Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nainggolan, Ginova
"Studi eksperimental hewan memperlihatkan bahwa kadar vasopresin serum yang tinggi berhubungan dengan hiperfiltrasi, albuminuria dan hipertrofi glomerulus, dan dikhawatirkan berlanjut menjadi penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dalam jangka panjang. Namun, belum terdapat laporan yang membuktikan hubungan sebab-akibat antara peningkatan vasopresin serum dengan gangguan ginjal. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peningkatan vasopresin serum dengan gangguan ginjal, beserta lokasi gangguan ginjal tersebut. Studi ini juga ditujukan untuk melihat kemampuan berat jenis (BJ) urin untuk mendeteksi gangguan ginjal.
Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan consecutive sampling di sebuah pabrik sepatu pada bulan Januari–Maret 2020. Subjek adalah pekerja terpajan panas yang dinyatakan sehat berdasarkan medical checkup tahun 2019. Sampel darah dan urin diambil lima jam setelah subjek bekerja. Subjek diperiksakan kreatinin plasma, estimasi LFG berdasarkan CKD-EPI, BJ urin, albuminuria carik-celup, albumincreatinine ratio (ACR) urin, vasopresin serum, kidney injury molecule-1 (KIM-1) urin, dan nefrin urin. Data masa kerja, dan jenis kelamin diperoleh melalui wawancara.
Pada studi ini, diperoleh 119 subjek wanita dengan median usia 38 (31–51) tahun dan median masa kerja 10 (3–14) tahun. Hiperfiltrasi didapatkan pada 18 subjek, LFG tidak menurun pada 104 subjek (87,4%), dan peningkatan nefrin urin pada 104 pekerja (87,4%). Tidak terdapat hubungan antara vasopresin meningkat dengan hiperfiltrasi, penurunan LFG, albuminuria, nefrin urin, dan KIM-1 urin. Terdapat hubungan bermakna antara peningkatan nefrin urin dengan masa kerja ≥ 10 tahun (p = 0,03). Terdapat hubungan peningkatan KIM-1 urin dengan albuminuria (p = 0,008). Terdapat area under the curve (AUC) antara BJ urin dan nefrin urin sebesar 81,7% (95% CI 68,8–94,6%), dengan titik potong BJ urin ≥ 1,018 yang memiliki sensitivitas 71,2% dan spesifisitas 80% untuk kenaikan nefrin.
Sebagai simpulan, peningkatan vasopresin serum tidak berhubungan dengan hiperfiltrasi, penurunan LFG, albuminuria, dan peningkatan KIM-urin. Masa kerja > 10 tahun dihubungkan dengan peningkatan nefrin urin. BJ urin ≥ 1,018 dapat dijadikan acuan untuk mendeteksi kenaikan nefrin urin pada pekerja terpajan panas.

Animal experimental studies have shown that high serum vasopressin levels are associated with hyperfiltration, albuminuria, and glomerular hypertrophy, which may lead to decreased glomerular filtration rate (GFR) in long-term. However, there was no earlier report that has established the causal relationship between elevated serum vasopressin and renal impairment. This study aims to determine the association between increased serum vasopressin and kidney impairments, along with the location of these impairments. This study is also aimed to look at the ability of urine specific gravity to detect elevated serum vasopressin and kidney impairments.
This study was a cross-sectional study with consecutive sampling in a shoe factory from January–March 2020. Subjects were heat-exposed workers who were declared healthy based on the medical checkup in 2019. Blood and urine samples were taken five hours after the subject worked. Subjects were examined for plasma creatinine, estimated GFR (eGFR) based on CKD-EPI, urine specific gravity, dipstick albuminuria, urine albumin-creatinine ratio (ACR), serum vasopressin, urine kidney injury molecule-1 (KIM-1), and urinary nephrin. Data on age, length of service, and gender were obtained through interviews.
There were 119 female subjects with a median age of 38 (31–51) years and a median length of service 10 (3–14) years. eGFR was not decreased in 104 subjects (87.4%) and urinary nephrin increased in 104 workers (87.4%). There were no increase in urinary albumin excretion and urinary KIM-1. There were significant association between increased urinary nephrin with length of service ≥ 10 years (p = 0.03), normal-increased eGFR with age 30–39 years (p = 0.001), and increased urinary KIM-1 with albuminuria (p = 0.008). There was an area under the curve (AUC) of 81.7% (95% CI 68.8–94.6%) between urine specific gravity and urinary nephrin, with a cut-off point of urine specific gravity > 1.018 having a sensitivity of 71.2% and a specificity of 80% for the increase in urinary nephrin.
In conclusion, increased serum vasopressin does not cause a decrease in GFR, albuminuria, and increase in urinary KIM, but does cause an increase in urinary nephrin. urine specific gravity ≥ 1.018 can be used as a cut-off for detecting increased urinary nephrin in heat-exposed workers."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardeno Kristianto
"Latar belakang: Pemberian albumin hiperonkotik intravena lazim dilakukan pada pasien hipoalbuminemia berat (kadar albumin plasma ≤2,5 g/dl). Walaupun demikian, hingga ini, berbagai referensi menunjukkan hasil yang inkonklusif terkait manfaat "koreksi" kadar albumin pada pasien, terutama dalam menurunkan mortalitas dan morbiditas.
Metode: Penelitian ini menilai karakteristik pasien hipoalbuminemia berat dan pola penggunaan albumin intravena hiperonkotik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Analisis kesintasan dilakukan dengan variabel bebas berupa pemberian albumin intravena, penyakit dasar, kadar albumin saat admisi dan sebelum pemberian, serta durasi hingga temuan hipoalbuminemia berat. Data deskriptif ditampilkan terkait pemberian albumin, yaitu mencakup jumlah yang diberikan dan respons terhadap pemberian albumin.
Hasil dan Diskusi: Mayoritas pasien (79,19%) dengan kadar albumin ≤2,5 g/dl diberikan albumin hiperonkotik intravena. Insidens mortalitas 30 hari pada pasien hipoalbuminemia berat adalah 47,20%. Pemberian albumin intravena didapatkan tidak memiliki hubungan bermakna dengan kesintasan 30 hari (HR 0,902; IK 95% 0,598-1,361; p=0,624). Faktor yang berhubungan bermakna dengan kesintasan 30 pada pasien hipoalbuminemia berat adalah sepsis, syok hipovolemik, keganasan padat, serta temuan kadar albumin sebelum pemberian ≤2,0 g/dl.
Kesimpulan: Pemberian albumin hiperonkotik intravena pada pasien rawat inap tidak berhubungan dengan kesintasan 30 hari.

Introduction: Intravenous hyperoncotic albumin administration is a common practice to be done to patients with severe hypoalbuminemia (plasma albumin level ≤2.5 g/dl). However, until now, many references has shown inconclusive results associated with "correction" of albumin level in patients, especially in reducing mortality and morbidity.
Method: This study assessed severe hypoalbuminemia patients' characteristics and pattern of use from hyperoncotic albumin intravenously in Cipto Mangunkusumo National Hospital. Survival analysis was done with independent variables including: intravenous albumin administration, underlying diseases, albumin level during admission and before albumin administration, as well as time duration from admission to severa hypoalbuminemia detection. Descriptive data was also shown associated with albumin administration consisted of amount of albumin given and response after albumin administration.
Result and Discussion: Majority of subjects (79.19%) with albumin level ≤2.5 g/dl was given hyperoncotic albumin intravenously. Incidences of 30-day mortality in severe hypoalbuminemia patients is 47.20%. There as no association between intravenous albumin administration and 30-day survival (HR 0.902; 95 CI% 0,598-1.361; p=0.624). Factors which were found associated with 30-day mortality are sepsis, hypovolemic shock, solid malignancy, and findings of albumin level ≤2.0 g/dl before albumin administration.
Conclusion: Hyperoncotic intravenous albumin administration didn't associate with 30-days survival.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library