Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rifdah Hanifah
"Amfoterisin B merupakan antijamur berspektrum luas yang digunakan untuk terapi kandidiasis invasif. Candida haemulonii merupakan salah satu species Candida yang dapat menyebabkan kandidiasis yang dapat menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas, terutama di Intensive Care Unit (ICU). Beberapa isolat C. haemulonii yang diisolasi dari pasien menunjukan resistansi terhadap Amfoterisin B yang diduga disandi oleh gen ERG2 dan ERG11, namun isolat yang diisolasi dari lingkungan ICU belum dilaporkan. Tujuan penelitian ini menganalisis gen ERG2 dan ERG11 penyandi resistansi Amfoterisin B pada Candida haemulonii yang diisolasi dari ruang rawat intensif. Dilakukan uji identifikasi dan uji kepekaan terhadap enam sampel yang berasal dari keran ICU rumah sakit menggunakan VITEK 2. Selanjutnya dilakukan analisis sekuensing dengan metode Sanger dan analisis filogenetik menggunakan metode Neighbor-Joining. Berdasarkan hasil uji homologi, sekuens gen ERG2 dan ERG11 pada keenam sampel C. haemulonii menunjukkan similaritas 100% dengan sekuens referensi C. haemulonii resistan terhadap Amfoterisin B yang diisolasi dari pasien di Israel dan hasil filogenetik menunjukkan semua sampel berada pada satu clade yang sama. Tidak dapat disimpulkan kemungkinan terdapatnya mutasi yang dikode oleh gen ERG2 dan ERG11 pada isolat yang diteliti, oleh karena tidak tersedianya data sekuens C. haemulonii yang peka terhadap Amfoterisin B pada pangkalan data GenBank.

Amphotericin B is a broad-spectrum antifungal that is commonly used for the treatment of invasive candidiasis. Candida haemulonii can cause invasive candidiasis and high morbidity and mortality rates, especially in the intensive care unit (ICU). While many C. haemulonii isolates derived from patients have resistance to Amphotericin B, which is thought encoded by ERG2 and ERG11, isolates from the hospital environment have not been widely reported. This study aimed to analyze the ERG2 and ERG11 genes encoding amphotericin B resistance in C. haemulonii isolated from the intensive care unit. VITEK2 was used to conduct identification and susceptibility tests on six samples obtained from taps in the ICU. Sequencing and phylogenetic analysis were conducted using Sanger and neighbor-joining methods, respectively. The results of the homology test, the ERG2 and ERG11 gene sequences in the six C. haemulonii samples showed 100% similarity with the reference sequences of C. haemulonii resistant to Amphotericin B isolated from patients in Israel. Furthermore, the phylogenetic results showed that all samples belonged to the same clade. We cannot conclude whether there is any mutation encoded by ERG2 and ERG11 in our isolates under study since no Amphotericin B susceptible sequences of C. haemulonii are available on the GenBank database"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihaan Hafirain
"Salah satu infeksi jamur yang paling sering ditemukan pada manusia adalah kandidiasis. Infeksi ini disebabkan oleh jamur Candida sp, terutama spesies Candida albicans. Insidens kandidiasis yang kian meningkat terutama disebabkan oleh meluasnya penggunaan antibiotik spektrum luas serta meningkatnya penderita imunokompromis seperti penderita HIV, diabetes melitus, dan keganasan. Selain itu, meningkatnya insidens kandidiasis juga disertai dengan angka resistensi antifungal yang meningkat. Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui profil suseptibilitas Candida albicans terhadap antifungal amfoterisin b dan vorikonazol secara in vitro dari spesimen yang terdata di Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI periode 2012-2015. Penelitian ini menggunakan studi potong lintang. Pemilihan sampel menggunakan metode total sampling dan kemudian diolah dengan SPSS versi 20 menggunakan uji hipotesis Wilcoxon. Dari 590 sampel, hasil uji suseptibilitas terhadap amfoterisin b menunjukkan enamspesimen 1 resisten, lima spesimen 0,8 peka tergantung dosis atau SDD, dan579 spesimen 98,1 sensitif. Sedangkan hasil uji suseptibilitas terhadap vorikonazol menunjukkan keseluruhan spesimen yaitu sebanyak 590 spesimen 100 sensitif terhadap Vorikonazol. Terdapat perbedaan bermakna p=0,003 antara profil suseptibilitas Candida albicans terhadap amfoterisin b dan vorikonazol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil suseptibilitas Candidaalbicans terhadap vorikonazol yang lebih baik dibandingkan dengan amfoterisin b secara in vitro.

One of the most common fungal infection in human is candidiasis. It is caused byCandida fungus, mostly Candida albicans. The incidence of candidiasis hasincreased significantly over the past decades and is linked to widely use of broadspectrumantibiotics and immunocompromised patients, such as diabetes mellitus,HIV, and malignancy. It is also linked to rising incidence of antifungal resistance. The aim of this study is to determine the susceptibility profiles of clinically isolatesCandida albicans in the the Mycology Laboratory of the Department ofParasitology Faculty of Medicine University of Indonesia 2010 2011 period toantifungal amphotericin b and voriconazole in vitro. This was an analytical crosssectional study and total population sampling was used for the sample selectionmethod. Data were analyze with SPSS 20th version using Wilcoxon's test. From 590 samples of Candida albicans, the susceptibility profile for amphotericin b aresix samples 1 resistant, five samples 0,8 susceptible dose dependent or SDD,and 579 samples 98,1 sensitive. While the susceptibility profile for voriconazoleare 590 samples 100 sensitive. There were significant difference p 0,003 ofthe susceptibility profile of Candida albicans for amphotericin b and voriconazole.As a result, the susceptibility profile of Candida albicans for antifungalvoricanazole are higher than for amphotericin b in vitro."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70393
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husnun Amalia
"Mata adalah organ dengan aktivitas farmakokinetik yang spesifik karena memiliki sawar yang membuat obat sulit berpenetrasi ke dalam bola mata terutama kornea. Keratomikosis adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur terutama terjadi pada daerah tropis dan membuat kerusakan kornea yang berakhir dengan kebutaan. Hal ini masih menjadi masalah di negara berkembang. Obat antijamur yang saat ini memiliki aktivitas yang sangat baik adalah Amfoterisin B dan bentuk liposom memiliki kemampuan efektivitas yang lebih tinggi dan menurunkan toksisitas obat. Penelitian terhadap tetes mata Amfoterisin B liposom (AmB-L) ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut sehingga obat tetes ini dapat digunakan pada penderita keratomikosis. Penelitian ini menilai sejauh mana tetes mata AmBL dapat berpenetrasi di dalam bola mata, adakah efek toksik pada jaringan mata dan bagaimana efektivitasnya pada keratomikosis kelinci Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental Laboratorium dan animal study. Subyek penelitian adalah 11 ekor hewan kelinci New Zealand yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok uji kadar dan toksisitas AmB-L 0,15% dan 0,5% masing-masing 3 ekor, kelompok uji efektivitas AmB-L 0,15% dan 0,5% terhadap keratomikosis kelinci masing-masing 2 ekor, dan kelompok kontrol 1 ekor. Pengukuran kadar Amfoterisin B pada jaringan mata (kornea, akuos, lensa, vitreus, dan sklera) dilakukan setelah ditetes obat AmB-L 0,15% dan 0,5% setiap 1 jam selama 3 hari dengan cara menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Toksisitas tetes mata AmB-L 0,15% dan 0,5% pada jaringan mata (kornea, iris, sklera dan retina) dievaluasi dengan pemeriksaan klinid dan histopatologis (Haematoksilin Eosin). Pada uji efektivitas menilai waktu kesembuhan keratomikosis kelinci, hasil kultur kornea dan akuos pasca terapi dengan agar Sabouraud, kadar Amfoterisin B pada kornea dan akuos serta efek toksik. Hasil: Kadar Amfoterisin B pada AmB-L 0,5% terukur lebih tinggi dibandingkan AmB-L 0,15% dan kadar AmB-L pada setiap jaringan di kedua konsentrasi hasilnya lebih tinggi dari MIC. Tetes mata AmB-L 0,5% dan 0,15% tidak memperlihatkan efek toksik secara klinis maupun histopatologi pada jaringan mata kelinci. Tetes mata AmB-L 0,5% dan 0,15% adalah antijamur yang efektif untuk keratomikosis kelinci akibat Aspergillus sp. dan waktu kesembuhan pada kedua konsentrasi tidak berbeda bermakna (p=0,2) Kesimpulan : Liposom adalah drug carrier yang dapat membawa obat amfoterisin B mencapai bagian anterior dan posterior bola mata serta mampu berpenetrasi dengan baik, efektif, tidak toksik terhadap jaringan mata. Karena itu, penggunaan amfoterisin B liposom dapat menjadi terapi standar untuk keratomikosis

The eye has a specific pharmacokinetic because of its complex barrier to drug entry, especially the cornea. Keratomycosis is a fungal infection of the cornea in tropical areas and the cause of corneal morbidity and blindness. This remains a problem in developing countries. Amphotericin B (AmB) is still considered the treatment of choice for fungal infection. Liposomal formulation of AmB (L-AmB) has demonstrated promising results with higher efficacy and lower toxicity. The research of L-AmB eye drops still needs further studies before it can be used in humans. This study will evaluate L-AmB eye drop penetration, toxicity, and efficacy on keratomycosis of the rabbit eye. Methods: The study is using laboratory design and animal study. Eleven New Zealand rabbits were devided into five groups. Six rabbits were used for the pharmacokinetic and toxicological studies, four rabbits for studying the efficacy, and one served as normal and keratomycosis control. All treatment used two concentrations of L-AmB (0.15% and 0.5%) given as eye drops every hour for three days. The pharmacokinetic study measured AmB concentration in the tissues (cornea, aqueous, lens, vitreus, sclera) using high performance liquid chromatography (HPLC), and toxic reactions were evaluated in clinical signs and histopathological examination (cornea, iris, sclera, retina). Efficacy was evaluated by length of therapy, concentration of AmB in the tissues (cornea, aqueous), and toxic effects. Result: In all tissues, L-AmB 0.5% had higher concentrations of AmB than 0.15%, reached MIC in both concentrations and showed no toxic effects. L-AmB eye drops in both concentrations were effective for Aspergyllus sp. keratomycosis in rabbits. Length of therapy varied insignificantly between the two concentrations (p=0.2); both concentrations of AmB reached MIC and did not reveal toxic reactions. Conclusion: Liposomes are promising drug carriers for eye diseases that can penetrate to the anterior and posterior tissues of the eye. L-AMB can be successfully applie"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library