Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ira Dhirayati Sudarmadji
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan utama suatu pembedahan katarak adalah untuk mengembalikan penglihatan penderita seoptimal mungkin. Dengan berkembangnya teknik bedah mikro katarak serta makin majunya cara-cara mengatasi komplikasi bedah katarak, maka komplikasi pembedahan sudah banyak berkurang, sehingga perhatian para ahli bedah katarak mulai beralih pada masalah kelainan refraksi yang ditimbulkan pasca bedah.

Kelainan refraksi yang seringkali terjadi pasca bedah katarak adalah timbulnya astigmatisme yang tinggi sehingga rehabilitasi penglihatan pada mata afakia dengan kaca mata atau lensa kontak tidak dapat secepatnya terpenuhi.

Jaffe (1984) telah menjabarkan patofisiologi dan faktor-faktor penyebab astigmatisme pasca bedah katarak. Namun tetap terdapat kesulitan untuk mengurangi astigmatisme pasca bedah karena kurangnya pengetahuan bagaimana kurvatura kornea berubah dengan berselangnya waktu. Rowan dan Thygeson (dikutip dari 2) mendapatkan rata-rata pengurangan astigmatisme sebesar 2.5 Dioptri pada 79 penderita 6 minggu pasca bedah katarak, namun hubungan antara astigmatisme anal pasca bedah dan astigmatisme akhir sulit dicari. Disebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kurvatura kornea pada bedah katarak, di antaranya: (a) letak, luas dan bentuk insisi katarak, (b) jenis benang penutup luka dan (e) teknik penjahitan luka katarak (1-9).

Reading (1964) menganalisa besar dan lama perubahan kurvatura kornea pada kasus EKIK dengan insisi katarak yang besar dan kecil, yang dijahit dengan jahitan terputus. Dikatakan bahwa perubahan klasik astigmatisme pasca bedah berupa memendeknya radius kurvatura horisontal dan memanjangnya radius kurvatura vertikal terjadi pada 6.5% segera pasca bedah dan 42.3% pada bulan pertama pasca bedah. Perubahan rata-rata radius kurvatura horisontal pada penderita dengan insisi katarak yang besar berbeda bermakna antara pra bedah dan pasca bedah terutama pada bulan pertama. Singh dan Kumar (1976) meneliti perubahan keratometrik pasca bedah katarak yang dijahit dengan jahitan preplaced dan postplaced. Dikatakan bahwa pada minggu ke enam, hampir seluruh kasus mengalami perubahan berupa pendataran kurvatura terpendek dan pencembungan kurvatura terpanjang, serta astigmatisme yang terjadi dalam waktu tersebut kebanyakan mengarah ke astigmatisme yang tidak lazim.

Faktor teknik penjahitan luka katarak mempunyai mempunyai peranan yang berarti terhadap terjadinya perubahan kurvatura kornea pasca bedah. Aposisi luka yang baik setelah penjahitan akan mempercepat proses penyembuhan sehingga diharapkan kurvatura kornea tidak banyak berubah lagi. Beberapa teknik penjahitan luka katarak telah diperkenalkan oleh para ahli bedah mata, di antaranya penjahitan secara terputus (interrupted) dan jelujur (continuous). Jahitan jelujur dapat satu arah atau bolak-balik (jahitan tali sepatu) (1). Masingmasing cara penjahitan ini mempunyai keunggulan dan kerugian.

Teknik penjahitan terputus merupakan cara penjahitan yang sering dipakai karena teknik ini cukup mudah, kemungkinan penyebaran infeksi ke sepanjang luka kecil serta bila satu simpul terputus atau longgar, tidak akan segera menyebabkan terbukanya seluruh luka (10). Namun usaha untuk mengurangi perubahan kurvatura kornea dengan penjahitan seperti ini lebih sulit dilakukan karena kekuatan masing-masing jahitan seringkali berbeda pada tiap meridian kornea (8).

1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rayhani Fadhila
Abstrak :
Latar belakang: Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi masih menjadi penyebab tersering gangguan penglihatan di dunia terutama di area terpencil. Phoropter lipat merupakan alat baru yang diciptakan untuk memeriksa kelainan refraksi secara mandiri. Tujuan: Mengetahui validitas phoropter lipat dibandingkan dengan refraksi subjektif konvensional (baku emas) pada miopia dan astigmatisme pada populasi dewasa muda. Metode: Desain potong lintang pada pasien miopia dan astigmatisme yang berusia 18-<40 tahun. Seluruh subjek diperiksa status refraksinya dengan refraksi subjektif konvensional yang dilanjutkan dengan pengukuran refraksi menggunakan phoropter lipat. Validitas phoropter lipat dianalisis dengan kurva ROC dan Bland Altman. Hasil: Terdapat 134 subjek (203 mata) yang terdiri dari miopia (92,6%) dan astigmatisme (62,6%). Rerata sferikal ekuivalen (SE) antara refraksi subjetif konvensional dan phoropter lipat adalah -2,160D (1,68) dan -2,468D (1,64) pada miopia, sedangkan pada astigmatisme -2,252D (1,76) dan -2,585D (1,75). Phoropter lipat memiliki sensitivitas yang tinggi (96,77%) serta spesifisitas yang rendah (61,11%). Nilai area under the curve (AUC) phoropter lipat sangat baik, 0,966. Perbedaan rerata antara hasil refraksi subjektif dan phoropter lipat sekitar 0,308 – 0,359 dengan rentang LoA -1,562 – 2,219 pada miopia dan LoA -1,707 – 2,373 pada astigmatisme. Kesimpulan: Phoropter lipat memiliki validitas yang baik dalam mengukur kelainan refraksi berbasis SE penderita miopia dan astigmatisme dewasa muda. ......Background: Uncorrected refractive error remains the main cause of vision impairment particulary in remote areas. The Folding Phoropter device is a new self-refraction tool that allows users to determine their own refractive error. Objective: To determine the validity of the folding phoropter compared with conventional subjective refraction (gold standard) in myopic and astigmatism young adults. Method: A cross-sectional study in myopic and astigmatism patients aged 18-<40years. All subjects had their refractive status checked using conventional subjective refraction followed by refraction measurements using a folding phoropter. The validity of the folding phoropter was analyzed by ROC curves and Bland Altman. Results: The 134 participants (203 eyes) enrolled consisted of myopia (92.6%) and astigmatism (62.6%). Mean spherical equivalent (SE) measured by conventional subjective refraction and folding phoropter were -2.160D (1.68) and -2.468D (1.64), respectively in myopia, while in astigmatism, mean SE were and -2.252D (1.76) and -2.585 D (1.75). The folding phoropter had high sensitivity (96.77%) and low specificity (61.11%). The folding phoropter had very good AUC, 0.966. The average difference between the results of subjective refraction and folding phoropter was around 0.308 – 0.359 with a range of LoA -1.562 – 2.219 in myopia and LoA -1.707 – 2.373 in astigmatism. Conclusion: The folding phoropter has good validity in measuring SE-based refractive errors in young adults with myopia and astigmatism.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library