Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sheila Meitania Utami
"Kerontokan rambut yang sering diakhiri kebotakan merupakan problema estetik yang sangat dikhawatirkan setiap orang. Akar rimpang tanaman akar manis telah diakui memiliki aktivitas pertumbuhan rambut berdasarkan penggunaan tradisional. Pada penelitian ini, 2,5%, 5% dan 10% ekstrak akar manis diformulasikan dalam bentuk hair tonic karena penggunaannya lebih mudah dan tidak lengket seperti sediaan semisolid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas pertumbuhan rambut ekstrak etanol akar manis, stabilitas fisik dan keamanannya. Uji aktivitas pertumbuhan rambut dilakukan dengan mengoleskan sediaan hair tonic pada punggung kelinci dan diukur panjang rambut, ketebalan rambut (diameter rambut), bobot rambut dan kelebatan rambut. Uji stabilitas fisik dilakukan pada penyimpanan suhu rendah (4oC±2oC), suhu ruang (25oC±2oC) dan suhu tinggi (40oC±2oC) serta cycling test. Analisa kuantitatif asam glisirisat dalam ekstrak etanol akar manis dengan spektrofotometer UV menunjukkan kadar sebesar 156,65 mg/g atau 15,665%. Uji keamanan dilakukan dengan uji iritasi mata dengan metode HET-CAM dan uji iritasi kulit dengan metode patch test. Hasil menunjukkan bahwa sediaan hair tonic ekstrak akar manis 5% dan 10% memiliki aktivitas pertumbuhan rambut yang setara dan bahkan lebih baik dibandingkan kontrol positif minoksidil 2%. Hasil uji stabilitas fisik menunjukkan sediaan hair tonic ekstrak akar manis memiliki stabilitas fisik yang baik. Dari hasil uji keamanan iritasi kulit tidak terjadi iritasi, sedangkan hasil uji HET-CAM menunjukkan sediaan mengiritasi ringan pada mata.

Hair loss which is often terminated to alopecia becomes a very worried aesthetic problem for everyone. Rhizome root of liquorice plant has been recognized to have hair growth activity by traditional use. In this study, 2.5%, 5% and 10% liquorice extract formulated in the form of hair tonic because of its use easier and not sticky like semisolid dosage. The purpose of this study was to determine the hair growth activity of ethanol extract of liquorice, physical stability and safety. Hair growth activity test conducted by rubbing hair tonic preparations on the rabbit?s back and measured the hair length, hair thickness, hair weight and hair density. Quantitative analysis of glycyrrhizic acid from ethanol extract of licorice with UV Spectrophotometer showed level about 156,65 mg/g or 15,665%. Physical stability test performed at low temperature storage (4°C±2°C), room temperature (25°C±2°C) and high temperature (40°C±2°C) as well as cycling test. Safety test has done by eye irritation test with HET-CAM method and skin irritation test with patch test method. The results showed that the hair tonic containing liquorice extract 5% and 10% have an equivalent activity of hair growth and even better than the positive control minoxidil 2%. Physical stability test showed that liquorice extract hair tonic has good physical stability. The results of safety test showed with no skin irritation, meanwhile HET-CAM test showed that the hair tonic containing liquorice extract has mild eye irritation.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
T45228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lili Legiawati
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
PGB-pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Andira Hardjodipuro
"Latar belakang: Alopesia androgenetik (AAG) merupakan penyebab kebotakan rambut yang paling sering ditemui dan mengganggu kualitas hidup. Meskipun AAG tidak mengancam nyawa, namun berbagai studi menunjukkan bahwa AAG tidak hanya dianggap sebagai penyakit kulit/estetik semata namun berkaitan dengan kondisi-kondisi sistemik, salah satunya adalah sindrom metabolik (SM). Beberapa studi menunjukkan juga bahwa pola kebotakan pada AAG memiliki risiko yang berbeda terhadap penyakit tertentu. Penelitian ini bertujuan hubungan antara pola kebotakan AAG tipe verteks dan tipe frontal terhadap SM.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang yang dilakukan terhadap 24 laki-laki dengan AAG tipe verteks dan 24 laki-laki dengan AAG tipe frontal. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis AAG berdasarkan skala Norwood-Hamilton, serta dilakukan pengambilan foto, pemeriksaan trikoskopi, TrichoScan® pada masing-masing subjek penelitian. Sindrom metabolik ditegakkan berdasarkan kriteria National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium darah vena.
Hasil: Prevalensi SM pada kelompok AAG tipe verteks adalah sebesar 37,5%, sedangkan pada tipe frontal sebesar 20,8%. Tidak didapatkan hubungan antara SM dengan AAG tipe verteks ataupun tipe frontal (p = 0,341). Pada kelompok AAG tipe verteks didapatkan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok AAG tipe frontal (p = 0,043). Tidak ada perbedaan bermakna gambaran trikoskopi ataupun TrichoScan® antara AAG tipe verteks dan tipe frontal.
Kesimpulan: Prevalensi SM pada kelompok AAG tipe verteks lebih besar dibandingkan pada kelompok AAG tipe frontal. Tidak ada hubungan bermakna antara pola kebotakan AAG dengan SM. Tidak ada hubungan bermakna gambaran trikoskopi dan TrichoScan® antara kelompok AAG tipe verteks dengan tipe frontal.

Background: Androgenetic alopecia (AAG) is the most common cause of hair loss, impacting quality of life. Although AAG is not life-threatening, various studies indicate that it is not merely a cosmetic skin condition but is associated with specific systemic conditions, including metabolic syndrome (MS). Some studies also suggest that the pattern of baldness in AAG poses varying risks for specific diseases. This research aims to explore the relationship between AAG vertex and frontal patterns of baldness and metabolic syndrome.
Methods: This study adopts a cross-sectional design involving 24 males with vertex AAG and 24 males with frontal AAG. Anamnesis and physical examinations were conducted to diagnose AAG using the Norwood-Hamilton scale. Each subject underwent photography, trichoscopy, and TrichoScan®, examination. Metabolic syndrome diagnosis followed the National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III) criteria through physical examination and venous blood laboratory tests.
Results: The prevalence of metabolic syndrome in the AAG vertex group is 37.5%, whereas in the frontal group, it is 20.8%. No significant relationship was found between metabolic syndrome and AAG vertex or frontal types (p = 0.341). The AAG vertex group showed a significantly higher prevalence of hypertension than the frontal group (p = 0.043). There were no significant differences in trichoscopy or TrichoScan®¸ findings between AAG vertex and frontal types.
Conclusion: The prevalence of metabolic syndrome is higher in the AAG vertex group compared to the AAG frontal group. There is no significant association between metabolic syndrome and the pattern of AAG baldness. Additionally, there is no significant difference in trichoscopy and TrichoScan®¸ findings between AAG vertex and frontal groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rana Fasya Nuzula
"Latar Belakang Alopesia androgenetik pria (AGA), atau pola kebotakan pria, memengaruhi 30-50% pria pada usia 50 tahun dan dipengaruhi oleh faktor genetik dan hormonal. Faktor lingkungan seperti konsumsi alkohol juga dapat berperan dalam perkembangan AGA. Alkohol dikonsumsi secara luas dan menimbulkan risiko kesehatan, dan kemungkinan hubungan antara konsumsi alkohol dan AGA telah dikemukakan, terutama pada pria. Studi ini mengeksplorasi kemungkinan hubungan antara konsumsi alkohol dan AGA pria di Jabodetabek, Indonesia, yang bertujuan untuk memperjelas hubungan ini dan implikasinya terhadap kesehatan masyarakat. Metode Studi potong lintang analitik ini menggunakan data sekunder dari populasi yang tinggal di Jabodetabek, Indonesia. Studi ini menggunakan formulir persetujuan, kuesioner dengan informasi yang diperlukan untuk studi, dan hasil trikoskopi. Hasil Dari 144 responden, sebagian besar berusia paruh baya (25-44 tahun, 66%) dan berasal dari etnis campuran (23,6%). Prevalensi alopesia androgenetik pria di Jabodetabek adalah 15,3%, dan prevalensi konsumsi alkohol adalah 24,3%. Rasio odds (OR=1,567) menunjukkan bahwa konsumen alkohol 1,567 kali lebih mungkin didiagnosis dengan alopesia androgenetik pria. Namun, interval kepercayaan (95%CI=0,581, 4,222) dan Uji Chi-Square (p=0,372) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara konsumsi alkohol dan alopesia androgenetik. Kesimpulan Meskipun konsumen alkohol 1,567 kali lebih mungkin didiagnosis dengan alopesia androgenetik pria, temuan ini secara statistik tidak signifikan. Oleh karena itu, tidak ada hubungan yang signifikan yang dapat ditarik antara keduanya. Studi selanjutnya dengan analisis konsumsi alkohol yang lebih komprehensif, seperti kuantitas dan durasi, diperlukan untuk mendukung temuan ini.

Introduction Male androgenetic alopecia (AGA), or male pattern baldness, affects 30-50% of men by age 50 and is influenced by genetic and hormonal factors. Environmental factors like alcohol consumption may also play a role in AGA development. Alcohol is widely consumed and poses health risks, and a possible link between alcohol consumption and AGA has been suggested, especially in men. This study explores the possible association between alcohol consumption and male AGA in Jabodetabek, Indonesia, aiming to clarify this relationship and its public health implications. Method This analytical cross-sectional study used secondary data from a population residing in Jabodetabek, Indonesia. This study used informed consent forms, questionnaires with information needed for the study, and trichoscopy results. Results Of 144 respondents, most were middle-aged (25-44 years old, 66%) and of mixed ethnicity (23.6%). Male androgenetic alopecia prevalence in Jabodetabek was 15.3%, and alcohol consumption prevalence was 24.3%. The odds ratio (OR=1.567) indicated that alcohol consumers were 1.567 times more likely to be diagnosed with male androgenetic alopecia. However, the confidence interval (95%CI=0.581, 4.222) and Chi-Square Test (p=0.372) showed no significant association between alcohol consumption and androgenetic alopecia. Conclusion While alcohol consumers were 1.567 times more likely to be diagnosed with male androgenetic alopecia, this finding was statistically insignificant. Therefore, no significant association can be drawn between the two. Future studies with more comprehensive analyses of alcohol consumption, such as quantity and duration, are needed to support these findings."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Chairunnisa
"Latar belakang: Alopesia androgenetika merupakan kelainan kerontokan rambut yang paling sering ditemukan, dengan karakteristik kebotakan yang berpola. Kelainan ini sering ditemui pada pria. Hubungan alopesia androgenetika dengan penyakit kronik antara lain resistensi insulin terutama pada pasien pria alopesia androgenetika awitan dini telah dilaporkan pada beberapa penelitian tetapi dengan hasil yang beragam.
Tujuan: Untuk mengetahui proporsi resistensi insulin menggunakan indeks homeostasis model assestment (HOMA), serta korelasi resistensi insulin dengan derajat keparahan alopesia androgenetika pada kelompok pria alopesia androgenetika awitan dini.
Desain: Penelitian deskriptif analitik dengan rancangan potong lintang
Hasil: Didapatkan 41 subyek penelitian (SP), skala Norwood Hamilton paling banyak adalah skala III (41,5 %), diikuti oleh skala IV (26,8 %), dan skala V (12,2 %). Pada penelitian ini terdapat 10 SP (24,4%) dengan resistensi insulin. Berdasarkan analisis statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat alopesia dengan resistensi insulin. (r2 = 0.14, p > 0.05).
Kesimpulan: Resistensi insulin dapat ditemukan 24,4 % pasien pria alopesia androgenetika awitan dini tetapi tidak didapatkan korelasi derajat alopesia dengan tingkat resistensi insulin.

Background: Androgenetic alopecia is the most commonly found hair loss with patterned baldness. This disorder usually found in men. The relation between androgenetic alopecia with chronic disease among others is insulin resistance in male early onset androgenetic alopecia patient has been reported by several studies with varied results.
Purpose: This study is to investigate the proportion of insulin resistance based on homeostasis model assestment (HOMA) index and its correlation with the degree of alopecia in male early onset androgenetic alopecia.
Study design: This is an analytic descriptive study, sampling method is cross sectional.
Result: The subjects are 41 men with androgenetic alopecia, aged 18-35 years. The percentage of the Norwood Hamilton scale among the patients is 41,5 % for grade III, 26,8 % for grade IV, and 12,2 % for grade V. The insulin resistance is present in 10 subject (24,4%). Based on statistical analysis, there is no significant correlation between alopecia’s degree with insulin resistance (r2 = 0.14, p > 0.05).
Conclusion: the insulin resistance can be found on 24,4 % of male with early onset androgenetic alopecia patients. However there is no correlation between alopecia’s degree and insulin resistance level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aryani Rahmah Utami
"Anak middle childhood yang memiliki kondisi Alopecia, atau kondisi medis yang membuat seseorang tidak dapat memiliki rambut di kepala dan/atau di bagian tubuh lainnya, akan sulit menerima kekurangan dirinya. Terlebih, ketika anak sering terpapar dengan reaksi lingkungan yang negatif terhadap penyakitnya, membuat anak rentan mengalami kemarahan. Ketika rasa marah belum dapat diregulasi dengan baik, maka muncul perilaku agresif sebagai bentuk dari ungkapan rasa marah tersebut. Partisipan pada penelitian merupakan seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang memiliki kondisi alopecia, memiliki masalah pada rasa marah dan melakukan perilaku agresif, serta memiliki irrational belief mengenai orang yang berada di sekitarnya. Ia beranggapan bahwa setiap orang yang bertanya mengenai topi yang ia kenakan pasti ingin mengejek kepalanya yang botak. Oleh karena itu, partisipan perlu mendapatkan suatu intervensi dengan menggunakan pendekatan kognitif untuk mengajarkan anger management dengan menggunakan prinsip Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) untuk mengelola rasa marah dan mengurangi perilaku agresifnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan Anger Management berdasarkan prinsip REBT untuk menurunkan perilaku agresif pada anak alopecia menggunakan metode penelitian kuasi eksperiman single subject design. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah terbukti efektif.

Children in middle childhood stage who has an Alopecia condition, or a medical condition of someone can never have hair on the head and/or on other parts of body, it will be difficult to accept their shortcomings. Moreover, when children are often exposed to negative environmental reactions to their illness, making children vulnerable to anger. When anger cannot be regulated properly, aggressive behavior emerges as a form of expressing anger. Participant in this study was a nine-year-old boy who had alopecia, had a problem with anger and carried out aggressive behavior, and had an irrational belief about those around him. He assumed that everyone who asked about his hat that he was wearing certainly want to taunt his bald. Therefore, participant need to get an intervention using a cognitive approach to teach anger management. The principles of Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) used in this research to manage anger and reduce aggressive behavior. The aim of this study was to determine the effectiveness of the implementation of Anger Management based on the REBT principle to reduce aggressive behavior in alopecia children using the quasi-experimental method of single subject design. The results obtained from this study are proven effective."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T51867
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library