Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Monica Maria Tjin Mei Fung
Abstrak :
ABSTRAK
Telah lama disadari bahwa ketimpangan jender mengakibatkan berbagai problematik jender. Salah satu darinya adalah sub-ordinasi jender, yakni sub-ordinasi wanita terhadap pria. Faktor-faktor seperti kesejarahan, kebudayaan, keluarga dan agen sosialisasi seperti sekolah, agama, hukum, pekerjaan dan media massa, turut berperan menjadi agen yang memperkuat sub-ordinasi jender. Problematik ini juga menjadi semakin kompleks manakala wanita sendiri mengidentifikasi peran jendernya sedemikian rupa sehingga ikut meneguhkan statusnya yang oleh kebanyakan orang dipandang lebih rendah daripada pria. Namun dibutuhkan penelusuran lebih lanjut untuk melihat seberapa jauh wanita sendiri bersikap demikian terhadap sub-ordinasi jender.

Sejalan perkembangan waktu dan ilmu pengetahuan psikologi, sebuah konsep bernama androgyny, yang sejak tahun 1972 dipopulerkan oleh Bern, memberi harapan kepada banyak orang khususnya wanita untuk keluar dari model identifikasi peran jender yang bersifat tipologis dan dikotomis. Androjini merupakan hasil identifikasi peran jender sedemikian rupa sehingga di dalam diri seseorang terbentuk suatu kepribadian yang mengandung sifat-sifat feminin dan maskulin dalam kadar yang relatif tinggi. Dengan memiliki kepribadian ini, seorang wanita diharapkan tidak mudah tunduk kepada model-model peran jender yang tidak seimbang, yang mengakibatkan ketidakadilan jender. Maka, dapatkah dikatakan bahwa identifikasi peran jender mempengaruhi sikap wanita terhadap sub-ordinasi jender secara berarti ? Berhubung konsep androjini baru dipopulerkan pada dekade 70-an, apakah wanita sesudah masa itu lebih bersikap melawan sub-ordinasi jender daripada wanita pada masa sebelumnya ? Apakah perbedaan generasi memberi pengaruh yang signifikan pada sikap wanita terhadap sub-ordinasi jender ?

Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 210 orang, terdiri dari 70 wanita dewasa awal, 70 wanita dewasa madia dan 70 wanita dewasa lanjut. Dikarenakan pembagian identifikasi peran jender menjadi dua kelompok yakni androjini dan feminin, maka total sampel yang dapat digunakan berjumlah 193. Analisis varian dari data yang diperoleh menghasilkan beberapa kesimpulan.

Pertama, generasi tidak mempunyai efek utama yang signifikan pada sikap wanita terhadap sub-ordinasi jender. Jadi, perbedaan generasi tidak memberi pengaruh berarti pada sikap terhadap sub-ordinasi jender.

Kedua, identifikasi peran jender memberi efek utama yang signifikan pada sikap wanita terhadap sub-ordinasi jender (p = .033). Ini berarti, perbedaan identifikasi peran jender membawa pengaruh yang berarti kepada sikap wanita terhadap sub.ordinasi jender

Ketiga, tidak ada efek interaksi antara generasi dan identifikasi peran jender pada sikap wanita terhadap sub-ordinasi jender. Maksudnya, sikap wanita terhadap sub-ordinasi jender yang disebabkan perbedaan identifikasi peran jender, tidak dipengaruhi oleh perbedaan generasinya, demikian pula sebaliknya

Analisis tambahan menemukan efek signifikan dari pendidikan (p=.0002) dan pekerjaan (p=.004) pada sikap wanita terhadap subordinasi jender. Pola pengambilan sampel dan kedua variabel ini menjelaskan mengenai variabel generasi yang tidak tampil pengaruhnya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ais Nurbiyah Al-jum`ah
Abstrak :
Bissu dalam masyarakat Bugis tidak hanya dipandang sebatas identitas gendernya yang androgini. Masyarakat Bugis sangat menghormati dan memuliakan bissu karena posisi dan perannya. Pada masa pemberontakan Kahar Muzakkar, posisi bissu perlahan luntur dan terus mengalami perubahan hingga masa Reformasi. Tesis ini membahas transformasi bissu dalam novel Tiba Sebelum Berangkat (2018) karya Faisal Oddang melalui konsep objektifikasi dari Strelan & Hargreaves (2005), dan konsep gender dari Butler (1990). Penelitian ini berupaya membongkar transformasi bissu, yang dikenal sebagai manusia yang suci dan sakral. Hasil analisis menunjukkan bahwa bissu dalam novel Tiba Sebelum Berangkat (2018) mengalami transfomasi dari bissu yang suci dan sakral yang ditunjukkan melalui tokoh Puang Matua Sakka menjadi bissu yang menggugurkan kesakralan dan kesuciannya melalui tokoh Rusmini dan Mapata. Selain itu, transformasi bissu juga ditunjukkan melalui identitas gender para tokoh bissu. Bissu dalam tatanan gender masyarakat Bugis merupakan androgini, dan aseksual namun dalam novel Tiba Sebelum Berangkat (2018), tokoh bissu diperlihatkan mengalami perubahan identitas gender dari androgini menjadi homoseksual. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa novel Tiba Sebelum Berangkat (2018) selain menunjukkan tranformasi bissu, dalam hal ini, bissu yang dulunya merupakan manusia sakral, dianggap sebagai perwakilan Dewata menjadi sosok yang tidak ada bedanya dengan manusia biasa yang memiliki naluri, gejolak perasaan, dan hasrat seksual. juga memperlihatkan kritik atas objektifikasi yang diterima bissu pada masa Kahar Muzakkar, Orde Baru, dan Reformasi. ...... Bissu in the Buginese community is not only a matter of gender identity who is androgyny. The Buginese community put a high attention to respect and glorify the bissu with respect to his position and role. In the years of rebellion by Kahar Muzakkar, the position of bissu slowly faded away and it continued to change until the era of Reformasi. This thesis looks at the transformation of bissu in the novel of Tiba Sebelum Berangkat (2018) which was written by Faisal Oddang by applying the concept of objectification by Strelan & Hargreaves (2005) and the gender concept by Butler (1990). This study attempts to dismantle the transformation of bissu who is well-known as holy and sacred. The analysis result shows that bissu in the novel of Tiba Sebelum Berangkat (2018) experiences the transformation from bissu who is holy and sacred shown by the figure of Puang Matua Sakka who releases is purity and sanctity through the figure of Rusmini dan Mapata. In addition, the transformation of bissu is also shown by the gender identity of bissu figures. With respect to the gender category in Bugis community, bissu is androgyny and asexual. However, in Tiba Sebelum Berangkat (2018), bissu figures are shown to experience the change of gender identity from androgyny to homosexual. Therefore, it can be concluded, that Tiba Sebelum Berangkat (2018) describes the transformation of the bissu, in this case, bissu who is considered the representation of Dewata is a figure who has no difference from the ordinary human being who possesses instinct, feeling, and sexual orientation, as well as displays criticism to the objectification by Kahar Muzakkar and government.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prabowo Bayu Waskito
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1986
S2112
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isaura Putri Maharani
Abstrak :
Androgini di Indonesia masih terbilang tabu karena tampilannya yang tidak sesuai dengan ideologi gender yang berlaku. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa gaya androgini tidak sesuai dengan konstruksi maskulinitas dan feminitas di Indonesia, sehingga fenomena androgini di Indonesia masih terbilang baru dan dianggap tabu. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat bagaimana ekspresi androgini ditampilkan oleh kaum muda di Jakarta. Penelitian ini berargumen bahwa androgini dimaknai sebagai gender neutral, yaitu tampilan maskulin atau feminim dengan ekspresi yang tidak terlihat condong ke arah maskulinitas dan feminitas tersebut. Temuan penelitian ini adalah ekspresi gender androgini ditampilkan melalui gaya hidup, kosmetik, dan perilaku. Selain itu ekspresi gender juga ditampilkan secara berlawanan dengan stereotip identitas gendernya untuk menciptakan penampilan yang netral (gender neutral) dan sesuai dengan makna dari penampilan androgini. Dalam prosesnya androgini laki-laki mengalami tekanan sosial berupa perundungan dan pengucilan yang disebabkan oleh ideologi gender yang tertanam di masyarakat, sementara androgini perempuan tidak mendapatkan masalah secara sosial mengenai penampilannya. Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam. ......Androgyny in Indonesia is still classified as taboo because it is not in accordance with the prevailing gender ideology. Previous studies show that androgyny is not suitable with masculinity and femininity construction in Indonesia, so that androgynous phenomena are still fairly new and considered taboo. Therefore this study wanted to see how androgynous responses were presented by young people in Jakarta. This study shows that androgyny is interpreted as gender neutral, a masculine or feminine appearance with expressions that do not look more in masculine or feminine. The findings of this study is androgyny is expressed through lifestyle, cosmetics, and behavior. In addition, gender expression also fully opposes the stereotype of gender identity to create a neutral appearance and in accordance with the meaning of androgynous appearance. Male androgyny had social pressure into abuse and exclusion caused by gender ideologies involving the community, while female androgyny do not get social problems regarding their making. This study uses qualitative methods by collecting data through in-depth interviews.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Feuerstein, Gunther
Stuttgart : Edition Axel Menges, 1997
704 FEU a (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Anindya
Abstrak :
Penelitian ini berawal dari keresahan peneliti atas pembagian gender maskulin dan feminin yang membuat laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal menjadi pihak yang harus tunduk dengan tatanan sosial dan budaya masyarakat. Laki-laki, mengalami krisis identitas terkait posisinya secara personal dan komunal di dalam masyarakat dan karakter androgini menjadi pilihan dalam menunjukkan identitasnya. Identitas gender androgini dapat dilihat melalui gender performativity dan fashion. Untuk itu, penelitian ini menggunakan fenomenologi dalam melihat pengalaman laki-laki androgini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, androgini merupakan identitas gender dan juga androgini secara psikologis merupakan bentuk kecerdasan emosi; kedua, keluarga yang konvensional dan lingkungan yang sex-type memunculkan identitas gender androgini; ketiga, media cenderung mengkomodifikasi androgini salah satunya melalui fashion; dan keempat, setiap individu memiliki keunikan dalam mengekspresikan fashion dan gender performativity. ......This research come from researcher restless thought about masculine and feminine binary. This gender binary somehow makes men and women as part of the society have to adjust themselves to social and cultural norms. Men gets identity crisis on their personal and communal life, therefore they create androgini identity gender. Androgini identity gender can be seen on gender performativity and fashion. This research use phenomenology to observe androgyny men life experience. The result shows, first, androgyny is emotional intellectual that is related to psychological character development; second, conventional family and sex-type environment create androgynous person; third, media shows androgyny on fashion as commodity; and fourth, every human being has her/his own uniqueness on fashion and gender pervormativity; one of their appearance shows androgynous characteristics.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T43794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar Yudha Ninggar
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1993
S2519
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1991
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library