Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Purba, Aprianus Neston Prabudi
Abstrak :
Skripsi ini membahas Analisis Evaluasi Otonomi Kota Tangerang Selatan dengan fokus pada analisis ada atau tidak adanya kesenjangan antara aturan normatif dalam evaluasi daerah otonom baru dengan praktik evaluasi daerah otonom baru di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa aturan normatif evaluasi dan praktik evaluasi di Kota Tangerang Selatan mengindikasikan adanya suatu perbedaan. Dari sisi aturan normatif ditemukan titik-titik lemah di mana di dalam norma evaluasi cenderung tidak mendukung konsep evaluasi seperti terdapat dualisme hierarki peraturan evaluasi daerah otonom baru (DOB), pelaku evaluasi hanya melibatkan internal pemerintah daerah, dan banyaknya lembaga evaluator yang membuat kebijakan evaluasi DOB. Adapun dari sisi praktik evaluasi ditingkat empirik mengalami kesenjangan antara lain perbedaan persepsi waktu pelaksanaan evaluasi baik yang diatur di Permendagri No. 23 Tahun 2010 dan UU No. 51 Tahun 2008, tim evaluasi di tingkat provinsi tidak melakukan validasi dan verfikasi evaluasi, pengawasan lembaga evaluator lokal lemah dan monitoring hanya secara parsial, tidak dilakukan pembinaan setelah evaluasi, dan tidak ada anggaran evaluasi DOB di Kota Tangerang Selatan. ......This thesis discusses analytical evaluation of the autonomy of South Tangerang City, which focuses on the analysis of whether there is a gap between the normative rules in the evaluation of new autonomous regions and the practice of evaluation of new autonomous regions in South Tangerang City. This study uses a descriptive qualitative research design. The study concluded that the rules of normative evaluation and evaluation practice in South Tangerang City indicates the existence of a difference, namely in terms of normative rules is found where the weak points in the evaluation norms tend not to support the concept of evaluation as there is a hierarchy of regulatory dualism evaluation of new autonomous regions, evaluators involving only government, and many institutions that make policy evaluation of new autonomous regions (NARs). The evaluation of the practice at the level of empirical experience of other differences in the perception gap between the execution time of the evaluation of both set in the Ministerial Regulation Number 23 of 2010 and Act Number 51 of 2008, the evaluation team at the provincial level does not perform validation and verification evaluation, supervision of weak institutions of local evaluators and partially monitoring, no coaching after the evaluation, and no NARs evaluation budget in the South Tangerang City.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2011
S1107
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Girsang, Benny Parlindungan
Abstrak :
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pemberdayaan masyarakat melalui kelompok dalam Program Kredit Taskin Inkra. Juga dibahas tentang faktor pendukung dan penghambat proses pemberdayaan. Program Kredit Taskin Inkra untuk mengatasi kemiskinan bertujuan untuk meningkatkan kegiatan usaha ekonomi produktif keluarga-keluarga yang tergabung dalam kelompok Taskin lndustri Kecil dan kerajinan rakyat guna meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Peraksanaan Program Kredit Taskin Inkra di Kecamatan Porsea merupakan hasil kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir dengan PT. Bank Sumatera Utara dengan memberikan kredit modal usaha kepada kelompok taskin berdasarkan tanggung jawab bersama (tanggung renteng). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para informan, observasi dan studi kepustakaan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive dan snowball sampling terhadap aparat pemerintah daerah, tim teknis, petugas pendamping, kepala desa, tokoh masyarakat dan Kelompok Tenun Siragi dengan jumlah 20 orang. Hasil penelitian dianalisa dengan mengaitkan kebijakan program dan kerangka pemikiran tentang kemiskinan, pembangunan daerah, industri kecil, pemberdayaan masyarakat serta partisipasi. Dalam tahap sosialisasi, peserta tidak hanya mendengar namun diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada hal yang kurang dimengerti. Selanjutnya peserta sosialisasi ikut berpartisipasi untuk mensosialisasikan program di desa masing-masing, membantu tugas dari tim teknis, sehingga tujuan sosialisasi dapat tercapai. Dalam tahap pelaksanaan, peran petugas pendamping memberdayakan kelompok terlihat pada kegiatan pembinaan tehnis dan manajemen usaha, khususnya pengajuan usulan kredit dan pelaporan. Pelaksanaan proses pemberdayaan masyarakat terlihat sejak awal, pembentukan kelompok merupakan syarat utama untuk memperoleh kredit taskin inkra, diserahkan sepenuhnya kepada para pengusaha industri kecil dan pengrajin tanpa campur tangan dari pihak manapun. Dalam tahap pelaksanaan kegiatan pembinaan tehnis dan manajemen usaha dilakukan petugas pendamping dengan cara diskusi kelompok, anggota kelompok memperoleh penambahan pengetahuan dan keterampilan tentang ragam ulos untuk souvenir dan pemasaran ulos secara bersama-sama. Variasi ulos untuk meningkatkan pendapatan mereka dan pemasaran bersama dapat mengurangi waktu pemasaran yang dapat dipergunakan untuk mempercepat pembuatan ulos. Dalam kegiatan penyusunan usulan kredit dan pelaporan, petugas pendamping turut membantu diminta oleh anggota kelompok, namun pada dasarnya, sepenuhnya diserahkan kepada kelompok. Dalam pelaksanaan Program Kredit Taskin Inkra masih terdapat faktor penghambat baik dari anggota kelompok maupun dari petugas pendamping. Faktor penghambat dari anggota kelompok adalah rendahnya tingkat pendidikan yang didominasi tamatan SD dan SLTP, usia diatas 40-an juga berpengaruh terhadap rendahnya motivasi belajar bidang admisnistrasi serta pembuatan laporan. Untuk mengatasinya petugas mengadakan kunjungan rumah dan mengingatkan pentingnya laporan untuk perbaikan kebijakan atau pengembangan program. Faktor penghambat yang lain adalah kurangnya koordinasi petugas pendamping dalam pembagian tugas serta proses administrasi (pengisian formulir) yang cenderung menyulitkan anggota kelompok. Disamping faktor penghambat juga terdapat faktor pendukung seperti prilaku masyarakat yang terbuka, ikatan kekeluargaan antara anggota kelompok serta lokasi yang strategis. Merujuk kepada faktor penghambat di atas, dikemukakan saran yang sekiranya dapat diterapkan pada program yang akan datang yakni ; kepada pemerintah daerah, diperhatikan peran masing-masing petugas pendamping serta dilakukan pemantauan dan pembinaan oleh tim teknis, di masa mendatang para suami hendaknya ikut diberdayakan dengan memantapkan peran pendamping dari BKKBN, sekiranya memungkinkan dibentuk lebih dari satu kelompok pada program yang akan datang karena tampaknya dana dapat dikembangkan; kepada anggota kelompok, direncanakan pengembangan usaha; kepada petugas pendamping, secara berkata mengawasi pembuatan ulos agar kualitas dan motif ulos tetap terjaga, pendamping dari Kantor Koperasi berperan dalam pemasaran dan pembentukan Koperasi. ix + 6 bab + 134 halaman + 3 lampiran + Bibliograf 48 buku + 8 Peraturan Perundang-undangan dan lain-lain (1977 s/d 2002)
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13786
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Center for Japanese Studies-University of Indonesia (Pusat Studi Jepang UI), 2006
352 LOC
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wimpy S. Tjetjep
Jakarta: Yayasan Media Bhakti Tambang, 2002
551 WIM d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hania Rahma
Abstrak :
Pada era desentralisasi saat ini tuntutan terhadap daerah untuk menyelenggarakan pembangunana secara tepat dan meningkatkan perekonomian daerah menjadi semakin tepat dan meningkatkan perekonomian daerah menjadi semakin tajam. Kedua isu krisis yaitu krisis ekonomi dan otonomi daerah telah membuka peluang bagi daerah untuk menggunakan pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) sebagai salah satu instrumen pembangunan karena PEL menyediakan pendekatan dan berbagai strategi bagi daerah untuk meningkatkan daya saing, mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan sekaligus meningkatkan daya saing, mendorong pertumbuhan ekonomo, menciptakan lapangan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu pembahasan mengenai PEL menjadi sangat relevan dan menarik. Tulisan ini mencoba untuk mengupas konsep PEL dan relevansinya dengan kebijakan dan kondisi perekonomian di Indonesia teruatama di era desentralisasi ini. Daerah terutama kabupaten dan kota akan menjadi fokus pada sebagian besar bahasan yang disajikan pada tulisan ini.
2006
JUKE-1-3-Apr2006-303
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Riyanto
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal perekonomian daerah dan pemerataan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan membangun model eknometrika yang menangkap hubungan antara blok perekonomian daerah dengan blok keuangan daerah. Penelitian ini menemukan bahwa dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja daerah dan belanja rutin dan belanja pembangunan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap perekonomian daerah. Walau begitu pengaruh tersebut tidak berbeda nyata antara sebelum dan setelah desentralisasi fiskal diimplementasikan. Artinya perubahan dalam pengelolaan fiskal yang ditandai dengan semakin besarnya dana yang mengalir ke daerah belum diikuti oleh peningkatan kinerja perekonomian daerah yang signifikan. Akibatnya pemerataan pembangunan wilayah yang diharapkan belum tercapai.
Jakarta: Jurnal Kebijakan Ekonomi, 2005
JUKE-1-1-Agust2005-15
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Safrizal Zakaria Ali
Abstrak :
ABSTRACT
The Aceh Special Autonomy Fund, better known as DOKA, was established in 2008. The amount of DOKA increases significantly every year. However, the increase was not followed by an increase in the local economy. As such, there was no significant improvement in the welfare of the people of Aceh. Therefore, this paper seeks to examine the Aceh Special Autonomy Funds Management Model. This paper was using qualitative method through FGD, interviews, and documentation. The results of this study showed the need to improve the performance of the Asymmetric Decentralization Policy through Special Autonomy in Aceh Government such as 1) completion of the drafting of implementing regulations; 2) establish a proactive communication and build trust; 3) socialization by the Ministry of Home Affairs related to the Law on Aceh Government (UUPA) in relation to the Law on Oil and Gas, free trade and others; 4) drafting of guidelines in the implementation of special autonomy; 5) facilitates the division of authority between the Aceh Provincial Government and its district/city governments. The recommendation from this study is to list the division of authority of government affairs in detail between the Aceh Provincial Government and its district/city governments, by considering of the characteristics and aspirations of the regions to avoid disputes over authority and overlapping authority.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, 2019
351 JBP 11:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arifka Yusri
Abstrak :
Economists have talked about government expenditure and its relation to poverty, health, and education for decades. Indeed, many theories and empirical evidence have been conducted since then. This study evaluates the relationship between Special Autonomy Fund (SAF) and poverty, health, and education indicators in Aceh province, Indonesia, using a panel dataset of 30 regions in the 2002-2018 period. Synthetic Control Method (SCM) is used as the model to accommodate the allocation of SAF to Aceh given by the central government since it is commonly applied to the cases of policy intervention in comparative case studies. This paper discovers that the SAF plays a vital role in lowering the poverty rate, escalating access to safe sanitation, and improving the net enrollment ratio of senior secondary schools. However, there is no prominent association between SAF allocation and access to safe water. This outcome variable shows positive and negative signs; therefore, a conclusion could not be provided.
Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2022
330 JPP 6:1 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anggarani Utami Dewi
Abstrak :
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berkedudukan di daerah oleh pemerintah daerah mengalami perdebatan khususnya mengenai legalitas penyidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat di masa lalu oleh komisi ini. Tesis ini akan menjawab permasalahan mengenai implementasi KKR dalam era non transisional serta pengaturan mengenai pembentukan dan implementasi KKR yang berkedudukan di daerah. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan fokus pada studi kepustakaan, wawancara dengan para ahli, dan studi perbandingan pada KKR era non transisional di tujuh negara, yakni Korea Selatan, Brazil, Thailand, Maroko, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa enam dari tujuh negara tersebut membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat yang terjadi lebih dari lima tahun yang lalu, dan hanya Thailand yang membentuk KKR dalam dua bulan setelah berakhirnya konflik. Dari enam negara tersebut, seluruhnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan reparasi, kompensasi, ataupun ganti rugi bagi korban sebelum dibentuknya KKR. Brazil, Kanada, dan Australia telah lama mencabut kebijakan yang diduga melanggar HAM. Seluruh negara selain Maroko telah memiliki peraturan yang melindungi privasi dan kerahasiaan warga negara pada saat KKR dibentuk. Pengungkapan kebenaran oleh KKR pada ketujuh negara tersebut difokuskan agar tercapai rekonsiliasi nasional. Di Indonesia, KKR Aceh dibentuk oleh Pemerintah Aceh sebagai mandat dari Perjanjian Helsinki dan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Namun karena dibentuk dengan qanun yang setingkat dengan Peraturan Daerah, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mengalami berbagai hambatan dalam proses penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM seperti kesulitan dalam mengakses dokumen pemerintah atau memanggil pejabat pemerintah untuk dimintai keterangannya. Berbeda dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Korea Selatan dan Kanada, yakni meskipun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ada yang berkedudukan di daerah namun pembentukannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Propinsi Papua saat ini juga sedang menyiapkan naskah pendukung penerbitan Peraturan Presiden tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Dalam rancangannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua akan mengungkapkan kebenaran mengenai peristiwa konflik yang melibatkan negara sejak integrasi Irian Jaya. Oleh karena pemerintah daerah telah menginisiasi pembentukan KKR di daerah, maka seharusnya pemerintah pusat dapat mempercepat penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai panduan pemerintah daerah dalam menyusun peraturan mengenai KKR di wilayahnya. ......The establishment of Truth and Reconciliation Commission (TRC) in regions by the regional government has experienced debate, especially regarding the legalitiy of investigating incidents indicate of gross human rights violations in the past. This thesis will analyst two issues regarding the implementation of TRCs in the non transitional era and establishment and implementation of TRCs in regional. The research used qualitative methods with focus on literature studies, interviews with experts, and comparative studies on seven countries (South Korea, Brazil, Thailand, Morocco, Canada, the United States, and Australia). The results of this study concluded that six of the seven countries formed a TRC to expose gross human rights violations that occurred more than five years before, and only Thailan formed a TRC within two months after the end of conflict. Of the six countries, all of them had issued various reparation, compensation or compensation policies for victims prior to the establishment of the TRC. Brazil, Canada and Australia have long since repealed policies that allegedly violated human rights. All countries other than Morocco already had regulations protecting the privacy and confidentiality of citizens when the TRC was formed. Revealing the truth by the TRC in the seven countries was focused on achieving national reconciliation. In Indonesia, the Aceh TRC was formed by the Government of Aceh as a mandate from the Helsinki Agreement and Article 230 of Law Number 11 of 2006 concerning the Governance of Aceh through Qanun Number 17 of 2013 concerning the Aceh Truth and Reconciliation Commission. However, because it was formed under a qanun that was at the same level as a regional regulation, the Aceh Truth and Reconciliation Commission experienced various obstacles in the process of investigating incidents of human rights violations such as difficulties in accessing government documents or summoning government officials for questioning. It is different from the Truth and Reconciliation Commissions in South Korea and Canada, that is, although there are Truth and Reconciliation Commissions based in the regions, their formation is carried out by the central government. The Province of Papua is also currently preparing a text supporting the issuance of a Presidential Regulation on the Truth and Reconciliation Commission in Papua. In its design, the Papua Truth and Reconciliation Commission will reveal the truth about the conflict events involving the state since the integration of Irian Jaya. Because the regional governments have initiated the formation of TRCs in the regions, the central government should be able to accelerate the drafting of the Truth and Reconciliation Commission Bill as a guide for local governments in drafting regulations regarding TRCs in their regions.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>