Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aviandy S.
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Tajam penglihatan adalah kemampuan mata di dalam penerbangan untuk membedakan dua obyek kecil dengan sudut pandang satu menit pada jarak 6 meter dalam kondisi penerangan yang normal. Bayangan obyek tidak jatuh tepat pada fovea sentralis karena fungsi sel kerucut yang bertanggung jawab dalam hal ini tidak dapat bekerja dengan baik dalam membedakan obyek pada jarak 6 meter. Ini adalah salah satu dari kondisi faktor manusia yang terkait dengan kemungkinan tirnbulnya kecelakaan penerbangan. Studi pada 100 orang calon penerbang PSDP ini merupakan studi lanjutan dengan menggunakan desain penelitian simulasi pre dan post eksperimen tetapi memiliki rentang frekwensi, lensa kolimasi dan calon populasi sampel yang berbeda. Hasil Penelitian: Secara analisa statistik terbukti bahwa getaran dengan frekuensi 10 Hz menurunkan tajam penglihatan lebih besar dibanding 20 Hz pada jarak pandang 75 cm maupun 6 meter (P < 0,05). Sedang penurunan tajam penglihatan jarak pandang 75 cm lebih besar daripada jarak pandang 6 meter baik pada frekuensi 10 Hz maupun 20 Hz (P < 0,05). Faktor tinggi badan pada jarak pandang 6 meter dengan getaran 10 Hz tanpa kolimasi berpengaruh bermakna terhadap penurunan tajam penglihatan (P < 0,05), begitupun pada analisa regresi multivariat terhadap jarak pandang 75 cm (P < 0,05). Koreksi dengan lensa kolimasi didapatkan paling efektif dengan lensa 8D dibandingkan dengan lensa 6D (P < 0,05). Kesimpulan: Searah dengan penelitian terdahulu terbukti bahwa getaran dapat menurunkan tajam penglihatan terutama yang berfrekuensi rendah dan lensa kolimasi sangat bermanfaat dalam menurunkan akibat tersebut.
ABSTRACT Visual Acuity Impairment Due To The Whole Body Sinusoidal Vertical & Horizontal Vibration Effect And Corrections With Collimating Lens Among PSDP Pilot Candidates at Lakespra Saryanto 1997 Background: Visual acuity is the ability of the eyes in flight to discriminate two small objects with the visual angle of one minute at 6 m distance in normal illumination. The image projection will not fall preciously on fovea centralis because the cones which is responsible for these do not work well especially at 6 m distance object. This is one of the human factors condition those related to the occurrence of aircraft accidents. Study upon 100 subjects of PSDP pilot candidates at Lakespra Saryanto was an advanced study with different range of frequencies, collimating lens and sample population. Result: Statistic analysis proved that visual acuity impairment due to the vibration with 10 Hz was worse than 20 Hz at visual distance of 75 cm or 6 m (P < 0,05), Visual acuity at 75 cm visual distance was more impaired compared with 6 meter on both frequency (P < 0,05). Body height factor has significant influence to visual acuity at 6 m visual distance with 10 Hz vibration without collimation (P < 0,05) either at 75 cm visual distance with regression multivariate analysis (P < 0,05). The most effective correction with collimation lens are using 8D lens rather than 6D lens (P < 0,05). Conclusion: In accordance with previous research has been proved that vibrations cause visual acuity impairment, especially at low frequency and collimation lens has special benefit to reduce those effects.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdi Afian
Jakarta: UI Publishing, 2019
616.980 213 FER p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurbowo Ardi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten adalah suatu kondisi yang dialami oleh para penerbang maupun awak pesawat TNI AU, mereka akan bernapas dengan tekanan oksigen yang relatif rendah selama penerbangan. Tubuh manusia akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut, sehingga terjadi adaptasi fisiologis, dikenal sebagai hypoxia preconditioning. Tujuan dari penelitian ini adalah dapat menilai perubahan histologi pada alveolus organ paru tikus Wistar yang terpajan terhadap frekuensi hipoksia hipobarik intermiten pada ketinggian 25.000 kaki selama lima menit dalam interval tujuh hari.Metode: Penelitian eksperimental in vivo pada 25 organ paru hewan tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan 150-200 gram. Dilakukan paparan hypobaric chamber sebanyak 4 kali, dimana setiap minggu dilakukan terminasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan histologi melihat terjadinya pelebaran diameter alveolus organ paru hewan tikus Wistar. Parameter yang di ukur dan dibandingkan adalah diameter alveolus.Hasil: Sebanyak 25 sampel tikus Wistar yang diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pelebaran diameter alveolus 1,5 kali sampai 2 kali dari tiap-tiap paparan dibandingkan kontrol dan pelebaran 3 kali lipat pada paparan ke-4 dibandingkan kontrol. Hasil analisis statistik dengan uji Anova didapatkan perbedaan yang bermakna, dengan p 0,001. Setelah dilakukan analisis Post Hoc didapatkan perbedaan signifikan dengan p 0,001 antara kelompok tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali, 3 kali, dan 4 kali terhadap kelompok tikus Wistar kontrol tanpa pajanan .Kesimpulan: Terdapat perbedaan diameter alveolus hewan coba tikus Wistar yang bermakna antara kelompok kontrol terhadap hewan coba tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali,3 kali dan 4 kali.ABSTRACT
Intermittent hypobaric hypoxia is a condition experienced by airmen and crew of Indonesian Air Force aircraft crew, they will breathe with relatively low oxygen pressure during flight. The human body will adapt to the lack of oxygen, causing a physiological adaptation, as hypoxia preconditioning. The purpose of this study was to identify the alteration of histology in alveolus lung organs of rat Wistar which exposed to frequency of intermittent hypobaric hypoxia 25.000 feet altitude for five minutes in seven day intervals.Method In vivo experimental research on 25 lungs organ from Wistar rats Rattus norvegicus , male sex, age 40 60 days, body weight 150 200 grams. The exposure was conducted at hypobaric chamber 4 times, which every term is done, we terminate the respective rat. Then histology examination was performed to examine the occurrence of alveolar dilatation of lung tissue. Alveolus diameter was measured and compared as a parameter of this study. Results A total of 25 samples of Wistar rats were examined. There was a widened alveolus diameter of 1.5 ndash 2 times of each exposure compared to control and widening 3 times in the 4th exposure compared to control. The result of statistical analysis with Anova test showed significant difference of alveolus diameter between Wistar group of mice with p 0,001, after Post Hoc analysis got significant difference with p 0,001 between Wistar group of mice that got exposure height 25.000 feet once, twice, three times and four times compared to Wistar control without exposure group. Conclusion There was a significant difference in Wistar rats 39 mean alveolus diameter in the Wistar rats control group compared to Wistar rats who received 25.000 foot altitude for 1, 2, 3, and 4 times.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radhianie Djan
Abstrak :
Pada penelitian ini dianalisis tingkat karbonil sebagai penanda dari stress oksidatif di otak akibat terpapar oleh hipoksia hipobarik. Para penerbang atau pilot, sangat sering ditemukan dalam kondisi hipoksia hipobarik karena seringnya terpapar oleh berbagai macam faktor. Salah satu organ yang penting yang bisa terkena oleh stress oksidatif yang disebabkan karena hipoksia hipobarik adalah otak. Desain peneltian ini dilakukan dengan cara atau metode eksperimental, dimana pada penelitian ini digunakan jaringan otak tikus jantan galur winstar sebagai sampel jaringan. Setelah itu, sampel dikelompokkan menjadi empat perlakuan yang berbeda pada frekuensi pemaparan hipoksia hipobarik dan terdapat satu kelompok kontrol. Pengukuran tingkat karbonil/ oksidasi protein menggunakan metode pengukuran yang diterapkan oleh Cayman's Protein Carbonyl Assay yang telah dimodifikasi oleh departemen biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada hasil penelitian ditemukan adanya perbedaan tingkat karbonil yang bermakna antara empat kelompok yang diberi perlakuan dan kelompok control (p<0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada keadaan hipoksia hipobarik pada jaringan otak tikus.
In this study, there will be a discussion of the level of carbonyl concentration as the stress oxidative marker in the brain because of the exposure to the hypobaric hypoxia. The hypobaric hypoxia situation is often appeared in the pilot or aviator who frequently exposed to this kind of setting (high altitude). Hypobaric hypoxia may leads to the stress oxidative condition which can affect the vital organs particularly brain. In this study, the method used is experimental design and using the sample of brain tissue from male Wistar rats. Furthermore, the rat’s samples were differentiated into one control group and four different groups which exposed to the hypobaric hypoxia condition in each different altitude using the help of hypobaric chamber. In this study, the measurement of protein oxidation (carbonyl concentration) is using the method of Cayman's Protein Carbonyl Assay with several modification from the Universitas Indonesia biochemistry department. The results have confirmed that there is a significant different of carbonyl level in the exposed compared to the control group (p<0.05). As a consequence, we can conclude that in the hypobaric hypoxia situation, there will be an elevation of stress oxidative in the brain tissue.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
McFarland, Ross A.
New York: McGraw-Hill, 1953
711.78 MCF h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Febi Arya Hidayat
Abstrak :
Latar Belakang: Dalam dunia penerbangan, fatigue dapat menyebabkan inkapasitasi penerbang dan mengakibatkan kecelakaan pesawat. Jam terbang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan risiko fatigue. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan jam terbang 7 hari dan beberapa faktor lain terhadap risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia. Metode: Sebuah studi cross sectional dengan consecutive sampling dilakukan pada penerbang sipil yang sedang melakukan medical check-up di Balai Kesehatan Penerbangan di Jakarta pada Juni 2016. Karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan dan jam terbang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara. Data fatigue diperoleh melalui pemgisian self-questionnaire fatigue dan dihitung dengan Fatigue Severity Scale (FSS) yang telah dikalibrasi. Fatigue dikategorikan menjadi “Tidak Fatigue” (skor FSS <36) dan “Fatigue” (skor FSS ≥36). Analisis menggunakan risiko relatif dengan regresi Cox dan waktu yang konstan. Hasil: Penelitian ini mencakup 542 penerbang, 50,2% mengalami fatigue, dan 49,8% tidak fatigue. Subyek yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dibandingkan dengan yang kurang sama dengan 30 jam dalam 7 hari, memiliki risiko fatigue 1,39 kali lebih tinggi [risiko relatif disesuaikan (RRA)= 1,39; CI=1,16-1,68; p = 0,001]. Subjek yang memiliki lisensi tipe ATPL dibandingkan dengan yang CPL memiliki risiko fatigue 1,31 kali lebih tinggi (RRa= 1,31; CI=1,11-1,54 p= 0,001). Selanjutnya subyek yang berolahraga secara appropriate memiliki risiko fatigue 32% lebih kecil (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094). Kesimpulan: Penerbang sipil di Indonesia yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dan penerbang dengan lisensi tipe ATPL mengalami peningkatan risiko fatigue. Kebiasaan olahraga secara appropriate menurunkan risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia. ...... Background: In aviation world, fatigue may cause the pilot incapacitation and can lead to the aircraft accidents. Flight hours is believed to be one of the factors related to the risk of fatigue. The purpose of this study is to identify relationship between flight hours in seven day and other factors to the risk of fatigue among civilian pilot in Indonesia. Methods: A cross sectional study with consecutive sampling was conducted among civilian pilots who attended medical check-up at Aviation Medical Center in Jakarta on June 2016. Demographic characteristics, employment related factors, habits and flight hours were obtained through questionnaire and interviews. Fatigue data were obtained through fatigue self-questionnaire form and measured with Fatigue Severity Scale which had been validated. Fatigue was categorized into non-fatigue (FSS score <36) and fatigue (FSS score ≥36). Risk relative was computed using Cox regression with a constant time. Results: This study included 542 pilots, 50,2% had fatigue and 49,8% were normal (non-fatigue). The subjects who have flight hours >30 hours/week compared to ≤30 hours/week, had 1.37-fold higher risk of fatigue [adjusted relative risk [RRa=1.37; CI=1,14-1,65; p=0.001]. The subject with ATPL license compared to CPL license, had 1.28-fold higher risk of fatigue [RRa=1.31; CI=1,11-1,54; p=0.001). Furthermore, subjects who have appropriate exercise, had 32% lower risk of fatigue (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094). Conclusions: Civilian pilots in Indonesia who had more than 30 hours flight time in 7 days and ATPL type pilots have an increased risk of fatigue. Appropriate exercise decreased the risk of fatigue on civilian pilots in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syougie
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Penggunaan video display terminal VDT oleh pemandu lalu lintas udara PLLU dalam pekerjaan mereka dapat menyebabkan sindrom mata kering SMK yang berbahaya bagi keselamatan dan keamanan penerbangan. Tujuan: Menilai efektifitas pemberian obat tetes mata sodium hyaluronate pada PLLU Bandara Soekarno Hatta dengan sindom mata kering. Metode Penelitian: Penelitian potong lintang dengan total sampling dilakukan pada PLLU Bandara Soekarno Hatta untuk mencari prevalensi sindrom mata kering. Dilanjutkan penelitian intervensi pre-post pada lima puluh PLLU Bandara Soekarno Hatta yang didiagnosis SMK derajat ringan dengan tes Schirmer kemudian diberikan obat tetes sodium hyaluronate. Efektivitas obat dinilai secara obyektif dengan uji Schirmer dan secara subyektif dengan kuesioner Ocular Surface Disease Index OSDI sebelum dan sesudah pemberian obat. Hasil: Prevalensi sindrom mata kering pada PLLU Bandara Soekarno Hatta sebanyak 60,3 . Ada peningkatan yang signifikan secara statistik untuk kedua uji Schirmer dari 14,58 2,56 menjadi 8,22 1,33 dan skor OSDI dari 16,7 0-46 menjadi 25 0-64,6 setelah tujuh hari pemberian obat. Hal ini juga sejalan dengan kondisi klinis yang menunjukkan pergeseran dari derajat ringan menjadi normal baik untuk tes Schirmer dan kuesioner OSDI. Kesimpulan: Obat tetes Sodium hyaluronate efektif dalam mengatasi sindrom mata kering derajat ringan pada pemandu lalu lintas udara.
ABSTRACT Background The use of video display terminals VDT by air traffic guides ATC can lead to dry eye syndrome DES that rsquo s harmful for safety and security of aviation. Objective Assess the effectiveness of sodium hyaluronate SH eye drops on ATC of Soekarno Hatta Airport with DES. Research Methods Cross sectional studies with total sampling were conducted on ATC of Soekarno Hatta Airport to find prevalence of DES. Followed with pre post intervention study on fifty ATC of Soekarno Hatta Airport which was diagnosed DES mild degree with Schirmer test and then administered SH eye drops. The effectiveness of the drug was assessed objectively by Schirmer test and subjectively by Ocular Surface Disease Index OSDI questionnaire before and after drug administration. Result Prevalence of DES on ATC of Soekarno Hatta Airport is 60,3 . There was a statistically significant increase for both Schirmer tests from 14.58 2.56 to 8.22 1.33 and OSDI scores from 16.7 0 46 to 25 0 64.6 after seven days administration of drugs. This is also in line with clinical conditions that indicate a shift from mild degrees to normal for both Schirmer test and OSDI questionnaire. Conclusion Sodium hyaluronate eye drops are effective in treating mild DES on ATC.
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Sebastian Pamudji
Abstrak :
Latar belakang: Peningkatan Indeks Massa Tubuh IMT merupakan indikator obesitas, yang merupakan masalah kesehatan pada penerbang sipil di Indonesia dan dapat menyebabkan inkapasitasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui trend perubahan IMT serta faktor risiko lain yang berhubungan pada penerbang komersial Indonesia. Metode: Desain penelitian berupa serial cross sectional yang didapat dari rekam medis penerbang komersial yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI pada tahun 2012 ndash; 2016. IMT didapatkan dari berat badan kg penerbang dibagi dengan kuadrat tinggi badan m2 . Data yang didapat berupa: tinggi badan, berat badan, umur, jam terbang 1 tahun, dan kebiasaan merokok. Analisis yang digunakan adalah ancova untuk melihat trend dan umur dan spearman atau pearson untuk data lainnya. Hasil: Di antara 123 subyek, obesitas terlihat pada 64,2 - 74,8 subyek. Terlihat adanya perbedaan IMT yang bermakna antara tahun 2012 dan 2016 p = 0,032 . Tidak terdapat perbedaan bermakna antara jam terbang, umur, dan kebiasaan merokok terhadap perubahan IMT. Simpulan: Terjadi peningkatan IMT yang bermakna secara statistik setelah 5 tahun, namun peningkatan ini tidak terlalu bermakna secara klinis dan sebagian besar subyek obesitas. ...... Background Increase in body mass index BMI is obesity indicator, which is problem at civilian aviation in Indonesia and can cause incapacitation. The purpose of this study was to investigate trend of changes in BMI and related risk factors on commercial pilots in Indonesia. Methods Serial cross sectional study were obtained from commercial pilots medical record who were taking medical examination at the Civil Aviation Medical Center, Jakarta at 2012 ndash 2016. BMI were obtained from weight kg divided by quadrate of height m2. The data were height, weight, age, 1 year flight hours, and smoking habit. Ancova was used to investigate trend and age and spearman and pearson were used for other data. Results From 123 subjects, obesity were seen in 64,2 74,8 subjects. There were differences in BMI between 2012 and 2016 p 0,032. No differences between flight hours, age, and smoking habit to BMI changes.Conclusions There were statistical increases of BMI after 5 years, however these increases have little clinical significance and most of the subjects were obesity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bailey, James
Geneva: World Health Organization, 1977
363.729 3 BAI g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library