Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Titania Nur Shelly
Abstrak :
Latar Belakang: Kondisi bakteremia merupakan penyebab sepsis yang mengancam jiwa, sehingga deteksi awal terhadap etiologi bakteremia sangat penting. Pengetahuan mengenai pola resistensi bakteri terhadap berbagai antimikroba dapat berguna sebagai landasan bagi pengobatan empirik pasien dengan dugaan sepsis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil dan pola resistensi bakteri yang diperoleh dari isolat darah terhadap antibiotik sefalosporin generasi tiga di LMK FKUI pada tahun 2001-2006. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data hasil kultur darah positif dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (LMK-FKUI) tahun 2001-2006 yang dimasukkan ke dalam piranti lunak WHOnet 5.4. Dari seluruh isolat, dibandingkan antara persentase bakteri gram positif dan negatif dan dilakukan pendataan pola resistensi bakteri yang ada di dalam darah terhadap sefalosporin generasi tiga. Pada seftriakson, analisis dilakukan pada 2 periode, yaitu 2001-2003 dan 2004-2006. Data yang diperoleh kemudian dianalisis. Hasil: Dari data yang ada, didapatkan 791 isolat darah positif, yang terdiri dari 66,37% bakteri gram negatif dan 33,63% bakteri gram positif. A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, dan E.aerogenes merupakan bakteri gram negatif tersering. Pada keempat bakteri tersebut, yang resisten terhadap sefotaksim adalah sebesar 10%; 27,4%; 14,3%; 20,5%, sedangkan terhadap seftazidim ialah 8%;9,5%; 22,9%; 9,4%; terhadap seftizoksim, jumlah isolat sebanyak 1,9%; 22,4%; 10,5%; 4,2%. Pada bakteri gram positif, S.aureus dan S.epidemidis merupakan bakteri tersering. Dari data yang di bagi pada 2 periode, pola kepekaan bakteri dalam darah cenderung meningkat tajam pada K.pneumonia dari 41,7% menjadi 81,2%. Kesimpulan: Dari hasil kultur darah di LMK FKUI 2001-2006, bakteri gram negatif merupakan bakteri tersering yang ditemukan pada kultur darah di LMK FKUI periode 2001-2006. Bakteri gram negatif terbanyak yang didapatkan adalah A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, dan E.aerogenes. Akan tetapi, bakteri yang paing sering ditemukan diantara seluruh isolat adalah stafilokokus koagulase negatif. Didapatnya isolat A.anitratus dan stafilokokus koagulase negatif pada perlu dipertimbangkan kemaknaannya secara klinis sebagai penyebab sepsis karena beberapa penelitian menyampaikan bahwa adanya kedua bakteri merupakan kontaminan yang sering didapatkan pada kultur darah. Kurangnya data mengenai riwayat pasien dan penanganan spesimen, serta teknis pengerjaan kultur menyebabkan hasil sulit diinterpretasikan. ......Introduction: Bacteremia is one of the common etiology of sepsis, so that its early detection is important. Knowledge about bacteria resistance pattern toward various antimicrobial therapies is essential to give empirical therapy for patients with sepsis in clinical practice. The objective of this research is to know the bacterias profile and resistance pattern from blood culture towards third generation cephalosporins in Clinical Microbiology Laboratory Faculty of Medicine, University of Indonesia (CML-FMUI) 2001-2006. Methods: We used positive blood culture datas in CML-FMUI 2001-2006, from software WHOnet 5.4. The proportion of negative- and positive-gram bacteria isolates were collected. Their resistance pattern towards third generation cephalosporins was made in table and diagram. the resistance pattern towards ceftriaxone was made in 2 periodes of time (2001-2003 and 2004- 2006). In discussion, we analyzed the datas compared to other researches. Results: From all 791 positive-isolates, gram negative bacteria accounted for 66,37%, higher than 33,63% of gram-positive bacteria. A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, and E.aerogenes was the most common negative-gram bacterias isolated from blood culture. Their resistance pattern towards cefotaxime were 10%; 27,4%; 14,3%; 20,5%, towards ceftazidime were 8%;9,5%; 22,9%; 9,4% and towards ceftizoxime were 1,9%; 22,4%; 10,5%; 4,2%. Two most frequent positive-gram bacterias were S.aureus and S.epidermidis. Toward ceftriaxone, there was dramatic changes of K.pneumonia’s resistance pattern in 2 periodes, from 41,7% to 81,2%. Conclusions: Negative-gram bacteria was the major bacteria in blood culture result in CMLFEUI 2001-2006. The most frequent of these bacteria were A.anitratus, P.aeroginosa, K.pneumonia, and E.aerogenes. However, the highest number of isolates among all blood culture results was Coagulase-negative staphylococci. Isolations of A.anitratus and Coagulase-negative staphylococci need to be evaluated clinically as the cause of sepsis, because some studies suggested that those organisms were the common blood culture contaminants. Lack of data about patients history, specimen handling, and methods of blood culture made the positive blood culture results difficult to be interpreted.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adrieanta
Abstrak :
ABSTRACT
Pasien anak dengan keganasan dapat mengalami episode demam neutropenia. Etiologi bakterimia pada demam neutropenia berbeda-beda pada tiap pusat pelayan kesehatan dan berubah secara periodik. Antibiotik empiris diberikan pada pasien demam neutropenia berdasarkan klasifikasinya. Skor Rondinelli mengklasifikasikan pasien demam neutropenia menjadi risiko rendah dan risiko tinggi. Luaran dengan menggunakan skor Rondinelli belum pernah dilaporkan.

Tujuan : Mengetahui karakteristik etiologi dan perjalanan klinis demam neutropenia pada anak dengan keganasan yang dirawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM.

Metode : Penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Sampel diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien anak dengan keganasan yang mengalami demam neutropenia yang menjalani rawat inap di bangsal Departemen IKA FKUI/RSCM mulai bulan Januari 2010 hingga bulan September 2013.

Hasil : Penelitian dilakukan pada 86 pasien anak yang mengalami 96 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Prevalensi bakterimia pada episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 17%. Proporsi kuman penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia adalah Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumonia (19%) dan Escherichia coli (13%). Penelitian ini mendapatkan luaran episode demam neutropenia pada anak dengan keganasan adalah 40% memiliki luaran sembuh, 49% memiliki luaran tidak sembuh dan 6% meninggal dunia. Berdasarkan skor Rondinelli didapatkan 30 (61%) episode demam neutropenia risiko rendah memiliki luaran sembuh dan hanya 13 (28%) episode demam neutropenia risiko tinggi yang memiliki luaran sembuh.

Simpulan : Sebagian besar hasil kultur darah pada demam neutropenia adalah steril. Kuman gram negatif penyebab terbanyak bakterimia pada demam neutropenia. Demam neutropenia memiliki morbiditas yang tinggi. Skor Rondinelli dapat digunakan untuk mengklasifikasikan demam neutropenia pada anak dengan keganasan.
ABSTRACT
Cancer children could have febrile neutropenia (FN) episodes. The bacteremia etiology of FN from each health center was different and periodically changed. Empirical antibiotic was given to the patient according to the classification. Rondinelli’s score classify FN patient to low risk and high risk. Outcome of Rondinelli’s score is not yet reported.

Purpose: To know the clinical pathway and characteristic of etiology FN in cancer children in Department of Child Health RSCM ward.

Methods: The retrospective descriptive study. Samples were taken from secondary data in medical report of a cancer child with FN in ward in Department of Child Health FKUI/RSCM from January 2010 to September 2013.

Results: There were 86 children with 96 FN episodes that fulfill the inclusion and exclusion criteria. Bacteremia prevalence in cancer child with FN episodes was 17%. The most frequent proportion bacteria as FN etiology were Staphylococcus sp (25%), Pseudomonas aeruginosa (25%), Klebsiella pneumoniae (19%), and Escherichia coli (13%). The outcome of cancer children with FN were 40% recover, 49% not recover, and 6% pass away. Rondinelli’s score outcome showed 30 (61%) episodes of low risk FN recover and only 13 (28%) episodes of high risk FN recover.

Conclusions: Most of blood culture result of FN was sterile. Gram negative bacteria were the most frequent etiology for FN. FN has high morbidity.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Masra Lena
Abstrak :
Latar belakang. Bakteremia yang disebabkan oleh kuman resisten antibiotik Escherichia coli (E. coli) penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) dipengaruhi beberapa faktor risiko. Kondisi ini dapat berlanjut menjadi sepsis yang dapat meningkatkan tingginya morbiditas dan mortalitas. Prevalensi bakteremia yang disebabkan E. coli penghasil ESBL cukup tinggi mencapai 57,7%. Pentingnya melakukan penelitian untuk mengevaluasi faktor risiko pada terjadinya bakteremia E. coli penghasil ESBL yang dapat menyebabkan tingginya biaya perawatan dan penggunaan antibiotik yang tidak sesuai di awal sebagai antisipasi terhadap kejadian mortalitas. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko bakteremia E. coli penghasil ESBL dan menentukan faktor risiko terhadap mortalitas. Metode. Penelitian kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien kultur darah positif E. coli yang di rawat pada dua Rumah Sakit Rujukan di Jakarta yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan periode Januari sampai Desember 2019. Faktor risiko terjadinya ESBL yang dicari sesuai dengan kepustakaan adalah usia, komorbiditas berdasarkan indeks Charlson, pemakaian alat medis, riwayat terapi antibiotik dan riwayat perawatan sebelumnya serta faktor risiko terhadap mortalitas. Uji bivariat perbedaan dua kelompok kategorik (Chi-square atau Fisher) dan uji regresi logistik multivariat dilakukan untuk menentukan faktor yang berpengaruh terhadap bakteremia ESBL dan mortalitas. Hasil. Total 116 subjek dalam kurun waktu penelitian dengan usia ≥18 tahun sebanyak 81% subjek, didominasi 52,6% berjenis kelamin laki-laki. Sumber lokasi infeksi terbanyak berasal dari saluran cerna dan intra abdomen yang ditemukan pada 43 subjek (37,1%) dan sebanyak 54 subjek (46,6%) memiliki komorbiditas keganasan. Faktor risiko yang bermakna secara statistik pada seluruh subjek adalah riwayat terapi antibiotik (adjusted OR 2,78; IK95% 1,20–6,45; p=0,017) dan pemakaian alat medis (adjusted OR 3,21; IK95% 1,10–9,34; p=0,033), sementara pada pasien ≥18 tahun (94 subjek) hanya faktor riwayat terapi antibiotik yang bermakna (adjusted OR 2,77; IK95% 1,13 – 6,81; p= 0,027). Tidak terdapat perbedaan mortalitas antara bakteremia E.coli penghasil ESBL dan non-ESBL (p=0,059). Proporsi mortalitas bakteremia E. coli penghasil ESBL adalah 55,7% dan faktor risiko mortalitas yang bermakna adalah usia (adjusted OR 15,0; IK95% 1,54–146,0; p=0,020) dan sepsis (adjusted OR 6,5; IK95% 1,91–22,16; p=0,003). Simpulan. Faktor risiko terjadinya bakteremia E. coli penghasil ESBL adalah riwayat terapi antibiotik dan pemakaian alat medis. Lebih dari separuh pasien mengalami mortalitas dan faktor risiko yang berhubungan adalah usia dan sepsis. ......Background. Bacteremia caused by the Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL)-producing Escherichia coli (E. coli) causing septicaemia and lead to high morbidity and mortality. Factors to ESBL bacteremia are important to recognize soon as patient admitted to hospital since the prevalence of ESBL bacteremia is as high as 57,7% among admitted patient to hospital. The understanding of the risk factors ESBL-producing E. coli bacteremia give the opportunity to provide costs effective treatment costs and antibiotics use to save the lives. This study aims to identify and analyze the risk factor in bacteremia patients with ESBL producing E. coli and its mortality. Methods. A retrospective cohort study based on medical record data on all patients with a confirmed positive E. coli blood culture examinations were collected from January to December 2019 at two referral hospital in Jakarta, Cipto Mangunkusumo National Hospital and Persahabatan Hospital. Identified risk factors for ESBL-producing E. coli bacteremia were age, comorbidities based on the Charlson index, medical devices, history of hospitalization and history of antibiotics therapy including risk factors on mortality. Bivariate analysis of categorical group differences (Chi-square or Fisher test) and multivariate analysis with logistic regression tests were performed to identify the correlation of these factors to ESBL bacteremia and mortality. Results. A total of 116 subjects E. coli bacteremia were included, eighty one percent of subjects ≥18 years old and 52.6% was male. The common site of infection was gastrointestinal tract 37.1% (43 subjects) and 54 subjects (46.6%) had malignancy comorbidity. History of antibiotic therapy (adjusted OR 2.78; 95%CI 1.20–6.45; p=0.017) and medical devices (adjusted OR 3.21; 95%CI 1.10–9.34; p=0.033) were associated with ESBL bacteremia. Among patients ≥18 years old (94 subjects) marely the history of antibiotics (adjusted OR 2.77; 95% CI 1.13 – 6.81; p= 0.027) was associated with ESBL-producing E. coli bacteremia. Mortality among bacteremia ESBL and non-ESBL-producing E. coli were not significantly different (p=0.059). Mortality was found 55,7% among ESBL-producing E. coli bacteremia and associated independent risk factors were age (adjusted OR 15.0; 95%CI 1.54–146.0; p=0.020) and sepsis (adjusted OR 6.5; 95%CI 1.91–22.16; p=0.003). Conclusion. The risk factors for ESBL-producing E. coli bacteremia patients were a history of antibiotic therapy and medical devices. High mortality was found in patient with ESBL-producing E.coli bacteremia and the risk factors was associated with mortality were age and sepsis.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Effendi
Abstrak :
Latar Belakang Sepsis masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dini dan inisiasi bundle care dapat memperbaiki luaran pasien dengan sepsis. Namun, akurasi diagnosis sepsis masih sulit. Bakteremia Gram-negatif memiliki risiko syok sepsis lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk. Tujuan penelitian adalah mengetahui peran skor qSOFA, prokalsitonin, serta gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin untuk memprediksi mortalitas pasien sepsis bakteremia Gram-negatif. Metode Penelitian kohort retrospektif dan prospektif menggunakan data rekam medik dan registri pasien sepsis Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM melibatkan pasien berusia >18 tahun yang dirawat di RSCM selama Maret 2017-Oktober 2020. Data yang diekstraksi adalah karakteristik sampel, data pemeriksaan klinis dan laboratorium, serta luaran yaitu mortalitas dalam perawatan rumah sakit selama 28 hari pemantauan. Hasil 128 subyek penelitian terdiri atas 50,8% pasien laki-laki dengan median usia 48 (RIK 46-51) tahun. Mortalitas pasien dengan bakteremia Gram-negatif terjadi pada 51,6% dengan kesintasan kumulatif 48,4% (SE 0,96%). Peran skor qSOFA terbaik untuk memprediksi mortalitas dalam 28 hari perawatan dengan (AUROC 0,74; IK95% 0,66-0,82). Prokalsitonin menunjukkan performa yang buruk (AUROC 0,45; IK 95% 0,36-0,54) dalam memprediksi mortalitas pasien bakteremia Gram-negatif di RSCM. Bila dibandingkan dengan hasil nilai titik potong skor qSOFA, nilai AUROC skor qSOFA ditambah prokalsitonin, tidak berbeda bermakna AUROC 0,74 vs AUROC 0,75. Kesimpulan Performa skor qSOFA merupakan sistem skor terbaik dalam memprediksi mortalitas pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM. Performa gabungan skor qSOFA dan prokalsitonin tidak memberikan penambahan performa prediktor mortalitas dalam perawatan pasien dewasa dengan sepsis bakteremia Gram-negatif yang dirawat di RSCM. ......Background. Sepsis is a leading cause of mortality and morbidity globally. Early diagnosis and initiation of bundle care may improve the outcome. However, accurate diagnosis of sepsis is still challenging. Gram-negative bacteremia was reported to have higher risk of septic shock and poor prognosis. Aim of this study is to evaluate the role of qSOFA and procalcitonin in predicting mortality risk in patients with Gram-negative bacteremia, furthermore adding procalcitonin to the qSOFA score may improve the ability to predict mortality. Methods. This was a retrospective and prospective cohort study performed based on medical records and sepsis registry of Tropical and Infectious Disease Division, Internal Medicine Department of Cipto Mangunkusumo Hospital, conducted on patients aged > 18 years of age hospitalized from March 2017 until October 2020. The following data were obtained: sample characteristics, laboratory parameters, and 28-day mortality outcomes during hospitality. Results. 128 patients were enrolled. There are 50.8% male patients with median (IQR) of age 48 (46-51) years. Mortality rate of Gram-negative bacteremia is 51.6% with cumulative survival 48.4% (SE 0.96%). The role of qSOFA score to predict 28-day mortality rate is (AUROC 0.74; 95% CI 0.66-0.82). Procalcitonin shows poor performance in predicting mortality of patients with Gram-negative bacteremia (AUROC 0.45, 95% CI 0.36-.0.54). Combining qSOFA score with procalcitonin does not improve the ability to predict the 28-day mortality risk (AUROC 0.75, 95% CI 0.66-0.84). Conclusion. qSOFA score shows good performance in predicting mortality of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia. By adding procalcitonin does not improve its ability to predict mortality risk of patients with sepsis due to Gram-negative bacteremia.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library