

Setelah adanya Pakto 88, ekspansi bank-bank swasta tidak dapat dibendung lagi. Jumlah bank pada akhir 1988 hanya 116 bank meningkat menjadi 240 bank pada tahun 1995 dari menurun menjadi 237 bank pada akhir tahun 1996 karena beberapa bank melakukan merger.
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>