Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rieke Diah Pitaloka I.P.
Abstrak :
"Penelitian ini adalah sebuah upaya untuk memperlihatkan bagaimana berbagai tindakan kekerasan berawal dari ketidakmampuan berpikir dan menilai secara kritis. Kedua hat tersebut terjadi akibat para pelaku terkondisikan menganggap kekerasan, termasuk kejahatan, sebagai hal yang bisa, wajar, atau lumrah. Hannah Arendt menyebut sikap tersebut sebagai banality of evil (banalitas kejahatan). Manusia yang menjadi pelaku banalitas kejahatan tidak memiliki kesadaran dan mengalami ketumpulan nurani. la hanya bersandar pada otoritas di luar dirinya. Ia tidak pemall,.melakukan pengujian dalam dirinya, pengujian antara Aku dan Diriku, tidak berani bertatapan dengan ""kediriannya"". Hal ini yang menyebabkan manusia yang bersangkutan tak lagi mampu membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang bik dengan yang jahat, yang indah dengan yang buruk. Selanjutnya ia akan menganggap kekerasan dan kejahatan sebagai hal yang biasa. Tanpa paksaan ia akan terlibat banalitas kejahatan. Sikap banal bukan sesuatu yang otonom, namun memiliki keterkaitan dengan modernitas, kekuasaan, dan kekerasan negara. Fenomena banalitas kejahatan menunjukkan adanya interaksi antara aktor (pelaku) dan sistem. Sistem yang tidak menerapkan aksi komunikatif dalam kekuasaan membuat pikiran masyarakat menjadi dangkal. Sementara itu, dalam diri aktor juga ada disposisi yang membuat sistem dapat diberlakukan. Dengan demikian, banlaitas kejahatan lahir karena di satu pihak system politik yang berjalan mengkondisikan masyarakat untuk mengadaptasi kekerasan. Di lain pihak pada masyarakat sudah ada disposisi terhadap kekerasan, dalam dua bentuk masyarakat yang muncul akibat modernitas, yaitu masyarakat apatis yang apolitis dan masyarakat pragmatis yang cenderung enggan memikul tanggung jawab sebagai warga negara."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T37534
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia, translator
Abstrak :
Konsep pengampunan dimulai dari pemikiran Yesus dari Nazareth, pengampunan ini disebut sebagai pengampunan murni. Dari konsep pengampunan murni ini dikembangkan lagi menjadi pengampunan tanpa logika bersyarat model Jacques Derrida dan pengampunan dengan logika bersyarat model Hannah Arendt. Pengampunan tanpa logika bersyarat berusaha menghilangkan Tuhan dalam konsep pengampunannya dan melandaskan diri pada hak korban. Pengampunan dengan logika bersyarat yang berdasarkan pada kesalahan yang terampuni yang bersumber pada hukum. Teori pengampunan Arendt dilandaskan pada lima konsep penting yakni konsep tentang waktu, cinta, kesalahan, penyesalan, dan pembalasan. Fenomenologi pengampunan Arendt dielaborasi dari kelima konsep tersebut, yakni pembahasan tentang peranan beban masa lalu, kemampuan manusia untuk memaafkan, konflik internal dalam proses pengampunan, penghalang proses pengampunan, dan apakah pengampunan itu hak korban atau hukum. Teori pengampunan Arendt merupakan wujud dari tindakan memaafkan yang berarti suatu tindakan melupakan efek buruk dari kesalahan yang wajar dapat diperbuat manusia dalam kesehariannya. Dalam pengampunan Arendt, relasi yang mutlak ada adalah relasi penyesalan, pengampunan, dan pembalasan. Suatu relasi yang harus ada agar pengampunan itu dapat terjadi, dan tidak mutlak ada dalam pengampunan tanpa logika bersyarat. Pengampunan Arendt terjebak dalam perang antara pikiran dan perasaan, karena ia mencoba menggeneralisasikan persoalan pengampunan dari sesuatu yang bersifat universal absolut ke dalam bentuk yang partikural plural. Konsep pengampunan dengan menggunakan logika bersyarat tidak akan pernah tuntas menyelesaikan persoalan pengampunan, karena mengurangi makna pengampunan itu sendiri. Tindakan memaafkan hanya bisa dilakukan jika sejumlah syarat-syarat yang ada di dalamnya terpenuhi. Bila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka pengampunan itu tidak bisa dijalankan. Ini yang menjadi persoalan yang tidak terselesaikan sewaktu menggunakan logika bersyarat dalam pengampunan. Pengampunan harus dilepaskan dari otoritas Tuhan, dogma agama, ataupun hukum yang berlaku. Pengampunan adalah hubungan personal antara pelaku dan korban. Orang-orang yang berada di luar itu tidak bisa turut campur. Memberikan dan menerima pengampunan bukan merupakan perkara mudah. Baik memberi dan menerima, keduanya memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Karena itulah, pengampunan harus dikembalikan pada domain privat masing-masing orang. Dengan begitu, pengampunan tadi dapat dilaksanakan dengan lebih baik.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S16011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fine, Robert
London: Routledge, 2001
320.101 FIN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library