Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Aspar Mappahya
Abstrak :
Pemeriksaan invasif dengan arteriografi koroner selektif dapat memberi informasi akurat tentang lokasi dan luasnya proses aterosklorosis sekaligus memungkinkan visualisasi kolateral. Dengan pemeriksaan ventrikulografi kiri dapat diketahui kemampuan kontraksi ven trikel kiri dengan menganalisa kontraktilitasnya baik Secara regional maupun global.

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data awal tentang gambaran morfologi arteri koronaria termasuk distribusi, lokasi dan derajat stenosis serta hubungannya dengan beberapa parameter yang berkaitan erat pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Indonesia umumnya dan di Rumah Sakit Jantung Hara pan Kita khususnya; dan menilai peranan sirkulasi kolateral pada penderita infark miokard anterior dengan obstraksi total dan subtotal pada arteri desendens anterior kiri.

Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 821 penderita yang dirujuk ke Unit Pelaksana Fungsionil Invasif RSJHR dengan suspek atau pasti menderita PIK selama periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1988. Terdapat 126 penderita dengan arteri koronaria yang normal dan sisanya, 695 penderita dianalisa lebih lanjut. Secara keseluruhan dari 821 penderita ditemukan 44,7% distribusi dominan kanan, 40,1% distribusi seimbang, dan 15,2% distribusi dominan kiri. Dari perhitungan berat dan luasnya stenosis ditemukan korelasi bermakna (p <0,01) antara skor stenosis cara AHA dan jamlah pembuluh yang sakit cara GLH. Dari segi umur tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara kelompok umur dengan rata-rata keseluruhan (p>0,05). Tetapi ada perbedaan bermakna (
p <0,05) antara kelompok dibawah 39 tahun dan kelompok 40-69 tahun. Juga tidak ada perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kelompok umur pada mereka dengan penyakit satu maupun dua dan tiga pembuluh.Berdasarkan jenis kelamin tidak banyak perbedaan distribusi jumlah pembuluh yang sakit. Obstruksi total lebih banyak dijumpai pada ke tiga arteri koronaria utama dibanding obstruksi subtotal pada semua kelompok umur kecuali pada kelompok diatas 70 tahun untuk Cx terjadi sebaliknya. Secara umum hipotesis tentang makin banyaknya faktor risiko koroner makin tinggi skor stenosisnya tidak terbukti pada penelitian ini dan hanya hipertensilah satu-satunya terbukti mempunyai pengaruh jelas terhadap beratnya stenosis . Dari gambaran radiologis, terbukti bahwa berat stenosis merupakan salah satu penyebab yang penting untuk timbulnya kardiomegali; selain itu adanya kardiomegali pada penderita PJX bisa meramalkan adanya asinergi dengan sensitivitas 64% dan spesifitas 57%. Berdasarkan gambaran EKG penderita yang diteliti lebih banyak yang telah mengalami infark (56,7%) dibanding yang tanpa infark; dan ada kecenderungan persentase penyakit satu pembuluh lebih dominan pada penderita tanpa infark dan persentase penyakit tiga pembuluh lebih dominan pada penderita infark, sementara penyakit dua pembuluh paling tinggi persentasenya pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara penderita infark transmural dan penderita infark non-Q meskipun skor stenosis pada infark transmural lebih tinggi. Stenosis bermakna pada LMCA lebih banyak ditemukan pada penderita PJK tanpa infark (55%) dibanding yang telah infark, juga persentase bermakna pada LMCA lebih banyak dijumpai.pada penyakit tiga pembuluh. Terdapat 5 (20,8%) dari penderita dengan aneurisma ventrikel yang menunjukkan elevasi. ST dan hany,a 11 (45,8%) yang disertai kolateral. Hasil ULJB pada 267 penderita memperlihatkan kecenderungan hasil positif ringan lebih banyak pada penyakit satu pem buluh dan hasil positif berat lebih banyak pada penyakit tiga pembuluh; sensitivitas pemeriksaan ULTB adalah 85%. Dari beberapa parameter yang berhubungan dengan ventrikulografi terlihat gambaran asinergi lebih sering dijumpai pada penyakit yang lebih luas sedangkan normokinesis lebih sering pada mereka dengan stenosis yang tidak begitu luas. Tnsufisiensi mitral sering dijumpai pada pemeriksaan ventrikulografi dan pada penelitian ini lebih banyak dijumpai (40,8%) pada asinergi inferior; juga paling sedikit ditemukan pada penyakit satu pembuluh.

Penilaian peranan sirkulasi kolateral terhadap PJK umumnya terlihat tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) persentase pemendekan hemi dan longaxis diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral pada 38 penderita PIK dengan obstruksi total dan subtotal -
tanpa infark anterior. Juga tidak ada perbedaan bermakna dalam hal FE, TDAVK dan VDA pada kelompok ini. Adapun pada kelompok penderita yang telah mengalami infark anterior, ternyata ada perbedaan persentase pemendekan hemi dan longaxis yang bermakna, (p<0.01 ), khususnya aksis yang sesuai dengan perfusi LAD, sehingga dapat disimpulkan bahwa makin baik kualitas kolateral makin baik pula fungal ventrikel kiri, meskipun persentase pemendekan tersebut masih lebih rendah dibanding yang ditemukan pada kelompok kontrol. Demikian pula ada perbedaan bermakna (p 0,01) dalam hal FE,dan TDAVK diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral yang selanjutnya memperkuat kesimpulan diatas.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peranan sirkulasi kolateral pada penderita PJK baik yang belum maupun yang telah mengalami infark sangat penting dalam menilai hubungannya dengan fungsi ventrikel k iri serta sangat berguna untuk menentukan tindak lanjut baik yang bersifat konservatif maupun yang bersifat intervensi angioplasti dan bedah pintas koroner.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 4126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nyityasmono Tri Nugroho
Abstrak :
Introduction: Peripheral arterial disease (PAD) is the most common macroangiopathic complication in type II diabetes mellitus, arising from inadequate blood sugar control. In the presence of PAD, the risk of limb loss will also increase, and arterial bypass is one method to reduce the risk of amputation. In Indonesia, the level of patency for the arterial bypass has not yet been published. On bypass with venous grafts, the patency rates at the location of infrapopliteal reach at 70-80%, while the prosthetic graft is 30-50%. Method: From 2009 to 2012, patients with arterial bypasses were analyzed. The level of patency was described by ultrasound examination and pulsation on clinical examination in the distal anastomosis, reduced pain, and other examinations that support adequate revascularization. Identification of risk factors that affect patency, particularly protective risk factors, were also taken into account. Results: From 2009 to 2012, 29 patients with infra-inguinal arterial bypass were collected. The ratio of men to women was 5:1, with a one-year patency rate of 88% in men, and 75% in women, for an overall of 86.2%. The irreversible risk factor affecting patency was male (p = 0.117). Modifiable risk factors that decreasing patency level were smoking (p = 0.042) and more advanced stage of PAD (p = 0.067). Smoking cessation (p = 0.041) and the use of drugs after bypass procedure (p = 0.072) were known to increase the level of patency. Conclusion: The one-year patency rate for infra-inguinal artery bypass was 37-89%. Smoking cessation was known to increase the level of patency.
Jakarta: PESBEVI, 2020
616 JINASVS 1:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Betriza
Abstrak :
Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya hubungan antara stenosis arteri koroner dan ketebalan intima media arteri karotis pada populasi umum. Ketebalan intima media arteri karotis ini pada penderita DMTTI lebih tebal dibandingkan pada penderita yang tanpa diabetes. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah berat dan luasnya stenosis arteri koroner secara angiografi pada penderita PJK dengan DMTTI mempunyai korelasi dengan makin tebalnya intima media arteri karotis. Telah dilakukan pemeriksaan ketebalan intima media arteri karotis komunis, bifurkasio-bulbus, arteri karotis interna dan eksterna kanan dan kiri pada 30 orang penderita PJK dengan DMTTI yang terdiri dari 25 laki-laki dan 5 perempuan, berumur rata-rata 58 ± 8,5 tahun (44 - 74 tahun). Dari hasil angiografi koroner terdapat 2 orang dengan 1 VD, 11 orang dengan 2VD dan 17 orang dengan 3VD. Terdapat penebalan intima media arteri karotis pada semua penderita dengan rata-rata ketebalan intima media arteri karotis yaitu 2,6 ± 1,1 mm (1 - 6 mm), ini menunjukkan adanya korelasi antara ketebalan intima media arteri karotis dan stenosis arteri koroner, namun tidak didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik antara 1 VD, 2 VD dan 3 VD dengan ketebalan intima media arteri karotis yang lebih tebal meskipun ada kecenderungan bahwa makin banyak pembuluh darah koroner yang mengalami stenosis makin tebal intima media arteri karotis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmad Isnanta
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi penyakit jantung koroner yang dapat menyebabkan kematian mendadak. SKA kebanyakan terjadi pada usia di atas 45 tahun, Namun beberapa tahun terakhir ini angka kejadian infark miokard usia muda meningkat. Tujuan: Mengetahui perbedaan karakteristik angiografi koroner pada pasien SKA usia ≤45 tahun dengan pasien SKA usia > 45 tahun. Metode: Beratnya stenosis pembuluh darah diukur dengan Vessel Score (jumlah pembuluh darah koroner yang sakit dengan stenosis ≥ 70%) dan Stenosis Score. Hasil: Diteliti sebanyak 322 pasien SKA yang telah menjalani angiografi koroner di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai Januari 2008 sampai Desember 2012. Pasien dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok satu adalah pasien usia ≤45 tahun dan kelompok kedua pasien usia>45 tahun. Ditemukan 322 pasien SKA (72 kasus ≤45 tahun dan 250 kasus >45tahun). Distribusi jumlah pembuluh darah yang sakit (vessel score) 1 VD (single vessel diseases) terbanyak pada usia ≤ 45 tahun (43.1 % vs 26.0 % ), sedangkan 3 VD (triple vessel diseases) terbanyak pada usia > 45 tahun (31.6 % vs 18,1 %). Hasil skor stenosis menunjukkan lebih rendah pada usia ≤ 45 tahun dibandingkan usia  45 tahun (median skor stenosis 4 vs 8) dengan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis yang terbanyak adalah Left Anterior Descending baik kelompok usia ≤ 45 tahun dan usia  45 tahun (65.3% and 74.0%). Pembuluh darah Left Circumflex dan Right Coronary Artery lebih sedikit pada usia ≤ 45 tahun dan bermakna secara statistik (26,4% dan 31,9% vs 46,4% dan 57,2%, p=0,002 dan 0,001). Simpulan: Jumlah pembuluh darah koroner yang sakit (vessel score) dan skor stenosis lebih kecil pada usia ≤ 45 tahun dibanding usia > 45 tahun
ABSTRACT
Background: Acute Coronary Syndrome (ACS) is the manifestation of coronary heart disease which can cause sudden death. ACS mostly occurs at the age > 45 years, but recently the incidence of myocardial infarction increases in yong ages. Objective: To determine compared between coronary angiography of acute coronary syndrome patients age ≤ 45 years with acute coronary syndrome patients age > 45 years. Methods: The severety of coronary stenosis was determined by Vessel score and Coronary score. Significant vessel score was defined as stenosis of angiography of more or equal to 70% lumen stenosis by eyeball examination Results :A total of 322 ACS patients who undergone coronary angiography in ICCU Cipto Mangunkusumo from January 2008 to December 2012. Patients were divided into two groups. One patient group is less or equal to the age of 45 years (72 cases) and the second group of patients over the age of 45 years (250 cases). Distribution of number of blood vessels disease 1 VD (single vessel diseases) highest in the age group ≤ 45 years (43.1 % vs 26.0 % ), while 3 VD (triple vessel diseases) highest in the age group > 45 years (31.6 % vs 18,1 %). stenosis score was lower at age ≤ 45 years to compare age > 45 years (median stenosis score 4 vs 8) with statistical significant difference (p < 0.001 ). The Left Anterior Descending Artery significant lesion was found high at the both age groups (65.3% and 74.0%). But the significant stenosis lesion was less found in Left Circumflex and Right Coronary Artery at the age ≤ 45 years (26,4% and 31,9% vs 46,4% and 57,2%, p=0,002 and 0,001). Conclusion :The number of coronary arteries diseases (Vessel score) and Stenosis score is lower at the age ≤ 45 years compared to patients age > 45 years.
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Alfaritsi Hamonangan
Abstrak :
Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner (BPAK) adalah sebuah prosedur revaskularisasi koroner. Major adverse cardiovascular event (MACE) yang terjadi pascaprosedur BPAK merupakan kombinasi faktor risiko pasien, intraoperatif, dan pascaoperatif dengan insiden mencapai 33,3% Vasoactive Inotropic Score (VIS) adalah sebuah skor yang menilai jumlah topangan farmakologis kardiovaskular yang awalnya dikembangkan untuk pasien pediatrik. Penelitian ini bertujuan untuk menilai VIS sebagai prediktor terjadinya MACE pascaprosedur BPAK pada pasien dewasa. Metode: Penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan desain kohort retrospektif. Jumlah besar sampel minimal adalah 113 dengan metode sampling konsekutif. Variabel yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, hipertensi, diabetes melitus, GDS, EF, lama operasi, durasi ventilasi mekanik, jenis operasi, nilai VIS, dan MACE (kematian, infark miokardium, gagal napas, gagal ginjal, sepsis). Batas nilai VIS tinggi yang digunakan adalah ≥10. Hasil: Dari 120 subyek, 34,2% subyek mengalami MACE dan 78,3% memiliki nilai VIS tinggi. Durasi operasi, durasi ventilasi mekanik, jenis operasi, dan nilai VIS berhubungan secara bermakna terhadap MACE. Hubungan nilai VIS dengan ada tidaknya MACE pascaprosedur BPAK memiliki OR 11,6 (IK 95% 4,1 – 32,6, p = 0,001), sensitivitas 48.78% (IK95% 34,25 – 63,52%), dan spesifisitas 92,41% (IK95% 84,4 – 96,47%). Simpulan: VIS secara tunggal belum dapat disimpulkan dapat memprediksi kejadian MACE dan faktor-faktor risiko MACE yang lain juga perlu dipertimbangkan dalam memprediksi MACE. ......Introduction: Coronary artery bypass grafting (CABG) is a coronary revascularization procedure. Major adverse cardiovascular event (MACE) after CABG is a multifactorial process combining patient, intraoperative, and postoperative risk factors with the incidence of 33.3%. Vasoactive Inotropic Score (VIS) is a measurement of pharmacological cardiovascular support that was originally developed for pediatric patients. This study aims to evaluate VIS as a predictor for MACE after CABG in adults. Methods: This study is a retrospective analytical observation study with minimal sample size of 113 subjects. The research variables are age, gender, hypertension, diabetes mellitus, blood glucose, ejection fraction, operation duration, mechanical ventilation duration, operation technique, VIS, and MACE (mortality, myocardial infarct, respiratory failure, kidney failure, sepsis). The cut off point for VIS used in this study is ≥ 10. Results: From 120 subjects, MACE incidence is 34.2% and 78.3% of subjects had high VIS. Operation duration, mechanical ventilation duration, and operation technique were significantly associated with MACE. High VIS were significantly associated with MACE (OR 11.6, CI95% 4.1 – 32.6, p = 0.001). The sensitivity of VIS in predicting MACE is 48.78% (CI95% 34.25 – 63.52%) and its specificity is 92.41% (CI95% 84.4 – 96.47%). Conclusions: VIS alone may not be enough to predict MACE after CABG in adults. Other risk factors should be taken into account to predict MACE.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilman Zulkifli Amin
Abstrak :
ABSTRACT
Atherosclerosis is a chronic inflammatory disorder involving innate and adaptive immunity process. Effector T cell (Teff) responses promote atherosclerotic disease, whereas regulatory T cells (Tregs) have been shown to play a protective role against atherosclerosis by down-regulating inflammatory responses which include multiple mechanisms. Compelling experimental data suggest that shifting the Treg/Teff balance toward Tregs may be a possible therapeutic approach for atherosclerotic disease, although the role of Tregs in human atherosclerotic disease has not been fully elucidated. In this review, we discuss recent advances in our understanding of the roles of Tregs and Teffs in experimental atherosclerosis, as well as human coronary artery disease.
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2017
610 UI-IJIM 49: 1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan
Abstrak :
Latar belakang. Terdapat hubungan yang kuat antara hipertensi dengan stroke hemoragik, karena 72%-81% penderita stroke hemoragik terdapat LVH (left venticular hypertrophy). Menurut kepustakaan pada awal serangan ditemukan tekanan darah yang lebih tinggi pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Pada era pre sken otak banyak yang percaya bahwa perdarahan pada stroke hemoragik adalah peristiwa monofasik dan kenaikan tekanan darah berikutnya tidak menyebabkan perdarahan selanjutnya. Herbstein & Schumberg menemukan perdarahan jarang berlanjut 2-3 jam setelah onset. Sedangkan pada era sken otak Kelley menemukan perdarahan aktif dapat teijadi lebih dari 6 jam setelah onset. Ditemukan hubungan pertambahan volume hematoma serta terjadinya perdarahan ulang pada penderita dengan kontrol hipertensi yang tidak adekuat pada fase akut. Oleh karena itu diduga hipertensi akut setelah stroke hemoragik dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas sebagai akibat meningkatnya progresifitas pembentukan hematoma, resiko perdarahan ulang dan bertambah beratnya edema. Dari hasil penelitian sebelumnya terlihat perbedaan keluaran pada nilai MABP tertentu, sehingga masih diperlukan penelitian untuk memperoleh cutoff dari MABP supaya dapat dijadikan sebagai prediktor keluaran. Tujuan.(l). Mengetahui nilai prognostik (hidup-mati) penderita stroke hemoragik yang mempunyai MABP >145 mmHg atau <145 mmHg pada 24 jam pertama serangan. (2). Mengetahui nilai prognostik (hidup-mati) penderita stroke hemoragik yang mempunyai MABP >125 mmHg atau <125 mmHg setelah 24 jam perawatan. Metode. Telah dilakukan penelitian pada 55 pasien stroke hemoragik yang dirawat di Bagian Saraf RSUPN- Cipto Mangunkusumo Jakarta dan Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta dari bulan Januari 1999 sampai dengan Juli 1999. Penderita stroke hemoragik yang dirawat dengan onset < 24 jam dilakukan pemeriksaan tekanan darah saat masuk, kemudian setiap jam 06.OO WIB dan jam 23.00 WIB selama tiga hari perawatan. Penilaian dilakukan setelah hari ke-3 perawatan. Dilakuakan analisis univariate dan bivariate terhadap sampel dengan menggunakan SPSS 7, 5. Hasil. Dari Januari sampai Juli 1999 telah diteliti 55 pasien stroke hemoragik. Mortalitas setelah tiga hari perawatan pada 55 orang penderita stroke hemoragik adalah 20 orang penderita (36,37%), dengan kematian terbanyak teijadi pada hari kedua perawatan 15 orang penderita (27,46%). Nilai rerata MABP saat masuk adalah 126,33 ± 12,34 mmHg. Pada kelompok yang hidup rerata MABP 124,83 ± 17,09 mmHg dan yang mati 127,30 ± 21,47 mmHg. Pada cut-off MABP saat masuk 145 mmHg, dan setelah 24 jam perawatan dengan cut-off MABP < 125 mmHg tidak didapatkan perbedaan keluaran yang bermakna antara masing-masing kelompok. Pasien dengan MABP awal < 145 mmHg sebanyak 47 orang (85,46%) , 17 mati (36,17%). Sedangkan 3 dari 8 pasien (37,5%) mati dengan MABP awal >145 mmHg. ( p = 0,942). Pasien dengan MABP awal <145 mmHg dan SKG awal < 8 sebanyak 14 orang (29,78) dengan keluaran mati 8 orang (57,14%). Dibandingkan kombinasi MABP awal <145 mmHg dan SKG awal > 8, kematian hanya teijadi 8 orang dari 32 pasien (25%). Setelah 24 jam perawatan teijadi kematian 6 dari 11 pasien ( 54,54%) dengan MABP <125 mmHg dan SKG awal < 8. Sedangkan pasien dengan MABP < 125 mmHg dan SK.G awal 8 kematian hanya terjadi 3 dari 12 pasien(14,28%). Keluaran yang lebih baik terdapat pada penderita stroke hemoragik dengan penurunan MABP < 20% dari MABP awal dari pada penurunan MABP > 20%, atau terjadi peningkatan MABP. Kesimpulan. MABP saat masuk dengan cut-ojf 145 mmHg dan MABP 24 jam setelah perawatan cut-off 125 mmHg kurang dapat dijadikan sebagai prediktor tunggal dalam menilai prognostik (hidup-mati). Tetapi jika dikombinasikan SKG awal akan memiliki nilai prediktor yang bermakna. Penurunan MABP > 20% dari MABP awal prognosis yang jelek, dibandingkan dengan penurunan MABP < 20% dari MABP awal.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Sisca Natalia
Abstrak :
Latar Belakang. Trombosis arteri merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien penyakit jantung bawaan (PJB) pasca tindakan kateterisasi jantung yang konsekuensinya dapat berat sampai mengancam nyawa. Kejadian ini dilaporkan bervariasi, sekitar 1%-30% oleh beberapa penelitian dengan faktor-faktor risiko yang ditemukan berkaitan dengan prosedur kateterisasi, usia dan berat badan. Hipoksemia pada PJB sianotik memicu berbagai abnormalitas yang meningkatkan risiko trombosis sesuai Trias Virchow, yaitu perubahan aliran darah, komposisi darah, dan integritas dinding pembuluh darah. Apakah faktor predisposisi ini yang merupakan faktor utama penyebab kejadian trombosis pada pasien PJB sianotik pasca kateterisasi belum diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara hipoksemia pada sianotik dengan terjadinya trombosis arteri pasca kateterisasi. Metode. Studi potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS PJNHK) pada pasien PJB yang menjalani kateterisasi. Subyek dipisahkan dalam kelompok sianotik dan asianotik berdasarkan jenis kelainan jantung dan dilakukan pengukuran saturasi darah yang diambil secara langsung dan pemeriksaan dengan oximetry perifer dengan titik potong 95% untuk mengetahui hipoksemia dan hipoksia. Pasca kateterisasi dilakukan pemeriksaan duplex ultrasonografi (USG) untuk melihat adanya trombosis arteri. Kejadian trombosis dinilai dengan temuan berupa trombus dan perubahan gelombang doppler sampai ke distal ekstremitas. Hasil Penelitian. Sebanyak 86 pasien PJB yang diikutsertakan dalam penelitian ini, dengan proporsi kelompok sianotik sebanyak 53 (61.6%) dan asianotik 33 (38.4%). Pada kelompok sianotik, trombosis terjadi pada 24.4%, sedangkan pada kelompok asianotik didapatkan 4.7%. Didapatkan hubungan yang bermakna antara hipoksemia pada PJB sianotik dengan terjadinya trombosis arteri pasca kateterisasi dengan risiko yang tinggi (OR 4.758; 95% IK 1.460-15.505; p= 0.006). Kesimpulan. Penelitian prospektif ini menemukan hubungan yang bermakna antara hipoksemia pada PJB sianotik dengan terjadinya trombosis arteri pasca kateterisasi. Risiko terjadinya trombosis lebih tinggi pada PJB sianotik. ......Background. Arterial thrombosis is one of complication that can happen to congenital heart disease patient post catheterization which consequence can be life threathening. According to many studies, the incidence varies between 1% to 30% and the risk factors are related to catheterization procedure, age and weight. Hypoxemia in cyanotic stimulates various abnormalities which based on Trias Virchow will increase the risk for thrombosis which are change in blood flow, blood composition and endothelial integrity. Whether this predisposition factor is the main factor causing post catheterization thrombosis is still uncertain. Therefore, the purpose of this study is to find the association between hypoxemia in cyanotic and the occurrence of post catheterization arterial thrombosis. Methods. This cross sectional study is conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) to congenital heart disease patients undergoing catheterization. The subjects are divided into 2 groups: cyanotic and acyanotic based on the abnormality of the heart and the degree of saturation that measured directly from the blood and peripheral oxygen saturation with oximetry. Hypoxemia was defined as oxygen saturation less than 95%. Duplex sonography is conducted post chateterization to find the arterial thrombosis. Thrombosis is diagnosed with the appearance of thrombus and the change of Doppler waveform from proximal to distal extremity. Results. There are 86 post catheterization congenital heart disease patients involved in this study. They are subsequently divided into 2 groups: 53 (61.6%) in cyanotic group, and 33 (38.4%) in acyanotic group. Post catheterization arterial thrombosis is found in 24.4% of cyanotic subjects, and 4.7% in that of acyanotic subjects. Significant association between hypoxemia in cyanotic congenital heart disease and post catheterization arterial thrombosis is found. The risk for cyanotic congenital heart disease with hypoxemia to have arterial thrombosis is high. (OR 4.758; 95% IK 1.460-15.505; p= 0.006). Conclusion. This prospective study has demonstrated the significant association between hypoxemia in cyanotic congenital heart disease with post catheterization arterial thrombosis. The risk for having thrombosis is high in cyanotic congenital heart disease.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haidir Bima
Abstrak :
ABSTRAK
Aterosklerosis adalah penyakit sistemik, Peripheral artery disease PAD dan Carotid artery stenosis CS secara luas mencakup penyakit vaskular yang keduanya dikenal sebagai manifestasi spesifik aterosklerosis. Mengingat etiologi umum aterosklerosis perifer yang bisa terjadi di lokasi vaskular yang berbeda, keberadaan penyakit di satu tempat meningkatkan frekuensi penyakit simptomatik dan asimtomatik di tempat lain. Karena keduanya memiliki penyebab yang sama, maka terdapat hipotesis bahwa keduanya berkorelasi satu sama lain. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan Carotid artery stenosis CS pada pasien lower extremityPeripheral artery disease PAD berat serta mengetahui prevalensi Carotid artery stenosis CS dan ketebalan Intimal media thicknes IMT pada pasien dengan penyakit lower extremity Peripheral artery disease PAD berat. Penelitian ini dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama Februari-Mei 2018. Penelitian ini bersifat prospektif, data diambil dari data sekunder berdasarkan anamnesis dan hasil laboratorium sedangkan derajat stenosis dan intimal media thickness dilakukan carotid duplex ultrasound DUS dengan United imaging ultrasound menggunakan probe 8,5 Mhz. Data dikumpulkan, direvisi, dikodekan dan dimasukkan ke paket statistik untuk ilmu sosial SPSS versi 20 dan yang berikut ini dilakukan : Data kualitatif disajikan sebagai jumlah dan persentase sementara data kuantitatif disajikan sebagai rata-rata, standar deviasi, rentang median dan interkuartil. Kurva karakteristik operasi penerima digunakan untuk menilai titik potong terbaik dengan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediktif negatif. Interval kepercayaan ditetapkan 95 dan margin kesalahan ditetapkan hingga 5 sehingga p-value dianggap signifikan sebagai P> 0,05. Hasil penelitiandidapatkan 50 subjek dengan rentang umur antara 49-80 tahun 63,8 8,8 tahun , dimana yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 31 62 , dan perempuan sebanyak 19 38 . Didapatkan korelasi antara hiperkolesterol dan riwayat merokok dengan derajat Carotid Stenosis dengan nilai ABSTRACT
Atherosclerosis is a systemic disease, Peripheral arterial disease PAD and Carotid artery stenosis CS widely include vascular disease bothh known as specific manifestation of atheroscleroris. Given the common etiology of peripheral atherosclerosis that can occur in different vascular sites, the presence of disease in one place increases the frequency of symptomatic and asymptomatic disease elsewhere. Since both have the same cause, there is a hypothesis that the two are correlated with each other. The objective of the study were to investigate the risk factor associated with Carotid artery stenosis CS in patients with severe lower extremity Peripheral arterial disease PAD and to know the prevalence of Carotid artery stenosis CS and degree of Intimal media thickness IMT in patients with severe lower extremity Peripheral arterial disease PAD . This research was conducted at Cipto Mangunkusumo General Hospital during February-May 2018. This is prospective research, the data was taken from secondary data based on hystory taking and laboratory result while the degree of stenosis and intimal media thickness is carotid duplex ultrasound DUS with United imaging ultrasound, using linier probe 8,5 Mhz. Data are collected, revised, encoded and fed into statistical package for social-science SPSS version 20, and the following are performed : Qualitative data are presented as quantities and percentages while quantitative data are presented as mean, standart deviation, median and interquartile range. The reciever operating characteristic curve is use to asses the best ctoff point with sensitivity, specificity, positive predictive value and negative predictive value. The confidence interval is set 95 and the margin error is set to 5 so p-value is considered significant as p
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwisetyo Gusti Arilaksono
Abstrak :

Obesitas selama ini dikenal sebagai faktor risiko tradisional untuk penyakit kardiovaskular. Pada banyak studi tingginya indeks massa tubuh (IMT) justru memiliki efek protektif terhadap luaran klinis pasien dengan penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung koroner, khususnya infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP). Namun, beberapa studi belum bisa membuktikan adanya fenomena obesitas paradoks ini pada semua populasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan indeks massa tubuh dengan luaran klinis jangka panjang pada pasien IMA-EST yang menjalani IKP. Studi observasional kohort retrospektif pada 400 pasien IMA-EST yang dilakukan intervensi koroner perkutan (IKP) yang diambil dari registri RSPJPDHK. Dilakukan pencatatan tinggi badan dan berat badan dari telaah rekam medis dan registri. Evaluasi luaran klinis setelah 2 tahun paska IKP dilakukan dengan menghubungi pasien dan keluarga serta penelusuran rekam medis. Analisa statistik dilakukan untuk membandingkan luaran klinis pada kelompok BB kurang-normal dengan BB lebih-obesitas. Dari 400 subyek penelitian, didapatkan jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan di kedua grup. Terdapat perbedaan bermakna rerata klirens kreatinin (65.99 vs 82.28; p <0.0001) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (43.82 vs 46.59; p 0.02) pada kelompok BB kurang-normal dan BB lebih-obesitas. Diameter stent dan usia pasien tidak ditemukan perbedaan bermakna di kedua kelompok. BB lebih-obesitas juga secara bermakna memiliki efek protektif pada MACE (OR 0.477 [95% IK 0.311-0.733]; p 0.001), kejadian infark berulang (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001) serta kematian kardiovaskular (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049). Analisis multivariat menunjukkan BB lebih-obesitas sebagai prediktor independen terhadap luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara IMT dengan luaran klinis jangka panjang pasien IMA-EST yang dilakukan IKPP. BB lebih-obesitas memiliki kecenderungan luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang setelah 2 tahun yang lebih baik dibandingkan BB kurang-normal

 


Obesity has been known as a traditional risk factor for cardiovascular disease. In many studies the high body mass index (BMI) actually has a protective effect on the clinical outcomes of patients with cardiovascular disease, including coronary heart disease, especially acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) underwent percutaneous coronary intervention (PCI). However, several studies have not been able to prove the existence of this paradoxical obesity phenomenon in all populations. This study aims to determine the association between BMI and long-term clinical outcomes in STEMI patients underwent PCI. A retrospective cohort observational study of 400 STEMI patients undergoing percutaneous coronary intervention (PCI) was taken from the RSPJPDHK registry. Height and weight were recorded from a review of medical records and the registry. Evaluation of clinical outcomes 2 years after PCI is done by contacting patients and families and tracking medical records. Statistical analysis was performed to compare clinical outcomes in the underweight-normal group with the overweight-obese. In 400 research subjects, there were more men than women in both groups. There were significant differences in creatinine clearance (65.99 vs 82.28; p <0.0001) and left ventricular ejection fraction (43.82 vs 46.59; p 0.02) in the underweight-normal group with the overweight-obese. No significant differences was found in stent diameter and age of the patients between the two groups. Overweight and obesity also has a significant protective effect on MACE (OR 0.477 [95% CI 0.311-0.733]; p 0.001), recurrent infarction events (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001 ) as well as cardiovascular death (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049) Multivariate analysis shows overweight-obesity as an independent predictor of clinical outcome of MACE and the incidence of recurrent infarction. In conclusion, there is an association between BMI and long-term clinical outcomes of STEMI patients undergoing PPCI. Overweight and obese group showed better outcome in MACE and reinfarction within 2 years compared to Underweight-Normal group.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>